You are on page 1of 12

1

TEMILNAS 2010

Fogging, Larvasida, 3M : Efektifkah ?

Oleh : Astri Sulastri Prasasti

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah salah satu penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue (Sinto et al., 2009). DBD merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang jumlah penderitanya cenderung
meningkat dan penyebarannya semakin luas (Widoyono, 2002). Selain itu,
penyakit DBD masih merupakan masalah kesehatan serius di Indonesia karena
masih banyak daerah-daerah endemik yang menjadi sumber penyebaran penyakit
ke wilayah lain. Hal ini didukung oleh Soegijanto et al., (2006) yang
menyebutkan data-data pendukung sebagai berikut :
1. Sejak ditemukan kasus DBD pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta,
angka kejadian penyakit DBD meningkat dan menyebar ke sluruh daerah
kabupaten di wilayah Indonesia termasuk kabupaten yang berada di
wilayah Provinsi Timor Timur.

2. Pada pengamatan selama kurun waktu 20-25 tahun sejak awal ditemukan
kasus DBD, angka kejadaian luar biasa penyakit DBD diestimasikan setiap
5 tahun dengan angka kematian tertinggi pada tahun 1968 awal ditemukan
kasus DBD dan angka kejadian penyakit DBD tertinggi pada tahun 1988.

3. Angka kematian kasus DBD masih tinggi, terutama penderita DBD yang
dating terlambat dengan derajat IV.

4. Vektor penyakit DBD nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus masih
banyak dijumpai di wilayah Indonesia.

5. Kemajuan teknologi dalam, bidang trasnportasi disertai mobilitas


penduduk yang cepat memudahkan penyebaran sumber penularan daru
satu kota ke kota lain.
2
TEMILNAS 2010

Data dan fakta yang telah dipaparkan adalah sedikit dari banyak fakta lain
yang berkembang di masyarakat yang sungguh memprihatinkan. Seluruh wilayah
Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit DBD, karena virus penyebab
dan nyamuk penular tersebar luas baik di rumah maupun di tempat-tempat umum,
kecuali yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut. Pada tahun
1968 jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 58 kasus dengan jumlah kematian 24
orang, sedangkan dalam 5 tahun terakhir (1997-2001) jumlah rata-rata kasus
dilaporkan sebanyak 40854 kasus dengan rata-rata kematian 701 orang setiap
tahunnya. Pada tahun yang sama setiap 100.000 penduduk, 20-21 orang diantaranya
penderita DBD dan setiap 100 penderita, rata-rata yang meninggal sebanyak 1-2
orang. Soegijanto et al. (2006) mencatat. pada KLB 2004 angka kejadian
(incidence rate) 15 per 100.000 penduduk, padahal tujuan program
pemberantasan DBD dalam Indonesia Sehat 2010 adalah menurunkan angka
kejadian di bawah 5 per 100.000 penduduk pada tahun 2010 (Direktorat
Kesehatan dan Gizi Masyarakat, 2006). Melihat fenomena tersebut, maka
konsekuensi logis yang harus diterima oleh tenaga kesehatan adalah dapat
menganalisis, masalah apa yang sesungguhnya terjadi hingga prevalensi DBD
terus meningkat dari tahun ke tahun. Apakah ada kesahalahan dalam
penanganannya atau memang karakteristik dari DBD sendiri yang terus
berkembang progresif.

Penanganan DBD yang dimaksud tentu tidak sebatas pada cara-cara


penanggulangan DBD saja, tetapi juga penatalaksanaan pasien DBD secara umum
yang telah dirumuskan oleh Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia
(PAPDI) bersama dengan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi
Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
dalam bentuk protokol penatalaksanaan DBD. Protokol penatalaksanaan DBD
pada pasien dewasa adalah berdasarkan pada penatalaksanaan yang tepat dengan
rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas indikasi, praktis dalam
pelaksanaannya, serta mempertimbangkan cost effectiveness (Sudoyo et al., 2007).
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, yaitu :
3
TEMILNAS 2010

Protokol 1 : Penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok.

Protokol 2 : Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat.

Protokol 3 : Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20%.

Protokol 4 :Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa.

Protokol 5 : Tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa.

Mengingat penatalaksanaan DBD yang telah memiliki protokol seperti yang


tersebut diatas, maka hal yang perlu dikaji berikutnya adalah kemungkinan
penanggulangan DBD yang memang ternyata kurang efektif hingga tidak
memperlihatkan hasil yang maksimal. Karena penanggulangan yang bersifat
preventif lebih mungkin untuk mendapat intervensi dibandingkan dengan
protokol-protokol yang telah memiliki ketetapan diluar teraplikasikan atau tidak
dalam prakteknya. Untuk mengetahui tindakan preventif yang tepat, maka kita
harus mengetahui terlebih dahulu mengenai perjalanan penyakit DBD.
Didalamnya akan terbahas seluruh aspek yang berperan dalam perkembangan
penyakit DBD dan pada akhirnya, faktor-faktor yang mempengaruhi penularan
penyakit tersebut juga dapat diketahui. Proses penularan penyakit ini kemudian
dapat dijadikan dasar terapi preventif yang lebih efektif dibandingkan terapi
simptomatik dan terapi suportif seperti yang selama ini dilakukan.

Perjalanan penyakit DBD dimulai dari masuknya virus dengue ke dalam


tubuh manusia melalui perantara nyamuk Aedes Aegypti, Aedes Albopictus, Aedes
Polynesiensis dan beberapa spesies lain yang juga dapat menularkan virus ini,
meskipun tidak terlalu berperan. Nyamuk yang mengandung virus dengue tersebut
memasukan virus dan menyebabkan viremia pada saat menggigit mangsa. Virus
yang berada di kelenjar air liur berkembang biak dalam waktu 8 – 10 hari
(extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali pada manusia
pada saat gigitan berikutnya. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di
dalam tubuh nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya
4
TEMILNAS 2010

(infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4 – 6 hari


(intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari
manusia kepada nyamuk dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang
sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah
demam timbul (Depkes, 2004).

Dari perjalanan penyakit diatas dapat disebutkan adanya tiga faktor yang
memegang peranan penting pada perkembangan penyakit DBD dan sekaligus
dapat mempengaruhi pertumbuhan serta penularan DBD, yaitu manusia, virus dan
vektor perantara (Pereira et al., 2006). Faktor lain yang juga berpengaruh pada
peningkatan dan penyebaran kasus DBD, antara lain: pertumbuhan penduduk
yang tinggi, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, tidak efektifnya
kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan peningkatan sarana
transportasi (Sinto et al. 2009). Sutaryo (2004) menambahkan dua faktor lain
yaitu faktor lingkungan dan sistem pemberantasan yang lemah menyangkut
komitmen politik, sosial, dan ekonomi. Negara dengan curah hujan yang cukup
(tropis) memberikan peluang nyamuk untuk berkembang biak. Selain itu, banyak
hal menyangkut komitmen, politik, sosial, dan ekonomi juga ikut berpengaruh
seperti kesalahan pandangan bahwa kontrol DBD hanya oleh Depkes, tenaga
profesional yang kurang, fasilitas yang kurang, ketersediaan insektisida yang
kurang, dana yang tidak mencukupi, budaya mudik dengan mobilisasi tinggi,
pariwisata dan perilaku manusia yang menyimpang. Dari beberapa pendapat yang
ada dapat dirumuskan bahwa secara umum proses penularan DBD tidak hanya
dipengaruhi oleh faktor virus dengue saja tetapi juga faktor pertumbuhan nyamuk
sebagai vektor perantara, faktor manusia menyangkut perilaku serta peningkatan
mobilisasi sehingga mempermudah penyebaran virus dan faktor lingkungan yang
dapat menyebabkan peningkatan perkembangan vektor perantara yang
mempersulit penanggulangan DBD.

Depkes sendiri telah memiliki pengalaman cukup panjang dalam


penanggulangan DBD berpegang pada pengendalian faktor resiko seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya. Strategi yang dijadikan acuan adalah dengan
5
TEMILNAS 2010

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) karena diangggap lebih berpengaruh.


Ketika sumber penyakit dan vektor penyebarannya dapat dikendalikan maka
faktor-faktor yang lain juga dapat disesuaikan. PSN ini bisa diberikan dalam dua
bentuk yaitu dengan PNS menggunakan insektisida melalui pengasapan (fogging)
dan penaburan larvasida dalam bentuk bubuk abate, dan PNS tanpa insektisida
melallui gerakan “3M” yakni menguras bak mandi, menutup tempat
penampungan air dan mengubur barang-barang bekas yang berpotensi menjadi
tempat pertumbuhan nyamuk (Hendarwanto melalui Marini, 2009). Pada awalnya
strategi utama pemberantasan DBD adalah memberantas nyamuk dewasa dengan
fogging. Kemudian strategi diperluas dengan penaburan larvasida ke tempat
penampungan air (TPA). Hingga akhirnya turun keputusan untuk memberantas
DBD secara terpadu, yaitu terdiri dari penanggulangan fokus, fogging massal
sebelum musim penularan dan abatisasi setiap tiga bulan di kelurahan-kelurahan
endemis. Namun demikian, hingga saat ini upaya pemberantasan DBD belum juga
berhasil, sehingga penyakit ini masih sering terjadi dan menimbulkan KLB di
berbagai daerah (Wongso A, et al., 2008).

Kegagalan fogging pada program tersebut dijelaskan oleh Direktorat


Kesehatan dan Gizi Masyarakat (2006) disebabkan karena ruang jangkau fogging
yang terbatas. Dengan fogging yang disemprotkan ke udara, maka nyamuk
dewasa yang beterbangan atau yang hinggap di tempat persembunyiannya di
lingkungan rumah penderita akan mati. Semua insektisida adalah bahan beracun
yang jika penggunaannya tidak tepat dapat mengganggu kesehatan manusia
maupun hewan dan dapat mencemari lingkungan. Gagal atau tidak efektifnya
fogging dapat terjadi akibat salahnya lokasi pengasapan (yang diasapi adalah got-
got atau saluran kota yang kotor dan mampet, bukan sarang nyamuk Aedes
aegypti). Selain itu, penggunaan insektisida yang tidak tepat dosisnya atau tidak
tepat jenisnya dapat menjadikan fogging tidak memberikan hasil yang
memuaskan atau gagal sama sekali. Takaran insektisida yang dikurangi (asal bau
obat), selain termasuk kategori korupsi, juga dapat menimbulkan dampak serius di
kemudian hari, yaitu terjadinya kekebalan nyamuk Aedes aegypti terhadap
insektisida yang digunakan saat ini. Karena nyamuk dewasa Aedes aegypti berada
6
TEMILNAS 2010

di dalam lingkungan rumah tinggal, penggunaan insektisida menjadi rawan


keracunan bagi penghuni dan lingkungan hidup sekitar rumah. Fogging ditujukan
untuk memberantas nyamuk betina dewasa karena hanya nyamuk betina yang
mengisap darah. Dengan melakukan fogging di sekitar tempat tinggal penderita,
nyamuk dewasa yang beterbangan atau yang hinggap di tempat
persembunyiannya di lingkungan rumah penderita akan mati. Dengan demikian,
penularan virus oleh nyamuk dapat dihentikan segera. Karena itu, pada waktu ada
laporan kasus DBD di satu rumah, seharusnya segera dilakukan fogging terhadap
rumah tinggal penderita dan area dengan radius 100 meter di sekitarnya. Tidak
usah menunggu terjadinya KLB atau wabah yang lebih luas. Selain itu, sebelum
seseorang menunjukkan gejala klinis DBD dalam darahnya sudah beredar virus
dengue yang dapat ditularkan kepada orang lain. Fogging tidak akan berefek lama
dan tidak boleh dilakukan terus-menerus karena nsektisida yang digunakan adalah
bahan beracun, baik untuk manusia maupun lingkungan hidup. Program
pemberantasan DBD yang kedua yaitu dengan menaburkan bubuk larvasida ke
TPA seperti bak mandi, tempayan, dan drum memang dapat mencegah timbulnya
jentik selama 2-3 bulan. Larvasida yang dipakai adalah abate 1 % dengan dosis 1
gr per 10 liter air. Namun ternyata cara ini tidak menjamin terbasminya tempat
perindukkan nyamuk secara permanen, karena masyarakat pada umumnya tidak
begitu senang dengan bau yang ditimbulkan larvasida selain itu, diperlukan juga
abate secara rutin untuk keperluan pelaksanaannya sehiingga sulit untuk
menjamin pemakaian abate rutin (Chahaya I, 2003).
Gerakan 3M sebenarnya sudah cukup baik untuk menekan pertumbuhan
nyamuk selain biaya yang lebih murah dibandingkan dengan upaya PSN yang
lain. Kelemahannya terletak pada kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan
gerakan 3M secara kontinyu. Menguras bak mandi yang dianjurkan yaitu
dilakukan sedikitnya seminggu sekali dengan pertimbangan perkembangan telur
menjadi nyamuk memerlukan waktu 7-10 hari. Namun dalam kenyataannya,
masyarakat lebih terbiasa menguras bak mandi hanya ketika bak mandinya sudah
kotor sekitar 10-15 hari bergantung pada keadaan air tanah di daerahnya.
Kemudian mengganti vas bunga atau tempat lain yang dapat menjadi tempat
7
TEMILNAS 2010

berkembangnya nyamukpun dianjurkan untuk dilakukan kurang dari seminggu


sekali. Lagi-lagi yang terjadi di masyarakat berkebalikan dengan anjurannya,
begitupun dengan kebiasaan menggantung baju dan membuang kaleng bekas
sembarangan yang tetap terjadi, padahal tindakan tersebut jelas-jelas mengundang
nyamuk untuk singgah. Hal ini tentu saja mengganggu gerakan 3M yang memang
menuntut perubahan perilaku dari masyarakat sendiri. Strategi yang telah
ditelurkan oleh pemerintah belum mampu mengubah perilaku hidup masyarakat
secara menyeluruh sehingga strategi-strategi tersebut terpaksa harus kandas di
tengah jalan.

Meskipun banyak kegagalan disana-sini bukan berarti penanggulangan DBD


tidak dapat dilakukan. Masih ada cara lain yang memiliki prospek lebih baik pada
waktu mendatang. Jalan keluar yang dapat diambil untuk mengatasi permasalahan
ini adalah pengangkatan Jumantik keluarga. Sebenarnya isu Jumantik ini telah
dicetuskan oleh pemerintah beberapa waktu lalu yaitu dengan mengangkat
beberapa orang menjadi juru pemantau jentik (Jumantik). Para Jumantik telah
mendapatkan pelatihan khusus dari pemerintah melalu puskesmas terdekat dan
bertugas untuk mentransformasi pengetahuannya itu kepada masyarakat sekitar di
daerah dimana ia bertugas. Jumlah Jumantik di daerah endemis minimal 5 orang,
sedangkan di daerah lain minimal 3 orang. Pada beberapa tempat, Jumantik cukup
memberi angin segar bagi masyarakat dengan mengurangi beban pengangguran,
karena salah satu syarat menjadi seorang Jumantik adalah belum memiliki
pendapatan tetap. Selain mentransformasikan pengetahuan tentang DBD dan
usaha penanggulangannya, seorang Jumantik juga bertugas untuk memeriksa
jentik di dalam maupun luar rumah di bawah pengawasan Kepala Desa. Hasilnya
memang cukup mengejutkan, angka DBD di daerah yang memiliki Jumantik
turun beberapa persen menurut uji Wilcoxon Sign Rank Test (Wongso A, et al,
2008). Namun, Jumantik dengan cara ini tetap memiliki kelemahan bila
diterapkan di daerah perkotaan. Mengingat mobilisasi masyarakat perkotaan lebih
tinggi dengan intensitas kegiatan kemasyarakatan yang lebih rendah. Jalan keluar
yang masih mungkin adalah mengangkat Jumantik di tiap rumah atau Jumantik
keluarga, sehingga gerakan penanggulangan dapat lebih intensif. Bedanya,
8
TEMILNAS 2010

jumantik keluarga hanya bertanggung jawab bagi rumah, anggota keluarga juga
lingkungan sekitarnya masing-masing, dengan tetap memperoleh pelatihan serta
pengetahuan yang cukup mengenai DBD. Pelatihan ini tentunya berbeda dengan
penyuluhan biasa yang hanya bersifat mengajak tanpa melibatkan masyarakat
untuk berkontribusi aktif didalamnya. Selain itu, pemerintah juga diuntungkan
dengan adanya Jumantik keluarga karena tidak perlu lagi memberi upah tiap
bulannya. Jumantik yang ada lebih bersifat sukarela bahkan secara hukum sosial
menjadi sebuah kewajiban karena mereka bertanggung jawab menjaga diri dan
keluarganya sendiri. Evaluasi tetap diperlukan untuk memantu jalannya Jumantik
keluarga, namun tidak perlu serumit dulu yang harus dilakukan setiap satu bulan
sekali. Pengevaluasian dapat disesuaikan dengan dinamika masyarakat di masing-
masing daerah serta dilakukan secara kontinyu mulai dari satu bulan sekali, lalu 3
bulan sekali kemudian 6 bulan sekali bila aplikasinya dinilai cukup. Dengan
pengangkatan Jumantik keluarga rasanya tidak perlu lagi dilakukan fogging yang
selain mahal juga ternyata tidak memberi pencerahan yang berarti, begitu juga
penggunaan larvasida. Adanya jumantik keluarga justru memaksimalkan strategi
3M dengan sedikit modifikasi, karena dalam aplikasinya seorang Jumantik
keluarga dituntut untuk memperhatikan dan menerapkan sikap pencegahan
terhadap pertumbuhan nyamuk.

Jalan keluar lain disamping pengangkatan Jumantik keluarga adalah


pemanfaatan vaksin Dengue berkaca pada beberapa Negara yang telah
menerapkannya seperti Thailand dan Perancis (Soegijanto, 2006). Awalnya,
Thailand tidak mendapatkan hasil yang maksimal karena reaksi ADE (Antibody
Dependent Enhacement) pasca imunisasai namun setelah dilakukan penemuan
vaksin-vaksin yang lain hasilnyapun berubah. Vaksin yang telah dicobakan pada
kera adalah vaksin Dengue rekombinan dengan hasil memuaskan karena tidak
menunjukkan gejala sakit. Oleh karena itu, vaksin Dengue rekombinan ini
diharapkan dapat terus dikembangkan dan diterapkan di masyarakat.
Permasalahan yang mungkin muncul adalah pemanfaatan vaksin dengue
rekombinan pada anak memperhatikan keberadaan antibodi maternal yang berada
di bayi sejak lahir sampai umur enam bulan berperan memberikan daya
9
TEMILNAS 2010

perlindungan pada bayi; sedangkan ketika bayi berumur 6-8 bulan yang terpapar
virus Dengue, maternal antibodinya tidak dapat berperan melindungi bayi tetpi
menimbulkan ADE yang berarti bayi berumur 6-8 bulan memiliki resiko tinggi
terhadap serangan DBD. Data penelitian terus diajukan untuk mendukung fakta
ini dan hasilnya bayi termuda yang terjangkit DBD adalah bayi berumur 3 bulan.
Maka upaya pelindungan bayi sebaiknya lebih muda dari umur tersebut yaitu
sekitar < 2 bulan. Berdasarkan temuan Klick melalui Soegijanto (2006), imunisasi
vaksin Dengue rekombinan aman bila dilaksanakan pada bayi berumur <6 bulan
atau setelah umur 8 bulan dan untuk mencapai kadara antibody yang dapat
melindungiu bayi dan anak perlu dipikirkan imunisasi ulang maksimal 4 kali dan
booster 1 kali. Dan untuk menjawab berbagai macam kemungkinan pasca
imunisasi perlu dibuat prospektif studi dengan mengikutsertakan berbagai instansi
terkait. Pemanfaatan vaksin Dengue rekombinan ini masih perlu dilakukan
peninjauan lebih jauh dari segi biaya dan teknis lainnya. Akan tetapi, jika saja
pemerintah mau mengeluarkan lebih untuk pemecahan masalah DBD tentu bukan
hal yang mustahil pemanfaatan vaksin Dengue rekombinan ini dapat terealisasi.

Usulan upaya penaggulangan DBD berupa penangkatan Jumantik keluarga


dan pemanfaatan vaksin Dengue rekombinan yang telah dijelaskan pada akhirnya
hanya menjadi pilihan dan pertimbangan baru bagi pemerintah, yang kemudian
dikembalikan lagi apakah akan benar-benar diaplikasikan atau tidak. Namun,
berangkat pada konsep negara bersama masalah bersama, penanggulangan DBD
bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, tetapi masyarakat umum
yang menjadi subyek sekaligus obyek dari upaya penanggulangan DBD.
Diperlukan peran aktif masyarakat dengan ikut serta menyukseskan program
pemerintah dan pemerintahpun diharapkan dapat menganalisis kembali strategi
yang lebih efektif yang dapat dijadikan strategi utama dalam penanggulangan
DBD ini. Adanya gerak sinergis antara pemerintah dan masyarakat didukung
dengan program yang efektif diharapkan DBD tidak lagi menajadi bayang-bayang
hitam dalam pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia. Akhir yang
diharapkan tentu saja terciptanya kesejahteraan masyarakat secara umum yang
10
TEMILNAS 2010

terbebas dari penyakit tropis dan turunnya angka KLB di Indonesia terutama
DBD.

SIMPULAN

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah salah satu penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue (Sinto et al., 2009). Penyakit DBD masih
merupakan masalah kesehatan serius di Indonesia karena masih banyak daerah-
daerah endemik yang menjadi sumber penyebaran penyakit ke wilayah lain.
Konsekuensi logis yang harus diterima oleh tenaga kesehatan adalah dapat
menganalisis, masalah apa yang sesungguhnya terjadi hingga prevalensi DBD
terus meningkat dari tahun ke tahun. Mengingat penatalaksanaan DBD yang telah
memiliki protokol maka hal yang perlu dikaji berikutnya adalah kemungkinan
penanggulangan DBD yang memang ternyata kurang efektif hingga tidak
memperlihatkan hasil yang maksimal. Pada awalnya strategi utama
pemberantasan DBD adalah memberantas nyamuk dewasa dengan fogging.
Kemudian strategi diperluas dengan penaburan larvasida ke tempat penampungan
air (TPA). Hingga akhirnya turun keputusan untuk memberantas DBD secara
terpadu, yaitu terdiri dari penanggulangan fokus, fogging massal sebelum musim
penularan dan abatisasi setiap tiga bulan di kelurahan-kelurahan endemis. Namun
demikian, hingga saat ini upaya pemberantasan DBD belum juga berhasil. Strategi
yang selama ini ditelurkan oleh pemerintah belum mampu mengubah perilaku
hidup masyarakat secara menyeluruh. Meskipun banyak kegagalan disana-sini
bukan berarti penanggulangan DBD tidak dapat dilakukan. Masih ada cara lain
yang memiliki prospek lebih baik pada waktu mendatang. Jalan keluar yang dapat
diambil untuk mengatasi permasalahan ini adalah pengangkatan Jumantik
keluarga dan pemanfaatan vaksin Dengue rekombinan. Usulan upaya
11
TEMILNAS 2010

penaggulangan DBD yang telah dijelaskan pada akhirnya hanya menjadi pilihan
dan pertimbangan baru bagi pemerintah. Namun, berangkat pada konsep negara
bersama masalah bersama, penanggulangan DBD bukan hanya menjadi tanggung
jawab pemerintah saja, tetapi masyarakat secara umum yang menjadi subyek
sekaligus obyek dari upaya penanggulangan DBD.

DAFTAR PUSTAKA

Chahaya I., 2003. Pemberantasan Vektor Demam Berdarah di Indonesia. Sumatra


Utara : USU Digital Library.

Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat. 2006. Laporan Kajian Kebijakan


Pennggulangan (Wabah) Penyakit Menular (Studi Kasus DBD). Jakarta : Deputi
Bidang SDM dan Kebudayaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Marini D., 2009. Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Mengenai DBD
pada Keluarga di Kelurahan Padang Bulan. Medan : Fakultas Kedokteran USU.

Soegijanto S., 2006. Demam Berdarah Dengue Edisi 2. Surabaya : Airlangga


University Press.

Sudoyo et al., 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV, Jilid III. Jakarta :
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Sutaryo. 2004. Dengue. Yogyakarta : Medika Fakultas Kedokteran Universitas


Gadjah Mada.
12
TEMILNAS 2010

Widoyono. 2008. Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &


Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga.

Wongso A. et al., 2008. Perbedaan Jumlah Penderita DBD Sebelum da Sesudah


Adanya Kader Jumantik di Kecamatan Krian. Surabaya : Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jendral Pemberantasan


Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2004. Tata Laksana Demam
Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jendral Pemberantasan


Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2004. Kebijaksanaan Program
P2-DBD dan Situasi Terkini DBD di Indonesia. Jakarta : Departemen Kesehatan
RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan. 2004. Kajian Masalah Kesehatan Demam Berdarah Dengue. Jakarta :
Departemen Kesehatan RI.

You might also like