You are on page 1of 16

ANALISIS SOSIAL

Oleh Silverio R. L. Aji Sampurno


Pendahuluan
Lebih dahulu perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan struktur sosial. Kita
ketahui, bahwa orang-orang yang hidup dalam masyarakat saling berinteraksi.
Interaksi ini didasari dan terus diarahkan oleh nilai-nilai bersama, norma-norma yaitu
standar tingkah laku yang mengatur interaksi antar individu yang menunjukkan hak
dan kewajiban tiap-tiap individu sebagai sarana penting agar tujuan bersama tercapai.
Dan akhirnya oleh sanksi, baik sanksi yang negatif dalam arti mencapat hukuman
kalau melanggar norma, maupun sanksi positif yaitu mendapat penghargaan karena
telah mentaati norma yang ada. Dasar dan arah umum interaksi inilah yang kita
mengerti sebagai kultur. Kecuali itu, interaksi antar individu juga diatur sesuai
dengan tujuan-tujuan khusus interaksi itu. Interaksi dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan kehidupan keakraban diatur dalam institusi keluarga. Interaksi dengan
tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup diatur dalam institusi ekonomi. Interaksi
orang dalam hubungannya dengan Yang Illahi diatur dalam institusi agama.
Sedangkan agar keseluruhan interaksi dalam masyarakat umumnya bisa terjamin dan
pasti, diadakanlah institusi politik. Institusi-institusi itu saling berhubungan dan
saling mempengaruhi. Bagaimana kadar saling berhubungan dan saling
mempengaruhinya, serta mana institusi yang paling berpengaruh harus dilihat
langsung dalam masyarakat yang ada. Karl Marx umpamanya berpendapat, bahwa
institusi ekonomilah yang merupakan landasan di mana institusi-institusi lain berdiri.
Dengan kata lain semua institusi lainnya dipengaruhi dan ditentukan oleh institusi
ekonomi. Tidak ada pengaruh timbal balik. Perlu diingat, bahwa dalam setiap
institusi juga ada nilai-nilai, norma-norma dan sangsi-sangsi, karena tujuan institusi
memang untuk mengatur interaksi. Keseluruhan institusi serta saling
berhubungannya satu sama lain itulah yang disebut struktur sosial. Kata struktural
menunjukkan saling adanya hubungan antar bagian dari keseluruhan. Maka dapat
dikatakan bahwa struktur sosial adalah interaksi manusia yang sudah berpola dalam
institusi-institusi ekonomi, politik, agama, keluarga, budaya. Dengan kata lain
struktur sosial adalah pengorganisasian masyarakat yang ada atau keseluruhan aturan
permainan dalam berinteraksi.
Keadilan personal, keadilan sosial
Selanjutnya perlu juga dimengerti perbedaan antara keadilan personal dan
keadilan sosial. Dalam keadilan personal sering mudah diketahui siapa yang
bertanggung jawab. Si pembeli A membeli barang dengan kualitas tertentu, tenyata
dia mendapat barang dengan kualitas lebih rendah. Penjual barang tersebut jelas
langsung bisa dimintai pertanggungjawabannya. Jelaslah mengenai keadilan
personal, pelaksanaannya tergantung pada kehendak tiap-tiap individu yang
bersangkutan. Keadilan personal menuntut agar kita memperlakukan setiap orang
yang kita hadapi dengan adil. Sebaliknya mengenai ketidakadilan sosial, tanggung
jawab atas perbuatan dan efek perbuatan menjadi tanggung jawab semua orang.
Tidak dapat ditentukan secara persis siapa yang bertanggung jawab sebagaimana
dalam ketidak-adilan personal. Kalau pelaksanaan keadilan personal tergantung pada
kehendak tiap-tiap individu yang bersangkutan, sebaliknya pelaksanaan keadilan
sosial tergantung pada struktur masyarakat. Justru karena tergantungnya pada
struktur masyarakat inilah maka tanggung jawab atas ketidak-adilan sosial menjadi
tanggung jawab semua pihak. Hal ini diperjelas oleh kenyataan bahwa sering
individu yang hidup dalam masyarakat tidak dapat bertindak dengan adil meskipun
dia telah insaf dan sadar. Dia tidak dapat bertindak dengan adil karena struktur sosial
yang ada tidak memungkinkannya. Umpama seorang pengusaha tekstil, dia tidak
dapat menaikan upah buruh-buruhnya karena perdagangan tekstil sede-mikian rupa,
sehingga kalau dia menaikkan upah buruh-buruhnya per-usahaannya akan gulung
tikar. Dengan kata lain, institusi ekonomi yang ada menyebabkan upah buruh tetap
rendah. Kalau pelaksanaan keadilan sosial tergantung pada struktur sosial yang ada,
maka perjuangan demi keadilan sosial berarti perjuangan membangun struktur sosial
yang semakin adil.

Tujuan analisis sosial


Analisis sosial adalah suatu usaha untuk mempelajari struktur sosial yang
ada, mendalami institusi ekonomi, politik, agama, budaya dan keluarga sehingga
kita tahu sejauh mana dan bagaimana institusi-institusi itu menyebabkan ketidak-
adilan sosial. Dengan mempelajari institusi-institusi itu, kita akan mampu melihat
satu masalah sosial yang ada dalam konteksnya yang lebih luas. Dan kalau kita
berhasil melihat suatu masalah sosial yang hendak kita pecahkan dalam konteksnya
yang lebih luas, maka kita pun juga dapat menentukan aksi yang lebih tepat yang
diharapkan dapat menyembuhkan sebab terdalam, masalah tersebut. Demikian
menjadi jelas, analisis sosial adalah suatu usaha nyata yang merupakan bagian
penting usaha menegakkan keadilan sosial.

Model = kerangka berpikir


Dalam menganalisa masyarakat, sadar atau tidak sadar, orang biasanya
mempunyai kerangka berpikir atau cara memandang. Kerangka berpikir atau cara
memandang inilah yang disebut model. Suatu model adalah satu asumsi atau
gambaran umum mengenai masyarakat. Model ini mempengaruhi bagaimana
seorang memilih obyek studi dan cara mendekati obyek studi tersebut. Sedang teori
yang dianakkan dari model, bersifat lebih terbatas dan persis. Suatu model hanya
bisa dinilai lengkap, produktif atau berguna, sedangkan teori bisa dinilai salah atau
benar. Ada dua model yang sering melatar-belakangi orang dalam mendekati
masalah-masalah sosial, yaitu model konsensus dan model konflik.
Model konsensus
Menurut model konsensus, struktur sosial yang ada merupakan hasil
konsensus bersama semua anggota masyarakat; perjanjian dan pengakuan bersama
akan nilai-nilai. Menurut model ini setiap masyarakat pada hakikatnya teratur dan
stabil. Keteraturan dan kestabilan ini disebabkan adanya kultur bersama yang dianut
dan dihayati oleh anggota-anggota masyarakat. Kultur bersama ini meliputi nilai-
nilai, norma dan tujuan yang hendak dicapai. Meskipun pada individu-individu ada
kemungkinan-kemungkinan perbedaan dalam persepsi dan penghayatan kultur
bersama itu, pada umumnya ada konsensus atau persetujuan yang kuat mengenai
nilai-nilai sosial yang dasar serta norma-norma yang ada. Justru karena adanya
konsensus bersama inilah, maka tata sosial dalam suatu masyarakat tetap stabil. Oleh
model I ini masalah sosial dinilai sebagai penyimpangan dari nilai-nilai dan norma-
norma bersama, karenanya juga, masalah sosial dianggap membahayakan stabilitas
sosial. Penyelesaian masalah sosial selalu diusahakan di dalam kerangka tata sosial
yang sudah ada. Dengan kata lain, tata sosial tidak pernah dipersoalkan, dan bahkan
kelangsungan struktur sosial yang sudah ada sangat dijunjung tinggi. Model I ini
melatar-belakangi dua ideologi yaitu konservatif dan liberal :
a. Ideologi Konservatif
* Ideologi konservatif berakar pada kapitalisme dan liberalisme abad ke-19.
Pasaran bebas dianggap oleh ideologi ini sebagai fundamen bagi kebebasan ekonomi
dan politik. Pasaran bebas dianggapnya akan menjamin adanya desentralisasi
kekuasaan politik. Kaum konservatif menjunjung tinggi struktur sosial. Demi
tegaknya struktur sosial tersebut menurut kaum konservatif, otoritas dinilai sangat
hakiki; termasuk struktur sosial/stratifikasi sosial/tingkat sosial. Adanya perbedaan
tingkat sosial ini disebabkan karena perbedaan di antara individu-individu dengan
bakat-bakat yang berbeda. Setiap orang harus berkembang sesuai dengan bakat dan
pembawaannya. Karenanya sudah sewajarnya kalau ada perbedaan tingkat prestasi
yang menuntut masyarakat untuk memberi imbalan dan balas jasa yang berbeda-
beda. Prestasi yang berbeda dan hak untuk mendapat balas jasa yang berbeda
merupakan dasar adanya hak milik pribadi. Dengan kata lain, hak milik pribadi
dianggap sebagai balas jasa atas jerih payah usaha tiap-tiap anggota masyarakat.

Kemiskinan menurut ideologi konservatif


Umumnya kaum konservatif melihat masalah kemiskinan sebagai kesalahan
pada orang miskin sendiri. Orang miskin dinilai umumnya bodoh, malas, tidak punya
motivasi berprestasi yang tinggi, tidak punya ketrampilan dan sebagainya. Maka
kaum konservatif sering berbicara mengenai kultur dan mentalitas orang miskin yang
mereka anggap sebagai sebab kemiskinan. Karena kaum konservatif selalu
cenderung menilai positif sosial yang sudah ada, maka orang-orang yang miskin
dianggap sebagai orang-orang yang gagal menyesuaikan diri dalam tata sosial yang
ada atau bahkan menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang diharapkan dan yang
sudah disetujui oleh masyarakat. Sebaliknya kaum konservatif senang menyebar-
luaskan contoh-contoh orang yang berhasil naik jenjang misalnya dari bekerja
sebagai pengantar koran akhirnya menjadi seorang bankir terkemuka. Inilah contoh
bagaimana orang kecil, juga dapat berhasil hidup dalam struktur sosial yang sudah
ada. Maka umumnya kaum konservatif tidak memandang masalah kemiskinan
sebagai masalah yang serius. Kaum konservatif percaya bahwa masalah kemiskinan
akan terselesaikan dengan sendirinya. Dalam jangka panjang, proses sosial yang
natural akan berjalan dan menguntungkan kepentingan semua anggota asyarakat.
Karenanya juga kaum konservatif tidak mendukung adanya campur tangan
pemerintah untuk mengatasi kemiskinan. Campur tangan pemerintah umpamanya
memberi jaminan-jaminan sosial bagi pengangguran. Bagi mereka yang
berpendapatan rendah, mereka tentang juga, karena mereka anggap akan membuat
orang miskin semakin malas dan pula kelompok lainnya.

b. Ideologi Liberal
* Liberalisme memandang manusia, pertama-tama sebagai yang digerakkan
oleh motivasi kepentingan ekonomi pribadi, dan liberalisme mempertahankan hak
manusia untuk mencapai semaksimal mungkin cita-cita pribadinya. Liberalisme
percaya akan efektivitas pasaran bebas dan hak atas milik pribadi. Hak-hak,
kebebasan individu sangat ditekankan dan diperjuangkan demi untuk melindungi
individu-individu terhadap kesewenangan negara.
Kemiskinan menurut ideologi liberal
Berbeda dengan kaum konservatif, kaum liberal memandang kemiskinan
sebagai masalah yang serius, karenanya harus dipecahkan. Masalah kemiskinan
menurut kaum liberal dapat diselesaikan dalam struktur politik dan ekonomi yang
sudah ada. Yang penting ialah diciptakannya kesempatan yang sama untuk berusaha
bagi setiap orang tanpa diskriminasi. Ada kepercayaan kuat pada kaum liberal,
bahwa orang miskin pasti dapat mengatasi kemiskinan mereka, asal mereka
mendapat kesempatan berusaha yang memadai. Untuk mengatasi kemiskinan,
mereka mengusulkan diperbaikinya pelayanan-pelayanan bagi kaum miskin,
membuka kesempatan-kesempatan kerja baru, membangun perumahan dan
menyebar-luaskan pendidikan. Sehubungan dengan kultur orang miskin, kaum
liberal mempunyai pandangan yang lebih optimistis daripada pandangan kaum
konservatif. Menurut kaum liberal, agar orang miskin terbebaskan dari kultur mereka
yang memiskinkan itu, perlu diadakan perubahan-perubahan terhadap lingkungan
dan situasi hidup mereka. Perubahan ini meliputi dihapuskannya diskriminasi dalam
mencari kerja, perumahan dan pendidikan; perlu juga diciptakan lapangan-lapangan
kerja dan latihan-latihan ketrampilan serta diperbaikinya pelayanan-pelayanan
lainnya. Kalau kondisi-kondisi sosial dan ekonomi telah diperbaiki dan kesempatan-
kesempatan baru telah terbuka bagi orang-orang miskin, maka orang-orang miskin
ini menurut kaum liberal akan siap menyesuaikan diri dengan kultur dominan dalam
masyarakat dan meninggalkan kultur mereka.
c. Kesimpulan
* Baik konservatif maupun liberal mempertahankan struktur sosial yang
sudah ada, dan struktur sosial ini ditandai dengan perbedaan tingkat sosial, sistem
ekonomi kapitalis dan demokratis politik. Perbedaan dalam memandang kemiskinan
ialah kaum koservatif cenderung menyalahkan orang miskin, bahwa orang miskin
tidak cukup berusaha menggunakan kesempatan-kesempatan yang ada yang
disediakan oleh masyarakat; sedangkan kaum liberal memandang, bahwa
kesempatan yang ada belum cukup memadai sehingga orang miskin tidak bisa hidup
sebagaimana diharapkan. Maka usaha kaum liberal ialah bagaimana memungkinkan
orang miskin hidup dalam struktur sosial yang sudah ada, sedang kaum konservatif
lebih cenderung membiarkan mereka.

Model konflik
Berbeda dari model konsensus, model konflik ini memandang struktur sosial
yang ada sebagai hasil pemaksaan sekelompok kecil anggota masyarakat terhadap
mayoritas warga masyarakat. Jadi struktur sosial bukanlah hasil konsensus seluruh
warga apalagi persetujuan bersama mengenai nilai-nilai dan norma-norma. Struktur
sosial adalah dominasi sekelompok kecil dan kepatuhan serta ketundukan sebagian
besar warga masyarakat atas dominasi kelompok kecil tersebut. Hukum dan undang-
undang dalam masyarakat adalah ciptaan kelompok kecil, elite, kelompok yang
memerintah untuk mempertahankan kepentingan mereka. Hukum dan undang-
undang terutama ditujukan untuk melindungi milik-milik pribadi dan kepentingan
mereka. Model ini memandang positif perubahan-perubahan dan memandang konflik
sebagai sumber-sumber potensi bagi perubahan sosial yang progresif. Penganut
model ini karenanya selalu mempertanyakan struktur sosial yang sudah ada. Mereka
tidak mempersoalkan bagaimana orang miskin bisa hidup dan berprestasi dalam
struktur sosial yang sudah ada sebagaimana ditekankan kaum liberal, tetapi mereka
mempersoalkan struktur sosial itu sendiri dan menganggapnya sebagai penyebab
kemiskinan. Maka persoalan kultur dan mentalitas orang miskin tidak menarik
perhatian para penganut model konflik ini, sebab persoalan kultur orang miskin
dianggapnya tidak mempersoalkan secara mendasar struktur dan kekuasaan politik
yang sudah ada. Bahkan mereka menilai kultur dan mentalitas orang miskin yang
digambarkan oleh kaum konservatif itu disebabkan oleh struktur sosial itu sendiri
yang tetap bertahan berpuluh atau beratus tahun.

Pandangan tentang masyarakat


Pandangan penganut model ini tentang masyarakat dapat digambarkan sebagai
berikut :

banyak bahan makanan sedikit sekali bahan makanan


yang disedot ke atas yang dirembeskan ke bawah

1. Sistem Kenaikan Jenjang 2. Sirkulasi Makanan

Ada tiga bagian dari botol ikan di atas, bagian yang paling besar ada di
bawah, sedangkan yang terkecil di atas. Tiga bagian botol tersebut menggambarkan
masyarakat di mana kita hidup. Kita semua adalah ikan-ikan dalam botol tersebut.
Tetapi kita semua tidak sama, tidak sama besar dan tidak sama tempatnya dalam
botol. Ada ikan yang kecil, ada ikan yang gemuk. Ikan yang gemuk ada di bagian
atas botol, sedang ikan yang kecil-kecil ada di bagian bawah botol. Sebagian besar
dari kita adalah ikan yang berada di bagian paling bawah botol. sedang hanya
sebagian kecil dari kita (ikan gemuk) ada di bagian atas botol, sebagian lain dari kita
(ikan ukuran menengah) tinggal di bagian tengah botol. Bagian terbesar dari kita
hidup dan mati dalam bagian botol di mana kita lahir. Hanya ada satu jalan masuk
dari bagian botol ke bagian botol lain yaitu melalui salah satu lubang-lubang yang
menghubungkan bagian-bagian botol. Sebagian besar ikan ingin naik ke bagian botol
di atasnya, sehingga terjadi kompetisi yang sengit di sekitar lubang-lubang
penghubung. Lusinan ikan saling menerobos ke pintu masuk lubang-lubang itu,
tetapi hanya sejumlah kecil saja yang berhasil masuk dan naik ke bagian botol di
atasnya. Tetapi ikan-ikan lainnya berkeyakinan bahwa mereka pun kelak akan bisa
masuk juga. Maka cukuplah satu dua ikan berhasil masuk demi untuk menjamin dan
melanggengkan harapan dan kepercayaan banyak ikan lainnya bahwa mereka pun
sebenarnya juga bisa masuk.
Yang mengontrol
Lubang-lubang masuk itu sebetulnya dikontrol dan diatur dari atas oleh ikan-
ikan besar. Jika ikan-ikan besar ini melihat bahwa bagian botol tengah terlalu penuh,
maka mereka akan mempersempit lebarnya lubang masuk dari bagian botol terbawah
ke bagian botol tengah atau penutup salah satu lubang yang ada. Sebaliknya jika
mereka ingin ikan-ikan lain masuk entah masuk ke dalam bagian botol teratas seperti
mereka, maka ikan besar ini tinggal memperlebar lubang masuk. Ikan-ikan besar itu
tidak hanya mengontrol lubang-lubang masuk tetapi juga mengontrol persediaan dan
penyaluran makanan ke seluruh sistem. Mereka itulah yang memutuskan untuk
menambah penyaluran makan atau memperkecilnya pada tiap-tiap bagian botol.
Ikan-ikan besar mengamati dengan pebuh perhatian apa yang terjadi dalam bagian-
bagian botol di bawahnya. Mereka selalu menjaga dengan segala upaya jangan
sampai ikan-ikan kecil dan ikan-ikan menengah membuat sabotase atau mencoba
menghancurkan seluruh botol. Ikan-ikan kecil dan menengah yang dilihat atau
dicurigai mencoba-coba untuk membuat sabotase lalu segera dikucilkan dan diisolasi
dan bahkan dibuat sedemikian rupa sehingga dimakan oleh ikan-ikan rekan-rekan
mereka sendiri. Tetapi tindakan ikan-ikan besar sedemikian itu jarang terjadi dan
hampir tidak perlu, sebab mereka itu benar-benar mengontrol lubang-lubang masuk
dan pembagian makanan sedemikian rupa sehingga bagian terbesar ikan-ikan yang
ada menerima dengan senang hati sistem yang ada meski dalam sistem itu selalu
terjadi kompetisi yang sangat tajam. Ikan-ikan saling berkompetisi untuk
mendapatkan makanan dan berebut untuk dapat masuk ke bagian botol yang lebih
atas. Tetapi justru sikap ikan-ikan inilah yang mempertahankan dan melanggengkan
sistem yang ada, sebab sejauh mereka melihat, bahwa ada beberapa ikan berhasil
masuk ke bagian botol yang lebih atas dan tambahan rejeki sampai pada mereka,
maka semua ikan akan menerima kompetisi sebagai hal yang tak terelakkan, bahkan
mereka yakin kompetisi sebagai hal yang tepat dan baik.

Siapa yang dimaksudkan ?


Perumpamaan ikan-ikan dalam botol itu menggambarkan masyarakat
manusia. Sistem masyarakat manusia pada kenyataannya ditentukan dan dikontrol
oleh sekelompok kecil orang dengan kekuasaan yang besar (ikan besar), yang
mengelola sistem masyarakat sedemikian rupa hingga previlese dan kekayaan
mereka tetap terlindung, dan tidak sampai dibahayakan. Bagian terbesar penduduk
(ikan-ikan kecil dalam bagian botol mereka terbawah) tetap saja miskin dan terlantar,
sebagian karena mereka ini menerima sistem yang ada. Mereka ini melihat kenyataan
adanya beberapa ikan yang diuntungkan oleh sistem yang ada, yaitu bahwa beberapa
dari antara mereka berhasil masuk lubang dan naik ke bagian botol lebih atas dan
menjadi ikan menengah. Maka mereka lalu berpikir, bahwa kelak mereka pun juga
akan mendapat giliran. Karena keyakinan inilah, maka korban dari sistem yaitu
penduduk yang miskin tidak mempersoalkan tidak adil dan tidak beresnya sistem itu
sendiri. Semakin kayanya sekelompok kecil orang (ikan besar) tergantung pada atau
disebabkan oleh pemiskinan sebagian besar penduduk (ikan-ikan kecil). Mereka
tetap menjadi kaya karena yang miskin tetap miskin karena yang kaya tetap kaya.
Inilah gambaran perumpamaan yang diberikan oleh mereka yang mengikuti model
konflik; selalu mempersoalkan struktur sosial. Struktur sosial yang ada dianggap
sebagai sebab kemiskinan. Untuk membuat analisis keadaan mereka selalu akan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan :
* Kelompok mana yang mendapat untung dari sistem masyarakat yang ada dan
kelompok mana yang dirugikan ?
* Siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam kompetisi dalam grup dan di
antara grup yang ada ?
* Faktor-faktor mana yang menentukan siapa pemenang dan siapa yang kalah ?

Penganut model ini melihat masyarakat yang ada sebagai masyarakat massal.
Masyarakat massal itu terdiri dari kelompok elite yang berada di atas dan massa
rakyat banyak yang ada di lapisan bawah, yang sama sekali tidak terorganisasi
sehingga tidak memiliki kekuasaan yang efektif. Dalam masyarakat massal itu rakyat
adalah konsumen media massa. Komunikasi yang ada hanya satu arah dan
pendengar-pandangan individu tidak dapat memberi reaksi atau jawaban kembali.
Karena tidak menguasai media massa, maka kelompok-kelompok pemrotes tidak
mampu menyuarakan pendapat mereka. Penganut model ini juga berpendapat bahwa
dalam masyarakat kemiskinan memang sengaja dipertahankan sebab orang-orang
miskin dianggap memang mempunyai fungsi. Sistem ekonomi, kepentingan
kelompok penguasa dan elite penguasa membutuhkan kelanggengan kemiskinan,
sebab kemiskinan akan menjamin masyarakat adanya pekerjaan-pekerjaan kotor
yang harus dikerjakan. Dengan kata lain, kemiskinan berfungsi menyediakan tenaga-
tenaga kerja murah yang mau menangani pekerjaan kotor dengan upah murah.
Karena orang miskin dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan dengan upah rendah,
maka mereka sebenarnya memberikan subsidi berbagai macam kegiatan ekonomi
yang menguntungkan orang kaya. Umpama pelayan rumah, mereka ini membantu
orang-orang kelas menengah, membuat hidup tuan-tuannya lebih enak dan
membebaskan nyonya-nyonya rumah tangga sehingga mereka bisa melakukan
macam-macam kegiatan profesional kultural atau menghadiri pesta-pesta.
Orang-orang miskin juga berfungsi menstabilkan proses kehidupan politik.
Karena orang-orang miskin umumnya tidak acuh dan kurang berminat dalam
kegiatan politik (misalnya pemilu). Maka sejauh mereka telah diharapkan pasti akan
memilih partai tertentu, maka partai yang bersangkutan lalu terus memusatkan
perhatian dan usahanya untuk memperoleh dukungan suara dari kelompok kelas
sosial lain yaitu kelas menengah atau kelas atas dan mengabaikan orang-orang
miskin. Orang-orang miskin juga dibutuhkan sebagai identifikasi jelas pelanggaran-
pelanggaran norma masyarakat. Untuk membenarkan baiknya kerja keras, rajin,
jujur, monogami, para pendukung dan pembela norma-norma ini harus dapat
menemukan orang-orang yang bisa dinilai sebagai orang-orang yang malas, penipu
dan asusila. Dan itulah nasib orang miskin sebab biasanya mereka itu lebih mudah,
daripada kelompok kelas menengah, untuk ditangkap dan dihukum kalau mereka
melanggar norma-norma masyarakat.

Amal dan sosial


Oleh penganut model konflik segala usaha amal, jaminan sosial, pelayanan-
pelayanan sosial dianggap sekedar untuk meninabobokkan orang miskin. Sebab
pelayanan-pelayanan sosial semacam itu hanyalah demi tujuan ekonomis dan politis,
yaitu demi terhindarnya kekacauan sosial dan demi pengaturan kerja dengan upah
rendah. Dihindarinya kekacauan sosial itu dimaksudkan agar sistem politik yang ada
dapat terus dipertahankan. Sedang pengaturan kerja dengan upah rendah itu demi
kelangsungan sistem kapitalisme. Dengan demikian jaminan-jaminan sosial yang
diberikan negara untuk orang-orang miskin pada hakekatnya adalah mekanisme
untuk mengontrol dan mengendalikan orang-orang miskin.
Jalan keluar
Apa jalan keluar yang bisa mengarah kepada perubahan sosial sebagaimana
digariskan oleh penganut model konflik ini ? Di sini kita jumpai garis yang moderat
sampai pada garis yang benar-benar radikal. Garis moderat menghendaki demokrasi
partisipatif baik dalam grup-grup sosial yang ada maupun dalam organisasi-
organisasi sebagai tujuan yang harus dicapai oleh setiap masyarakat. Mereka ini
tidak menganggap penting kepemimpinan, sebaliknya mereka yakin bahwa semua
orang harus ikut ambil bagian dalam pengambil keputusan-keputusan yang
mempengaruhi hidup mereka. Mereka menentang segala bentuk birokrasi,
pengaturan dari luar. Maka mereka ini menginginkan adanya kontrol mahasiswa
terhadap sekolah mereka, rakyat atas polisi, buruh atas pabrik mereka. Sedang
penganut garis radikal menganjurkan aksi-aksi menentang sistem sosial yang ada
umpama ketidak-taatan rakyat akan segala aturan yang ada (civil disobedience),
sebab mereka ini yakin bahwa tidak mungkin mengadakan perubahan-perubahan
lewat saluran-saluran resmi / legal yang ada atau lewat pemilihan-pemilihan umum;
saluran-saluran semacam ini mereka anggap tidak efektif. Perbedaan antara model
konsensus dan model konflik dapat diterangkan sekali lagi secara skematis.

Model Konsensus
Model Konflik
Konservatif
Liberal
Konflik
Struktur Sosial
Hasil konsensus.
Tidak masalah, bahkan dipertahankan.
Hasil konsensus.
Tidak masalah, bahkan dipertahankan.
Hasil pemaksaan.
Selalu dipermasalahkan
Kemiskinan
Disebabkan kesalahan para pelaku.
Disebabkan kurangnya kesempatan berusaha bagi pelaku.
Disebabkan struktur sosial yang tidak adil.
Usaha Mengatasi Kemiskinan
Membiarkan.
Menentang segala usaha pemerintah, menganggapnya akan counter productive.
Menyediakan dan memperluas kesempatan berusaha bagi orang-orang kecil.
Mengubah struktur.
Demokrasi kekuasaan sungguh di tangan orang-orang kecil.
Aktor Perubahan demi Mengatasi Kemiskinan
Pelaku yang bersangkutan sendiri.
Pemerintah, elite.
Aktor utama adalah orang-orang miskin sendiri.

Model konsensus atau model konflik ?


Dua model ini merupakan dua sisi pandang tentang kenyataan masyarakat.
Dengan kata lain, model yang satu bukan menghapus atau mengabaikan sama sekali
model yang lain. Model itu saling melengkapi dan bukan merupakan alternatif.
Konsensus atau konflik dalam masyarakat merupakan aspek-aspek struktur
masyarakat. Masyarakat hanya dapat kita mengerti hanya kalau kita menyadari
adanya dialektik antara stabilitas dan perubahan, konsensus dan konflik. Kita
memilih model hanya untuk mencoba menerangkan masalah sosial yang ada. Dengan
kata lain, masalah sosiallah yang menentukan pemilihan model. Mengingat sebagian
besar penduduk, baik ditingkat regional, nasional maupun internasional miskin,
sedang sebagian kecil penduduk kaya, model konflliklah yang lebih mengena untuk
menerangkan kemiskinan. Kecuali didasarkan pada masalah sosial yang ada,
pemilihan model juga didasarkan pada posisi atau jabatan seseorang. Orang yang
telah menduduki posisi yang enak dan aman, entah dia pejabat pemerintah atau telah
berhasil di bidang ekonomi biasanya cenderung memilih model konsensus.
Sebaliknya orang-orang yang tidak memiliki posisi atau jabatan yang aman dan enak
cenderung memilih model konflik. Demikianlah orientasi sosial dan politik
seseorang menentukan pemilihan model. Pemilihan model karenanya tergantung
pada sitem nilai seseorang. Maka penting sekali orang mengungkapkan sistem
nilainya dalam membahas masalah sosial.
Akhirnya ada satu catatan kecil yang baik kita perhatikan. Selama masih
berada di luar pemerintahan dan kekuasaan, gerakan komunis memakai model
konflik untuk membahas dan mencoba memecahkan masalah sosial. Tetapi sesudah
berkuasa, mereka mengikuti model konsensus, menganggap struktur sosial yang baru
yang mereka ciptaan sebagai yang terbaik dan dengan segala cara terutama tidak
segan-segan dengan cara kekerasan mempertahankan struktur sosial yang ada.

Catatan
Dalam sejarah sosiologi ada berbagai macam teori beserta tokoh-tokohnya. Teori
sosiologi tersebut adalah :

Teori organisme positif


Masyarakat dipandang seperti organisme hidup, analog dengan tubuh
manusia dimana bagian-bagian tubuh saling berhubungan dan saling mendukung.
Keteraturan dalam hubungan antar bagian tubuh itu melangsungkan organ tubuh.
Tidak diperlukan intervensi dari luar tubuh. Begitu pula masyarakat, yang ada adalah
keteraturan yang muncul sendiri berkat hubungan dan saling mendukungnya
institusi-institusi yang merupakan bagian-bagian dari masyarakat. untuk tetap hidup
tidak diperlukan reformasi atau revolusi. Teori organisme positif cenderung
merupakan ideologi konservatif. Tokoh teori ini adalah AUGUSTE COMTE (1798-
1857), HERBERT SPENCER (1820-1903), FERDINAND TONNIES (1855-1936),
EMILE DURKHEIM (1858-1917), VILFREDO PARETO (1848-1923).
Ideologi konservatif didorong oleh perhatian kepada masalah keteraturan.
Comte berpendapat, bahwa idea bisa mengatur dunia tapi juga bisa membuat
kekacauan. Maka sebagai langkah pertama, menurut Comte, perlu dijelaskan persis
pengertian tentang ilmu. Langkah ini bisa membuat dunia menjadi teratur. Spencer
memimpikan masyarakat teologis militer yang akan membawa keteraturan damai.
Durkheim menyebut anomia sebagai keadaan masyarakat yang berantakan karena
tanpa adanya norma-norma bersama. Pareto menandaaskan keadaan ekuilibrium
dalam masyarakat sebagai titik sentral dalam analisis sosiologi. Ordo masyarakat
dipertahankan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang paling kuat.
Ketidakteraturan, kekacauan dalam masyarakat diterangkan oleh teori organisme
positif sebagai hal yang disebabkan oleh sekelompok kecil orang agitator yakni
revolusioner (Comte), reformator, radikal dan kaum sosialis (Spencer), pembaharu
dan kaum progresif, serigala (Pareto).

Teori konflik
Harmonis dan integrasi adalah kata-kata yang sering dipakai oleh organisme
positif. Perang, konflik, dan perjuangan ada di luar kamus mereka. Teori konflik
justru mengungkap fenomena perang, konflik sebagai suatu yang sentral dalam
kehidupan manusia. Keteraturan yang ada bukannya keteraturan yang disebabkan
oleh integrasi dari bagian-bagian organ, melainkan oleh pemaksaan dengan
kekerasan. Berbeda dengan teori organisme positif yang menekankan pentingnya
institusi keluarga, ekonomi, agama; teori konflik mementingkan institusi negara.
Negara / pemerintah dianggap sebagai hasil penaklukan. Tokoh teori ini adalah IBN
KHALDUN (1332-1406), MACHIAVELLI (1469-1527), JEAN BODIN (1530-
1596), THOMAS HOBBES (1588-1679), DAVID HUME (1711-1776) ADAM
FERGUSON (1723-1816), JACQUES TURGOT (1727-1781); ADAM SMITH
(1723-1790), THOMAS MALTUS (1766-1834), KARL MARX (1818-1883).

Teori Sosiologi Formal dan Sosiologi Tingkah Laku


Dua teori ini lebih-lebih menggumuli soal obyek studi sosiologi. Sosiologi
formal menekankan perlunya sosiologi mempelajari bentuk-bentuk interaksi di balik
tingkah laku politik, ekonomi, agama dan seksual. Bentuk-bentuk interaksi harus
ditemukan kesamaannya meskipun melatar-belakangi bermacam-macam tingkah
laku. Sosiolog harus mengungkapkan kesamaan antara konflik antar bangsa dan
suami-isteri. Pandangan dasar tentang masyarakat dari tokoh-tokoh sosiologi formal
ada yang seperti organisme positif, sebagian lain seperti teori konflik. Tokoh
sosiologi formal ialah GEORGE SIMMEL (1858-1918).
Sosiologi tingkah laku menekankan tingkah laku person manusia sebagai
unitas paling kecil dari masyarakat sebagai subyek analisis sosiologi. Unitas paling
kecil dan bukan unitas luas masyarakat yang menjadi obyek studi sosiologi. Seperti
pada pandangan dasar para tokoh sosiologi formal, pandangan dasar tentang
masyarakat para tokoh sosiologi tingkah laku sebagian ada yang mendekati
organisme positif, sebagian teori konflik. Tokoh-tokohnya yaitu MAX WEBER
(1864-1920), GEORGE HERBERT MEAD (1863-1931), HANS GERTH (1908- ),
dan C. WRIGHT MILLS (1916-1962).

Teori Fungsionalis
Idea dasar dari fungsionalis sama dengan idea dasar organisme positif. Hanya
dalam perkembangan sejarah, sebagai teori organisme positif kehilangan pengaruh,
muncullah kemudian teori fungsionalis yang menduduki tempat organisme positif.
Menurut teori fungsionalis, setiap masyarakat terdiri dari bermacam-macam unsur
yang mempunyai struktur stabil, tetap dan memiliki integrasi tinggi. Setiap unsur
dalam masyarakat selalu mempunyai fungsi, yaitu sumbangan khusus demi
kelestarian sistem. Berfungsinya unsur-unsur itu disebabkan adanya konsensus akan
nilai-nilai diantara para anggota. Tokoh-tokoh ialah TALCOT PARSONS (1902-),
ROBERT K. MERTON ( 1910-).
Dari uraian di atas jelas bahwa di belakang teori-teori sosiologi ada dua
pandangan dasar tentang masyarakat yaitu yang mendekati organisme positif dan
yang mendekati teori konflik. Demikian bisa disimpulkan, bahwa ada dua model
yaitu kerangka pandangan atau asumsi tentang masyarakat, yang disebut model I
adalah sejalan dengan teori-teori organisme positif dan fungsionalis, sedangkan
model II sejalan dengan teori konflik.

Kepustakaan
ABRAHAM, J.H. 1974 Origins and Growth of Sociology Harmondsworth: Penguin.
ARON, TAYMOND. 1965 Main Currents in Sociological Thought, I,
Harmondsworth: Penguin.
1967 Main Currents in Sociological Thought, II, Harmondsworth: Penguin.
BERGER, PETER L. dan BRIGITTE BERGER. 1976 Sociology : A biographical
Approach, Harmondsworth: Penguin.
CONNERTON, PAUL (ED). 1976 Critical Sociology, Harmondsworth: Penguin.
COSER, LEWIS A. 1971 Master of Sociological Thought, second edition, New
York: Harcourt Brace Jovanovich Inc.
DAHRENDORF, RALF. 1959 Class and Class Conflight in Industrial Society,
Standford: Standford University Press.
ELLIOT, CHARLES. 1975 Patterns of Poverty in The Third World, New York:
Praeger Publisher.
ETZIONI, AMITAI - EVA ETZIONI-HALEVY (EDS). 1975 Social Change, New
York: Basic Books.
FOXPIVEN, FRANCES Ä CLOWARD, RICHARD A., 1971 Regulating the Poor:
The Functions of Public Welfare, New York: Vintage Book.
1977 Poor People Movements, New York: Pantheon Books.
GANS, HERBERT J., 1968 More Equality, New York: Pantheon Books.
GERTS, HANS - C. WRIGHT MILLS. 1954 Character and Social Structure,
London: Routledge & Kegan Paul Ltd.
HOLLAND J. - P. HENRIOT, 1980 Linking Faith and Justice, Washington: Center
of Concern.
INKELES, ALEX, 1967 Introduzionealla Sociologia, Bologna: II Mulino.
KOENTJARANINGRAT, 1971 Rintangan-rintangan Mental Dalam Pembangunan
Ekonomi di Indonesia, Djakarta: Bhatara.
LEVINE, DONALD M. dan BANE, MARI JO. 1975 The "Inequality" Controversy:
Schooling and Distibutive Justice, New York: Basic Books.
LEWIS, MICHAEL. 1978 The Culture of Inequality, Amherst: University of
Massachusetts Press.
LINDENFELD, FRANK. 1973 Radical Perspectives on Social Problems, New York
The MacMillan Company.
MILLS, C. WRIGHT. 1970 The Sociological Imagination, Harmondsworth:
Penguin.
MILLWOOD BASIC. 1977 The Proverty Makers, Geneva: World Council of
Churches.
O'DEA, THOMAS F., 1968 Sociologia della Religione, Bologna: 11 Mulino.
PARSONS, TALCOTT, 1951 The Social System, London: Routledge & Kegan Paul
Ltd.
RIESSMAN - POPPER, HERMINE I. 1969 Up From Poverty, New York: Harper &
Row
ROBERTSON, ROLAND (ED), 1969 Sociology of Religion, Harmondsworth:
Penguin.
SMELSER, NEIL J. (ED), 1973 Sociology : An Introduction, second edition, New
York: John Wiley & Sons
1976 The Sociologv of Economic Life, second edition, New Jersey: Prentice-Hall
Inc.
TRAUB, STUART H. - LITTLE, CRAIG B. ( EDS), 1975 Theories of Deviance,
Illionis: Peacock Publisher Inc.
VALENTINE, CHARLES A., 1968 Culture and Poverty, London and Chicago: The
University of Chicago Press.
WILLIAMSON, JOHN B. - BOREN, JERRY F. (EDS)., 1974 Social Problems,
Boston: Little, Brown and Company.
ZIMMERMAN, DON H. - WIEDER, D, LAWRENCE - IMMERMAN, SIU (EDS),
1976 Understanding Social Problems, New York: Praeger Publishers.

You might also like