You are on page 1of 17

REFLEKSI FILSAFAT HUKUM;

MENILIK ORIENTASI NILAI KEADILAN SOSIAL 1

Oleh: M. Shidqon Prabowo. SH2

A. Pendahuluan
Banyak pertanyaan mengapa wajah peradaban saat ini makin kejam, perlahan
tapi pasti sinar keadilan semakin meredup tanpa memberikan pencahayaan yang
berarti, dan pada saat itu kita masih belum terpanggil, walaupun dunia ini semakin
sempit dengan tidak memberikan ruang dan harapan bagi keadilan. Lantas jika untuk
mencapai keadilan mengalami jalan buntu; apakah masih wajar untuk menebar asa?
Pertanyaan ini sebenarnya bukan wujud ketidakpercayaan pada makna keadilan, akan
tetapi potret kehidupan saat ini menggambarkan betapa buruknya komitmen keadilan
sosial dalam mewujudkan cita-cita bersama, yaitu cita-cita dalam mencapai
kebahagiaan dan kebaikan bersama yang diwujudkan tanpa harus menerobos tatanan
keadilan sosial masyarakat.
Penelusuran mengenai keadilan tentu tidak akan terlepas dari dialektika
hukum dalam dimensi sosial. Kemandegan hukum secara langsung akan menggeser
kaidah normatif dan nilai-nilai kepatutan masyarakat. Mengambil tema refleksi
mengenai filsafat hukum mengesankan akan adanya suatu uraian kefilsafatan yang
sedemikian abstrak, akan tetapi harapan tulisan ini pada akhirnya memberikan
manifestasi keseimbangan penceritaan kembali terhadap titik pertemuan antara
penyelidikan filsafat hukum mengenai konsep atau sifat hukum, masalah tujuan atau
cita-cita hukum dan pola antarpengaruh hukum dan masyarakat.3
Artinya positif dan negatif dalam menilik orientasi nilai keadilan sosial
ditanggapi secara seimbang, tidak sekedar dengan ekspresi subyektif dan cenderung
berat sebelah. Refleksi ini dilakukan agar dapat mengetahui kejanggalan-kejanggalan
yang ada dalam penerapan hukum. Misalnya yang disebut patologi hukum, hal ini
sesuatu yang tabu sifatnya dalam pembicaraan hukum yang positivistik. Misalnya,
aktualisasi antinomi nilai-nilai dalam hukum; seperti nilai kepastian dan keadilan,
1
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Filsafat Hukum, yang diampu
oleh
Bpk Salman Luthon, S.H. M.Hum, pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
UII, Yogyakarta.
2
Penulis adalh mahasisiwa progam pasca sarjana ilmu hokum UII
3
S.Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum, Abardin, Jakarta, 1986, hal 13-15.

1
individualisme dan kolektivisme, serta kebebasan dan ketertiban. Persoalan inilah
yang selalu menjadi dialektika perkembangan keadilan sosial. Karena secara wajar
aktualisasi antinomi tersebut seakan memberikan jarak yang tak mungkin dapat
bertemu dalam menggapai hukum yang berkeadilan sosial.
Jika membahas perihal refleksi filsafat hukum, secara fundamental yang
sangat perlu untuk diuraikan terlebih dahulu ialah perihal nilai. Nilai disini dilakukan
untuk lebih memahami dan mendalami hakikat suatu persoalan hukum secara
konseptual. Seyogyanya persoalan itu dipahami secara komprehensif dengan
melakukan perenungan, pengujian, serta pengajuan kritik dan penilaian secara teratur
dan sistematis. Idealnya hukum hadir ditengah-tengah masyarakat tidak untuk dirinya
sendiri, melainkan menjamin keutuhan sosial masyarakat. Sehingga tema besar dari
hadirnya hukum secara filsofis adalah bagian dari kebutuhan dan komitmen bersama
akan nilai keadilan sosial.
Ketika berangkat dari asumsi keadilan sosial menjadi nilai objektif yang harus
dipenuhi, tentunya hal ini tidak begitu saja akan berjalan mulus sesuai dengan
perspektif cita-cita hukum suatu bangsa. Karena nilai tersebut akan berhadap hadapan
dengan sesuatu yang tidak lunak dalam mewujudkannya. Terlebih lagi secara objektif,
sesuatu dianggap mempunyai arti nilai jika terpenuhinya faktor atau unsur utility
(manfaat) dan importance (kepentingan), dan secara subjektif apabila terpenuhinya
faktor need (kebutuhan) dan estimation (perkiraan).4
Dengan demikian, hasil perasan dari refleksi filsafat hukum nantinya akan
lebih menilik orientasi nilai keadilan yang menyangkut pandangan hidup manusia.
Karena dalam nilai keadilan yang menyangkut pandangan hidup manusia itulah akan
terpenuhi sekaligus unsur-unsur subtansial maupun formal dari cita-cita hukum yang
berkeadilan sosial. Oleh sebab itu, nilai nilai yang akan dibahas adalah nilai yang
berkaitan dengan nilai-nilai dasar secara objektif.

B. Pandangan Filsafat Terhadap Hukum


Filsafat hukum merupakan bagian penelusuran kebenaran yang tersaji dalam
ruang lingkup filsafat. Filsafat adalah kegiatan berpikir secara sistematikal yang
hanya dapat merasa puas menerima hasil-hasil yang timbul dari kegiatan berfikir itu
sendiri. Filsafat tidak membatasi diri hanya pada gejala-gejala indrawi, fisikal,

4
E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Buku Kompas, Jakarta, 2007,
hal 20.

2
psikhikal atau kerohanian saja. Ia juga tidak hanya mempertanyakan “mengapa” dan
“bagaimana”-nya gejala-gejala ini, melainkan juga landasan dari gejala-gejala itu
yang lebih dalam, ciri-ciri khas dan hakikat mereka. Ia berupaya merefleksi hubungan
teoritikal, yang di dalamnya gejala-gejala tersebut dimengerti atau dipikirkan.5
Dalam hal itu, maka filsafat tidak akan pernah terlalu lekas puas dengan suatu
jawaban. Setiap dalil filsafat harus terargumentasikan atau dibuat dapat dipahami
secara rasional. Karena bagaimanapun filsafat adalah kegiatan berfikir, artinya dalam
suatu hubungan dialogikal dengan yang lain ia berupaya merumuskan argumen-
argumen untuk memperoleh pengkajian. Berikutnya filsafat menurut hakikatnya
bersifat terbuka dan toleran. Filsafat bukanlah kepercayaan atau dogmatika, jika ia
tidak lagi terbuka bagi argumentasi baru dan secara kaku berpegangan pada
pemahaman yang sekali telah diperoleh, tidak heran ketika kefilsafatan secara
praktikal akan menyebabkan kekakuan.6
Ada pendapat yang mengatakan bahwa karena fisafat hukum merupakan
bagian khusus dari filsafat pada umumnya, maka berarti filsafat hukum hanya
mempelajari hukum secara khusus. Sehingga, hal-hal non hukum menjadi tidak
relevan dalam pengkajian filsafat hukum. Penarikan kesimpulan seperti ini sepertinya
tidak begitu tepat. Filsafat hukum sebagai suatu filsafat yang khusus mempelajari
hukum hanyalah suatu pembatasan akademik dan intelektual saja dalam usaha studi
dan bukan menunjukkan hakekat dari filsafat hukum itu sendiri.7
Sebagai filsafat, filsafat hukum semestinya memiliki sikap penyesuaian
terhadap sifat-sifat, cara-cara dan tujuan-tujuan dari filsafat pada umumnya. Di
samping itu, hukum sebagai obyek dari filsafat hukum akan mempengaruhi filsafat
hukum. Dengan demikian secara timbal balik antara filsafat hukum dan filsafat saling
berhubungan.

5
Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan
Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007, hal 1. Lihat juga Ahmad Azhar Basyir, Pokok-pokok
Persoalan Filsafat Hukum Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000, hal 1. Kata filsafat atau falsafat berasal
dari kata Arab “falsafah” yang diturunkan dari kata Yunani “philosophia” yang merupakan kata
gabungan dari kata philein yang berarti mencintai atau philia yang berarti cinta dan kata shopia yang
berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, kata philosophia, filsafah, falsafat, berarti mencintai atau
cinta kepada kebijaksanaa. Orang yang mencintai kebijaksanaan disebut philosophos yang dalam
bahasa Arab disebut “failasuf’ (jamaknya: filasifah) dan dalam bahasa Indonesia disebut “filosuf”.
6
Ibid.
7
Sugiyanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar Maju,
Bandung, 1998, hal 18.

3
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat,
yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan
perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis.
Jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam
sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.8
Pertanyaan tentang apa hakikat hukum itu sekaligus merupakan pertanyaan
filsafat hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab oleh ilmu
hukum, tetapi jawaban yang diberikan ternyata serba tidak memuaskan. Menurut
Apeldorn,9 hal tersebut tidak lain karena ilmu hukum hanya memberikan jawaban
yang sepihak. Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat
diamati oleh pancaindra manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Sementara itu pertimbangan nilai di balik gejala-
gejala hukum, luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma atau kaidah hukum, tidak
termasuk dalam dunia kenyataan (sein), tetapi berada pada dunia nilai (sollen),
sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum.
Refleksi filsafat hukum melandaskan diri pada kenyataan hukum, oleh karena
itu ia merenungkan semua masalah fundamental dan masalah marginal yang berkaitan
dengan gejala hukum. Setidaknya refleksi filsafat hukum berangkat dari bidang
penyelidikan secara folosofis yang pada gilirannya dapat menemukan penelusuran
terhadap landasan (dasar-dasar) kebenaran. Maka dengan itu, ada tiga bidang
penyelidikan ilmu hukum dalam kajian “filsafat hukum”, antara lain;10
(1) Masalah mengenai konsep atau sifat hukum.
Bidang penyelidikan ini mencakup konsep-konsep pokok lainnya yang dianggap
ada hubungannya secara esensial dengan konsep tentang hukum, misalnya
sumber, subyek hukum, kewajiban hukum, kaedah hukum, dan juga sanksi
hukum. Bidang penyelidikan yang terutama ini lebih dikenal sebagai mazhab
analitis, oleh karena ia bertujuan untuk menganalisa dan memberi definisi kepada
konsep-konsep yang disebut di atas. Mazhab analitis dikemukakan oleh John
Austin, yang memiliki ciri formalisme yang metodis. Hukum sebagai
dianggapnya sebagai suatu sistem kaedah-kaedah positif, yaitu kaedah-kaedah
yang efektif dalam kenyataannya. Ilmu hukum hanya bertujuan untuk menentukan
adanya kaedah-kaedah ini dalam hukum yang berlaku lepas dari nilai-nilai etis
dan pertimbangan-pertimbangan politis. Demikian juga mazhab analitis tidak
mempersoalkan masalah-masalah yang ada hubungannya dengan keadaan-
8
Darji Darmodiharjo dan Arief Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hal 10-11.
9
Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke 22 Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hal 439.
10
S.Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum…Op.,Cit, hal 13-15.

4
keadaan sosial ke dalam mana hukum itu masuk-yaitu faktor-faktor sosial yang
menentukan penciptaan hukum dan pertumbuhannya dan akibat-akibat sosial yang
dihasilkan atau dimaksud untuk dihasilkan oleh kaedah-kaedah hukum.
(2) Masalah tujuan atau cita-cita hukum.
Bidang penyelidikan ini memusatkan perhatiannya kepada prinsip rasional yang
memberikan kepada hukum “keabsahan-nya” atau “kekuatan mengikatnya” yang
khusus, dan merupakan kriterium bagi “benarnya” suatu kaedah hukum. Pada
umunya cita-cita hukum itu dianggap adalah keadilan. Disinilah muncul
pertanyaan-pertanyaan pokok tentang hubungan antara keadilan dan hukum
positif; peranan yang dimainkan oleh prinsip keadilan dalam perundang-
undangan, pengadilan dan sebagainya. Aliran hukum semacam ini sering dikenal
sebagai ilmu hukum etis atau filsafat hukum alam, aliran pikiran ini yang erat
hubungannya dengan pendekatan secara religius atau metafisis-filosofis,
mempunyai sejarah panjang. Filsafat hukum alam dimulai sejak sejak filsuf-filsuf
Yunani pertama hingga zaman kita sekarang ini. Filsafat ini mencapai puncak
klasiknya dalam sistem-sistem rasionalitas yang besar dalam abad ketujuh belas
dan kedelapan belas. Sesudah reaksi dari mazhab sejarah dan positivis dalam abad
kesembilan belas, filsafat hukum alam telah mendapat pengaruh lagi dalam abad
sekarang ini. Dasar filosofisnya pertama-tama dan secara utama adalah filsafat
skolastik katolik yang diteruskan dalam hukum alam kaum Thomis; dan berbagai
perkembangan dari sistem-sistem Kant dan Hegel. Teori-teori mengenai hukum
alam telah juga menemukan dasar dalam mazhab-mazhab filsafat lainnya
(utilitarianisme, filsafat solidaritas, intuisionisme Bergson, fenomenologisme
Husserl dan lain-lain).
(3) Masalah pola antarpengaruh hukum dan masyarakat.
Bidang penyelidikan ini mencakup pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan
dengan asal usul historis dan pertumbuhan dari hukum: dengan faktor-faktor
sosial yang dalam zaman kita menentukan isi variabel dari hukum; dengan
bergantungnya hukum dan pengaruh terhadap ekonomi dan kesadaran hukum
rakyat; dengan akibat-akibat sosial dari kaedah-kaedah hukum atau lembaga-
lembaga tertentu; dengan kekuasaan pembentuk undang-undang untuk
membimbing perkembangan sosial; dengan hubugan antara hukum yang “hidup”
dengan hukum teoritis dan kekuatan-kekuatan yang sebenarnya menjadi motif
bagi penerapan hukum berlainan dengan alasan-alasan rasional dalam setiap
putusan.
Pada dasarnya ketiga bidang penyelidikan filsafat hukum ini merupakan suatu
metode untuk mencari kebenaran, yang merupakan prinsip-prinsip fundamental atau
mendasar tentang hakikat hukum tersebut. Kerja filsafat merupakan usaha-usaha
untuk menguji prinsip-prinsip dasar tersebut. Secara epistemologis ada tiga teori
tentang kebenaran yakni; the correspondence theory of truth, the coherence theory of
truth, dan pragmatic theory of truth.11 Ketiga teori ini mendasarkan pengertian dalam
pencarian kebenaran. Jadi tujuan filsafat hukum dan ilmu hukum berbeda dari tujuan
hukum. Hukum itu sendiri bertujuan hendak mencari keadilan, kepastian hukum, dan
ketertiban. Tujuan hukum bersifat etis, yakni bersumber pada kebaikan.
11
Teguh Prasetyo, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Cet. II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2007, hal 16.

5
Tiga teori kebenaran yang telah disebut dimuka, dapat diterapkan dalam
filsafat hukum, ilmu hukum, dan teknik hukum. Teori korespondensi memandang
bahwa suatu pernyataan adalah benar bila sesuai atau sebanding dengan kenyataan
yang menjadi objeknya, teori ini sesuai dengan dimensi perilaku hukum dan menjadi
bahan kajian sosiologi hukum dan antropologi hukum. Kemudian teori koherensi
berpendapat bahwa suatu pernyataan adalah benar apabila sesuai dengan pernyataan
sebelumnya, dalam pengertian inilah yang menjadi landasan bahan kajian filsafat
hukum. Berbeda dengan teori pragmatik, bahwa suatu pernyataan adalah benar bila
berguna bagi kehidupan praktis, yang sesuai dengan bahan kajian teknik hukum
secara praksis.12
Teori koherensi mengantarkan kita, sebagaimana berfikir secara kefilsafatan
untuk memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal. Dengan cara
berfikir holistik tersebut, maka siapa saja yang mempelajari filsafat hukum diajak
untuk berwawasan luas dan terbuka. Kemudian filsafat hukum dengan sifat
universalitasnya, memandang kehidupan secara menyeluruh, tidak memandang hanya
bagian-bagian dari gejala kehidupan saja atau secara partikular. Dengan demikian
filsafat hukum dapat menukik pada persoalan lain yang relevan atau menerawang
pada keseluruhan dalam perjalanan refelektifnya, tidak hanya memecahkan masalah-
masalah yang dihadapinya.
Melihat fungsi filsafat hukum lebih jauh; ialah sebagai cara pandang untuk
berfikir secara kreatif dengan menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah,
dan menuntun pada jalan baru. Adanya karakteristik khusus dari pemikiran filsafat
hukum di atas sekaligus juga menunjukkan letak urgensinya. Dengan mengetahui dan
memahami filsafat hukum dengan berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka
sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk ikut membantu
memberikan jalan keluar terhadap orientasi keadilan sosial selama ini. Tentu saja
kontribusi yang dapat diberikan dari agenda refleksi filsafat hukum dalam bentuk
konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang hendak dipakai dalam penyelesaian
masalah-masalah sosial yang terjadi. Pendekatan mana didasarkan pada sifat-sifat dan
karakter yang melekat pada filsafat hukum itu sendiri.

C. Menilik Pertalian Hukum dan Keadilan

12
Ibid.

6
Asumsi yang melatarbelakangi pembicaraan topik pada bagian ini ialah bahwa
hukum bisa, atau, sering kali bertentangan dengan nilai keadilan. Hal ini
menimbulkan pertanyaan; bagaimana kaitan antara keduannya, serta dalam kondisi
mana hukum sebagai perangkat paling khas dalam masyarakat modern untuk
menciptakan tata kehidupan masyarakat dan melaksanakan kebijakan dapat dipakai
untuk tujuan keadilan sosial.
Meminjam pribahasa latin, berbunyi: fiat justisia et pereat mundus (ruat
coelum); yang artinya; hukum yang berkeadilan harus dilaksanakan sekalipun dunia
harus kiamat (sekalipun juga langit runtuh karenanya).13 Pribahasa latin tersebut
menyiratkan suatu komitmen yang sangat tinggi untuk mewujudkan keadilan di dalam
kehidupan bersama. Kehidupan yang memiliki kehendak kuat untuk menyajikan
seperangkat teks keadilan berdasarkan cita-cita hukum suatu bangsa. Lebih dari itu
untuk meletakkan fondasi konseptual keadilan selalu dipaksa untuk berdaptasi dengan
struktur sosial dan karakteristik problem sosialnya. Untuk alasan inilah, hukum sangat
dinamis dalam mewujudkan keadilan sebagai hasil akhir dari nilai yang
diperjuangkan.
Dialektika hukum dan keadilan adalah permasalahan lama akan tetapi selalu
menarik pertalian antar keduanya. Meskipun secara aktual, setiap kali kita dihadapkan
dengan sikap kritis terhadap hukum dan keadilan, namun tidak dapat disangkal bahwa
kehidupan bersama tetap memerlukan hukum dan keadilan itu. Pada dasarnya
manusia selalu memerlukan keadilan, kebenaran dan hukum, karena hal itu
merupakan nilai dan kebutuhan azasi bagi masyarakat manusia yang beradab.
Keadilan adalah milik dan untuk semua orang serta segenap masyarakat dan tidak
adanya keadilan akan menimbulkan kehancuran dan kekacauan keberadaan serta
eksistensi masyarakat itu sendiri. Bahkan perbedaan sikap dan kebencian terhadap
orang lain tidak boleh mengakibatkan sikap yang tidak adil.
Apabila ditinjau dalam konteks yang lebih luas, pemikiran mengenai keadilan
itu berkembang dengan pendekatan yang berbeda-beda, karena perbincangan tentang
keadilan yang tertuang dalam banyak literatur itu, tidak mungkin tanpa melibatkan
tema-tema moral, politik, dan teori hukum yang ada. Oleh sebab itu menjelaskan
mengenai keadilan secara tunggal hampir sulit untuk dilakukan.14

13
Abdul Ghofur Anshori dan Sobirin Malian, Membangun Hukum Indonesia, Kreasi Total
Media, Yogyakarta, 2008, hal 87.
14
E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum…Op.,Cit, hal 96.

7
Namun pada garis besarnya perdebatan mengenai keadilan terbagi atas dua
arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan metafisik, diungkapkan oleh Plato,
kemudian dimensi keadilan rasional yang diwakili oleh Aristoteles. Keadilan yang
rasional pada dasarnya mencoba menjawab prihal keadilan dengan cara
menjelaskannya secara ilmiah. Sementara keadilan yang metafisik, mempercayai
eksistensi keadilan sebagai sebuah kualitas atau suatu fungsi di atas dan di luar
makhluk hidup, dan oleh sebab itu tidak dapat dipahami menurut kesadaran manusia
berakal.15
Pemetaan dua arus pemikiran keadilan tadi, dalam kaitannya dengan
transformasi sosial Karl Marx mengenai pemetaan kelas sosial. Marx memandang
masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang antagonistis. Dalam pandangan marx
watak dasar yang antagonistis ini ditentukan oleh hubungan konflik antar kelas-kelas
sosial yang kepentingan-kepentingannya saling bertentangan dan tak dapat diuraikan
karena perbedaan kedudukan mereka di dalam tatanan ekonomi.16 Pertentangan kelas
yang kemudian menimbulkan konflik sosial merupakan bagian penjelasan marx
mengenai dinamika keadilan pada zaman itu. Bagaimana kelas pekerja dalam
masyarakat kapitalis modern; tidak pernah diperhitungkan pada taraf kelas sosial yang
sama, sehingga kedudukan mereka terkucilkan dari kelas sosial di atasnya. Oleh
karena itulah ketimpangan keadilan ini dapat dilihat dengan rasionalisasi yang
dilakukan oleh marx.
Mengetengahkan tentang sifat relatifitas hukum dan keadilan sebagaimana
dikemukakan oleh Kusumohamidjojo, bahwa oleh karena hukum adalah kenyataan
yang melekat pada manusia yang terus menerus berubah, maka kaidah-kaidah
normatif yang menjadi muatan hukum selalu bersifat relatif, dengan akibat bahwa
ketertiban umum serta benang merah keadilan yang harus dihasilkannya juga selalu
bersifat relatif, sehingga terus-menerus menjadi objek kontemplasi, justru untuk terus
menempatkannya dalam konteks yang kontemporer.17
Sifat relativitas keadilan yang diungkapkan di atas, merupakan ragam dalam
pemberian makna secara konseptual terhadap nilai keadilan. Jhon Rawls misalnya,18
15
Ibid.
16
A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial “Buku Teks
Sosiologi Hukum Ke I”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hal 146.
17
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil, Grassindo, Jakarta, 1999, hal 222.
18
Bur Susanto, Keadilan Sosial “Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas”, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hal 19-20.

8
teori keadilan sosial bertujuan memberikan dasar-dasar bagi kerja sama sosial
masyarakat bangsa pluralistik modern. Berbeda dari masyarakat tradisional, mereka
berpendapat masyarakat modern tak terelakkan menjadi masyarakat pluralistik dengan
kepentingan dan anutan nilai hidup berbeda-beda, bahkan mungkin bertentangan.
Bagaimanapun pengaturan masyarakat pluralistik modern itu tidak boleh didasarkan
atas suatu anutan nilai hidup tertentu, melainkan harus-lah dikendalikan oleh prinsip
yang menjamin dan mengekspresikan kepentingan bersama. Prinsip itu adalah
keadilan sosial.
Konsep keadilan menurut rawls, ialah suatu upaya untuk mentesiskan paham
liberalisme dan sosialisme. Sehingga secara konseptual rawls menjelaskan keadilan
sebagai fairness, yang mengandung asas-asas, “bahwa orang-orang yang merdeka dan
rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya
hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan
itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpuan
yang mereka hendaki.19
Namun secara umum, unsur-unsur formal dari keadilan yang dikatakan oleh
rawls pada dasarnya harus memenuhi nilai unsur hak dan unsur manfaat. Dengan nilai
keadilan yang demikian, yang dikaitkan dengan unsur hak dan manfaat-ditambah
bahwa dalam diskursus hukum, perihal realisasi hukum itu berwujud lahiriah, tanpa
mempertanyakan terlebih dahulu itikad moralnya. Maka nilai keadilan di sini
mempunyai aspek empiris juga, di samping aspek idealnya. Maksudnya adalah
diaktualisasikan secara konkret menurut ukuran manfaatnya.20
Memang dapat dipahami bahwa cukup sulit untuk dapat mewujudkan
kesesuaian antara idealitas dengan realitas. Bahwa paradoks antara idealitas hukum
dengan realitas sosial yang banyak terjadi dalam masyarakat kita dewasa ini menilik
pertalian hukum dan keadilan mengalami disorientasi. Walaupun keduanya memiliki
kausa yang positif bila dapat diwujudkan dengan benar. Disinilah nilai keadilan
berfungsi menentukan secara nyata, dinamika hukum dalam realitas sosial, dan
sebagai konsekuensinya hukum harus dilihat dari ruang sosial yang lebih luas.

D. Hukum dan Perubahan Sosial

19
E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum…Op.,Cit, hal 99.
20
Ibid.

9
Kita sekarang sudah sampai ke tingkat peradaban manusia sedemikian rupa,
dimana masyarakat sudah ditata secara sangat maju. Maka sekalian pekerjaan hukum
juga ditempatkan dalam konteks dan bingkai penataan masyarakat yang sudah
dilakukan sangat maju dan rasional. Masyarakat di dunia sudah berubah dari
masyarakat yang tradisional menjadi sesuatu yang serba ditata dan tertata secara lebih
rasional. Dengan demikian ia sudah menjadi masyarakat yang sarat dengan berbagai
konstruksi, atau suatu masyarakat yang dikonstruksikan secara rasional. Hukum
menjadi bagian dari konstruksi tersebut, dan dengan demikian bersifat artifisial.
Kenyataan ini menunjukkan, bahwa dalam pembuatan hukum serta penegakan
hukum semua itu tidak terlepas dari perilaku hukum masyarakat. Maka sudah
semestinya apa yang dikatakan oleh Prof Tjip, sebutan akrab dari tokoh sosologi
hukum Indonesia yang mencetuskan teori hukum progresif dengan gagasan bahwa
hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya.21 Apabila kita berpegangan pada
keyakinan bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan selalu
diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang
telah dibuat oleh hukum.
Suatu masyarakat senantiasa mempunyai aspek struktural dan prosedural, oleh
karena masyarakat sekaligus merupakan wadah dan proses kehidupan bersama
manusia. Oleh karena itu lazim dikatakan, bahwa masyarakat terdiri dari aspek yang
relatif statis dan dinamis. Aspek yang relatif statis terwujud dalam struktur sosial,
sedangkan aspek dinamisnya terwujud dalam proses sosial. Kesemuanya itu
merupakan unsur-unsur pokok dari suatu sistem kemasyarakatan (societal-system).22
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa hukum dan perubahan sosial merupakan
salah satu bagian dari dinamika sosial atau dinamika masyarakat.
Membaca dinamika hukum dan perubahan sosial hendaknya menempatkan
hukum pada ruang sosial yang lebih luas. Seperti halnya, dalam suasana keterpurukan
seperti ini kita terdorong untuk mengajukan berbagai pertanyaan mendasar; seperti:
“kita bernegara hukum untuk apa?” Hukum itu mengatur masyarakat semata-mata
21
Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI PRESS, Jakarta, 2006, hal 151.
Sejak hukum itu diadakan tidak untuk diri dan kepentingan sendiri, melainkan untuk bekerja dalam
masyarakat, maka hukum sebagai konstruksi dihadapkan kepada lingkungan yang alami. Sebuah
konstruksi harus bekerja dalam lingkungan yang alami. Keadaan ini menimbulkan banyak persoalan
dan komplikasi. Hukum tidak selalu berhasil dengan baik untuk memproyeksikan “keinginannya” ke
dalam masyarakat. Secara padat bisa daikatakan, bahwa “hukum bekerja dan tertanam dalam sebuah
matriks sosio-kultural. Ibid hal 142.
22
Soerjono Soekanto, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal
49.

10
untuk mengatur atau untuk suatu tujuan yang lebih besar? 23 Dibalik pertanyaan ini
terkesan memberikan pendapat bahwa hukum hendaknya bisa mendatangkan
kebahagiaan bagi yang membutuhkannya.
Sudah tentu pembicaraan mengenai perubahan sosial lebih baik diawali
dengan suatu pembahasan ringkas mengenai konsepnya. Suatu konsep merupakan
hasil proses abstraksi yang dilakukan terhadap gagasan-gagasan atau pengalaman-
pengalaman secara empiris. Setiap masyarakat selama hidupnya pasti mengalami
perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan di dalam masyarakat mungkin berkaitan
dengan nilai-nilai, kaidah-kaidah pola sikap dan seterusnya.24
Bagaimana hukum menjadi sebuah diskursus dari arus perubahan sosial yang
begitu cepat mengikuti perkembangan jaman. Kita ingat sebagaimana kelompok-
kelompok wanita, warga Bali dan Yogyakarta menolak RUU Anti Pornografi dan
Pornoaksi (RUU APP). Bagi mereka RUU APP akan mengakhiri keragaman budaya
dan pembunuhan karakter terhadap individu seniman, khususnya wanita untuk
mengatur tubuhnya sendiri. Berbagai penolakan itu membuktikan telah terjadi
pergeseran nilai dalam struktur sosial masyarakat, yang mana hukum berusaha
mereduksi persoalan pornografi dan pornoaksi masuk ke dalam upaya kriminalisasi.
Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa perubahan sosial seketika dapat
mendorong terjadinya perubahan pada lembaga-lembaga sosial yang mempengaruhi
sistem sosial, termasuk nilai-nilai, sikap-sikap dan pola prilaku di antara kelompok-
kelompok dalam masyarakat. Seperti apa yang dikatakan oleh Van Doorn;25 hukum
adalah skema yang dibuat untuk menata (prilaku) manusia, tetapi manusia itu sendiri
cenderung terjatuh di luar skema yang diperuntukkan baginya, ini disebabkan faktor
pengalaman, pendidikan, tradisi, dan lain-lain yang mempengaruhi dan membentuk
prilakunya.
Interaksi antara hukum dan masyarakat dipertajam oleh kehadiran hukum
modern yang segala sudut pandangnya dialogis terhadap prinsip rasionalitas. Artinya
hukum hanya berdaya-guna bila memiliki kebenaran rasional, sebuah kebenaran yang
bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan prinsip-prinsip logis-kritis. Rasionalitas itu
memaksa hukum menjamin kepastian demi terwujudnya keadilan. Persoalannya

23
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Cet II, Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal 9.
24
Soerjono Soekanto, Pendekatan..Op.,Cit, hal 52.
25
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum..Op.,Cit, hal 4.

11
keadilan yang dimaksud ialah keadilan hukum, sebagai ranah dari penjelmaan doktrin
positivisme hukum. Keadilan hukum semata-mata hanya akan menjalankan hukum
secara praktikal sesuai dengan prosedur hukum demi terwujudnya nilai kepastian
hukum.
Pemahaman tentang hukum seperti demikian itu berimbas pula pada
pemahaman antara keterkaitan hukum dan kepastian hukum menjadi relatif. Hukum
tidak serta merta menciptakan kepastian hukum. Yang benar adalah bahwa hukum
menciptakan kepastian peraturan, dalam arti adanya peraturan seperti undang-
undang.26 Lebih jauh Charles Sampford melakukan kritik terhadap ajaran dari
postivisme hukum yang melihat sisi hukum hanya pada ranah kepastian hukum saja,
ia mengatakan; hukum itu penuh dengan ketidakteraturan (the disorder of law).27
Kalau para ahli hukum mengatakan, bahwa hukum itu harus dijalankan dengan penuh
kepastian dan keteraturan, maka itu sebetulnya bertolak dari kepentingan profesi yang
mereka lakoni pada waktu itu saja, dan bukan hal yang sebenarnya.
Sebab bagaimana ahli hukum bisa bekerja dengan tenang, kalau hukum yang
mereka gunakan itu banyak mengandung ketidakpastian. Dengan demikian, menurut
Sampford, kepastian hukum itu lebih merupakan keyakinan yang dipaksakan
daripada keadaan yang sebenarnya.28 Ternyata peraturan bukan satu-satunya faktor
yang menyebabkan munculnya kepastian tersebut, melainkan juga faktor lain, seperti
tradisi dan prilaku.
Akhir dari itu semua, bahwa hukum merupakan ekspresi dari kehendak sosial
masyarakat, ia akan selalu fluktuatif berdasarkan dengan nilai-nilai, kaidah-kaidah
dan prilaku sosial masyarakat. Keadilan sosial akan menjadi pintu terakhir dari cita-
cita hukum setiap bangsa, atau rumusan yang lebih konkret adalah yang dikatakan
oleh Gustav Radbruch; yaitu hukum adalah kehendak untuk bersikap adil.29 Sisanya
hanya adil untuk siapa? dan untuk apa?. Hal inilah yang menjadi pokok bahasan pada
bagian selanjutnya, yaitu; refleksi filsafat hukum dalam menuai catatan akhir mencari
reposisi keadilan sesungguhnya.

26
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal 78.
27
Ibid.
28
Ibid.
29
E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum…Op.,Cit, hal xviii

12
E. Refleksi Filsafat Hukum; Sebuah Catatan Akhir
Menuju Keadilan Progresif
Seperti apa yang telah di bahas pada bagian sebelumnya, bahwa refleksi
filsafat hukum pada akhirnya memberikan manifestasi keseimbangan penceritaan
kembali terhadap titik pertemuan antara penyelidikan filsafat hukum mengenai
konsep atau sifat hukum, masalah tujuan atau cita-cita hukum dan pola antarpengaruh
hukum dan masyarakat. Artinya positif dan negatif dalam menilik orientasi nilai
keadilan sosial ditanggapi secara seimbang, tidak sekedar dengan ekspresi subyektif
dan cenderung berat sebelah.
Refleksi filsafat hukum dilakukan agar dapat mengetahui kejanggalan-
kejanggalan yang ada dalam penerapan hukum. Fokus kerjanya ialah refleksi secara
sistematikal tentang “kenyataan” dari hukum. Kenyataan hukum harus dipikirkan
sebagai realisasi (perwujudan) dari ide-hukum (cita-hukum).30 Dalil yang dikatakan
oleh Gustav Radbruch; bahwa ia menjabarkan ide-hukum dikemas melalui tiga
aspek, yakni kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. pertautan antara ketiganya
itu sangat dinamis. Menurutnya; tidak dapat ditentukan asas mana yang harus
diutamakan, karena yang paling bisa menentukan ialah kekusaan kehendak dari
pembuat undang-undang: positivitas dari hukum pada akhirnya tergantung pada
keputusannya.
Akan tetapi dibalik kenyataan itu, nilai kebenaran ialah suatu keniscayaan
menuju jalan terang keadilan. Hanya kemudian prevensi nilai kebenaran akan sangat
tergantung sekali terhadap faktor kepentingan dan kebutuhan. Fakta tersebut
memperlihatkan betapa sulitnya dalam menentukan sikap adil. Keadilan merupakan
sasaran utama dari hukum, maka penegakan hukum haruslah diarahkan, antara lain
agar tercapai keadilan, baik bagi individu maupun keadilan bagi masyarakat, yang
dikenal dengan istilah keadilan sosial. Keadilan mestilah merupakan faktor penting
bagi adanya justifikasi terhadap suatu penegakan hukum, karena penegakan hukum
merupakan perwujudan “kenyataan hukum” yaitu; cita-cita hukum bangsa.
Dalam praktek hukum di Indonesia, seringkali para penegak hukum telah
menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan main yang ada, dalam artian aturan main
yang formal. Terhadap kasus tindak pidana korupsi misalnya, sesuai hukum yang
berlaku, jaksa sudah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan ke
pengadilan. Pengacara sudah menjalankan fungsinya untuk membela dan

30
Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan..Op.,Cit, hal 19.

13
mempertahankan hak-hak tersangka. Dan hakim sudah mendengar kedua belah pihak,
sehingga dikeluarkanlah putusan pengadilan. Semua aturan hukum yang relevan
sudah dipertimbangkan dan diterapkan. Serta semua formalitas dan tata cara yuridis
sudah diikuti.
Persoalannya, mengapa terhadap penegakan hukum yang demikian masih saja
banyak masyarakat yang tidak puas, dan masih saja dikatakan bahwa penegakan
hukum di Indonesia ditenggarai sangat rendah dan sudah mencapai titik nadir. Inilah
masalahnya, yakni tidak terpenuhinya nilai keadilan, terutama keadilan masyarakat.
Mimbar pengadilan telah terisolasi dengan pemahaman makna kepastian hukum saja,
tanpa mau membuka diri dan menggali nilai-nilai keadilan yang ada di masyarakat.
Sampailah kita pada pembicaraan bahwa refleksi filsafat hukum yang
memfokuskan diri pada cita-cita hukum yaitu bagaimana mencapai keadilan subtantif,
pada kenyataanya makna keadilan saat ini telah terkikis oleh paradigma yang sangat
kaku, hanya melihat sisi keadilan pada ejaan pasal-perpasal dalam mewujudkan
keadilan prosedural. Apa yang akan penulis ketengahkan sebenarnya bukanlah
sesuatu hal yang baru, berangkat dari pemahaman gagasan brillian Satjipto
Rahardjo31 yaitu; paradigma hukum progresif yang mana lahir sebagai oposisi
keilmuan terhadap paham postivisme hukum.
Gagasan ini kemudian mencuat kepermukaan dan menjadi kajian yang sangat
menarik ditelaah lebih lanjut. Apa yang digagas oleh Prof. Tjip ini menawarkan
perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum di Indonesia”.
Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya
mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan
segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan
menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu
sendiri.32
Dilihat dari kemunculannya, hukum progresif bukanlah sesuatu yang
kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh
dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang
tidak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai yang sedang

31
Gagasan dimaksud pertama kali dilontarkan pada tahun 2002 lewat sebuah artikel yang
ditulis di Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas,
15 juni 2002.
32
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum..Op.,Cit, hal ix.

14
mencari jati diri–bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di
masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas
penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20. Dalam proses
pencariannya itu, Prof. Tjip kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab
menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesia adalah dominasi
paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat.33
Dalam kaitannya dengan mencari alternatif nilai keadilan di tengah-tengah
rapuhnya penegakan hukum Indonesia saat ini, sebagai catatan akhir penulis menuju
keadilan progresif yang pada aktualisasinya selalu percaya diri dengan prinsip-
prinsip kebenaran. Keadilan progresif akan selalu mencerminkan diri pada kenyataan
hukum di masyarakat. Setidaknya keadilan progresif ini secara konseptual harus
berdiri atas tiga varian pokok, yaitu; pertama, menempatkan diri sebagai kekuatan
“pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum
yang legalistik-dogmatis, analitis-positivistik. Sekalian dengan ciri pembebasan itu,
keadilan progresif lebih mengutamakan “tujuan” daripada “prosedur”.
Kemudian yang kedua, didasarkan pada “logika kepatutan sosial” dan tidak
semata-mata berdasarkan pada logika peraturan. Sehingga dalam hal ini keadilan
progresif dapat menjunjung tinggi moralitas. Hati nurani ditempatkan sebagai
penggerak, pendorong sekaligus pengendali aktivitas perjuangan itu. Dan yang ketiga,
paling utama keadilan progresif banyak bertumpu pada kualitas dan kemampuan
sumberdaya manusia penegak hukumnya. Faktor modalitas menjadi amat penting,
seperti: empati, “kejujuran dan keberanian”. Faktor-faktor itulah yang harus
dikedepankan daripada sekedar menjalankan peraturan secara mekanistis-linier.
Dalam kualitas yang demikian itu, maka keadilan progresif akan selalu gelisah
melakukan pencarian dan pembebasan. Pencarian terus dilakukan, oleh karena
memang hakikat dari keadilan progresif; yaitu mencari kebenaran hakiki.

F. Simpulan
Refleksi filsafat hukum dilakukan agar dapat mengetahui kejanggalan-
kejanggalan yang ada dalam penerapan hukum. Fokus kerjanya ialah refleksi secara
sistematikal tentang “kenyataan” dari hukum. Kenyataan yang berbasis cita-cita
hukum adalah berangkat dari sisi keadilan pada realitas sosial yang lebih luas.

33
Ibid. hlm 10-11, Lihat juga Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia,
Kompas, Jakarta, 2003, hlm 22-25.

15
Setidaknya kenyataan hukum, dapat di konstruksikan melalui ranah hukum progresif
dengan gagasan bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Apabila kita
berpegangan pada keyakinan bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia
itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam
skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Sehingga tak heran ketika manusia itu
untuk hukum, keluarannya mesti keadilan prosedural. Berbeda ketika hukum adalah
untuk manusia, ia membentuk skema hukum berdasarkan kebutuhan dan hanya untuk
melayani kepentingan manusia, disitulah terdapat keadilan progresif. Keadilan yang
mana dapat menjawab stagnasi supremasi hukum kita saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial


“Buku Teks Sosiologi Hukum Ke I”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.
Abdul Ghofur Anshori dan Sobirin Malian, Membangun Hukum Indonesia, Kreasi
Total Media, Yogyakarta, 2008.
Ahmad Azhar Basyir, Pokok-pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, UII Press,
Yogyakarta, 2000.
Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007.
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil, Grassindo, Jakarta, 1999.

16
Bur Susanto, Keadilan Sosial “Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas”,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.
Darji Darmodiharjo dan Arief Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1995.
E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Buku Kompas, Jakarta,
2007.
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003.
______________, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI PRESS, Jakarta, 2006.
______________, Membedah Hukum Progresif, Cet II, Buku Kompas, Jakarta, 2007.
______________, Biarkan Hukum Mengalir, Buku Kompas, Jakarta, 2007.
S.Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum, Abardin, Jakarta, 1986.
Soerjono Soekanto, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta,
1988.
Sugiyanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar Maju,
Bandung, 1998.
Teguh Prasetyo, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Cet. II, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2007.
Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke 22 Pradnya Paramita, Jakarta, 1985.

17

You might also like