You are on page 1of 40

Sari Pustaka

Stasi : Divisi rawat inap


Nama : dr. Fifa Argentina
Pembimbing : dr. M. Izazi Hari Purwoko, Sp.KK dan DR.dr.H.M. Athuf Thaha, Sp.KK(K)
Pemandu : dr. M. Izazi Hari Purwoko, Sp.KK
Tempat/waktu : Ruang Ilmiah Departemen IKKK
Jum’at, 18 Juni 2010 pukul 08.00 WIB

OBAT ANTIJAMUR
Fifa Argentina
Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK UNSRI/RSUP Dr.Moh. Hoesin Palembang

PENDAHULUAN

Infeksi jamur pada kulit, rambut dan kuku adalah masalah infeksi yang umum ditemui
sehari-hari. Infeksi jamur sering disebut mikosis, dapat dibagi menjadi mikosis superfisialis,
mikosis subkutan dan mikosis sistemik. Mikosis superfisialis biasanya menyerang kulit,
rambut, dan kuku. Mikosis subkutan menyerang otot dan jaringan ikat dibawah kulit,
sedangkan mikosis sistemik melibatkan organ tubuh baik secara primer maupun
oportunistik.1,2

Kondisi sosial ekonomi dan budaya lokal dapat mempengaruhi prevalensi infeksi.3
Data kunjungan pasien rawat jalan selama tiga tahun (Perioda 2006 - 2008) ke Divisi Infeksi
Tropik Poliklinik RSUPMH Palembang menunjukkan dermatomikosis merupakan penyebab
penyakit kulit terbanyak, dengan frekuensi dermatofitosis 3.134 orang (39%), non
dermatofitosis 1.815 orang (21,6%) dari 8.374 kunjungan pasien.

Penelitian mengenai obat antijamur saat ini telah mengalami perkembangan pesat.
Klasifikasi obat antijamur berdasarkan cara penggunaannya dibagi atas obat antijamur topikal
dan sistemik. 4,5 Penggunaan obat antijamur topikal diindikasikan pada infeksi jamur dengan
area yang terbatas dan pasien yang memiliki kontraindikasi penggunaan antijamur sistemik.
Antijamur sistemik diberikan pada mikosis superfisialis, mikosis subkutan dan sistemik.6,7

Sedangkan bila berdasarkan tempat kerja, obat antijamur saat ini dibagi menjadi
empat golongan utama yaitu polien, azol, alilamin dan ekinokandin. Terdapat juga obat
antijamur yang tidak termasuk kelompok di atas seperti flusitosin, griseofulvin dan sebagian
obat antijamur topikal lainnya. 8,9,10

Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam memberikan terapi infeksi jamur
adalah luas dan derajat keparahan infeksi, lokasi yang terserang jamur, kondisi komorbiditas,
potensi kemungkinan interaksi obat, biaya dan akses untuk mendapatkan obat antijamur serta
kemudahan pemakaian obat.4
Sari pustaka ini membahas tentang mekanisme kerja, aktifitas spektrum,
farmakokinetik, efek samping maupun interaksi obat antijamur. Diharapkan sari pustaka ini
dapat menjadi dasar dalam penatalaksanaan infeksi jamur.

MEKANISME KERJA OBAT ANTIJAMUR

Saat ini difahami bahwa obat antijamur memiliki 3 titik tangkap pada sel jamur
(Gambar 1 dan 2). Target pertama pada sterol membran plasma sel jamur, kedua
mempengaruhi sintesis asam nukleat jamur, ketiga bekerja pada unsur utama dinding sel
jamur yaitu kitin, β glukan, dan mannooprotein.
Kebanyakan obat antijamur sistemik bekerja secara langsung (seperti golongan
polien) pada sterol membran plasma, dan bekerja secara tidak langsung (seperti golongan
azol). Sedangkan golongan ekinokandin secara unik bekerja pada unsur utama dinding sel
β1,3 glukan.

1. Sterol membran plasma : ergosterol dan sintesis ergosterol


Ergosterol adalah komponen penting yang menjaga integritas membran sel jamur
dengan cara mengatur fluiditas dan keseimbangan dinding membran sel jamur. Kerja
obat antijamur secara langsung (golongan polien) adalah menghambat sintesis
ergosterol dimana obat ini mengikat secara langsung ergosterol dan channel ion di
membran sel jamur, hal ini menyebabkan gangguan permeabilitas berupa kebocoran
ion kalium dan menyebabkan kematian sel. Sedangkan kerja antijamur secara tidak
langsung (golongan azol) adalah mengganggu biosintesis ergosterol dengan cara
mengganggu demetilasi ergosterol pada jalur sitokrom P450 (demetilasi prekursor
ergosterol).(Gambar 3)9

2. Sintesis asam nukleat

2
Kerja obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat adalah dengan cara
menterminasi secara dini rantai RNA dan menginterupsi sintesis DNA. Sebagai contoh
obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat adalah 5 flusitosin (5 FC),
dimana 5 FC masuk ke dalam inti sel jamur melalui sitosin permease. Di dalam sel
jamur 5 FC diubah menjadi 5 fluoro uridin trifosfat yang menyebabkan terminasi dini
rantai RNA. Trifosfat ini juga akan berubah menjadi 5 fuoro deoksiuridin monofosfat
yang akan menghambat timidilat sintetase sehingga memutus sintesis DNA.9

3. Unsur utama dinding sel jamur : glukans

Dinding sel jamur memiliki keunikan karena tersusun atas mannoproteins, kitin,
dan α dan β glukan yang menyelenggarakan berbagai fungsi, diantaranya menjaga
rigiditas dan bentuk sel, metabolisme, pertukaran ion pada membran sel. Sebagai
unsur penyangga adalah β glukan. Obat antijamur seperti golongan ekinokandin
menghambat pembentukan β1,3 glukan tetapi tidak secara kompetitif. Sehingga
apabila β glukan tidak terbentuk, integritas struktural dan morfologi sel jamur akan
mengalami lisis.(Gambar 1)9

3
Gambar 1. Target kerja antijamur pada dinding sel jamur 7

Sintesis dinding sel * Ekinokandin, pneumokandin dan


papulokandins; menghambat
sintesis glukan.
*Polyxins dan nikkomycin;
menghambat sintesis kitin

Fungsi membran ‡ Polien ; mengikat ergosterol


Peptida antimikrobial : defensins,
protegrins, gallinacini, cecropins A,
thanatin dan dermaseptins
† Pradimicins dan benanomicins :
mengikat mannoproteins dan
menyebabkan gangguan calcium-
dependent pada permebilitas
membran

Sintesis ergosterol ‡ Azol; menghambat sitokrom P 450-


dependent 14-α-demethylase
‡ Allylamines (naftifin dan terbinafin)
dan thiocarbamate (tolnaftaf);
menghambat squalene epoxidase
†Morpholine (amorolfine);
menghambat ∆14-reductase, ∆7, ∆8-
isomerase, oxido-squalan cyclase,
dan ∆24 methyltransferase

Inti ‡ griseofulvin

Sintesis asam nukleat ‡5-fluorocytosine, Sordarins :


miscoding RNA dan menghambat
thymidylate synthesis
Cispentacin derivates

*Dalam penelitian
†Potensial target
‡ Obat yang tersedia

Gambar 2. Titik tangkap obat antijamur9

GOLONGAN OBAT ANTIJAMUR SISTEMIK

KELOMPOK ANTIJAMUR AZOL


Diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 1944, antijamur azol berperanan
penting dalam penatalaksanaan infeksi jamur. Kelompok azol dapat dibagi menjadi dua
kelompok berdasarkan jumlah nitrogen pada cincin azol. Kelompok imidazol (ketokonazol,

4
mikonazol, dan klotrimazol) terdiri dari dua nitrogen dan kelompok triazol (itrakonazol,
flukonazol, varikonazol, dan posakonazol) mengandung tiga nitrogen.11,12 Kedua kelompok
ini memiliki spektrum dan mekanisme aksi yang sama. Triazol dimetabolisme lebih lambat
dan efek samping yang sedikit dibandingkan imidazol, karena keuntungan itulah para peneliti
berusaha mengembangkan golongan triazol daripada imidazol. 8

Mekanisme kerja obat golongan azol

Gambar 3. Mekanisme biosintesis ergosterol dan mekanisme kerja berberapa obat antijamur
terhadap biosintesis ergosterol12

Pada umumnya golongan azol bekerja menghambat biosintesis ergosterol yang


merupakan sterol utama untuk mempertahankan integritas membran sel jamur. Bekerja
dengan cara menginhibisi enzim sitokrom P 450, C-14-α-demethylase yang bertanggung
jawab merubah lanosterol menjadi ergosterol, hal ini mengakibatkan dinding sel jamur
menjadi permeabel dan terjadi penghancuran jamur. 7,13

1. Ketokonazol

5
Ketokonazol diperkenalkan tahun 1970 merupakan antijamur golongan imidazol
pertama yang diberikan secara oral. Ketokonazol tidak lagi digunakan sebagai lini pertama
untuk pengobatan infeksi dermatofitosis atau kandidiasis.5

Gambar 4 . Struktur kimia ketokonazol5

Aktivitas spektrum

Ketokonazol mempunyai spektrum yang luas dan efektif terhadap Blastomyces


dermatitidis, Candida species, Coccidiodes immitis, Histoplasma capsulatum, Malasezzia
furfur, Paracoccidiodes brasiliensis. Ketokonazol juga efektif terhadap dermatofit tetapi tidak
efektif terhadap Aspergillus spesies dan Zygomycetes.10

Farmakokinetik

Absorpsi peroral tiap individu bervariasi.Setelah pemberian peroral dosis 200,400, dan
800 mg, konsentrasi puncak plasma sekitar 4, 8, 20 µg/ml. Waktu paruh tergantung dari
peningkatan dosis sekitar 7-8 jam pada dosis 800 mg. Konsentrasi zat aktif dalam urin
sangat rendah. Di dalam darah, 84% ketokonazol terikat dalam plasma protein; 15% terikat
pada eritrosit; dan 1% dalam bentuk bebas. Ketokonazol mencapai keratinosit secara efisien,
dan konsentrasi pada cairan di vagina sama dengan di plasma. Konsentrasi dalam cairan
serebrospinal (CSF) pada pasien meningitis jamur kurang dari 1% dari total konsentrasi obat
di plasma.10
Pemberian bersama dengan obat yang menginduksi enzim mikrosomal hepatik seperti
rifampisin, dan isoniazid, dapat menurunkan 50% absorpsi ketokonazol. Konsentrasi
ketokonazol dapat meningkat dalam plasma apabila diberikan bersama dengan siklosporin,
midazolam, triazolam, indinavir, dan fen itoin karena obat tersebut dimetabolisme oleh enzim
sitokrom p 450 CYP3A4.8 Makanan dapat menurunkan konsentrasi ketokonazol dalam serum,
maka preparat ini lebih baik diberikan dalam kondisi perut kosong.7

6
Dosis

Dosis ketokonazol yang diberikan pada dewasa 400 mg/hari sedangkan dosis untuk
anak-anak 3,3-6,6 mg/kgBB dosis tunggal. Lama pengobatan untuk tinea korporis dan tinea
kruris selama 2-4 minggu, 5 hari untuk kandida vulvovaginitis, 2 minggu untuk kandida
esofagitis, tinea versikolor selama 5-10 hari, 6-12 bulan untuk mikosis dalam.10

Efek samping

Anoreksia, mual dan muntah merupakan efek samping yang sering dijumpai terjadi
pada 20% pasien yang mendapat dosis 400 mg/hari. Pemberian pada saat menjelang tidur atau
dalam dosis terbagi dapat mengatasi keadaan ini. Alergi dapat terjadi pada 4% pasien, dan
gatal tanpa rash terjadi sekitar 2% pada pasien yang diterapi ketokonazol.10

Ketokonazol dapat menginhibisi biosintesis steroid, seperti halnya pada jamur.


Peninggian transaminase sementara dapat terjadi pada 5-10% pasien. Untuk pengobatan
jangka waktu yang lama, dianjurkan dilakukan pemeriksaan fungsi hati. Hepatitis drug
induced dapat terjadi pada beberapa hari pemberian terapi atau dapat terjadi berbulan-bulan
setelah pemberian terapi ketokonazol. Ketokonazol dosis tinggi (>800 mg/hari) dapat
menghambat human adrenal synthetase dan testicular steroid yang dapat menimbulkan
alopesia, ginekomastia dan impoten.10

Interaksi obat
Konsentrasi serum ketokonazol dapat menurun pada pasien yang mengkonsumsi obat
yang menurunkan sekresi asam lambung antasida, antikolinergik dan H2 antagonis sehingga
sebaiknya obat ini diberikan setelah 2 jam pemberian ketokonazol. Ketokonazol dapat
memperpanjang waktu paruh terfenadin, astemizol dan cisaprid sehingga tidak diberikan
bersamaan dan juga dapat menimbulkan efek samping kardiovaskuler seperti pemanjangan
Q-T interval dan torsade de pointes.10
Ketokonazol juga dapat memperpanjang waktu paruh dari midazolam dan triazolam
dan dapat meningkatkan kadar siklosporin dan konsentrasi serum dari warfarin. Pemberian
ketokonazol dan rifampisin secara bersamaaam dapat menurunkan efektifitas kedua obat.9,10

2. Itrakonazol

7
Itrakonazol diperkenalkan pada tahun 1992 merupakan sintesis derivat triazol.
Digunakan sebagai lini pertama untuk infeksi yang disebabkan Candida dan spesies
nondermatofita lainnya.5

Gambar 5 . Struktur Itrakonazol 5

Aktivitas spektrum

Itrakonazol mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap Aspergillosis sp.,


Blastomyces dermatidis, Candida sp., Cossidiodes immitis, Cryptococcus neoformans,
Histoplasma capsulatum, Malassezia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis, Scedosporium
apiospermum dan Sporothrix schenckii. Itrakonazol juga efektif terhadap dematiaceous
mould dan dermatofita tetapi tidak efektif terhadap Zygomycetes.10

Farmakokinetik

Konsentrasi itrakonazol di dalam serum dipengaruhi oleh makanan dan asam


lambung. Absorpsi itrakonazol tidak begitu sempurna pada saluran gastrointestinal (55%)
tetapi absorpsi tersebut dapat ditingkatkan jika itrakonazol dikonsumsi bersama makanan.
Pemberian oral dengan dosis tunggal 100 mg, konsentrasi puncak plasma akan mencapai 0,1-
0,2 mg/L dalam waktu 2-4 jam. 5,10
Itrakonazol didistribusikan ke kulit melalui difusi pasif dari plasma menuju keratinosit
dimana obat melekat di keratin. Itrakonazol dapat ditemukan dalam keringat sampai 24 jam
setelah pemberian dosis awal. Eksresi terbanyak itrakonazol melalui sebum. Sejumlah kecil
itrakonazol didistribusikan kembali dari kulit dan ke plasma, selanjutnya itrakonazol
dieliminasi melalui stratum korneum. Kurang dari 0,03% dari dosis itrakonazol akan dieksresi
di urin tanpa mengalami perubahan tetapi lebih dari 18% akan dibuang melalui feces tanpa
mengalami perubahan. Itrakonazol dimetabolisme di hati oleh sistem enzim hepatik sitokrom
P-450. Kebanyakan metabolit yang tidak aktif akan dieksresi oleh empedu dan urin.
Metabolit utamanya yaitu hidroksitrakonazol yang merupakan suatu bioaktif. Itrakonazol

8
masih ditemukan pada stratum korneum selama 3-4 minggu setelah penghentian terapi. Pada
model in vivo, efek terapi itrakonazol pada stratum korneum masih ada untuk 2-3 minggu
setelah terapi dihentikan.8

Dosis

Itrakonazol dosis kontinyu sama efektif dengan dosis pulse. Pada onikomikosis kuku
tangan, pulse terapi diberikan selama 2 bulan, sedangkan onikomikosis kuku kaki selama 3
bulan. Itrakonazol merupakan obat kategori C, sehingga tidak direkomendasikan untuk wanita
hamil dan menyusui, karena dieksresikan di air susu. Itrakonazol tersedia juga dalam bentuk
kapsul 100 mg. Bentuk kapsul diberikan dalam kondisi lambung penuh untuk absorpsi
maksimal, karena cyclodextrin yang terdapat dalam bentuk ini sering menimbulkan keluhan
gastrointestinal.5,8
Tabel 1. Rejimen dosis itrakonazol5
Dewasa Anak-anak
Onikomikosis Kuku tangan : 200 mg 2xsehari 1 Kuku tangan : 5 mg/kg/hari x 1
minggu/bulan , 2 dosis pulse minggu/bulan, 2 dosis pulsea
Kuku kaki : 200 mg/harix12 Kuku kaki : 5 mg/kg/hari x 1
minggu minggu/bulan, 3 dosis pulse
Atau
200 mg 2xsehari x 1minggu/bulan,
3 dosis pulse
Tinea kapitis 250 mg/hari x 2-8 minggu Infeksi Trichophyton : 5 mg/kg/hari
x 2-4 minggu
Infeksi Mikrosporum : 5
mg/kg/hari x 4-8 minggu
Tinea korporis, tinea kruris, tinea 200 mg 2xseharix1 minggu Dosis berdasarkan berat x 1-4
pedis minggu
Pitiriasis versikolor 200 mg/hari x 5-7 hari, untuk Tidak ada penelitian
pencegahan rekuren dengan 200
mg 2xsehari dosis tunggal/bulan
a
Dosis pediatrik berdasarkan berat badan : 100 mg/hari (15-30 mg), 100 mg/hari dapat diganti dengan 200
mg/hari (30-40 kg), 200mg/hari (> 50 kg)

Efek samping

Efek samping yang sering dijumpai adalah masalah gastrointestinal seperti mual, nyeri
abdomen dan konstipasi. Efek samping lain seperti sakit kepala, pruritus, dan ruam alergi.
Penelitian efek samping itrakonazol oleh Sharkey dkk., tahun 1991 terhadap 189
pasien yang mendapat dosis 50-400 mg per hari, melaporkan bahwa mual dan muntah
(10%), hipertrigliseridemia (9%) hipokalemia (6%), peningkatan serum aminotransferase
(5%), rash (2%) dan efek samping lain (39%). Ditemukannya hipokalemia pada pasien yang

9
menerima dosis itrakonazol 600 mg perhari yang dikombinasi dengan pemberian jangka
panjang Amfoterisin B. Efek samping lain meliputi insufisiensi adrenal, edema tungkai
bawah, hipertensi, dan pada satu pasien mengalami rhabdomyolisis. Dosis di atas 400 mg
perhari tidak direkomendasikan untuk pemberian jangka panjang.10

Interaksi obat
Absorpsi itrakonazol akan berkurang jika diberikan bersama dengan obat yang dapat
menurunkan sekresi asam lambung seperti antasida, H2 antagonis, omeprazol dan
lansoprazol.9
Itrakonazol merupakan suatu inhibitor dari sistem hepatik sitokrom P 450-3A4
sehingga pemberian bersama obat lain yang metabolismenya melalui sistem tersebut dapat
meningkatkan konsentrasi azol. Itrakonazol dapat memperpanjang dari waktu paruh paruh
obat terfenadin, astemizol, midazolam, triazolam, lovastatin, simvastatin, cisaprid, pimozid,
quinidin. Itrakonazol juga dapat meningkatkan konsentrasi serum digoksin, siklosporin
takrolimus, dan warfarin.9,10

3. Flukonazol
Flukonazol merupakan suatu hidrofilik dari sintetik triazol, terdapat dalam bentuk oral
dan parenteral. Ditemukan pada tahun 1982 dan diperkenalkan pertama kali di Eropa lalu di
Amerika Serikat. Bersifat fungistatik dan efektif melawan yeast (kecuali Candida krusei).5

Mekanisme kerja

Flukonazol mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan triazol lain yaitu
merupakan suatu inhibitor poten terhadap biosintesis ergosterol, bekerja dengan menghambat
sistem enzim sitokrom P-450 14-α-demethylase dan bersifat fungistatik.5

Gambar 6. Struktur Flukonazol5

10
Aktifitas spektrum

Menurut FDA flukonazol efektif untuk mengatasi kandidiasis oral atau esophageal,
criptococcal meningitis dan pada penelitian lain dinyatakan efektif pada sporotrikosis
(limfokutaneus dan visceral).8

Farnakokinetik

Absorpsi paling baik (>90%) setelah makan dan keadaan perut terisi dan tidak
tergantung dari keasaman lambung. Flukonazol memiliki waktu paruh 25-30 jam, dan
mencapai kadar tetap setelah pemberian sekali sehari selama 7 hari. Flukonazol berikatan
lemah pada protein plasma dan sekitar 90% obat bersirkulasi bebas di dalam plasma. Sekitar
80% obat dieksresikan melalui urin, 2 % feses, dan 11 % dalam bentuk metabolit di urin.5
Kadar flukonazol di dalam CSF, saliva, jaringan vagina, sputum, kulit dilaporkan
sebanding dengan konsentrasi dalam plasma. Gangguan farmakokinetik flukonazol berupa
penurunan plasma klirens ditemukan pada pasien dengan sirosis dan gagal ginjal. Pada bayi
di bawah 3 bulan , flukonazol klirens lebih cepat dibandingkan pada orang dewasa.5

Dosis

Flukonazol digunakan sebagai lini pertama terapi kandidiasis mukotan.5 Pada pediatrik
digunakan untuk terapi tinea kapitis yang disebabkan Tinea tonsurans dengan dosis 6
mg/kg/hr selama 20 hari, dan 5 mg/kg/hr selama 30 hari. Tetapi diberikan lebih lama pada
infeksi Mycoplasma canis.5
Flukonazol tersedia sediaan tablet 50 mg, 100 mg, 150 mg, dan 200mg; sediaan oral
solusio 10 mg/ml dan 40 mg/ml dan dalam bentuk sediaan intravena. Direkomendasikan pada
anak-anak <6 bulan.5
Penggunaan untuk orang dewasa dan kandidiasis vagina adalah 150 mg dosis tunggal.
Pada kandidiasis vulvovaginal rekuren 150 mg tiap minggu selama 6 bulan atau lebih. Tinea
pedis dengan 150 mg tiap minggu selama 3-4 minggu, dengan 75% perbaikan pada minggu
ke-4. Pada terapi onikomikosis, terbinafin 250 mg sehari selama 12 minggu lebih utama
dibandingkan flukonazol 150 mg tiap minggu selama 24 minggu. Pada pitiriasis versikolor

11
digunakan 400 mg dosis tunggal. Pada suatu penelitian open label randomized meneliti
pitiriasis versikolor yang diterapi dengan 400 mg flukonazol dosis tunggal dibandingkan
dengan 400 mg itrakonazol, ternyata flukonazol lebih efektif dibandingkan itrakonazol
dengan dosis sama.5
Flukonazol ditoleransi baik oleh geriatrik kecuali dengan gangguan ginjal. Obat ini
termasuk kategori C, sehingga tidak direkomendasikan untuk wanita hamil dan menyusui.5

Efek samping
Efek samping yang sering adalah masalah gastrointestinal seperti mual, muntah, diare,
nyeri abdomen dan juga sakit kepala. Selain itu hipersensitivitas, agranulositosis, sindroma
Stevens Johnsons, hepatotoksik, trombositopenia dan efek pada sistem saraf pusat.5

Interaksi obat
Flukonazol dapat meningkatkan efek atau kadar dari obat astemizol, amitriptilin,
kafein, siklosporin, fenitoin, sulfonylurea, terfenadin, teofilin, warfarin, simetidin,
hidroklortiazid dan zidofudin. Pemberian bersama flukonazol dengan cisapride ataupun
terfenadin merupakan kontraindikasi oleh karena dapat menimbulkan disritmia jantung yang
serius dan torsade de pointes. 9 Flukonazol juga dapat berinteraksi dengan tolbutamid, glipizid
yang menimbulkan efek hipoglikemia.
Kadar atau efek flukonazol dapat menurun jika diberikan bersama karbamazepin,
isoniazid, fenobarbital, rifabutin dan rifampisin.10

4. Varikonazol
Varikonazol merupakan triazol generasi kedua berupa turunan flukonazol dan tersedia
dalam bentuk oral maupun parenteral. Merupakan derivat flukonazol.14

Gambar 7. Struktur varikonazol14

12
Mekanisme kerja

Varikonazol merupakan inhibitor poten terhadap biosintesis ergosterol, bekerja pada


enzim sitokrom p-450, lanosterol 14-α- demethylase. Hal ini menyebabkan berkurangnya
ergosterol dan penumpukan methilat sterols yang mengakibatkan rusaknya struktur dan fungsi
membran jamur.14

Aktifitas spektrum

Varikonazol mempunyai spektrum yang luas terhadap Aspergillus sp., Blastomyces


dermatitidis, Candida sp, Candida spp flukonazol resistant., Cryptococcus neoforams,
Fusarium sp., Histoplasma capsulatum, dan Scedosporium apospermum. Tidak efektif
terhadap Zygomycetes.9

Farmakokinetik

Vorikonazol tersedia dalam bentuk tablet dan sediaan intravena (dalam bahan
pembawa sulfobutyl betadex sodium) dengan pemberian dua kali sehari. Bioavailabilabilitas
oral vorikonazol sebesar 96% dan 56% terikat dengan protein. Asam lambung dapat
menghambat absorpsi vorikonazol.15 Konsentrasi maksimal pada plasma terjadi dua jam
setelah pemberian oral.14 Vorikonazol dapat mencapai cairan serebrospinal dengan konsentrasi
1-3 μg/ml dengan waktu paruh enam jam dalam darah.10

Dosis

Pemberian pada kandidiasis esofageal dimulai dengan dosis oral 200 mg setiap 12 jam
untuk berat badan > 40 kg dan 100 mg setiap 12 jam untuk berat badan < 40 kg. Untuk
aspergilosis invasif dan penyakit jamur, lainnya yang disebabkan Scedosporium asiospermum
dan Fussarium spp, direkomendasikan loading dose 6 mg/kg IV setiap 12 jam untuk 24 jam
pertama, diikuti dengan dosis pemeliharaan 4 mg/kgBB setiap 12 jam dengan pemberian
intravena atau 200 mg setiap 12 jam per oral.15

Efek samping

13
Vorikonazol dapat ditoleransi baik oleh manusia. Efek toksik vorikonazol yang sering
ditemukan adalah gangguan penglihatan transien (30%). Meski dapat ditoleransi dengan baik,
pada 10-15% kasus ditemukan adanya abnormalitas fungsi hepar sehingga dalam pemberian
vorikonazol perlu dilakukan monitor fungsi hepar. Vorikonazol bersifat teratogenik pada
hewan dan kontraindikasi pada wanita hamil.10,14

Interaksi obat

Absorpsi varikonazol tidak mengalami penurunan jika diberikan bersama dengan obat
lain seperti simetidin, ranitidin yang berfungsi mengurangi sekresi asam lambung.
Varikonazol kurang poten sebagai inhibitor sistem enzim human hepatik sitokrom P
-450- 3A4 dibandingkan itrakonazol ataupun ketokonazol, namun varikonazol dapat
meningkatkan konsentrasi serum terfenadin, astemizol, cisaprid, pimozid, warfarin,
tolbutamid, glipizid dan quinidin. Varikonazol dapat menurunkan konsentrasi serum
siklosporin dan takrolimus.9,10

5.Posakonazol

Posakonazol merupakan kelompok triazol generasi dua, memiliki struktur kimia


serupa dengan itrakonazol namun mengganti cincin klorin dan cincin furan dengan cincin
dioksolan. Posakonazol menghambat jamur dengan inhibisi enzim lanosterol 14-demethylase.
Deplesi ergosterol menyebabkan akumulasi prekursor metilasi sterol menyebabkan inhibisi
pertumbuhan dinding sel jamur, kematian sel jamur..16,17

Gambar 8. Struktur kimia posakonazol.9

Aktivitas spektrum

Posakonazol memiliki kemampuan antijamur terluas saat ini. Tidak ditemukan


resistensi silang posakonazol dengan flukonazol. Posakonazol merupakan satu-satunya

14
golongan azol yang dapat menghambat jamur golongan Zygomycetes. Posakonazol juga dapat
digunakan dalam pengobatan aspergilosis dan fusariosis.16,17

Dosis

Posakonazol hanya tersedia dalam bentuk suspensi oral, dapat diberikan dengan
rentang dosis 50-800 mg. Pemberian awal posakonazol dibagi menjadi empat dosis guna
mencapai level plasma adekuat. Pemberian posakonazol dapat juga diberikan dua kali sehari
pada keadaan tidak membahayakan jiwa. Absorbsi posakonazol lebih baik bila diberikan
bersama dengan makanan atau suplemen nutrisi.16

KELOMPOK ANTIJAMUR ALILAMIN

TERBINAFIN

Terbinafin merupakan antijamur sintetik golongan alilamin yang dapat diberikan


secara oral. Obat ini terutama bersifat fungisidal dan sangat aktif melawan dermatofit, tetapi
kurang terhadap mold, dimorphic fungi dan yeast. Pertama kali ditemukan pada tahun 1983,
digunakan di Eropa sejak tahun 1991 dan di Amerika Serikat pada tahun 1996.5

Gambar 9. Struktur kimia terbinafin5

Mekanisme kerja
Terbinafin menghambat kerja enzim squalene epoxidase (enzim yang berfungsi
sebagai katalis untuk merubah squalene-2,3 epoxide) pada membran sel jamur sehingga
menghambat sintesis ergosterol (merupakan komponen sterol yang utama pada membran
plasma sel jamur). Terbinafin menyebabkan Hal ini mengakibatkan berkurangnya ergosterol
yang berfungsi untuk mempertahankan pertumbuhan membran sel jamur sehingga
pertumbuhan akan berhenti (efek fungistatik) dan dengan adanya penumpukan squalene yang

15
banyak di dalam sel jamur dalam bentuk endapan lemak sehingga menimbulkan kerusakan
pada membran sel jamur (efek fungisidal).5,10

Aktifitas spektrum
Terbinafin merupakan anti jamur yang berspektrum luas. Efektif terhadap dermatofit
yang bersifat fungisidal dan fungistatik untuk Candida albican, s tetapi bersifat fungisidal
terhadap Candida parapsilosis. Terbinafin juga efektif terhadap Aspergillosis sp.,
Blastomyces dermatitidis, Histoplasma capsulatum, Sporothrix schenxkii dan beberapa
dermatiaceous moulds.5

Farmakokinetik
Terbinafin diabsorpsi di traktus gastrointestinal, mencapai konsentrasi puncak di
serum berkisar 0,8-1,5 mg/L setelah pemberian 2 jam dengan 250 mg dosis tunggal.
Pemberian bersama makanan tidak mempengaruhi absorpsi obat.5
Terbinafin bersifat lipofilik dan keratofilik, terdistribusi secara luas pada dermis,
epidermis, jaringan lemak dan kuku. Konsentrasi plasma terbinafin terbagi dalam tiga fase
dimana waktu paruh terbinafin yang terdistribusi di dalam plasma yaitu 1,1 jam; eliminasi
waktu paruh 16 sampai 100 jam setelah pemberian 250 mg dosis tunggal; setelah 4 minggu
pengobatan dengan dosis 250 mg/hari waktu paruh rata-rata 22 hari. Di dalam dermis-
epidermis, rambut, dan kuku eliminasi waktu paruh rata-rata 24-28 hari.5,8,10
Terbinafin dapat mencapai stratum korneum, pertama kali melalui sebum kemudian
bergabung dengan basal keratinosit dan selanjutnya berdifusi ke dermis-epidermis, tetapi
terbinafin tidak terdeteksi di dalam kelenjar keringat ekrin. Terbinafin yang diberikan secara
oral akan menetap di dalam kulit dengam konsentrasi di atas MIC untuk dermatofit selama 2-
3 minggu setelah pengobatan dihentikan. Terbinafin dapat terdeteksi pada bagian distal nail
plate dalam waktu 1 minggu setelah pengobatan dan kadar obat yang efektif dicapai setelah 4
minggu pengobatan. Terbinafin tetap akan dijumpai di dalam kuku untuk jangka waktu yang
lama setelah pengobatan dihentikan. Terbinafin dimetabolisme di hepar dan metabolit tidak
aktif akan dieksresi melalui urin sebanyak 70% dan melalui feces sebanyak 20%.10

Dosis

16
Pada onikomikosis kuku tangan dan kaki dewasa yang disebabkan dermatofita,
pemberian terbinafin kontinyu lebih efektif daripada itrakonazol dosis pulse. 5,8,10
Oral terbinafin efektif untuk pengobatan dermatofitosis pada kulit dan kuku. Dosis
terbinafin oral untuk dewasa yaitu 250 mg/hari, tetapi pada pasien dengan gangguan hepar
atau fungsi ginjal (kreatinin klirens < 50 ml/menit atau konsentrasi serum kreatinin > 300
µmol/ml) dosis harus diberikan setengah dari dosis tersebut. Pengobatan tinea pedis selama 2
minggu, tinea korporis dan kruris selama 1-2 minggu, sedangkan infeksi pada kuku tangan
selama 3 bulan dan kuku kaki selama 6 bulan atau lebih.5,10

Tabel 2. Terbinafin dosis rejimen5


Dewasa Anak-anak
Onikomikosis Kuku tangan : 250 mg/hr x 6 3-6 mg/khg/hr x 6-12 minggua
minggu
Kuku kaki : 250 mg/hr x 12
minggu
Tinea kapitis 250 mg/hr x 2-8 minggu Infeksi Trichophyton : 3-6
mg/kg/hr x 2-4 minggua
Infeksi Microsporum : 3-6
mg/kg/hr x 6-8 minggua
Tinea korporis, tinea kruris 250 mg/hr x 1-2 minggu 3-6 mg/kg/hr x 1-2 minggu
b
Tinea pedis (mokasin) 250 mg/hr x 2 minggu
b
Dermatitis seboroik 250 mg/hr x 4-6 minggu
a
Dosis anak berdasarkan berat badan : 62,5 mg/hr (10-20 kg), 125 mg/hr (20-40 kg), 250 mg/hr (>40 kg).
Catatan : tingkat kesembuhan tinggi dicapai dengan dosis 4,5 mg/hr atau lebih.
b
Tidak ada penelitian.

Efek samping
Efek samping pada gastrointestinal seperti diare, dispepsia, dan nyeri abdomen.
Terbinafin tidak direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit hepar kronik atau aktif.10

Interaksi obat

Konsentrasi terbinafin akan menurun jika diberikan bersama rifampisin. Namun kadar
dalam darah dapat meningkat apabila diberikan bersama simetidin yang merupakan suatu
inhibitor sitokrim P-450.10

KELOMPOK ANTIJAMUR POLIEN


1. Amfoterisin B

17
Amfoterisin B merupakan antibiotik polien yang berasal dari Streptomyces nodosus,
diperkenalkan pada tahun 1956 dan disetujui digunakan sebagai anti jamur pada manusia di
tahun 1960.10
Amfoterisin B deoksikolat (formula konvensional) digunakan untuk pengobatan
infeksi deep mycoses, pemberian secara parenteral sering menimbukkan efek toksik terutama
pada ginjal (nefrotoksik) sehingga kemudian dikembangkan 3 jenis formula yang kurang
toksik terhadap ginjal dengan dasar lipid (lipid-based formations) yaitu (1) Amfoterisin B
liposomal (AmBisome), obat ini diselubungi dengan fosfolipid yang mengandung liposom.
(2) Amfoterisin B lipid kompleks (Abelcet, ABLC), merupakan suatu kompleks dengan
fosfolipid yang membentuk struktur seperti pita. (3) Amfoterisin B dispersi koloid (Amphocil,
Amphotec, ABCD), merupakan suatu kompleks dengan kolesterol sulfat yang membentuk
potongan lemak kecil.10,18

Gambar 10. Struktur Amfoterisin B8

Tabel 3.Formula lipid Amfoterisin B18

Mekanisme kerja

18
Amfoterisin B (AMB) berikatan dengan ergosterol sehingga mengakibatkan fungsi
barier membran menjadi rusak, hilangnya unsur sel penting, mengganggu metabolisme
jamur, serta menimbulkan kerusakan oksidatif terhadap sel jamur.10

Aktifitas spektrum
Amfoterisin B mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap Aspergillus sp.,
Mucorales sp., Blastomyces dermatitidid, candida sp., Coccidiodiodes immitis, Cryptococcus
neoformans, Histoplasma capsulatum, paracoccidioides brasiliensis, Penicillium marneffei.
Sedangkan untuk Aspergillus tereus, Fussarium sp., Malassezia furfur, Scedosporium
sp., dan Trichosporon asahii biasanya resisten.10

Farmakokinetik
Amfoterisin B sangat sedikit diserap dengan cara pemberian oral (bioavailibilitasnya <
5%) sehingga untuk tetap mempertahankan konsentrasi serum yang adekuat diberikan secara
intravena.10
Pemberian parenteral formula konvensional dengan dosis 1 mg/kbBB akan
menghasilkan konsentrasi serum yang maksimum sebanyak 1,0-2,0 mg/l. Kurang dari 10%
dari dosis tersebut akan menetap di dalam darah setelah 12 jam pemberian dan > 90% akan
berikatan dengan protein. Sebagian besar ditemukan di hepar (40% dari dosis), paru-paru (6%
dari dosis), ginjal (2% dari dosis), sedangkan di cairan serebrospinal (CSF) < 5 %
konsentrasi darah. Formula konvensional mempunyai waktu paruh fase kedua 24-48 jam dan
waktu paruh fase ketiga 2 minggu.8,18
Sebagian besar struktur formula dengan dasar lemak seperti Amfoterisin B lipid
kompleks (ABLC) akan menghilang dengan cepat dari dalam darah tetapi sebagian kecil
liposom akan menetap di sirkulasi untuk jangka waktu yang lama.
Konsentrasi serum maksimum dari liposomal amfoterisin B (AmBisome) yaitu 10-35
mg/L dengan dosis 3 mg/kbBB dan 25-60 mg/L dengan dosis 5 mg/kgBB. Kadar 5-10 mg/L
dapat dideteksi setelah pemberian 24 jam dengan dosis 5 mg/kgBB. Pemberian liposomal
amfoterisin B menghasilkan konsentrasi obat yang lebih tinggi di dalam hepar dan limpa
dibandingkan dengan formula konvensional sedangkan konsentrasi obat pada ginjal lebih

19
rendah dibandingkan dengan formula konvensional. Waktu paruh liposomal amfoterisin B
± 100-200 jam.8,18
Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B lipid kompleks (Abelcet) setelah
pemberian perenteral lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional sehingga
distribusi obat pada jaringan lebih cepat, konsentrasi maksimum dicapai 1-2 mg/L setelah
pemberian dosis 5 mg/kgBB selama 1 minggu. Pemberian amfoterisin B lipid kompleks
menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi pada hepar, limpa dan paru-paru dibandingkan
dengan formula konvensional, sedangkan konsentrasi pada ginjal lebih rendah dibandingkan
dengan formula konvensional. Waktu paruh amfoterisin B lipid kompleks ± 170 jam.
Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B dispersi koloid (ABCD) sekitar 2 mg/L
dengan dosis 1 mg/kbBB, tetapi kadar obat di dalam darah akan segera menurun setelah
pemberian berakhir dan dijumpai distribusi obat yang cepat ke jaringan. Pemberian
amfoterisin B dispersi koloid akan menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi pada hepar
dan limpa dibandingkan dengan formula konvensional, sedangkan konsentrasi pada ginjal
lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional.8,18

Dosis
Kebanyakan pasien dengan infeksi mikosis dalam diberikan dosis 1-2 gr amfoterisin B
deoksikolat selama 6-10 minggu. Orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal diberikan
dosis 0,6-1,0 mg/kg BB. Sebelum pemberian obat, terlebih dahulu dites dengan dosis 1 mg
amfoterisin B di dalam 50 ml cairan dextrose dan diberikan selama 1-2 jam (anak-anak
dengan berat badan kurang dari 30 kg diberikan dosis 0,5 mg) kemudian diobservasi dan
dimonitor suhu, denyut jantung dan tekanan darah setiap 30 menit oleh karena pada beberapa
pasien dapat timbul reaksi hipotensi berat atau reaksi anafilaksis. Dosis obat dapat
ditingkatkan > 1mg/kgBB, tetapi tidak melebihi 50 mg. Setelah 2 minggu pengobatan,
konsentrasi di dalam darah akan stabil dan kadar obat di jaringan makin bertambah dan
memungkinkan obat diberikan pada interval 48 atau 72 jam.8
Pemberian liposomal amfoterisin B biasanya dimulai dengan dosis 1,0 mg/kg BB
dapat ditingkatkan menjadi 3,0-5,0 mg.kgBB atau lebih. Formula ini harus diberikan
intravena dalam waktu 2 jam, jika ditoleransi baik maka waktu pemberian dapat dipersingkat
menjadi 1 jam. Obat ini berikan pada individu selama 3 bulan dengan dosis kumulatif 15 g
tanpa efek samping toksik yang signifikan. Dosis yang dianjurkan adalah 3 mg/kbBB/hari.18

20
Dosis yang direkomendasikan untuk pemberian amfoterisin B lipid kompleks yaitu 5
mg/kgBB dan diberikan intravena dengan rata-rata 2,5 mg/kbBB/jam. Obat ini pernah
diberikan pada individu selama 11 bulan dengan dosis kumulatif 50 g tanpa efek samping
toksik yang signifikan.18
Dosis awal amfoterisin B dispersi koloid yaitu 1,0 mg/kgBB diberikan intravena
dengan rata-rata 1 mg/kgBB/jam dan jika dibutuhkan dosis dapat ditingkatkan menjadi 3,0-
4,0 mg/kgBB. Obat ini pernah diberikan pada individu dengan dosis kumulatif 3 g tanpa efek
samping toksik yang signifikan.8,18

Efek samping
Pemberian formula konvensional dengan cara intravena dapat segera menimbulkan
efek samping seperti demam, menggigil dan badan menjadi kaku. Biasanya timbul setelah 1-3
jam pemberian obat. Mual dan muntah dapat juga dijumpai tetapi jarang, sedangkan efek
lokal flebitis sering juga dijumpai. Efek samping toksik yang paling serius adalah kerusakan
tubulus ginjal. Kebanyakan pasien yang mendapat formula konvensional sering menderita
kerusakan fungsi ginjal terutama pada pasien yang mendapat dosis lebih dari 0,5/kgBb/hari.
Formula konvensional dapat juga menyebabkan hilangnya potasium dan magnesium. Pasien
yang mendapat pengobatan lebih dari 2 minggu, dapat timbul anemia normokromik dan
normositik sedang.10,18
Prevalensi timbulnya efek samping yang cepat setelah pemberian amfoterisin B lipid
kompleks dan amfoterisin B dispersi koloid lebih sedikit dibandingkan dengan formula
konvensional. Efek samping yang dapat dijumpai yaitu demam, menggigil dan hipoksia yang
dilaporkan sekitar 25% penderita yang menggunakan obat tersebut tetapi biasanya tidak
menetap. Formula dengan dasar lemak kurang menimbulkan efek samping dibandingkan
formula konvensional dan dari hasil penelitian (konsentrasi serum kreatinin) menunjukkan
kerusakan ginjal akibat amfoterisin B lipid kompleks sebanyak 25%, amfoterisin B dispersi
koloid sebanyak 15%, amfoterisin B liposomal sebanyak 20% sedangkan formula
konvensional sebanyak 30-50%.8
Efek samping yang lain dari formula dengan dasar lemak yaitu peningkatan kadar
transaminase, alkalin fosfatase dan konsentrasi serum bilirubin. Pasien yang mendapat
pengobatan liposomal amfoterisin B dijumpai tes fungsi hati yang tidak normal sekitar 25-
50%, tetapi biasanya tidak menetap.8,10,18

21
Interaksi obat
Amfoterisin B dapat menambah efek nefrotoksik obat lain seperti antibiotik
aminoglikosida, siklosporin, antineoplastik tertentu sehingga kombinasi obat tersebut harus
hati-hati. Kombinasi obat amfoterisin B dengan kortikosteroid dan digitalis glikosid dapat
menimbulkan hipokalemi.10

2.Nistatin
Nistatin merupakan antibotik yang digunakan sebagai antijamur, diisolasi dari
Streptomyces nourse pada tahun 1951. Untuk pengobatan kandidiasis oral, nistatin diberikan
tablet nistatin 500.000 unit setiap 6 jam. Suspensi nistatin oral terdiri dari 100.000 unit/ml
yang diberikan 4 kali sehari dengan dosis pada bayi baru lahir 1 ml, infant 2 ml dan dewasa 5
ml.10

KELOMPOK ANTIJAMUR EKINOKANDIN

1. Kaspofungin

Kaspofungin merupakan derivat semi sintetik dari pneumo-candin B0 yang merupakan


fermentasi lipopeptida jamur Glarea lozoyensis. Kaspofungin efektif melawan jamur yang
resisten terhadap flukonazol. Memiliki efektifitas sangat baik dan lebih aman diberikan pada
infeksi Candida.10
Pada awal 2001, kaspofungin mendapat persetujuan FDA untuk terapi esofagitis dan
orofaringeal kandida.3 Penelitian Mora-Duarte et al. menunjukkan bahwa kaspofungin
memiliki efektifitas serupa dengan AMB konvensional untuk penatalaksanaan kandidiasis
mukosa dan sistemik namun kaspofungin dapat ditoleransi dengan lebih baik oleh tubuh. 3,6,10,15
kaspofungin juga telah disetujui penggunaannya dalam aspergilosis invasif yang gagal
diterapi dengan terapi AMB atau vorikonazol. Monitoring ketat penggunaan caspofungin
diperlukan dalam terapi fungemia akibat C. parapsilosis untuk menghindari terjadi fungemia
resisten.15

Mekanisme kerja
Kaspofungin menghambat sintesis β-(1,3)-D-glukan yang merupakan komponen
dinding sel jamur.10

22
Gambar 11. Struktur Kaspofungin8

Aktifitas spektrum

Kaspofungin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas. Kaspofungin efektif


terhadap Aspergillus fumigates, Aspergillus flavus dan Aspergillus terreus. Kaspofungin
mempunyai aktifitas yang berubah-ubah terhadap Coccidioides immitis, Histoplasma
capsulatum dan dermatiaceous molds. Kaspofungin juga efektif terhadap sebagian besar
Candida sp., dengan efek fungisidal yang tinggi, tetapi dengan Candida parpsilosis dan
Candida krusei kurang efektif, dan resisten terhadap Cryptococcus neoformans.15

Farmakokinetik

Pemberian kaspofungin secara parenteral setelah 1 jam dengan dosis 70 mg akan


dicapai konsentrasi serum sebanyak 20 mg/L. Kurang dari 10% dosis obat akan menetap di
dalam darah setelah pemberian 36-48 jam dan lebih dari 96% akan berikatan dengan protein.
Sebagian besar obat akan didistribusikan ke dalam jaringan (± 92% dari dosis) dengan
konsentrasi yang tertinggi dijumpai pada hepar. Sekitar 1% dari dosis akan dieksresi tanpa
ada perubahan melalui urin. Kaspofungin dimetabolisme di hepar dan metabolit yang tidak
aktif akan dibuang melalui empedu (35%) dan urin (40%).9,10,15

Dosis
Pada pasien aspergilosis, dosis yang dianjurkan 70 mg pada hari pertama dan 50
mg/hari untuk hari selanjutnya. Setiap dosis harus diberikan intravena melalui infus dalam
periode 1 jam. Pasien dengan kerusakan hepar sedang, direkomendasikan dosis kaspofungin
diturunkan menjadi 35 mg.8

Efek samping

23
Efek samping yang sering dijumpai yaitu demam, adanya ruam kulit, mual, muntah.7,18

Interaksi obat
Pemberian kaspofungin bersama siklosporin dapat meningkatkan transaminase 2-3
kali lipat dari batas normal.18

2. Mikafungin

Pada tahun 2005, mikafungin disetujui FDA untuk terapi esofagitis kandida pada
pasien HIV.12

Dosis

Pettengell et al. melaporkan pemberian mikafungin 50-100 mg/hari menyebabkan


respon total atau parsial pada 35 dari 36 pasien kandidiasis esophagus (97,2%) dan insiden
efek simpang hanya 2,8% (1 dari 36 pasien). Mikafungin juga bermanfaat untuk terapi
aspergilosis invasif.14
Penelitian juga telah dilakukan untuk membandingkan efektifitas mikafungin dengan
flukonazol sebagai antijamur profilaksis pada 882 pasien yang menjalani transplantasi stem
sel hemopoietik. Mikafungin diberikan 50 mg/hari atau flukonazol 400 mg/hari secara acak
selama enam minggu. Hasil penelitian menunjukkan respon mikafungin sebagai antijamur
profilaksis lebih baik dibanding flukonazol (80% dibanding 73.5%; p = 0.025). Hasil ini
konsisten terhadap semua subgroup termasuk anak dan orang tua, pasien dengan netropenia
persisten dan resipien transplantasi alogenik dan autolog. 8

3. Anindulafungin

Anindulafungin merupakan kelompok ekinokandin yang telah disetujui FDA tahun


2006 untuk penatalaksanaan kandidiasis esophagus, peritonitis dan abses intraabdomen
disebabkan kandida.12

Dosis

Suatu penelitian terhadap 123 pasien kandidiasis invasif diacak untuk menerima
sediaan 50, 75, atau 100 mg anindulafungin sekali sehari. Kriteria efikasi primer yang dinilai
adalah tingkat respon klinis dan mikrobiologik pada populasi saat pengamatan lanjut dan dua
minggu setelah selesai terapi. Saat pengamatan lanjut, nilai keberhasilan terapi adalah 72%,

24
85%, dan 83% pada kelompok 50, 75, dan 100 mg. Pada saat akhir terapi, nilai keberhasilan
adalah 84%, 90%, dan 89%.14

Anindulafungin juga memiliki kemampuan menghambat aspergilus dan kandida yang


resisten terhadap kelompok azol dan AMB. Anindulafungin tidak dimetabolisme di hati dan
tidak dieliminasi melalui urin. Obat ini tidak memiliki interaksi dengan enzim sitokrom P450.
Karena itu, penggunaan anindulafungin tidak memerlukan penyesuaian dosis pada pasien
insufisien renal atau hepar, juga pada pasien yang menggunakan obat lain.14

KELOMPOK ANTIJAMUR LAIN

1.Flusitosin

Flusitosin (5-fluorositosin) merupakan sintesis dari fluorinated pirimidin yang dapat


diberikan secara oral maupun parenteral.10

Gambar 12. Struktur Flusitosin8

Mekanisme kerja
Flusitosin masuk ke dalam sel jamur disebabkan kerja sitosin permease, kemudian
diubah oleh sitosin deaminase menjadi 5-flourourasil yang bergabung ke dalam RNA jamur
sehingga mengakibatkan sintesis protein terganggu. Flusitosin dapat juga menghambat
thymidylate sinthetase yang menyebabkan inhibisi sintesis DNA.10

Aktifitas spektrumD

Flusitosin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas, efektif terhadap Candida sp.,
Cryptococcus neoformans, Cladophialophora carrionii, Fonsecaea sp., Phialophora
verrucosa.10

Farmakokinetik

25
Pemberian flusitosin secara oral absorpsinya cepat dan hampir sempurna. Konsentrasi
plasma puncak pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal sekitar 70-80 µg/ml, tercapai
dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian dosis 37,5 mg/kg. Sekitar 80% pemberian dosis
dieksresikan di urin tanpa mengalami perubahan; konsentrasi di urin 200-500 µg/ml. Waktu
paruh 3-6 jam pada orang normal. Pada pasien gagal ginjal, waktu paruh lebih lama selama
200 jam. Konsentrasi flusitosin di CSF sekitar 65%-90% secara simultan sama dengan di
dalam plasma. Flusitosin juga ditemukan dalam humour aqueus.10

Dosis
Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal, pemberian flusitosin diawali
dengan dosis 100 mg/kg BB perhari, dibagi dalam 4 dosis dengan interval 6 jam namun jika
terdapat gangguan ginjal pemberian flusitosin diawali dengan dosis 25 mg/kgBB.10

Efek samping
Efek samping yang sering dijumpai yaitu mual,muntah dan diare. Trombositopenia
dan leukopenia dapat terjadi jika konsentrasi obat di dalam darah meninggi, menetap (>100
mg/L) dan dapat juga dijumpai jika obat dihentikan. Peninggian kadar transaminase dapat
juga dijumpai pada beberapa pasien tetapi dapat kembali normal setelah obat dihentikan.10

Interaksi obat
Kerja flusitosin dapat dihambat secara kompetitif oleh sitarabin (sitosin arabinosid)
sehingga pemberian flusitosin bersama sitarabin merupakan kontraindikasi, karena efek
myelosupresif dan hepatotoksik flusitosin dapat bertambah jika diberikan bersama dengan
imunosupresif atau sitotoksik. Pemberian zidofudin bersama flusitosin harus hati-hati oleh
karena dapat menimbulkan efek myelosupresif. Kombinasi amfoterisin B dan flusitosin
mempunyai efek sinergis terhadap Candida sp dan Cryptococcus neoformans namun efek
nefrotoksik Amfoterisin B dapat berkurang ketika flusitosin dieksresi.10

2.Griseofulvin
Griseofulvin merupakan antibiotik antijamur yang berasal dari spesies Penicillium
mold. Pertama kali diteliti digunakan sebagai antijamur pada tumbuhan dan kemudian
diperkenalkan untuk pengobatan infeksi dermatofita pada hewan. Griseofulvin digunakan
sejak tahun 1958 untuk pengobatan infeksi dermatofita pada manusia. Griseofulvin

26
merupakan obat anti jamur yang pertama diberikan secara oral untuk pengobatan
dermatofitosis.5,8,9,10

Gambar 13. Struktur griseofulvin8

Mekanisme kerja
Griseofulvin merupakan obat antijamur yang bersifat fungistatik, berikatan dengan
protein mikrotubular dan menghambat mitosis sel jamur sehingga tetap dalam fase metafase. 5

Aktifitas spektrum
Griseofulvin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas hanya untuk spesies
Epidermophyton flocossum, Microsporum sp., dan Trichophyton sp., yang merupakan
penyebab infeksi jamur pada kulit, rambut kuku. Griseofulvin tidak efektif terhadap
kandidiasis kutaneus dan pitiriasis versikolor.10

Farmakokinetik
Pemberian griseofulvin secara oral dengan dosis 0,5-1 gr akan menghasilkan
konsentrasi puncak di plasma sebanyak 1 mikrogram/ml dalam waktu 4 jam. Griseofulvin
mempunyai waktu paruh di dalam plasma lebih kurang 1 hari dan sekitar 50% dari dosis oral
dapat dideteksi di dalam urin dalam waktu 5 hari dan kebanyakan dalam bentuk metabolit.10
Griseofulvin sangat sedikit diabsorpsi dalam keadaan perut kosong. Mengkonsumsi
griseofulvin bersama dengan makanan berkadar lemak tinggi dapat meningkatkan absorpsi
mengakibatkan kadar griseofulvin dalam serum akan lebih tinggi. Ketika diabsorpsi,
griseofulvin pertama kali akan berikatan dengan serum albumin dan distribusi di jaringan
ditentukan dengan konsentrasi bebas. Selanjutnya menyebar melalui cairan transepidermal
dan keringat serta akan dideposit di sel prekursor keratin kulit (stratum korneum), selanjutnya
terjadi ikatan yang kuat dan menetap. Lapisan keratin yang terinfeksi akan digantikan dengan
lapisan keratin baru yang lebih resisten terhadap serangan jamur. Pemberian griseofulvin
secara oral akan mencapai stratum korneum setelah 4-8 jam.5,10

27
Griseofulvin dimetabolisme di hepar menjadi 6-dismethil griseofulvin dan akan
dieksresikan melalui urin. Eliminasi waktu paruh 9-21 jam dan kurang dari 1% dari dosis
akan dijumpai pada urin tanpa perubahan bentuk.10

Dosis
Griseofulvin terdiri atas 2 bentuk yaitu microsize (mikrochryristallin) dan
ultramicrosize (ultramicrochrystallin). Bentuk ultramicrosize penyerapannya pada saluran
pencernaan 1,5 kali dibandingkan dengan bentuk microsize.5
Pada saat ini, griseofulvin lebih sering digunakan untuk pengobatan tinea kapitis.
Tinea kapitis lebih sering dijumpai pada anak-anak disebabkan oleh Trychopyton tonsurans.
Dosis pada anak-anak 20-25 mg/kg/hari (mikrosize), atau 15-20 mg/kg/hari (ultrasize) selama
6-8 minggu.5
Dosis griseofulvin (pemberian secara oral) yaitu dewasa 500-1000 mg/ hari
(microsize) dosis tunggal atau terbagi dan 330-375 mg/hari (ultramicrosize) dosis tunggal
10
atau terbagi. Lama pengobatan untuk tinea korporis dan kruris selama 2-4 minggu, untuk
tinea kapitis paling sedikit selama 4-6 minggu, untuk tinea pedis selama 4-8 minggu dan
untuk tinea unguium selama 3-6 bulan.5,10

Efek samping
Efek samping griseofulvin biasanya ringan berupa sakit kepala, mual, muntah, dan
nyeri abdomen. Timbulnya reaksi urtikaria dan erupsi kulit dapat terjadi pada sebagian
pasien.5

Interaksi obat
Absorpsi griseofulvin menurun jika diberikan bersama dengan fenobarbital, namun
efek ini dapat diatasi dengan cara mengkonsumsi griseofilvin bersama makanan. Griseofulvin
juga dapat menurunkan efektifitas warfarin. Kegagalan kontrasepsi juga ditemukan pada
pasien yang mengkonsumsi griseofulvin bersasma dengan penggunaan kontrasepsi oral.10

GOLONGAN ANTI JAMUR TOPIKAL

Obat anti jamur topikal digunakan untuk pengobatan infeksi lokal pada kulit tubuh
yang tidak berambut (glabrous skin), namun kurang efektif untuk pengobatan infeksi pada

28
kulit kepala dan kuku, infeksi pada tubuh yang kronik dan luas, serta infeksi pada stratum
korneum yang tebal seperti telapak tangan dan kaki.
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat antijamur topikal lebih sedikit
dibandingkan obat anti jamur sistemik. Pengobatan topikal memiliki beberapa keuntungan
yaitu sedikit efek samping dan interaksi dengan obat lain, pengobatan terlokalisir pada
tempat yang sakit, dan biaya yang murah. 4
Jenis obat topikal yang sering digunakan yaitu :
(1) azol-imidazol : ketokonazol, klotrimazol, mikonazol, ekonazol, sulkonazol, oksikonazol,
terkonazol, tiokonazol, sertakonazol
(2) alilamin dan benzilamin : naftifin, terbinafin, butenafin
(3) polien: nystatin
Beberapa obat topikal tidak termasuk dalam golongan ini namun dapat digunakan untuk
terapi non spesifik seperti golongan keratolitik (asam salisilat) atau antiseptik (gentian violet),
siklopiroks, haloprogin, serta amorolfin. 4

GOLONGAN AZOL-IMIDAZOL

Merupakan kelompok anti jamur azol yang memiliki dua nitrogen pada cincin azol.
Ditemukan setelah tahun 1960.

Mekanisme kerja

Relatif berspektrum luas, bersifat fungistatik dan bekerja dengan cara menghambat
pembentukan 14 – α-sterol demethylase, suatu enzim sitokrom P450 (CYP). Hal ini
mengganggu biosintesis ergosterol membran sitoplasma jamur dan menyebabkan akumulasi
14 – α- metilsterol. Metilsterol merusak rantai fosfolipid sehingga mengganggu fungsi enzim
pada membran jamur seperti ATP ase dan enzim pada sistem transpor elektron. Mekanisme
ini yang mengakibatkan efek pertumbuhan jamur terhambat. 4

29
1. Klotrimazol

Gambar 14. Struktur Klotrimazol8

Klotrimazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatifitosis, kandidiasis oral,


kutaneus dan genital. Untuk pengobatan oral kandidiasis, diberikan oral troches (10 mg) 5
kali sehari selama 2 minggu atau lebih. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan
dosis 500 mg pada hari ke-1, 200 mg hari ke-2, atau 100 mg hari ke-6 yang dimasukkan ke
dalam vagina. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan krim klotrimazol 1%
dosis dan lamanya pengobatan tergantung kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4
minggu dan dioleskan 2 kali sehari.

2. Ekonazol

Gambar 15. Struktur Ekonazol8

Ekonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidiasis oral,


kutaneus dan genital. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis 150 mg yang
dimasukkan ke dalam vagina selama 3 hari berurut-turut. Untuk pengobatan infeksi jamur
pada kulit digunakan ekonazol krim 1 %, dosis dan lamanya tergantung dari kondisi pasien,
biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari. Ekonazol penetrasi dengan
cepat di stratum korneum. Kurang dari 1% diabsorpsi ke dalam darah. Sekitar 3% pasien
mengalami eritema lokal, sensasi terbakar, tersengat, atau gatal. 10,20

3. Mikonazol

30
Gambar 16. Struktur mikonazol8

Mikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor, serta


kandidiasis oral, kutaneus dan genital. Mikonazol cepat berpenetrasi pada stratum korneum
dan bertahan lebih dari 4 hari setelah pengolesan. Kurang dari 1% diabsorpsi dalam darah.
Absorpsi kurang dari 1,3% di vagina.8 Pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis 200
selama 7 hari atau 100 mg selama 14 hari yang dimasukkan ke dalam vagina. Pengobatan
kandidiasis oral, diberikan oral gel (25 mg) 4 kali sehari. Pengobatan infeksi jamur pada kulit
digunakan mikonazol krim 2%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien,
biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.
Efek samping pemakaian topikal vagina adalah rasa terbakar, gatal atau iritasi 7%
kadang-kadang terjadi kram di daerah pelvis (0,2%), sakit kepala, urtika, atau skin rash.
Iritasi, rasa terbakar dan maserasi jarang terjadi pada pemakaian kutaneus. Mikonazol aman
digunakan pada wanita hamil, meskipun beberapa ahli menghindari pemakaian pada
kehamilan trimester pertama.10

4. Ketokonazol

Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat dengan keratin dan mencapai keratin dalam
waktu 2 jam melalui kelenjar keringat ekrin. Penghantaran akan menjadi lebih lambat ketika
mencapai lapisan basal epidermis dalam waktu 3-4 minggu. Konsentrasi ketokonazol masih
tetap dijumpai, minimal 10 hari setelah obat dihentikan.20
Ketokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor,
kutaneus kandidiasis dan dapat juga untuk pengobatan dermatitis seboroik. Pengobatan
infeksi jamur pada kulit digunakan krim ketokonazol 1%, dosis dan lamanya pengobatan
tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan sekali
sehari sedangkan pengobatan dermatitis seboroik dioleskan 2 kali sehari. Pengobatan pitiriasis
versikolor menggunakan ketokonazol 2% dalam bentuk shampoo sebanyak 2 kali seminggu
selama 8 minggu.20

31
5. Sulkonazol
Sulkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidiasis kutaneus.
Pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan sulkonazol krim 1%. Dosis dan lamanya
pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya untuk pengobatan tinea korporis , tinea
kruris ataupun pitiriasis versikolor dioleskan 1 atau 2 kali sehari selama 3 minggu dan untuk
tinea pedis dioleskan 2 kali sehari selama 4 minggu.20,21

6. Terkonazol
Terkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidiasis kutaneus dan
genital. Pengobatan kandidiasis vaginalis yang disebabkan Candida albicans, digunakan
terkonazol krim vagina 0,4% (20 gr terkonazol) yang dimasukkan ke dalam vagina
menggunakan aplikator sebelum waktu tidur, 1 kali sehari selama 3 hari berturut-turut dan
vaginal supositoria dengan dosis 80 mg terkonazol, dimasukkan ke dalam vagina, 1 kali
sehari sebelum waktu tidur selama 3 hari berturut-turut.21

7. Tiokonazol
Tiokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis serta kandidiasis kutaneus dan
genital. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis tunggal sebanyak 300 mg
dimasukkan ke dalam vagina. Untuk infeksi pada kulit digunakan tiokonazol krim 1%, dosis
dan lamanya pengobatan tergantung kondisi pasien, biasanya untuk pengobatan tinea korporis
dan kandidiasis kutaneus biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.
Untuk tinea pedis dioleskan 2 kali sehari selama 6 minggu, untuk tinea kruris dioleskan 2 kali
sehari selama 2 minggu dan untuk pitirisis versikolor dioleskan 2 kali sehari selama 1-4
minggu.21

8. Sertakonazol
Sertakonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan candida sp,
digunakan sertakonazol krim 2%, dioleskan 1-2 kali sehari selama 4 minggu.21

GOLONGAN ALILAMIN/BENZILAMIN

Mekanisme kerja adalah dengan cara menekan biosintesis ergosterol pada tahap awal
proses metabolisme dan enzim sitokrom P-450 akan menghambat aktifitas squalene

32
epoksidase. Dengan berkurangnya ergosterol akan menyebabkan penumpukan squalene pada
sel jamur sehingga mengakibatkan kematian sel jamur. Alilamin dan benzilamin bersifat
fungistatik terhadap Candida albicans.

1. Naftifin

Naftifin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan Candida sp., Untuk
pengobatan digunakan krim naftifin hidroklorida krim 1% dioleskan 1 kali sehari selama 1
minggu.5

2. Terbinafin

Gambar 17. Struktur Terbinafin8

Terbinafin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor dan


kandidiasis kutaneus. Digunakan terbinafin krim 1% yang dioleskan 1 atau 2 kali sehari.
Untuk pengobatan tinea korporis dan tinea kruris digunakan selama 1-2 minggu, untuk tinea
pedis selama 2-4 minggu, untuk kandidiasis kutaneus selama 1-2 minggu dan untuk pitiriasis
versikolor selama 2 minggu.10

3. Butenafin
Butenafin merupakan golongan benzilamin aktifitas antijamurnya sama dengan
golongan alilamin. Butenafin bersifat fungisidal terhadap dermatofita dan dapat digunakan
untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris dan tinea pedis, dioleskan 1 kali sehari selama 4
minggu.4

GOLONGAN POLIEN
Nistatin

33
Pengobatan kandidiasis kutis dapat digunakan nistatin topikal pada kulit atau
membrane mukosa (rongga mulut, vagina). Nistatin biasanya tidak bersifat toksik tetapi
kadang-kadabng dapat timbul mual, muntah dan diare jika diberikan dengan dosis tinggi.
Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan 1 atau 2 vaginal suppossitoria
(100.000 setiap unitnya) yang diberikan selama kurang lebih 14 hari.

GOLONGAN ANTIJAMUR TOPIKAL LAIN

1. Asam Undesilenat

Asam undesilenat bersifat fungistatik, dapat juga bersifat fungisidal apabila terpapar
lama dengan konsentrasi yang tinggi pada agen jamur. Tersedia dalam bentuk salep, krim,
bedak spray powder, sabun, dan cairan. Salap asam undesilenat mengandung 5% asam
undesilenat dan 20% zinc undesilenat. Zinc bersifat astringent yang menekan inflamasi.
Preparat ini digunakan untuk mengatasi dermatomikosis, khususnya tinea pedis. Efektifitas
masih lebih rendah dari imidazol, haloprogin atau tolnaftat. Preparat ini juga dapat digunakan
pada ruam popok, dan tinea kruris.10,20,22

2. Salep Whitefield

Pada tahun 1970, Arthur Whitefield membuat preparat salep yang mengandung 12%
asam benzoate dan 6% asam salisilat. Kombinasi ini dikenal dengan salep Whitefield. Asam
benzoat bekerja sebagai fungistatik, dan asam salisilat sebagai keratolitik sehingga
menyebabkan deskuamasi keratin yang mengandung jamur. Preparat nini sering
menyebabkan iritasi khususnya jika dipakai pada permukaan kulit yang luas. Selain itu
absorpsi secara sistemik dapat terjadi, dan menyebabkan toksisitas asam salisilat, khususnya
pada pasien yang mengalami gagal ginjal. Digunakan untuk mengatasi tinea pedis, dan tinea
kruris. 10,22

3. Amorolfin

Amorolfin merupakan phenylpropylpiperidine. Bekerja dengan cara menghambat


biosintesis ergosterol jamur. Aktifitas spektrumnya luas, dapat digunakan untuk pengobatan

34
tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis dan onikomikosis. Untuk infeksi jamur pada kulit
amorolfin dioleskan satu kali sehari selama 2-3 minggu sedangkan untuk tinea pedis selama 6
bulan. Amorolfin 5% nail lacquaer diberikan sebagai monoterapi pada onikomikosis ringan
tanpa adanya keterlibatan matriks. Diberikan satu atau dua kali seminggu selama 6-12 bulan.
Pemakaian amorolfin 5% pada pengobatan jamur memiliki angka kesembuhan 60-76%
dengan pemakaian satu atau dua kali seminggu. Kuku tangan dioleskan satu atau dua kali
setiap minggu selama 6 bulan sedangkan kuku kaki harus digunakan selama 9-12 bulan.3,7,20

4. Siklopiroks olamin

Gambar 18. Struktur Siklopiroks olamin8

Siklopiroks olamin adalah antijamur sintetik hydroxypyridone, bersifat fungisidal,


sporisida dan memiliki penetrasi yang baik pada kulit dan kuku. Siklopiroks efektif untuk
pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis, onikomikosis, kandidiasis kutaneus dan
pitiriasis versikolor.21
Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit harus dioleskan 2 kali sehari selama 2-4
minggu sedangkan untuk pengobatan onikomikosis digunakan siklopiroks nail lacquer 8%.
Setelah dioleskan pada permukaan kuku yang sakit, larutan tersebut akan mengering dalam
waktu 30-45 detik, zat aktif akan segera dibebaskan dari pembawa berdifusi menembus
lapisan lempeng kuku hingga ke dasar kuku (nail bed) dalam beberapa jam sudah mencapai
kedalaman 0,4 mm dan secara penuh akan dicapai setelah 24-48 jam pemakaian. Kadar obat
akan mencapai kadar fungisida dalam waktu 7 hari sebesar 0,89 ±0,25 mikrogram tiap
milligram material kuku. Kadar obat akan meningkat terus hingga 30-45 hari setelah
pemakaian dan selanjutnya konsentrasi akan menetap yakni sebesar 50 kali konsentrasi obat
10,21
minimal yang berefek fungisidal. Konsentrasi obat yang berefek fungisidal ditemukan di
setiap lapisan kuku.10,20

35
Sebelum pemakaian cat kuku siklopiroks, terlebih dahulu bagian kuku yang terinfeksi
diangkat atau dibuang, kuku yang tersisa dibuat kasar kemudian dioleskan membentuk lapisan
tipis. Dilakukan setiap 2 hari sekali selama bulan pertama, setiap 3 hari sekali pada bulan
kedua dan seminggu sekali pada bulan ketiga hingga bulan keenam pengobatan. Pemakaian
cat kuku dianjurkan tidak lebih dari 6 bulan. 7,,21

5. Haloprogin

Gambar 19. Struktur haloprogin

Haloprogin merupakan halogenated phenolic, efektif untuk pengobatan tinea korporis,


tinea kruris, tinea pedis dan pitiriasis versikolor, dengan konsentrasi 1% dioleskan 2 kali
sehari selama 2-4 minggu.10

6. Timol
Timol adalah antiseptik yang larut dalam alkohol efektif dalam bentuk tingtur untuk
mengobati onikolisis. Timol bekerja sebagai antiseptik membunuh organisme pada saat
alkohol menguap. Tidak tersedia preparat komersil; ahli farmakologi mencampur 2-4% timol
ke dalam larutan dasar seperti etanol 95% dan mengendap di dasar botol. Pemakaiannya jari
ditegakkan vertikal lalu diteteskan solusio sampai menyentuh hiponikium, gaya gravitasi dan
tekanan permukaan secara cepat mendistribusikan timol ke bagian terdalam dari ruang
subungual. Penggunaan timol beresiko iritasi, dan memiliki bau yang tidak menyenangkan. 20

7. Castellani’s paint
Castellani’s paint (carbol fuchsin paint) memiliki aktifitas antijamur dan antibacterial.
Digunakan sebagai terapi tinea pedis, dermatitis seboroik, tinea imbrikata.Efek sampingnya
adalah iritasi dan reaksi toksik terhadap fenol. 22

36
8. Alumunium Chloride
Alumunium Chloride 30% memiliki efikasi mirip dengan Castellani’s paint pada
terapi tinea pedis.22

9. Gentian Violet
Gentian violet adalah triphenylmethane (rosaniline) dye. Produk yang dipasarkan
mengandung 4% tetramethyl dan pentamethyl congeners campuran ini membentuk kristal
violet. Solusio gentian violet dengan konsentrasi 0,5-2% digunakan pada infeksi jamur
mukosa. Gentian violet memiliki efek antijamur dan antibaterial.22

10. Potassium Permanganat


Potassium permanganat tidak memiliki aktifitas antijamur. Pada pengenceran 1:5000
sering digunakan untuk meredakan inflamasi akibat kandidiasi intertriginosa.22

11. Selenium Sulphide


Losio 2,5% selenium sulphide untuk terapi pitiriasis versikolor dan dermatitis
seboroik. Pengguinaan losio selama 10 menit satu kali sehari selama pemakaian 7 hari, tidak
terjadi absorpsi perkutaneus yang signifikan. Selenium sulphide 2,5% dalam bentuk sampo
dapat menyebabkan iritasi pada kulit kepala atau perubahan warna rambut. Losio selenium
sulphide juga digunakan sebagai sampo pada tinea kapitis yang telah diberikan terapi oral
griseofulvin.22

12. Zinc Pyrithione

Zinc pyrithione adalah antijamur dan antibakteri yang digunakan mengatasi pitiriasis
sika. Sampo zinc pyrithione 1% efektif pada terapi pitiriasis versikolor yang dioleskan setiap
hari selama 2 minggu.22

13. Sodium Thiosulfate dan Salicylic Acid


Solusio 25% sodium thiosulfate dikombinasi dengan 1% salicylic acid tersedia
preparat komersial dan digunakan pada tinea versikolor.22

37
14. Prophylen Glycol
Prophylen glycol (50% dalam air) telah digunakan untuk mengatasi pitiriasis
versikolor. Prophylen glycol 4-6% sebagai agen keratolitik, yang secara in vitro bersifat
fungistatik terhadap Malassezia furfur kompleks (bentuk dari Pityrosporum spp). Solusio
propylene glycol-urea- asam laktat juga telah digunakan untuk onikomikosis.22

KESIMPULAN

Obat antijamur berdasarkan cara penggunaannya terbagi atas obat antijamur sistemik
dan topikal. Berdasarkan tempat kerjanya terbagi menjadi empat golongan utama yaitu polien,
azol, alilamin, dan ekinokandin.
Golongan azol terbagi dua berdasarkan jumlah nitrogen pada cincin azol yaitu
kelompok imidazol dan triazol. Triazol dimetabolisme lebih lambat dan efek samping yang
sedikit dibandingkan imidazol, karena itulah para peneliti berusaha mengembangkan
golongan triazol daripada imidazol.
Formulasi Amfoterisin B dengan dasar lipid relatif kurang nefrotoksik dibanding
AMB deoksikolat. Penggunaan AMB dasar lipid dapat diberikan dengan dosis lebih besar
dan risiko gagal ginjal lebih rendah.
Penelitian terbaru terhadap obat antijamur saat ini memfokuskan pada target baru
seperti ekinokandin. Golongan ini memberikan alternatif lain dalam terapi pengobatan
aspergilosis dan kandidiasis.
Dari seluruh pilihan di atas para dokter harus memiliki pengetahuan yang baik
terhadap farmakokinetik dan potensi interaksi antar obat terhadap obat antijamur sehingga
kita dapat memilih obat antijamur yang terbaik untuk pasien.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Verma S, Heffernan MD. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis,


onychomycosis, Tinea Nigra, Piedra. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BS,
Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatricks’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New
York: Mc Graw-Hill.2008.p 1807-1821.
2. Hay RJ. Deep Fungal Infections. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BS,
Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatricks’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New
York: Mc Graw-Hill.2008.p 1831-1844
3. Gupta AK, Copper EA. Update in antifungal therapy of dermatophytosis.
Mycopathologia (2008) 166;353-367

4. High WA, Fitzpatrick JE. Topical Antifungal Agents. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatricks’s Dermatology in General
Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill.2008.p 2116-2121
5. Bellantoni MS, Konnikov N. Oral antifungal agents. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatricks’s Dermatology in General
Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill.2008.p 2211-2217
6. Dismukes WE. Introduction to antifungal drugs. Clinical infectious disease 2000;
30:653-7
7. Ashley ES et.al. Pharmacology of systemic antifungal agents. Clinical Infectious Disease
D 2006;43 (Suppl 1):28-39.

8. Gupta AK. Systemic antifungal agents. In: Wolverton ES, editor. Comprehensive
dermatology drug therapy. Indianapolis, Indiana: W.B. Saunders Company;2002. Pp75-
99.
9. Gubbins PO, Anaissie EJ. Antifungal therapy. In: Anaissie EJ, McGinn MR, Pfaller.
Clinical Mycology. 2nd Ed. China: Elsevier. 2009. p161-196
10. Bennet JE. Antimicrobial Agents: Antifungal Agents. In: Brunton LL, Lazo JS, Parker KL.
Goodman & Gilman's: The Pharmacological Basis Of Therapeutics. 11th Ed. New York: Mc
Graw-Hill. 2006
11. ZhaoX, Calderone RA. Antifungals currently used in the treatment of invasive fungal
disease. In: Calderone RA, Cihlar RL. Eds. Fungal pathogenesis principles and clinical
applications. USA; Mycology Vol 14. 2002; p 559-574

12. Onyewu C, Heitman J. Unique Aplications of Novel Antifungal Drug Combinations.


Anti-Infective Agents in Medicinal Chemistry 2007; 6: 3-15
13. Lesher J. Woody CMC. Antimicrobial drugs. In:Bolognia JL Jorrizo JL, Rapini RP, et al.
Eds. Dermatology 2th Ed, Mosby Elsevier, 2008.

39
14. Rubin AI, Bagheri B, Scher RK. Six Novel Antimycotics. Am J Clin Dermatol 2002; 3(2): 71-
81
15. Wu JJ, Pang KR, Huang DB, Trying SK. Therapy of Systemic Fungal Infections.
Dermatologic Therapy 2004; 17: 532–538
16. Marr KA. Empirical Antifungal Therapy – New Options, New Tradeoffs. N Engl J
Med 2002; 346(4): 278-280
17. Torres HA, Hachem RY, Chemaly RF, Kontoviannis DP, Raad II. Posaconazole: A
Broad-Spectrum Triazole Antifungal. Lancet Infect Dis 2005; 5: 775–85
18. Ray A, Anand S. Recent trends in antifungal therapy:focus on systemic mycoses. Indian J
Chest Dis Allied Sci 2000;42:357-366
19. Phillips RM, Rosen T. Topical antifungal agents. In: Wolverton ES, editor.
Comprehensive dermatology drug therapy. Indianapolis, Indiana: W.B. Saunders
Company;2002. 547-568.
20. Kyle AA, Dahl MV. Topical therapy for fungal infections. Am J Clin Dermatol
2004:5(6):443-461.
21. Huang DB. Therapy Of Common Superficial Fungal Infection. Dermatologic Therapy
2004; 17: 517-522
22. Gupta et al. An overview of topical antifungal therapy in dermatomycosis. A North
American Perspective. Drugs 1998 May;55(5):645-674.

40

You might also like