You are on page 1of 18

REFERAT

LIMFOMA MALIGNA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Limfoma malignum adalah tumor ganas primer dari kelenjar limfe dan
jaringan limfatik di organ lainnya. Ia merupakan salah satu keganasan sistem
hematopoietik, terbagi menjadi 2 golongan besar, yaitu limfoma Hodgkin (HL)
dan limfoma non-Hodgkin (NHL). Belakangan ini insiden Infoma meningkat relatif
cepat. Sekitar 90% limfoma Hodgkin timbul dan kelenjar limfe, hanya 10% timbul dari
jaringan limfatik di luar kelenjar limfe. Sedangkan limfoma non-Hodgkin 60% timbul
dari kelenjar limfe, 40% dari jaringan limfatik di luar kelenjar. Jika diberikan terapi
segera dan tepat, angka kesembuhan limfoma Hodgkin dapat mencapai 80% lebih,
menjadi tumor ganas dengan efektivitas terapi tertinggi dewasa ini. Prognosis
limfoma non-Hodgkin lebih buruk, tapi sebagian dapat disembuhkan. Dengan
semakin mendalam riset atas limfoma malignum, kini dalam hal klasifikasi jenis
patologik, klasifikasi stadium, metode terapi, diagnosis dan penilaian atas lesi residif dan
berbagai aspek lain limfoma telah mengalami kemajuan pesat, ini sangat membantu dalam
meningkatkan ratio kesembuhan limfoma.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

Limfoma maligna adalah neoplasma ganas primer pada kelenjar getah


bening/system limfatis, dan ditandai oleh pembesaran kelenjar getah bening yang
terkena. Dapat dibedakan menjadi dua, limfoma Hodgkin dan limfoma Non Hodgkin.

B. Insidensi

Insidensi penyakit Hodgkin (morbus Hodgkin; MH) kira-kira 3 per 100.000


penderita per tahun. Pada pria insidensinya sedikit lebih tinggi daripada wanita.
Perbandingan pria dan wanita adalah 3 : 2. Pada morbus Hodgkin distribusi menurut
umur berbentuk bimodal yaitu terdapat dua puncak dalam distribusi frekuensi. Puncak
pertama terjadi pada orang dewasa muda antara umur 18 – 35 tahun dan puncak kedua
terjadi pada orang diatas umur 50 tahun. Selama dekade terakhir terdapat kenaikan
berangsur-angsur kejadian morbus Hodgkin, terutama bentuk nodular sklerotik pada
golongan umur lebih muda.

Insiden Limfoma Non Hodgkin ± 8 kali lipat Limfoma Hodgkin, insiden baru
tahun 2004 di amerika serikat 50.000 kasus lebih, di china di perkirakan lebih dari
40.000 kasus. Insiden NHL meningkat sangat pesat. Ras orang kulit putih memiliki
risiko lebih tinggi daripada orang kulit hitam di Amerika dan Asia. Jenis kelamin
rasio laki dan perempuan sekitar 1.4:1, tetapi rasio dapat bervariasi tergantung pada
subtipe NHL, karena menyebar pada mediastinum primer besar misalnya B-sel
limfoma terjadi lebih sering pada wanita dibandingkan pada pria. Usia untuk semua
subtipe NHL lebih dari 60 tahun, kecuali untuk pasien dengan grade tinggi limfoma
noncleaved lymphoblastic dan kecil, yang merupakan jenis yang paling umum NHL
diamati pada anak-anak dan dewasa muda. pada pasien berusia 35-64 tahun hanya
16% kasus pada pasien lebih muda dari 35 tahun.
Etiologi

Terdapat kaitan jelas antara HL dan infeksi virus EB. Pada kelompok terinfeksi
HIV, insiden HL agak meningkat dibanding masyarakat umum, selain itu manifestasi
klinis HL yang terkait HIV sangat kompleks, sering kali terjadi pada stadium lanjut
penyakit, mengenai regio yang jarang ditemukan, seperti sumsum tulang, kulit,
meningen, dll.

Infeksi virus dan regulasi abnormal imunitas berkaitan dengan timbulnya


NHL, bahkan kedua mekanisme tersebut saling berinteraksi. Virus RNA, HTLV-1
berkaitan dengan lekemia sel T dewasa; virus imunodefisiensi humanus (HIV)
menyebabkan AIDS, defek imunitas yang diakibatkan berkaitan dengan timbulnya
limfoma sel B keganasan tinggi; virus hepatitis C (HCV) berkaitan dengan
timbulnya limfoma sel B indolen. Gen dari virus DNA, virus Ebstein Barr
(EBV) telah ditemukan terdapat di dalam genom sel limfoma Burkitt Afrika; infeksi
kronis Helicobacter pylori berkaitan jelas dengan timbulnya limfoma lambung,
terapi eliminasi H. pylori dapat menghasilkan remisi pada 1/3 lebih kasus limfoma
lambung. Defek imunitas dan regulasi-menurun imunitas berkaitan dengan
timbulnya NHL, termasuk AIDS, reseptor cangkok organ, sindrom defek imunitas
kronis, penyakit autoimun. Obat seperti fenitoin dan radiasi dapat menimbulkan setiap
fase penyakit dari penyakit limfoproliferatif hingga limfoma.

Patogenesis morbus Hodgkin mungkin kompleks dan masih banyak hal yang
kurang jelas dalam bidang ini.

Klasifikasi

Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik, yang dalam


hal ini adanya sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian mononuklear)
dengan gambaran dasar yang cocok merupakan hal yang menentukan sistem
klasifikasi histologik, sebagaimana lebih dari 25 tahun yang lalu telah dikembangkan
oleh Lukes dan Butler, masih selalu berlaku sebagai dasar pembagian penyakit
Hodgkin.

Dibedakan empat bentuk utama. Bentuk nodular sklerotik (HB-NS) terciri


oleh adanya varian sel Hodgkin, sel lakunar, dalam latar belakang limfosit, granulosit,
sel eosinofil, dan histiositik. Sel Reed-Sternberg tidak sangat sering. Kelenjar limfe
sering mempunyai susunan nodular, dengan di dalamnya terlihat pita-pita jaringan
ikat yang sedikit atau kurang luas yang sklerotik.

Pada bentuk sel campuran (HD-MC) latar belakang juga terdiri dari granulosit,
eosinofil, sel plasma, dan histiosit, tetapi disini banyak terlihat sel Reed-Sternberg.

Diagnosis bentuk miskin limfosit (HD-LD) di negara industri sudah jarang


dibuat. Gambaran ini ternyata sering berdasar atas (sub) tipe morbus Hodgkin atau
limfoma non-Hodgkin. Bentuk kaya limfosit (HD-LP) terciri oleh varian sel Hodgkin
yang lain, sel L dan H dengan latar belakang limfosit kecil dan histiosit reaktif.

(Klasifikasi Lukes-Butler dan Rye, 1966)


Tipe utama Sub-tipe Frekuensi

Bentuk lymphocyte predominance (LP) Nodular }5%

Difus
Bentuk nodular sclerosis (NS) 70-80%

Bentuk Mixed Cellulating (MC) 10-20%

Bentuk Lymphocyte Depletion (LD) Reticular }1%

Fibrosis difus
Bentuk histopatologik limfoma hodgkin

Mengenai sifat sel Reed-Sternberg masih banyak hal yang belum jelas.
Dianggap dapat merupakan sel T atau sel B yang teraktivasi, yang sedikit banyak
dikuatkan oleh data biologi molecular; hanya pada bentuk kaya limfosit karakter sel B
jelas.

Formulasi kerja terhadap limfoma non- Hodgkin


Formulasi kerja merupakan suatu sistem klasifikasi limfoma non Hodgkin yang
dikemukakan tahun 1982, klasifikas ini terutama didasarkan pada kriteria morfologi
(pola pertumbuhan kelenjar limfe karakteristik sitologik sel tumor) dan sifat
progresivitas biologik (tingkat keganasar rendah, sedang, tinggi), bermanfaat tertentu
dalam memprediksi survival dan kurabilitas pasien. Kekurangan dari sistem
klasifikasi ini adalah belum membedakan asal tumor dari sel B atau sel T, selain itu
karena belum memanfaatkan teknik imunologi dan genetik molekular, belum dapat
mengidentifikasi jenis tertentu yang penting. Namun demikian, karena penggunaannya
secara klinis sudah relatif lama dan klasifikasinya sederhana, maka masih memiliki nilai
referensi tertentu.

Formulasi kerja limfoma non-Hodgkin (NHL)


Keganasan rendah A. Limfoma jenis sel kecil
B. Limfoma jenis predominan sel belah kecil folikular
C. Limfoma jenis campuran sel besar dan sel belah kecil
folikular
Keganasan sedang D. Limfoma jenis sel besar: folikular
E. Limfoma jenis predominan sel belah kecil difus
F. Limfoma jenis campuran sel besar dan sel belah kecil difus
G. Limfoma jenis sel besar difus
Keganasan tinggi: H. Limfoma jenis imunoblastik
I. Limfoma jenis limfoblastik (inti berkelok atau tidak berkelok)

550
J. Limfoma jenis sel kecil tak belah (Burkitt atau non-Burkitt,

Manifestasi klinis

Pembesaran kelenjar limfesuperfisialis menempati 60% lebih, diantaranya


kelenjar limfe bagian leher 60-80%, bagian axial 6-20%, inguinal 6-12%, kelenjar
limfe mandibula, pre atau retro auricular, dll relative sedikit. Pmebesaran seringkali
asimetri, konsistensi padat atau kenyal, tidak nyeri, pada stadium dini tidak melekat,
dapat menimbulkan tanda invasi dan kompresi setempat. Splenomegali umunya
banyak ditemukan pada LH. Hepatomegali dan gangguan fungsi hati, terjadi pada
stadium lanjut. Kelainan tulang rangka sekitar 0-15%, berupa nyeri tulang dan fraktur
patologis. Kelainan pada kulit, dapat berupa massa, nodul, ulkus, pruritus, dll. Dapat
juga ditemukan kelainan neural berupa paralisis.

Gejala sistemik yang khas yang berupa demam, keringat malam dan
penurunan berat badan 10% yang disebut dengan gejala B.

Perbedaan karakteristik klinis Limfoma Hodgkin (HL) dan Limfoma nonHodgkin (NHL)
Limfoma Hodgkin (HL) Limfoma nonHodgkin (NHL)

Keluhan pertama berupa limfadenopati Sekitar 40% timbul pertama di jaringan


superficial terutama pada leher limfatik ekstranodi

Pembesaran 1 kelompok kelenjar limfe, Perkembangannya tidak beraturan


dapat dalam jangka waktu sangat panjang
tetap stabil atau kadang membesar dan
kadang mengecil

Limfadenopati lebih lunak, lebih mobile Berderajat keganasan tinggi. Sering


menginvasi kulit (merah, udem, nyeri),
membentuk satu massa relatif keras
terfiksir.

Berkembang relatif lebih lambat, Progresi lebih cepat, perjalanan penyakit


perjalanan penyakit lebih panjang, reaksi lebih pendek, mudah kambuh, prognosis
terapi lebih baik lebih buruk

Gambar Pembesaran kelenjar limfe


Perubahan hematologik
Pada limfoma Hodgkin sering terdapat anemia normositik normokrom,
kausa anemia sering kali adalah menurunnya produksi dan peningkatan
destruksi, tapi anemia hemolitik dengan tes Coomb positif tidak sampai 1%.
Granulosit sering meningkat hingga timbul lekositosis, sebagian pasien dapat
menunjukkan peningkatan eosinofil granulosit, limfosit sering menurun, terutama pada
stadium lanjut, jumlah absolut limfosit dapat <1 x 109/L. Pada HL dengan demam,
kadang kala teijadi reaksi lekemik, jumlah total lekosit dapat mencapai 50 x 10 9/L
lebih.
Apusan sumsum tulang pada HL sering menunjukkan hiperproliferasi granulosit,
sering disertai peningkatan histiosit dan sel plasma, sehingga menyerupai gambaran
'sumsum tulang infeksius'. Apusan sumsum tulang jarang dapat menemukan sel R-S,
tapi biopsi sumsum tulang (tennasuk biopsi pungsi) dapat menemukan sel R-S (inti
dobel atau tunggal) pada infiltrasi fokal atau difus sumsum tulang, juga sering disertai
hiperplasia fibrosa dalam sumsum tulang. Jika menemukan secara jelas fibrosis
(dibuktikan biopsi sumsum tulang, atau berkali-kali pungsi `aspirasi kering' sumsum
tulang dengan pansitopenia), sangat kuat menunjukkan invasi tumor ke sumsum
tulang. HL sering terdapat peningkatan laju endap darah, ini dapat menjadi indikator
pemeriksaan aktivitas penyakit. NHL sering disertai anemia, kausanya dapat
multifaktorial, seperti invasi sumsum tulang, invasi saluran gastrointestinal menyebabkan
tukak berdarah dan gangguan absorpsi besi dan asam folat, serta akibat konsumsi
kronis, radioterapi dan kemoterapi menyebabkan depresi hematopoiesis atau
eritropoiesis inefektif dan faktor lainnya. NHL juga dapat mengalami anemia hemolitik
autoimun (tes Coombs positif).
Pada NHL sering terdapat invasi sumsum tulang, jika dilakukan biopsi pungsi krista
iliaka posterior superior berkali-kali, pada jenis limfosit kecil dan jenis lainnya dapat
ditemukan setidaknya 50-60% mengalami invasi sumsum tulang, sedangkan pada
limfoma sel B besar difus (DLBCL) hanya 10% mengalami invasi sumsum tulang.
Sebagian kasus dengan invasi sumsum tulang, kemudian sel abnormal dapat muncul di
darah tepi sehingga timbul gambaran lekemia. Bila jenis limfosit kecil menampilkan
gambaran lekemia, sangat sulit dibedakan dari lekemia limfositik kronis. Bila jenis sel
besar menampilkan gambaran lekemia, dapat menyerupai lekemia limfositik akut. Ada
juga kasus dengan dismorfia sel lekemia menonjol, atau nukleolus relatif
menonjol. Tapi pada umumnya sangat sulit hanya dari morfologi sel membedakan apa
yang disebut sel limfosarkoma'. Limfoma jenis limfo blastik' dengan
karakteristik massa besar mediastinum sangat mudah berkembang menjadi
lekemia limfositik akut.

Biokimia darah

Hiperkalsemia, hipofosfatemia, fosfatase alkali serum meningkat sejalan dengan per-


kembangan penyakit, tembaga serum dan asam urat darah juga dapat meningkat,
albumin rendah sedangkan β2-globulin jelas meningkat, C reaktif protein, C3, fibrinogen
juga dapat meningkat, pada stadium dini terdapat 40% pasien menunjukkan IgG, IgA
agak meningkat, IgM menurun, pada stadium lanjut 50% menunjukkan
hipogamaglobulinalfa-emia, produksi antibodi juga menurun.

Diagnosis

Pemeriksaan untuk penentuan stadium meliputi anamnesis khususnya


perhatikan ada tidaknya gejala `B', pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.
Pada pemeriksaan fisik diperhatikan kelenjar regional, hepar dan lien. Diagnosis
morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik. Sel Reed Stenberg yang
merupakan bentuk histiosit (makrofag jaringan) ganas adalah temuan khas pada
limfoma Hodgkin. Pemeriksaan rontgen terdiri atas foto toraks dan CT-scan toraks
untuk mencari kalau ada perluasan mediastinal atau pleural. Untuk pemeriksaan perut
ada dua kemungkinan, CT-scan atau limfangiografi. Sebaiknya dimulai dengan CT-
scan. Jika ini negatif, diperlukan limfangiografi, karena kadang-kadang terdapat
kelenjar yang mempunyai struktur abnormal tetapi tidak jelas membesar, sehingga
mungkin tidak terlihat pada CT-scan. Keuntungan limfangiografi di samping itu
adalah bahwa kontrasnya masih tampak 1-2 tahun, sehingga perjalanan penyakit dapat
diikuti dengan foto polos abdomen biasa.
Pemeriksaan isotop dengan gallium radioaktif dapat memberi gambaran
mengenai sarang-sarang di tempat lain dalam tubuh yang tidak dapat ditetapkan
dengan pemeriksaan rutin penentuan stadium biasa. Keterandalan pemeriksaan ini
masih diteliti. Jika kelenjar limfe juga meresorbsi gallium, pemeriksaan ini dapat juga
digunakan pada akhir terapi untuk mengetahui apakah ada massa sisa, misalnya di
dalam mediastinum, yang masih mengandung tumor yang aktif. Ini mempunyai arti
prognostik.

Diagnosis banding

Limfadenopati harus dibedakan dan infeksi nonspesifik kelenjar limfe atau


infeksi virus, metastasis, mononukleosis infeksiosa dll. Setiap pembesaran kelenjar
limfe berdiameter >1 cm, diobservasi 6 minggu lebih tetap tidak mengecil, maka
dilakukan biopsi.
Massa mediastinum dan hilus pulmonal tanpa limfadenopati superfisial,
sering kali perlu dibedakan dari karsinoma paru, tuberkulosis, dll. Pada umumnya,
massa limfoma dapat lebih besar, progresi lebih cepat, kadang kala timbul multipel
atau bilateral, sindrom kompresi vena kava superior sering kali tidak semenonjol
karsinoma paru tipe sentral, pemeriksaan bronkoskopi dan tomografi hilus pulmonal
area mediastinum membantu membedakan antara keduanya.
Kasus tanpa limfadenopati superfisial, dengan gejala demam, diagnosis lebih
sulit, bila dicurigai limfoma malignum, dapat dipertimbangkan untuk pemeriksaan CT
abdomen untuk menemukan lesi retroperitoneal, ada kalanya dapat dipertimbangkan untuk
laparotomi eksploratif.

Pembesaran kelenjar getah bening akibat infeksi akut, menyebabkan


hiperplasia kelenjar tersebut hingga secara klinis teraba membesar. Secara klinis akan
ditemukan : lesi Primer sumber infeksi dan pembesaran kelenjar getah bening
regioner, yang disertai tanda – tanda umum peradangan berupa dolor, robor, kolor,
tumor dan funsio laesa. Misalnya, ada sakit gigi atau karies dentis atau infeksi
stomatitis sering diikuti pembesaran kelenjar getah bening submandibuler
(limfadenitis submandibuler), apabila lesi infeksi primer sudah diobati, maka
limfadenitis akuta inipun akan sembuh secara berangsur. Limfadenitis Kronis
disebabkan oleh infeksi kronis. Infeksi kronis nonspesifik misalnya pada keadaan
seseorang dengan faringitis kronis akan ditemukan pembesaran kelenjar getah bening
leher (limfadenitis). Pembesaran di sini ditandai oleh tanda radang yang sangat
minimal dan tidak nyeri. Pembesaran kronis yang spesifik dan masih banyak di
Indonesia adalah akibat tuberkulosa. Limfadenitis tuberkulosa ini ditandai oleh
pembesaran kelenjar getah benng, padat / keras, multiple dan dapat berkonglomerasi
satu sama lain.

Stadium

Untuk pembagian stadium masih selalu digunakan klasifikasi Ann Arbor.


Dalam suatu pertemuan kemudian diadakan beberapa perubahan.

Atas dasar penetapan stadium klinis pada penyakit Hodgkin pada 60%
penderita penyakitnya terbatas pada stadium I atau II. Pada 30% penderita terdapat
perluasan sampai stadium III dan pada 10-15% terdapat pada stadium IV. Ini berbeda
dengan limfoma non-Hodgkin, yang biasanya terdapat pada stadium III-IV.
Gambar 4. Stadium morbus Hodgkin berdasarkan klasifikasi Ann Arbor

klasifikasi Ann Arbor


Stadium I Penyakit mengenai satu kelenjar limfe regional yang terletak
diatas atau dibawah diafragma (I) atau satu regio ekstralimfatik
atau organ (IE)
Stadium Penyakit mengenai dua atau lebih daerah kelenjar di satu sisi
II diafragma (II) atau kelainan ekstralimfatik atau organ
terlokalisasi dengan satu atau lebih daerah kelenjar di sisi yang
sama diafragma (IIE)
Stadium Penyakit mengenai daerah kelenjar di kedua sisi diafragma
III (III), dengan atau tanpa kelainan ekstralimfatik atau organ (III-
E), lokalisasi limpa (IIIE) atau kedua-duanya (IIIE).

Stadium Penyakit telah menjadi difus / menyebar mengenai satu atau


IV lebih organ atau jaringan ekstralimfatik, seperti sumsum tulang
atau hati dengan atau tanpa kelainan kelenjar limfe.

Terapi

Terapi limfoma Hodgkin

Tiap penderita dengan penyakit Hodgkin harus diterapi dengan tujuan kuratif.
Ini juga berlaku untuk penderita dalam stadium III dan IV dan juga untuk penderita
dengan residif sesudah terapi pertama.

Ini berarti bahwa terapi harus cepat dimulai dan bahwa ini tidak boleh
dihentikan atau dikurangi tanpa alasan yang berat. Sebelum mulai terapi harus ada
pembicaraan antara radioterapis dan internis untuk menentukan program terapi.

Tabel 4. Pilihan terapi pertama pada morbus Hodgkin


Terapi pertama

Stadium I – II - Terapi standar: radiasi lapangan mantel dan radiasi


kelenjar paraaorta dan limpa; kadang-kadang
hanya lapangan mantel saja
- Jika ada faktor resiko, kemoterapi dilanjutkan
dengan radioterapi
- Dalam penelitian, kemoterapi terbatas dengan
“involved field radiation”
Stadium IIIA Kemoterapi ditambah dengan radioterapi

Stadium IIIB – Kemoterapi, ditambah dengan radioterapi


IV

1. Stadium klinik I dan II


Terapi standar dalam stadium I dan II adalah radioterapi. Untuk lokalisasi
di atas diafragma ini terdiri atas radiasi lapangan mantel, diikuti dengan radiasi
daerah paraaortal dan limpa, yang terakhir ini karena kemungkinan 20-30%
dalam daerah ini, seperti ternyata dari hasil laparotomi penetapan stadium. Terapi
demikian itu berlangsung 4 minggu untuk daerah mantel dan sesudah periode
istirahat 3-4 minggu, 4 minggu untuk daerah kelenjar limfe paraaortal dan limpa.
Dengan terapi ini ketahanan hidup bebas penyakit yang berlangsung lama adalah
kira-kira 75%, ketahanan hidup total kira-kira 90%. Ini dengan titik tolak bahwa
periode bebas penyakit 5-7 tahun berarti penyembuhan.
Jika lokasi kelainannya di bawah diafragma, dalam stadium I atau II
diberikan penyinaran Y terbalik, dengan menyinari kelenjar limfe paraaortal,
limpa, kelenjar iliakal dan kelenjar inguinal. Pada radiasi ini ovarium terdapat
dalam lapangan penyinaran. Karena itu dipertimbangkan pada wanita muda untuk
menempatkan ovarium di luar lapangan penyinaran. Jika kelainan di perut sangat
voluminous, maka dipilih kemoterapi dalam kombinasi dengan radioterapi.
Jadi, penderita dalam stadium I atau II dengan faktor resiko ini secara
inisial harus diterapi dengan kombinasi kemoterapi dan penyinaran. Tahun-tahun
akhir ini pada umumnya ada tendensi untuk juga stadium I dan II penderita tanpa
faktor resiko tambahan diterapi dengan kombinasi kemoterapi dan radiasi. Alasan
untuk ini adalah bahwa misalnya sebagai akibat penyinaran lapangan mantel
sesudah 10-15 tahun, juga terdapat kenaikan kemungkinan timbul masalah
kardial.
2. Stadium IIIA
Jika dalam stadium III perluasannya hanya terbatas, radiasi memang
mungkin, misalnya dalam situasi klinis stadium klinik II pada laparotomi terdapat
perluasan terbatas di limpa atau perut atas. Penyinaran harus terdiri dari radiasi
lapangan mantel dan radiasi Y terbalik (radiasi “total node”). Pada stadium klinik
III lebih dipilih penanganan dengan kemoterapi. Penderita ini diterapi sebagai
pasien dalam stadium IIIB – IV.
3. Stadium IIIB – IV
Penderita dalam stadium ini diterapi dengan kemoterapi (Longo, 1990).
Skema MOPP yang telah lama sebagai pilihan pertama tampaknya digeser oleh
skema MOPP/ABV. Dalam hal ini pada hari ke-1 dan ke-8 dapat diberikan
berbagai obat. Dari penelitian ternyata bahwa dengan pilihan ini kemungkinan
penyembuhan lebih besar daripada dengan MOPP saja.
Pada penderita yang lebih tua juga digunakan skema ChlVPP, yang pada
umumnya lebih baik ditoleransi. Mengenai efek samping kemoterapi disamping
efek akut yang terjadi (misalnya nausea, vomitus, depresi sumsum tulang, dan
kerontokan rambut), juga harus diperhatikan efek samping yang timbul
kemudian.

Beberapa kombinasi kemoterapi yang banyak dipakai pada morbus Hodgkin


Dosis Hari 1 5 8 15
(mg/m2) ke-

MOPP
Nitrogen 6 i.v. ++
mustard
Vinkristin 1,4 i.v. ++
Procarbazine
Prednisone 100 p.o. —————————

25 p.o. —————————
ChlVPP
Chlorambusil 6 p.o. —————————
Vinblastin
Procarbazine 6 i.v. ++
Prednisone
100 p.o. —————————

25 p.o. —————————
ABVD
Adriamisin 25 i.v. ++
Bleomisin
Vinblastin 10 i.v. ++
DTIC
6 i.v. ++

250 i.v. ++
MOPP/ABV
Nitrogen 6 i.v. +
mustard
Vinkristin 1,4 i.v. +
Procarbazine
Prednisone 100 p.o. ——————
Adriamisin
Vinblastin 40 p.o. —————————
Bleomisin
35 i.v. +

6 i.v. +

10 i.v. +
CEP

CCNU 80 p.o. +
Etoposid
Prednimustin 100 p.o. ———

80 p.o. ———
Keterangan : + dosis sekali
— diminum tiap hari berkelanjutan

Terapi limfoma non-Hodgkin


Metode terapi terpenting terhadap limfoma non-Hodgkin (NHL) adalah
kemoterapi, terutama terhadap tingkat keganasan sedang dan tinggi. Radioterapi juga
memilik: peranan tertentu dalam terapi NHL. Sedangkan operasi juga merupakan pilihan
berguna dalam terapi gabungan terhadap sebagiar. lesi ekstranodus, misal pada terapi
limfoma gastrointestinal, terutama bila terdapa: bahaya perforasi di lokasi tumor.
Terapi terhadap limfoma non-Hodgkin berkaitan erat dengan subtipe patologiknya.
Dewasa ini klasifikasi patologik umumnya memaki sistem klasifikasi baru menurut
WHO tahun 2001.

1. Limfoma indolen (tingkat keganasan rendah).

Limfoma indolen (keganasan rendah) memiliki ciri tabiat biologis tumor relatif
tenang, survival relatif panjang. Limfoma sel B indolen meliputi limfoma sel limfosit
kecil difus, limfoma limfoplasmasitik, limfoma zona marginal splenik,
plasmasitoma, limfoma sel B zona marginal ekstra nodal, limfoma sel B zona
marginal nodus limfatikus, limfoma folikular, granuloma limfoproliferatif, dll.
Kebanyakan pasien saat diagnosis sudah tergolong stadium lanjut, hanya sekitar
10-20% pasien termasuk stadium I-II. Pasien stadium lanjut (III-IV) sangat sedikit
yang berpeluang sembuh, terapi umumnya bersifat paliatif. Limfoma indolen
stadium I-II umumnya diradioterapi (area terkena + area drainase), bila sebelum
radioterapi diberikan kemoterapi dengan formula FND kemungkinan dapat
meningkatkan masa survival bebas penyakit jangka panjang. Kasus stadium .IIIA pasca
kemoterapi ditambah radioterapi lokal dapat memperbaiki masa survival tanpa penyakit
DF S5 tahun sekitar 60%), masih kontroversial apakah dapat disembuhkan. Pasien stadium
IIIB-IV berdasarkan ukuran tumor, ada tidaknya tanda desakan, gejala sistemik,
laju progresi tumor dan faktor lain, secara terpisah dilakukan observasi, kemoterapi
obat tunggal, kemoterapi kombinasi atau perpaduan kemo/radioterapi. Terhadap lesi
yang tidak besar, tanpa tanda desakan, dan progresi sangat lambat, dapat dilakukan
observasi. Bila terdapat gejala, umumnya dianjurkan kemoterapi obat tunggal (seperti
klorambusil, siklofosfamid atau fludarabin). Bila efektivitas kemoterapi obat tunggal
kurang baik dan gejala mempengaruhi secara nyata kualitas hidup pasien, dapat
dikemoterapi kombinasi dengan formula FND, CVP, CHOP, dll.
2. Limfoma agresif (tingkat keganasan sedang)

Limfoma agresif meliputi limfoma sel B besar difus, limfoma sel B besar mediastinal,
limfoma sel besar anaplastik, dan subtipe lain, terapi standar dengan formula CHOP.

3. Limfoma sangat agresif (tingkat keganasan tinggi).

Limfoma limfoblastik dan limfoma Burkitt termasuk limfoma dengan keganasan


tinggi, tapi terapi keduanya memiliki ciri yang berbeda.
(1) Limfoma limfoblastik: tergolong keganasan tinggi, mortalitas tinggi, harus
diterapi dengan formula terhadap lekemia limfositik akut, masih ada kemungkinan
sembuh. Limfoma limfoblastik pada anak-anak berprognosis lebih baik, pada
dewasa sangat buruk, tanpa invasi sumsum tulang dan sistem saraf pusat, bila LDH
normal prognosis lebih baik.

(2) Limfoma Burkitt: walaupun keganasan tinggi, namun dengan terapi rasional tidak
sedikit pasien dapat disembuhkan.

4. Formula kemoterapi terhadap limfoma non-Hodgkin

1) Formula CHOP
CTX 750mg/m2 iv, dl
ADR 50mg/m2 iv, dl
VCR 1,4mg/m2 iv (dosis maks. 2mg), dl
Pred. 60mg/m2 po, d1-5
Diulangi setiap 21 hari.

2) Formula M-BACOD
MTX 3000mg/m2 iv, d8, d15 (berikut salvasi CF)
CF 100mg/m2 po, q6h x8 (mulai 24jam pasca MTX)
BLM 4U/m2 iv, dl
ADR 45mg/m2 iv, dl
CTX 600mg/m2 iv, dl
VCR 1,4mg/m2 iv, dl
DXM 6mg/m2 d1-5
Diulangi setiap 21 hari.

3) Formula CHOP-Rituximab
CTX 750 mg/m2 iv, d3
ADR 50 mg/m2 iv, d3
VCR 1,4 mg/m2 iv (dosis max.2 mg), d3
2
Pred. 100 mg/m po, d3-7
2
Rituximab 375 mg/m iv, dl
Diulangi setiap 21 hari.

4) Formula FMD.
FDR 25mg/m2 iv, d1-5
2
MIT 10mg/m iv, dl
DXM 20mg/m2 iv, d1-5
Diulangi setiap 21 hari.

5) Formula CODOX-M/IVAC. CODOX-M

CTX 800 mg/m 2 iv, dl


CTX 200 mg/m 2 iv, d2-5
ADR 40 mg/m2 iv, dl
VCR 1,5 mg/m2 iv (dosis max. 2mg), d1,8
2
MTX 6,7 g/m iv drip kontinu 24jam, d10
CF 192 mg/m 2 i v, 12j am pasca MTX, lalu im, 12mg/m2, q6h, hingga kadar MTX darah
<10-8
MTX 12 mg it, d15
Ara-C 70 mg it, d1,3
IVAC
IFO 1500 mg/m 2 iv (Mesna, proteksi traktus urinarius), d1-5
2
VP-16 60 mg/m iv, d1-5
Ara-C 2g/m2 iv, drip 2jam ql2h x4, dl-2
2
MTX 12mg/m iv, d5
CODOX-M dan IVAC setiap 3 minggu bergantian.
(Lin Tongyu, Guan Zhongzhen)
DAFTAR PUSTAKA

Balai Penerbit FKUI. BukuAjar Onkologi Klinis Ed. 2. 2008. Jakarta: FKUI; Hal 547-
563

Hoppe RT, Advani RH, Ambinder RF, et al. Hodgkin disease/lymphoma. J Natl
Compr Canc Netw. Jul 2008;6(6):594-622.

Jaffe ES, Harris NL, Stein H, Vardiman JW, eds. World Health Organization
Classification of Tumours: Pathology and Genetics of Tumours of
Haematopoietic and Lymphoid Tissues. Lyon, France: IARC Press; 2001.

Molina A, Pezner RD. Non-Hodgkin's lymphoma. In: Pazdur R, Coia LR, Hoskins
WJ, Wagman LD, eds. Cancer Management: A Multidisciplinary Approach. 5th
ed. Melville, NY: PRR, Inc; 2000:583-618.

Thomas RK, Re D, Wolf J, Diehl V. Part I: Hodgkin's lymphoma--molecular biology


of Hodgkin and Reed-Sternberg cells. Lancet Oncol. Jan 2004;5(1):11-8.

Vose JM. Current approaches to the management of non-Hodgkin''s lymphoma. Semin


Oncol. Aug 1998;25(4):483-91.

Zhang QY, Foucar K. Bone marrow involvement by Hodgkin and non-Hodgkin


lymphomas. Hematol Oncol Clin North Am. Aug 2009;23(4):873-902.

You might also like