Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Sebelum sekitar tahun 1950, definisi atas kematian cukup jelas, yakni saat detak
jantung dan pernapasan berhenti terjadi. Namun kemudian berbagai teknik ditemukan
untuk mempertahankan detak jantung dan pernapasan walaupun pasien telah mati,
sehingga muncul persepsi baru. Kematian didefinisikan sebagai hilangnya fungsi otak
dan bukan fungsi jantung dan paru. Ilmuwan, pemuka agama, pekerja kesehatan,
bahkan masyarakat umum secara luas telah menyetujui bahwa seseorang dapat
dikatakan meninggal apabila terjadi kematian otak. Di Amerika Serikat, kematian
dapat ditentukan berdasarkan kriteria neurologis
Pada orang dewasa di Hongkong, kematian otak yang diakibatkan oleh cedera kepala
berat meliputi hingga sekitar 50% dari semua kasus, dan 30% lainnya diakibatkan
oleh perdarahan intrakranial. Sisanya disebabkan oleh tumor dan infeksi. Di Amerika,
penyebab utama kematian otak adalah cedera kepala dan perdarahan subarachnoid .
Batang otak dapat mengalami cedera oleh lesi primer ataupun karena peningkatan
tekanan pada kompartemen supratentorial atau infratentorial yang mempengaruhi
suplai darah atau integritas struktur otak. Cedera hipoksia lebih mempengaruhi
korteks daripada batang otak .
Kriteria untuk kematian otak sendiri berevolusi seiring waktu. Pada tahun 1959,
Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah “irreversible coma” atau koma
ireversibel, untuk mendeskripsikan keadaan dari 23 orang pasien yang berada dalam
kondisi koma, kehilangan kesadaran, refleks batang otak, respirasi, serta
menunjukkan hasil elektroensefalogram yang datar. Pada tahun 1968, komite ad hoc
di Harvard Medical School meninjau ulang definisi kematian otak dan mendefinisikan
koma ireversibel, atau kematian otak, sebagai tidak adanya respon dan reseptivitas,
pergerakan dan pernapasan, reflex batang otak, serta adanya koma yang penyebabnya
telah diidentifikasi. Pada tahun 1976, The Conference of Medical Royal Colleges di
Inggris menyatakan bahwa kematian otak adalah hilangnya fungsi batang otak yang
komplet dan ireversibel. Pada tahun 1981, President’s Commission for the Study of
Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research
mempublikasikan panduan berkaitan dengan kematian otak.
Menurut Peraturan Pemerintah RI no 18 tahun 1981 tentang bedah mayat klinis dan
bedah mayat anatomis serta transplantasi alat atau organ tubuh manusia, meninggal
dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli-ahli kedokteran yang berwenang
bahwa fungsi otak, pernapasan dan denyut jantung seseorang telah berhenti. Batasan
mati mengandung 2 kelemahan yang pertama pada henti jantung (cardiac arrest) ,
fungsi otak, pernapasan dan jantung telah berhenti namun sebetulnya kita belum dapat
menyatakan mati karena pasien masih mungkin hidup kembali bila dilakukan
resusitasi. yang kedua dengan adanya kata-kata “denyut jantung telah berhenti“ maka
ini justru kurang menguntungkan untuk transplantasi, karena perfusi ke organ-organ
telah berhenti pula, yang tentunya akan mengurangi viabilitas jaringan atau organ.
Diagnosis mati batang otak (MBO) dan petunjuknya dapat dilihat pada fatwa IDI
tentang MBO. Diagnosa MBO mempunyai 2 komponen utama. Komponen pertama
terdiri dari pemenuhan prasyarat-prasyarat dan komponen kedua adalah tes klinis
fungsi batang otak.
Definisi Mati
Mati klinis adalah henti napas (tidak ada geraka napas spontan) ditambah henti
sirkulasi (jantung) total dengan semua aktivitas otak terhenti, tetapi tidak ireversibel.
Pada masa dini kematian inilah, permulaan resusitasi dapat diikuti dengan pemulijan
semua fungsi organ vital termasuk fungsi otak nomal, asal diberikan terapi yang
optimal.
Mati biologis (kematian semua organ) selalu mengikuti mati klinis bila tidak
dilakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau bila upaya resusitasi dihentikan. Mati
biologis merupakan proses nekrotisasi semua jaringan, dimulai dengan neuron otak
yang menjadi nekrotik setelah kira-kira 1 jam tanpa sikulasi, diikuti oleh jantung,
ginjal, paru, dan hati yang menjadi nekrotik selama beberapa jam atau hari.
Mati serebral (kematian kortek) adalh kerusakan ireversibel (nekrosis) serebrum,
terutama neokorteks. Mati otak (MO, kematian otak total) adalah mati serebral
ditambah dengan nekrosis sisa otak lainnya, termasuk serebelum, otak tengah, dan
batang otak.
Mati sosial (status vegetatif yang menetatap, sidroma apalika) merupakan kerusakan
berat ireversibel pada pasien yang tetap atidak sadar dan tidak responsif, tetapi
mempunyai elektroensefalogram (EEG) aktif dan beberapa reflek yang utuh. Ini harus
dibedakan dari mati serebral yang EEGnya tenang dan dari mati otak, dengan
tambahan ketiadaan semua reflek saraf otak dan upaya napas spontan. Pada keadaan
vegetatif mungkin terdapat daur sadar-tidur. ( Sunatrio. 1986, Safar P, 1984)
PEMERIKSAAN KLINIS
Banyak anggota berbagai asosiasi ahli saraf dan ahli bedah saraf telah menyusun
kebijakan dan panduan praktek untuk menegakkan diagnosis kematian otak. Hanya
ada sedikit perbedaan yang ada, dan selalu ada penekanan yang konsisten pada
pengujian apnea dan penilaian fungsi otak sebagai metode plihan dalam menegakkan
diagnosis kematian otak. Tes konfirmasi yang rutin dengan elektroensefalografi tidak
lagi menjadi pilihan. Uji elektrofisiologis lain juga tidak cukup mendapat validasi dan
memiliki kesulitan baik dalam pelaksanaan maupun interpretasinya.
Kebijakan dan panduan praktek tersebut diterapkan secara merata pada dewasa dan
usia 2 bulan ke atas. Kematian otak pada bayi berusia kurang dari 2 bulan didiagnosis
dengan pendekatan yang berbeda pada kebanyakan kebijakan dan biasanya meliputi
uji apnea, uji fungsi otak berulang, elektroensefalografi, dan uji perfusi serebral
(Lazar et al, 2001).
Pemeriksaan neurologis klinis tetap menjadi standar untuk penentuan kematian otak
dan telah diadopsi oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Pemeriksaan pasien
yang diduga telah mengalami kematian otak harus dilakukan dengan teliti. Deklarasi
tentang kematian otak tidak hanya menuntut dilakukannya tes neurologis namun juga
identifikasi penyebab koma, keyakinan akan kondisi ireversibel, penyingkiran tanda
neurologis yang salah ataupun faktor-faktor yang dapat menyebabkan kebingungan,
interpretasi hasil pencitraan neurologis, dan dilakukannya tes laboratorium tambahan
yang dianggap perlu (Wijdicks, 2001. Walshe,2001).
Diagnosis kematian otak terutama ditegakkan secara klinis. Tidak ada tes lain yan
perlu dilakukan apabila pemeriksaan klinis yang menyeluruh, meliputi kedua tes
refleks batang otak dan satu tes apnea, memberikan hasil yang jelas. Apabila tidak
ditemukan temuan klinis, atau uji konfirmasi, yang lengkap yang konsisten dengan
kematian otak, maka diagnosis tersebut tidak dapat ditegakkan (New York State
Department of Health, 2005).
Pemeriksaan neurologis untuk menentukan apakah seseorang telah mengalami
kematian otak atau tidak dapat dilakukan hanya apabila persyaratan berikut dipenuhi:
penyingkiran kondisi medis yang dapat mengganggu penilaian klinis, khususnya
gangguan elektrolit, asam – basa, atau endokrin; tidak adanya hipotermia parah,
didefinisikan sebagai suhu tubuh lebih kurang atau sama dengan 32oC; dan tidak
adanya bukti intoksikasi obat, racun, atau agen penyekat neuromuskuler (Wijdicks,
2001).
Menurut panduan sertifikasi kematian otak yang diterapkan di Hong Kong, yang
mengacu pada beberapa referensi seperti Medical Royal Colleges in United Kingdom
dan Austalian and New Zealand Intensive Care Society, sebelum mempertimbangkan
diagnosis kematian otak, harus diperiksa kondisi-kondisi serta kriteria eksklusi.
Pertama-tama, harus ditemukan kondisi cedera otak berat yang konsisten dengan
proses terjadinya kematian otak (yang biasanya dikonfirmasi dengan pencitraan otak).
Tidak boleh ada keraguan bahwa kondisi yang dialami pasien diakibatkan oleh
kerusakan struktural otak yang tidak dapat diperbaiki. Diagnosis dari kelainan yang
dapat menimbulkan kematian otak harus ditegakkan dengan jelas. Diagnosis tersebut
dapat jelas terlihat beberapa jam setelah kejadian intrakranial primer seperti cedera
kepala berat, perdarahan intrakranial spontan, atau setelah pembedahan otak. Namun,
saat kondisi pasien disebabkan oleh henti jantung, hipoksia, atau insufisiensi sirkulasi
yang berat tanpa periode anoksia serebri yang jelas, atau dicurigai mengalami
embolisme udara atau lemak otak maka penegakan diagnosis akan memakan waktu
lebih lama.
Kondisi kedua yang dapat menjadi pertimbangan untuk menegakkan diagnosis
kematian otak adalah pasien yang apneu dan menggunakan bantuan ventilator. Pasien
tidak responsif, dan tidak bernafas secara spontan. Obat penyekat neuromuskuler atau
lainnya harus dieksklusi dari penyebab kondisi tersebut.
Penyebab koma lain yang harus dieksklusi adalah obat depresan atau racun. Riwayat
penggunaan obat harus secara hati-hati diperiksa. Periode observasi tergantung pada
farmakokinetik dari obat yang digunakan, dosis yang digunakan, dan fungsi hepar
serta ginjal pasien. Apabila diperlukan, tes darah dan urin serta level serum dilakukan.
Bila ada keraguan tentang adanya efek dari opioid atau benzodiazepine, maka obat
antagonis yang tepat harus diberikan. Stimulator saraf tepi harus digunakan untuk
mengkonfirmasi intak tidaknya konduksi neuromuskuler apabila pasien menggunakan
obat pelemas otot (muscle relaxant).
Hipotermia primer juga menjadi kriteria eksklusi. Suhu pasien direkomendasikan
harus di atas 35O C sebelum dilakukan uji diagnostik. Selain itu, harus disingkirkan
juga kondisi gangguan metabolik dan endokrin, serta hipotensi arteri (Hong Kong
Society of Critical Care Medicine, 1998. Walshe,2001).
Interpretasi dari pindaian computed tomography (CT) adalah penting untuk
menentukan penyebab kematian otak. Umumnya, pindaian CT menunjukkan massa
beserta herniasi otak, lesi hemisferik multipel dengan edema, atau edema saja.
Kompresi arteri dan vena mengakibatkan oedem sitotoksik dan tekanan intrakranial
dapat meningkat akibat terhalangnya drainase cairan serebrospinal oleh aqusduktus
atau ruang subarakhnoid. Perubahan ini menyebabkan herniasi berlanjut dan posisi
otak menurun. Penurunan ini begitu besar sehingga cabang-cabang arteri basilaris
(yang mendarahi batang otak) teregang dan mengakibatkan perdarahan
intraparenkimal dan memperparah oedem. Bagaimanapun, temuan pada pindaian CT
tidak menghilangkan kebutuhan untuk pemeriksaan yang teliti atas faktor-faktor lain
yang mungkin menyesatkan diagnosis. Sebaliknya, hasil pindaian CT dapat
menunjukkan hasil normal pada periode awal setelah henti jantung dan paru dan pada
pasien dengan meningitis atau ensefalitis fulminan. Pemeriksaan cairan serebrospinal
dapat menunjukkan adanya kondisi dimana terjadi infeksi pada sistem saraf pusat.
Kriteria klinis untuk kematian otak pada dewasa dan anak adalah sebagai berikut:
Koma
Tidak ada respon motorik
Tidak ada respon pupil terhadap cahaya dan pupil berada di posisi tengah dengan
dilatasi (4 – 6 mm)
Tidak ada refleks kornea
Tidak ada refleks tersedak
Tidak ada respon kalorik
Tidak ada batuk sebagai respon terhadap suction trakhea
Tidak ada refleks menghisap dan menutup mulut
Tidak ada usaha respirasi saat PaCO2 setinggi 60 mmHg atau 20 mmHg di atas nilai
dasar normal
Interval antara kedua evaluasi, sesuai usia pasien:
Lahir hingga 2 bulan, 48 jam
>2 bulan hingga 1 tahun, 24 jam
>1 tahun hingga <18>2 bulan hingga 1 tahun, 1 tes konfirmasi
>1 tahun hingga <18 tahun, opsional
≥18 tahun, opsional
Tiga temuan utama dalam kematian otak adalah koma atau tidak adanya respon,
absennya refleks batang otak, dan apnea. Pemeriksaan klinis dari batang otak meliputi
tes refleks batang otak, penentuan kemampuan pasien untuk bernapas secara spontan,
dan evaluasi respon motor terhadap nyeri.
1. Koma atau tidak adanya respon.
Pengujian respon motor dari ekstremitas diuji dengan stimulasi nyeri penekanan
daerah supraorbita dan dasar kuku. Yang harus diperhatikan dalam pengujian ini
adalah kemungkinan adanya respon motorik (“Lazarus sign”) yan dapat terjadi secara
spontan selama tes apnea, seringkali pada kondisi hipoksia atau episode hipotensi, dan
berasal dari spinal. Agen penyekat neuromuskuler juga dapat menghasilkan
kelemahan motorik yang cukup lama.
2. Absennya refleks batang otak.
A. Pupil.
Pengujian terhadap refleks pupil dilakukan dengan menguji respon terhadap cahaya
yang terang. Kematian otak akan menunjukkan pupil yang berbentuk bulat, oval,
ataupun ireguler. Kebanyakan pupil pada pasien yang mengalami kematian otak akan
berada pada ukuran 4 hingga 6 mm, namun ukuran dapat bervariasi dari 4 hingga 9
mm. Pupil yang mengalami dilatasi menggambarkan kematian otak, karena jalut
servikal simpatis yang berhubungan dengan serat otot dilator yang tersusun radial
masih dapat tetap utuh.
Yang harus diperhatikan dalam pengujian ini adalah bahwa banyak obat dapat
mempengaruhi ukuran pupil. Pada dosis konvensional, atropin yang diberikan secara
intravena tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap respon pupil. Karena tidak
ada reseptor nikotinik di iris, obat penyekat neuromuskuler tidak mempengaruhi
ukuran pupil. Pemberian obat topikal di mata dan trauma kornea atau bulbus okuli
dapat menyebabkan abnormalitas ukuran pupil dan menyebabkannya menjadi non
reaktif. Abnormalitas anatomis yang telah ada sebelumnya pada iris ataupun efek dari
operasi harus dieksklusi.
B. Pergerakan okuler.
Gerakan okuler akan absen setelah dilakukan gerakan memutar kepala da tes kalorik
dengan air es. Pengujian ini hanya dilakkan setelah dipastikan tidak ada fraktur atau
instabilitas dari servikal atau pada pasien dengan cedera kepala. Vertebra servikal
harus diperiksa dengan pencitraan untuk menunjukkan tidak adanya fraktur atau
instabilitas potensial. Refleks okulosefalik yang dirangsang dengan menggerakkan
kepala secara cepat dan tegas dari posisi tengah ke posisi 90 derajat kiri dan kanan,
pada orang normal akan menghasilkan deviasi mata ke arah berlawanan dengan
gerakan kepala. Pergerakan mata vertikal juga diuji dengan melakukan fleksi leher.
Pada kematian otak, tidak akan ditemukan adanya pembukaan kelopak mata dan
pergerakan mata vertikal dan horizontal.
Uji kalori dilakukan dengan kepala yang dielevasikan 30 derajat selama irigasi dari
tympanum di tiap sisi telinga dengan 50 ml air es. Irigasi tympanum dilakukan paling
baik dengan menggunakan kateter suction kecil di kanal auditorik eksternal dan
menghubungkannya dengan siring 50 ml yang diisi dengan air es. Deviasi tonus dari
mata yang muncul akibat rangsang kalorik dingin tidak akan muncul pada kematian
otak. Investigator harus mengamati hingga 1 menit setelah pemberian stimulus, dan
waktu antara pemberian rangsang pada tiap sisi harus minimal 5 menit.
Yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan ini adalah adanya obat yang dapat
mengurangi atau menghilangkan respon kalorik, yakni sedatif, aminoglikosida,
antidepresan trisiklik, antikolinergik, obat antiepilepsi, dan agen kemoterapi. Setelah
cedera kepala atau trauma fasial, edema kelopak mata atau kemosis konjungtiva dapat
menghambat pergerakan bola mata. Bekuan darah atau serumen dapat juga
mengurangi respon kalorik, dan uji dilakukan ulang setelah pemeriksaan inspeksi
langsung tympanum. Fraktur basal dari tulang petrosus dapat menghilangkan respon
kalorik secara unilateral dan dapat diidentifikasi dengan prosesus mastoideus yang
ekimoses.
C. Sensasi fasial dan respon motor fasial
Refleks kornea harus diuji dengan swab tenggorok. Refleks kornea dan refleks rahang
harus absen. Wajah yang mengernyit saat diberikan rangsang nyeri dapat diuji dengan
memberikan tekanan dalam dengan obyek tumpul pada dasar kuku, tekanan pada
daerah supraorbita, atau tekanan yang dalam pada kedua kondilus setinggi sendi
temporomandibuler.
Yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan ini adalah adanya trauma fasial yang
berat sehingga dapat mengganggu interpretasi refleks batang otak.
D. Refleks faring dan trakhea
Respon tersedak, yang diuji dengan merangsang faring posterior dengan laringoskop,
harus absen. Tidak adanya refleks batuk pada suction bronkhial juga harus tampak.
Dalam pemeriksaan ini, harus diperhatikan bahwa pada apsien yang diintubasi secara
oral, respon tersedak mungkin sulit untuk diamati.
3. Apnea
Pada uji apnea, harus diperhatikan beberapa kondisi sebelum dilakukannya pengujian.
Perubahan yang penting pada tanda vital (misalnya hipotensi yang mencolok, aritmia
kardia berat) yang ditemukan pada pemeriksaan apnea dapat berkaitan dengan
kurangnya pengamatan terhadap kondisi-kondisi yan dilakukan sebelum pengujian,
walaupun perubahan tersebut dapat terjadi secara spontan karena asidosis yang
meningkat. Sehingga, persyaratan-persyaratan berikut ini harus diperhatikan: (1) suhu
inti lebih dari atau sama dengan 36,5O C (4,5O C lebih tinggi dari suhu yang menjadi
persyaratan diagnosis klinis kematian otak yakni 32O C), (2) tekanan darah sistolik
yang lebih tinggi atau sama dengan 90 mm Hg, (3) euvolemia (atau lebih baim
apabila balans cairan positif selama 6 jam sebelumnya), (4) eukapnea (atau apabila
PCO2 arteri lebih dari atau sama dengan 40 mm Hg), dan (5) normoksemia (atau
apabila PO2 arteri lebih dari atau sama dengan 200 mm Hg). Oksimeter pulsa
dihubungkan pada pasien.
Pengujian dilakukan dengan tahap-tahap berikut:
• Memutus hubungan dengan ventilator
• Memberikan O2 100% 6 l/menit. Pilihannya adalah dengan menempatkan kanul
setinggi karina.
• Amati dengan seksama pergerakan respirasi. Respirasi didefinisikan dengan
pergerakan abdomen atau dada yang menghasilkan volume tidal yang adekuat. Bila
ada, respirasi dianggap ada pada uji apnea ini. Saat terjadi gerakan yang mirip dengan
respirasi, maka harus diamati hingga akhir uji apnea, dmana oksigenasi berada pada
level yang lebih rendah. Saat hasilnya meragukan, spirometer dapat dihubungkan
dengan pasien untuk memastikan bahwa tidak ada volume tidal.
• Ukur PO2, PCO2, dan pH arteri setelah kira-kira 8 menit dan hubungkan kembali
dengan ventilator.
• Bila gerakan respirasi tidak ada dan PCO2 arteri sama dengan atau lebih dari 60 mm
Hg (pilihan lain adalah PCO2 yang meningkat 20 mm Hg dari PCO2 normal dasar),
maka tes apnea dinyatakan positif (sehingga mendukung diagnosis klinis kematian
otak).
• Bila teramati adanya gerakan respirasi, maka tes apnea dinyatakan negatif (sehingga
tidak mendukung diagnosis klinis kematian otak), dan tes harus diulang.
• Bila selama tes apnea tekanan darah sistolik menjadi ≤90 mm Hg, oksimeter pulsa
menunjukkan desaturasi, dan terjadi aritmia kardia, segera ambil sampel darah,
hubungkan dengan ventilator, dan lakukan analisa gas darah arteri. Tes apnea
memberikan hasil positif, apabila PCO2 arteri lebih dari atau sama dengan 60 mm Hg
atau meningkat 20 mm Hg dari PCO2 normal dasar. Bila PCO2 kurang dari 60 mm
Hg, atau peningkatannya kurang dari 20 mm Hg, hasilnya tidak dapat dipastikan.
Pada kondisi ini, dimana terdapat instabilitas kardiovaskuler bersamaan dengan
ketidak jelasan batasan atas PCO2 dimana terjadi stimulasi maksimal terhadap pusat
pernafasan, maka tergantung pada dokter untuk memutuskan apakah diperlukan tes
konfirmasi untuk memastikan diagnosis klinis kematian otak.
• Bila tidak ada pergerakan respirasi, PCO2 kurang dari 60 mm Hg, dan tidak ada
aritmia kardia atau hipotensi signifikan, tes dapat diulang dengan apnea selama 10
menit. (Wijdicks, 1994. Wijdicks, 2001. Beterhealt,2000. Eduardo,2009)
Tes tambahan untuk konfirmasi kematian otak harus memenuhi kriteria berikut:
1. Tidak boleh ada positif palsu, sehingga saat tes mengkonfirmasi adanya kematian
otak, maka tidak boleh ada pasien yang sembuh atau memiliki potensi untuk sembuh.
2. Tes harus dapat berdiri sendiri dalam menegakkan apakah kematian otak benar-
benar terjadi atau tidak.
3. Tes tidak boleh dipengaruhi faktor yang dapat menyesatkan seperti efek obat atau
gangguan metabolik.
4. Tes harus distandarisasi dalam hal teknologi, teknik, dan klasifikasi hasilnya.
5. Tes harus dapat diperoleh secara umum, aman, dan dengan mudah dilakukan. Tes
tidak boleh terbatas pada beberapa pusa penelitian saja; idealnya ia harus dapat
diterapkan pada semua Intensive Care Unit (ICU) dan teknik harus dapat diandalkan
dan mudah dipelajari.
Tes-tes tambahan yang ada saat ini terutama meliputi tes elektrofisiologis
(elektroensefalografi, potensial pacuan somatosensorik dan potensial pacuan
pendengaran batang otak, dan respon pacuan motorik), tes aliran darah otak
(angiografi serebri empat vasa, tes kedokteran nuklir aliran darah otak, Doppler
transkranial, MRI, angiografi resonansi magnetik, dan pemeriksaan CT), dan
pemeriksaan lainnya seperti pemeriksaan metabolisme, pemeriksaan oksigen vena
jugularis, dan tes atropin.
Saat dilakukan secara kontinyu, pemantauan elektroensefalografi dapat menunjukkan
supresi tegangan secara umum, yang dapat menunjukkan pada klinisi adanya
kematian otak. Namun, EEG telalu anatomis, dan terbatas secara fisilogis. EEG
merekam aktivitas hanya dari lapisan korteks yan berada tepat di bawah kulit kepala
dan tidak merekam dari struktur sbkorteks, seperti batang otak atau thalamus, dan
hanya memberikan cakupan yang terbatas dari permukaan cembung otak besar. Lebih
jauh lagi, tidak semua frekuensi EEG tertangkap sehingga dapat memberikan hasil
datar atau isoelektrik saat ada neuron yang masih hidup di batang otak atau tempat
lain.
Hanya ada sedikit penelitian yang menguji validitas dari EEG dalam kaitannya
dengan kematian otak. EEG juga memiliki kelemahan, dimana dapat terjadi gangguan
dari faktor-faktor yang dapat menyesatkan, seperti terjadinya gambaran yang datar
atau isoelektris saat terjadi overdosis barbiturat atau anestesi yang dalam, dimana
keduanya merupakan kondisi yang reversibel. Sehingga, pada tes EEG dapat terjadi
positif palsu maupun negatif palsu, membuat EEG menjadi suatu tes yang jauh dari
ideal untuk penentuan kematian otak.
Saat diperlukan konfirmasi untuk penentuan kematian otak, tes aliran darah ke otak
dianggap lebih tepat. Tes yang menunjukkan absennya aliran darah ke otak umumnya
diterima sebagai penegakan kematian otak yang memiliki kepastian, karena konsep
bahwa apabila otak tidak mendapatkan suplai darah selama periode waktu tertentu
akan mati sudah diyakini secara luas. Tentunya kondisi hipotermia dan hipotensi
transien yang reversibel harus disingkirkan. Kematian otak dapat disertai dengan baik
edema jaringan ataupun efek massa yang menyebabkan tekanan intrakranial menjadi
sama atau lebih dari tekanan darah sistolik dan tekanan darah arteri rata-rata.
Konsekuensinya, darah tidak memasuki kompartemen intrakranial, atau hanya
memasuki selama sistol, mengakibatkan tidak terjadinya perfusi ke jaringan otak,
sehingga menyebabkan kematian sel neuron dan glia otak, tes aliran darah otak
memberikan metode yang dapat diterima dan dapat berdiri sendiri dalam menegakkan
kematian otak. Tes tersebut tidak disesatkan oleh obat, gangguan metabolik, atau
hipotermia. Syarat sebelumnya adalah bahwa tekanan darah sistemik harus adekuat,
dimana pasien tidak dalam kondisi syok. Tes aliran darah otak meliputi angiografi
empat vasa (karotis dan vertebral), TCD, MRI, dan MRA, angiografi CT, dan tes
kedokteran nuklir. Tes yang lebih akurat untuk perfusi lebih dipilih, yakni angiografi
dan CT emisi foton tunggal (SPECT), dibandingkan dengan pencitraan sirkulasi otak
dua dimensi.
Tes perfusi jarang memberikan hasil negatif palsu, dimana ditemukan perfusi struktur
arteri atau vena pada pasien yang telah dikonfirmasi mengalami kematian otak secara
patologis dan klinis. Ini terutama terjadi pada kondisi dimana tekanan intrakranial
menurun akibat mekanisme dekompresi, seperti kraniektomi dekompresif, fraktur
tengkorak, pintasan ventrikuler atau anak dengan tengkorak yang masih rapuh.
Negatif palsu tersebut jarang terjadi. Harus diingat bahwa adanya aliran darah tidak
serta merta mengeksklusi kemungkinan kematian otak. Harus diingat bahwa dalam
melakukan tes konfirmasi kematian otak, negatif palsu tidak lebih bermasalah
daripada positif palsu, karena lebih berbahaya apabila seseorang secara keliru
dinyatakan mengalami kematian otak daripada bila seseorang dinyatakan tidak mati
otak padahal sesungguhnya telah terjadi kematian otak.
Tes yang menjadi standar emas tes konfirmasi kematian otak adalah angiografi
serebral empat vasa. Tes ini invasive dan harus dilakukan dengan memndahkan pasien
ke departemen radiologi. Absennya pengisian darah intrakranial dari arteri karotis
interna atau vertebra harus didahului oleh tekanan intrakranial yang melebihi tekanan
darah arteri rata-rata.
Selain tes konfirmasi, tidak ada tes lain yan dapat dipertimbangkan secara serius. Tes
atropin misalnya, hanya memberikan penilaian dari fungsi medulla yang terbatas.
Atropin adalah obat antikolinergik yang akan menghilangkan tonus vagus yang
tersisa, seperti dibuktikan dengan peningkatan denyut jantung. Pada kematian otak,
tes atropin akan menyebabkan peningkatan denyut jantung <3%. Karena nukleus
vagus motor dorsal berada di medulla, tes ini hanya memberikan penilaian yang
terbatas dari fungsi medulla kaudal. Walaupun ini merupakan bagian dari otak yang
akan tersisa pada kematian otak, tes ini hanya memberikan penilaian yang sangat
terbatas.
Penentuan saturasi oksigen vena pada bulbus jugularis (di mana rasio antara saturasi
oksigen vena sentral dan bulbus jugularis <1) terbukti memiliki sensitivitas setingi
96,6% dan spesifisitas 9,3% pada kematian otak, namun Young et al menemukan satu
orang yang hidup dengan rasio yang kurang dari 1. Tes ini tidak didapatkan di semua
pusat pelayanan kesehatan, dan membutuhkan keterampilan khusus untuk insersi
kateter. (Young et al. 2006)
KESIMPULAN
Berbagai teknik yang ditemukan untuk mempertahankan detak jantung dan
pernapasan walaupun pasien telah mati telah memunculkan persepsi baru tentang
definisi kematian sebagai hilangnya fungsi otak dan bukan fungsi jantung dan paru,
dimana kematian dapat ditentukan berdasarkan kriteria neurologis. Kematian otak
kebanyakan diakibatkan oleh cedera kepala berat dan perdarahan intrakranial.
Kriteria untuk kematian otak sendiri berevolusi seiring waktu. Kematian otak
didefinisikan sebagai hilangnya semua fungsi otak secara ireversibel, termasuk batang
otak. Tiga temuan penting dalam kematian otak adalah koma, hilangnya refleks
batang otak, dan apnea. Pada pasien, harus diperiksa kondisi-kondisi serta kriteria
eksklusi. Harus ditemukan kondisi cedera otak berat yang konsisten dengan proses
terjadinya kematian otak, tidak bernafas secara spontan, dan hasil yang negatif pada
pemeriksaan refleks-refleks batang otak.
Saat ini masih banyak kontroversi berkaitan dengan penentuan kematian otak, karena
masih kurangnya literatur atau panduan yang berbasis bukti.
KOMENTAR :
1. Buat tabel yang sederhana tentang kematian otak dibeberapa negara : persamaan
dan perbedaannya
2. Buat tabel sederhana tentang pemeriksaan kematian otak ( Cara – caranya ) di
Indonesia
3. Kesimpulan : TAMBAH tentang pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan.
4. Kalau sudah diperbaiki kirim kembali ke saya ( sudah diprint biar bisa ditanda
tangani )
DAFTAR PUSTAKA
1. Thomas M Walshe, The diagnosis of brain death. N Engl Jω Med 2001 Apr 19
344 1215-1221
1. Eelco F. M. Wijdicks, The diagnosisω of brain death , review articles, N Engl J Med,
vol. 344, no. 16- april 19 2001.
2. So Hing-Yu, MBBS, FANZCA FFICANZCAFHKAM(Anesthesiology), UPDATE
ARTICLE Brain Death, Honng Kong Practitioner 16 (II) November 1994.
3. Christopher James Doig MD, Brain death: resovingω inconsistencies in ethical
declaration of death, Can J ANESTH 2003/ 50:7 / pp 725-731.
4. Pernyataan IDI tentang mati. Surat Keputusan PB IDIω No 231/PB/A.4/90.
5. Sunatrio S. Penentuan Mati . Bagian Anestesiologiω FKUI/RSCM ,2006.
6. Safar P. Resusitasi Jantung Paru Otak. Jakarta :ω Departemen Kesehatan Republik
Indonesia 1984:185.
7. Sunatrio S:ω Penentuan mati/Pengakhiran resusitasi dan euthanasia pasif di ICU.
Lokakarya tentang Mati & Euthanasia pasif, PKGDI 1986.
8. Stephen T. Mernoff, MD, Brain Death: Neurologist’s Perspective, clinical Assistant
profesor of neurology, brown medical school,neurorehabilitation program,
rehabilitation hospital of rhode island.
9. Guidelines For Detremining Brain Death, New York Stateω Departement of Health,
December 2005
10. Neil M.Lazar. Sham Shemie etω al. Bioethics For Clinicians 24. Brain Death. C MAJ
Mar 20,2001;164 (6).
11. Guidelines On Certification Of Brain Death, The Hong Kong Society Of Critical Care
Medicine, journal of the Royal College of Physicians of London 1995, 29:381-2.
12. Leonard Baron MD, et al. Neuroanestesia andω Intensive Care. Brief Review:
History, Concept And Controversies In The Neurological Determination Of Death.
CAN J Anesth 2006/53;6/pp 602-608.
13. Carlos Eduardo Reis MD. MEDSTUDENTS-NEUROLOGY: Brain Death Criteria
Betterhealth Channel. Article Brain Death; WWW.betterhealth.vic.gov.au.
14. G. Bryan Young MD FRCPC. Et al. Brief Review: The Role Of Ancillary Tests In
The Neurological Determination Of Death. CAN J Anesth 2006/53;6/pp 620-627.