You are on page 1of 16

1

PENATALAKSANAAN FIBROMIKSOMA SINONASAL SINISTRA


PADA LAKI-LAKI USIA 26 TAHUN

Meilina Wardhani, Denny S. Utama, Abla G. Irwan


Bagian IKTHT-KL FK Unsri/Departemen KTHT-KL RSMH Palembang

Abstrak
Fibromiksoma/miksofibroma/odontogenic fibromyxoma atau sering juga disebut
odontogenic myxoma adalah neoplasma yang dikarakteristikkan dengan adanya sel bintang
(stelata) dan sel berbentuk gelondong yang terkandung dalam jaringan miksoid yang juga
mengandung banyak serabut kolagen. Fibromiksoma merupakan tumor odontogenik yang sangat
jarang ditemui dan berasal dari jaringan mesenkim yang merupakan bagian germ-cell gigi.
Tumor ini dapat terjadi di beberapa lokasi seperti jantung, tulang rahang dan otot rangka, namun
sangat jarang terjadi pada daerah kepala dan leher. Tumor ini berbatas tegas namun tidak
berkapsul, dapat menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan memiliki sifat destruktif pada tulang.
Angka kejadian fibromiksoma bervariasi di berbagai negara, berkisar antara 3-20% dari
seluruh tumor odontogenik. Prevalensi terbesar adalah pada dekade ketiga dan keempat. Usia
rata-rata penderita adalah 30 tahun, dan sebagian besar terjadi pada wanita.
Dilaporkan satu kasus fibromiksoma pada sinus maksilaris dan kavum nasi kiri yang
meluas ke nasofaring dan rongga mulut pada seorang laki-laki berusia 26 tahun. Telah dilakukan
penatalaksanaan dengan tindakan operatif berupa ekstirpasi tumor.

Kata kunci : fibromiksoma, tumor odontogenik, sinonasal, ekstirpasi

Abstract
Fibromyxoma/mixofibroma/odontogenic fibromyxoma or often also called odontogenic
myxoma is a neoplasm that is characterized by the existence of star cells (stellate) and spindle-
shaped cells contained in mixoid tissue which also contains many collagen fibers. Fibromyxoma
is an odontogenic tumor are very rare, and are derived from mesenchymal tissue that is part of
the tooth germ-cell. These tumors can occur in several locations such as heart, jaw bone and
skeletal muscle. Very rare in the head and neck region. The tumor is bounded firmly
encapsulated, can infiltrate the adjacent structure, and has a potential for extensive bony
destruction.
Fibromyxoma incidence varies in different countries, the range is between 30-20% of all
odontogenic tumors. Prevalence is greatest in the third and fourth decade of life. The everaget is
30 years old, and most occur in women.
It was reported one case of fibromyxoma in left maxillary sinus cavity that extends to left
nasopharynx and oral cavity in a man aged 26 years. Management has been carried out with a
enucleation/extirpation tumor surgery.

Keywords : fibromyxoma, odontogenic tumor, sinonasal, extirpation


2

PENDAHULUAN

Fibromiksoma/miksofibroma/odontogenic fibromyxoma atau sering juga disebut

odontogenic myxoma adalah neoplasma yang dikarakteristikkan dengan adanya sel bintang

(stelata) dan sel berbentuk gelondong yang terkandung dalam jaringan miksoid yang juga

mengandung banyak serabut kolagen.1-4 Fibromiksoma merupakan tumor odontogenik yang

sangat jarang ditemui dan merupakan tumor yang berasal dari jaringan mesenkim yang

merupakan bagian germ-cell gigi.1-6 Tumor ini dapat terjadi di beberapa lokasi seperti jantung,

tulang rahang dan otot rangka. Fibromiksoma sangat jarang terjadi pada daerah kepala dan leher.

Fibromiksoma merupakan tumor jinak odontogenik dan harus dibedakan dengan miksoma

jaringan lunak. Fu dan Perzin,5 melaporkan 6 kasus miksoma pada penelitian terhadap 256 lesi

nonepitelial sinus paranasal, nasofaring, dan kavum nasi dan hanya ditemukan 2 kasus miksoma

yang mengandung komponen fibrosa.

Fibromiksoma mengandung banyak substansi interselular yang kaya dengan asam

mukopolisakarida yang membuatnya sangat agresif dan memiliki angka kekambuhan yang

tinggi setelah terapi eksisi, sehingga memiliki sifat destruktif pada tulang dan kemampuan

menginvasi struktur disekitarnya.6 Tumor ini dapat meluas ke nasofaring, hidung, sinus paranasal

maupun orbita dan paling banyak ditemukan pada maksila dan mandibula. 8 Gambaran histologi

dan radiologi sulit dibedakan dengan tumor odontogenik lainnya dan sering terjadi

misinterpretasi sebagai tumor ganas.1-7

Li dkk.,3 melaporkan sebuah kasus odontogenic fibromyxoma-associated calcifying cystic

odontogenic tumor (CCOT) pada seorang perempuan usia 15 tahun, yang dideskripsikan sebagai

tumor pada molar dan regio ramus kanan mandibula. Gambaran radiologi pada kasus tersebut
3

menunjukkan adanya massa radiolusens unilokuler yang disertai gigi molar 3 yang tidak

mengalami erupsi. Setelah dilakukan enukleasi terhadap tumor, kekambuhan ternyata tidak

dijumpai dalam waktu satu tahun sesudahnya.

Penatalaksanaan kasus fibromiksoma beragam mulai dari enukleasi hingga bedah radikal.

Fibromiksoma yang agresif dan diperkirakan dapat berakibat fatal dapat dipertimbangkan untuk

dilakukan reseksi radikal. Pada makalah ini dilaporkan suatu kasus jarang, seorang laki-laki usia

26 tahun dengan fibromiksoma pada sinus maksilaris dan kavum nasi kiri meluas ke nasofaring

dan rongga mulut, gambaran histologi dan radiologinya, serta potensi keganasan dan

penatalaksanaannya.7,8

KEKERAPAN

Angka kejadian fibromiksoma bervariasi di berbagai negara, berkisar antara 3-20% dari

seluruh tumor odontogenik.1,2 Tumor ini merupakan tumor odontogenik ketiga terbanyak (setelah

odontoma dan ameloblastoma). Rentang usia penderita bervariasi antara 1-73 tahun. Prevalensi

terbesar adalah pada dekade ketiga dan keempat.6 Usia rata-rata penderita adalah 30 tahun, dan

sebagian besar terjadi pada wanita.1-4,9 Hampir 75% miksoma odontogen terjadi pada pasien usia

23-30 tahun, jarang terjadi pada usia di atas 50 tahun atau di bawah 10 tahun.10

LOKASI

Sebanyak dua pertiga fibromiksoma berlokasi di mandibula. Lesi pada maksila diawali

dengan gambaran sinus maksilaris yang menghilang. 1 Predileksi paling sering adalah pada

mandibula posterior. Dilaporkan juga beberapa kasus fibromiksoma pada ramus, kondilus dan

area yang bukan merupakan asal gigi.4,11


4

GAMBARAN KLINIS

Fibromiksoma yang berukuran kecil seringkali asimtomatik. Tumor yang besar dapat

mengakibatkan perforasi. Tumor ini tidak menimbulkan nyeri. Fibromiksoma pada sinonasal

sering menyebabkan obliterasi sehingga sering diduga sebagai polip. Gambaran radiologis

menunjukkan massa radiolusen unilokular atau multilokular dan terkadang memiliki gambaran

“soap bubble” atau “honeycomb” dengan trabekulasi. Tumor ini sebagian besar berbatas jelas

namun dapat juga merupakan massa yang difus. Fibromiksoma yang besar dapat menimbulkan

reaksi periosteal.1-4

PATOGENESIS

Miksoma dideskripsikan sebagai neoplasma yang berasal dari jaringan mesenkim

primitif. Penyebab miksoma masih belum diketahui secara pasti. 5 Wirth dkk.12 mengusulkan teori

histogenesis miksoma dan fibrous displasia pada umumnya, mengemukakan teori “kegagalan

metabolism dasar jaringan yang mengakibatkan pertumbuhan berlebihan”. Tse & Vander13 juga

menyetujui teori ini. Enzinger,14 mengemukakan teori bahwa sel stelata dan spindle cell pada

jaringan miksoid merupakan fibroblas yang berubah sehingga menghasilkan asam

mukopolisakarida dan bukan kolagen. Glazunov dan Puckhov,15 mengemukakan dalil penyebab

virus yang menyerang nukleus sel dan cytoplasmic inclusion bodies di berbagai miksoma

intramuskuler. Penelitian terhadap 23 kasus menunjukkan bahwa miksoma odontogen tidak

berhubungan dengan aktivasi mutasi Gs alpha gene (239).1,2

PATOLOGI
5

Gambaran histopatologi ditandai dengan adanya sel-sel stelata, bulat dan spindle shaped

cell dengan sitoplasma eosinofilik yang pucat . Sel-sel tersebut menyebar pada stroma mukoid

atau miksoid yang mengandung kolagen dalam komposisi yang berbeda-beda. Ada atau tidaknya

sisa epitel odontogen tidak mutlak untuk diagnosis. Sebagian fibromiksoma memiliki tendensi

menghasilkan serabut kolagen. Penelitian histokimia menunjukkan bahwa substansi dasar

fibromiksoma mengandung banyak asam mukopolisakarida, asam hialuronat dan kondroitin

sulfat. Fibromiksoma secara mikroskopis mirip dengan pembesaran atau hiperplasia miksoid

folikel gigi dan papil gigi dari gigi yang sedang berkembang. Fibromiksoma maksila sering

diduga sebagai polip nasi. Fibromiksoma harus dibedakan dengan sarkoma jaringan lunak

(liposarkoma, lipoid kondrosarkoma), malignant fibrous histiocytoma dan neurofibroma1-5

DIAGNOSIS

Neurofibroma dan fibromiksoma menimbulkan intensitas rendah pada area sentral yang

merupakan gambaran jaringan fibrokolagen. Gambaran MRI lebih baik dibanding CT scan untuk

menentukan definisi anatomi fibromiksoma namun tidak menggambarkan secara jelas

karakteristik jaringan terutama karakteristik jaringan fibrosa.5

Secara radiologi, fibromiksoma akan tampak sebagai massa yang yang meluas,

radiolusens multilokuler dengan atau tanpa batas yang tegas. Namun, sebagian fibromiksoma

memiliki gambaran unilokuler. Pada beberapa kasus terdapat gambaran bercorak dan difus

sehingga mirip dengan gambaran neoplasma maligna.6,7

DIAGNOSIS BANDING
6

Secara mikroskopis fibromiksoma didiagnosis banding dengan neurofibroma,

chondromixoid fibroma, low-grade myxoid fibrosarcoma dan sarkoma-sarkoma miksoid

lainnya.1-4

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan yang dianjurkan adalah ekstirpasi atau eksisi radikal yang melibatkan

juga jaringan sekitarnya.6 Miksoma merupakan tumor jinak dengan tendensi rekurens lokal.5,6

Miksoma yang berukuran kecil dapat ditatalaksana secara konservatif dengan kuretase dan

diikuti dengan kauterisasi listrik atau kimia. Tumor yang berukuran lebih besar membutuhkan

reseksi ekstensif dengan angka rekurensi 25%, hal ini berhubungan dengan adanya sisa lesi

akibat reseksi inkomplet, kemampuan invasi dan sifat gelatin pada jaringan itu sendiri.8,16 Reseksi

luas dengan melindungi struktur vital disertai bedah rekonstruksi atau graft tulang juga dapat

dilakukan bila diperlukan.17

Penatalaksanaan bedah yang lebih agresif diperlukan pada fibromiksoma yang diduga

kuat mengalami transformasi maligna. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan radiogram modern

seperti MRI atau CT-scan sebelum dilakukan terapi bedah, terutama bila diduga lesi bersifat

infiltratif. Pasien juga harus diingatkan pentingnya dilakukan follow-up setelah operasi.

PROGNOSIS

Tumor yang kecil dapat ditatalaksana dengan enukleasi/ ekstirpasi namun tumor yang

besar membutuhkan eksisi komplit dengan batas bebas. Angka kekambuhan mencapai rata-rata

25%, namun prognosis pada umumnya baik. Kekambuhan seringkali diakibatkan operasi yang

tidak bersih dan terjadi dalam dua tahun atau lebih. Kematian dapat terjadi akibat perluasan

tumor ke basis tengkorak.1-4 Stout dan Himadi,18,19 menyatakan bahwa pleomorfisme dan mitosis
7

yang berlebihan berhubungan dengan tendensi kearah malignansi, dan hal ini menimbulkan

prognosis yang kurang baik pada sebagian besar pasien.

LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki, Tn. A, usia 26 tahun, berasal dari luar kota, masuk rumah sakit pada

tanggal 3 Mei 2010 dengan keluhan utama benjolan yang makin lama makin membesar pada pipi

dan hidung kiri disertai keluhan tambahan hidung tersumbat dan sulit makan sejak lebih kurang 2

hari sebelum masuk rumah sakit.

Pasien mengeluh timbul benjolan yang makin lama makin membesar, tidak nyeri pada

wajah bagian kiri sejak 2 tahun yang lalu. Benjolan pada pipi kiri juga disertai adanya benjolan

pada rongga hidung dan mulut sejak 1 tahun yang lalu. Pasien juga mengeluh pendengaran

menurun sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan mimisan disangkal dan gangguan penglihatan

disangkal.

Pasien berobat di poli THT (km 20) sejak lebih kurang 3 bulan yang lalu, dilakukan

biopsi dua kali namun belum ada penanganan lebih lanjut. Pasien juga mengeluh sulit makan

dan minum karena benjolan di dalam mulut.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan massa yang keras, tidak nyeri, terfiksasi dan menutupi

kavum nasi kiri, membuat bagian kiri wajah membesar dengan ukuran lebih kurang 20 cm x 15

cm x 10 cm. Deformitas tampak pada dorsum nasi, septum nasi terdorong ke kanan dan kavum

nasi kanan menyempit. Massa yang padat, tidak nyeri berwarna putih juga muncul dari

nasofaring kearah hipofaring dan dari sulkus ginggivo-bukalis ke dalam rongga mulut. Tampak

palatum molle dan durum menonjol. Tidak tampak pendorongan pada mata dan penglihatan tetap

baik.

a b c
8

Gambar 1. Profil pasien sebelum operasi (a. anterior, b. lateral kiri, c. lateral kanan)

Dari hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA) biopsi pertama pada tanggal 17 Februari

2010 tidak dijumpai massa tumor kavum nasi sinistra, dijumpai papiloma regio bukal, namun

bila klinis curiga keganasan maka disarankan untuk mohon biopsi ulang. Hasil PA biopsi kedua

tanggal 5 Maret 2010 adalah inflammatory polyp nasi.

Pemeriksaan CT scan pada tanggal 31 Maret 2010 menunjukkan adanya massa yang

berasal dari sinus maksilaris sinistra, terdapat destruksi tulang medial dan lateral sinus

maksilaris sinistra. Massa menginfiltrasi ke sinus sfenoid sinistra, sinus etmoid kanan-kiri dan

kavum nasi sinistra. Septum nasi terdorong ke kanan, kavum orbita kanan dan kiri normal.

Pada tanggal 19 Mei 2010 pasien mengeluh sesak napas. Pada pemeriksaan fisik

didapatkan retraksi suprasternal, sehingga dilakukan trakeostomi pada tanggal 21 Mei 2010.

Pasca trakeostomi sesak napas menghilang, pasien dapat bernapas lancar melalui stoma.

Gambar 2. Profil pasien pasca trakeostomi


9

Hasil biopsi ketiga tanggal 31 Mei 2010 adalah radang kronis non spesifik pada bukal

dan inflammatory polyp kavum nasi sinistra. Sementara hasil CT scan sinus paranasal (SPN)

tanggal 8 Juni 2010 adalah massa di kavum nasi bilateral disertai destruksi dinding dan mengisi

sinus maksilaris, etmoidalis kiri dengan perluasan ke nasofaring serta infiltrasi ke kutis regio

bukal kiri.

Selanjutnya, pada tanggal 19 Agustus 2010 dilakukan operasi ekstirpasi massa sinonasal.

Operasi berlangsung lebih kurang 2 jam. Intraoperatif didapatkan massa memenuhi sinus

maksilaris dan kavum nasi snistra yang mengakibatkan defek pada dinding antrum sinus

maksilaris bagian medial dan terdapat bagian massa dari antrum yang keluar dari defek pada

sulcus buccogingival dan nasofaring. Massa berwarna putih diselingi bagian yang bening seperti

polip serta beberapa bagian nekrosis. Massa berbatas jelas dan tidak menginfiltrasi mukosa dan

organ di sekitarnya. Massa dievakuasi secara terfragmentasi melalui kavum nasi, sulcus

buccogingival, dan orofaring. Pasca evakuasi didapatkan massa yang secara keseluruhan

berukuran lebih kurang 10 x 6 x 5 cm.

a b c

Gambar 3. Durante operasi (a dan b) dan massa yang telah diektirpasi (c)
10

Pasca operasi dan pemasangan tampon diberikan cairan intravena ringer laktat dan

dekstrosa 5%, nutrisi parenteral Aminovel 1 botol perhari, antibiotik intravena siprofloksasin 2 x

500 mg, antiinflamasi metilprednisolon 2 x 125 mg intravena, anti pendarahan asam traneksamat

3 x 500 mg intravena dan analgetik ketorolak 2 x 10 mg intravena.

FOLLOW-UP

Hari pertama pasca operasi didapatkan keadaan umum pasien baik, tanda-tanda vital

baik, pasien sudah bisa makan dan minum. Tampak rembesan darah minimal pada kassa penutup

hidung, tidak tampak perdarahan aktif maupun bekuan darah pada dinding posterior faring,

Pasase udara melalui stoma lancar.

Hari kedua pasca operasi dilakukan pelepasan tampon hidung dan antrum sinus

maksilaris. Tampon dilepaskan melalui kavum nasi kiri maupun defek pada sulcus

buccogingival kiri. Setelah pelepasan tampon didapatkan pasase pada kavum nasi kiri lapang dan

pada kavum nasi kanan tetap tidak ada, perdarahan juga tidak ada. Mukosa kavum nasi dan sinus

maksilaris baik. Tampak bekuan darah, sisa sekret dan debris pasca operasi pada kavum nasi dan

sinus, namun pasien merasa pernapasan melalui hidung lancar. Terapi intravena diteruskan dan

selanjutnya dilakukan penutupan kanul trakeostomi selama 24 jam.

Pasca operasi hari ketiga dilakukan dekanulasi kanul trakeostomi setelah dilakukan

penutupan kanul selama 24 jam. Pasca dekanulasi tidak didapatkan adanya sesak dan pasien

dapat bernapas biasa melalui hidung. Pemberian ketorolak intravena dihentikan dan diganti

tramadol 2 x 50 mg intravena, terapi intravena lainnya diteruskan.

a b c
11

Gambar 4. Profil pasien pasca operasi(a), mukosa sinus maksilaris(b), dan


defek pada sulcus buccogingival(c)

Pasien diperbolehkan pulang pada hari kelima pasca operasi dan disarankan untuk

kontrol secara rutin ke klinik KTHT-KL RSUP Dr. Moh Hesin palembang. Pasien dibekali obat

antibiotik antiinflamasi oral asam mefenamat 3 x 500 mg dan disarankan cuci hidung dengan

larutan garam fisiologis sebanyak 3 kali setiap hari.

Hasil pemeriksaan histopatologi tanggal 24 Agustus 2010 didapatkan kesan sesuai

dengan angiosarkoma kutaneus pada regio bukalis. Namun dari hasil pemeriksaan ulang pada

tanggal 16 September 2010 didapatkan kesan fibromiksoma dengan fokal sel-sel atipik dan

tanda-tanda infeksi jamur.

Gambar 5. Beberapa sel atipik Gambar 6. Pembuluh darah Gambar 7. Sulfur granula di
berinti bizarre diantara jaringan dilapisi sel endotel setempat tepi jaringan dan area nekrosis
ikat fibromiksoid edematous proliferasi, lumen berisi luas bersebuk sel radang
bersebuk selUP
FOLLOW radang limfoid dan beberapa eritrosit dikelilingi menahun dalam pembesaran
sel plasma dalam pembesaran jaringan fibromiksoid dalam 40x
400x pembesaran 100x
12

Minggu ketiga pasca operasi pasien kontrol ke poli THT dan didapatkan pasase pada

kavum nasi kanan tetap negatif dan pada kavum nasi kiri lapang, perdarahan tidak ada. Stoma

pada leher telah menutup. Pasien dapat makan dan minum seperti biasa dan pasien dapat

melakukan aktivitas dan pekerjaan sehari-hari seperti biasa. Mukosa kavum nasi dan sinus

maksilaris baik. Tidak ditemukan tanda-tanda rekurensi tumor. Pada rongga mulut didapatkan

celah pada sulcus buccogingival kiri yang menembus ke sinus maksilaris.

a b c

Gambar 8. Profil pasien 3 minggu pasca operasi dari anterior (a), lateral kiri (b), dan lateral kanan (c)

Tiga bulan pasca operasi pasien kembali kontrol ke poli THT. Tidak ada keluhan dari

pasien. Hasil pemeriksaan didapatkan mukosa kavum nasi dan sinus maksilaris kiri baik, tidak

ditemukan tanda-tanda rekurensi tumor. Pasien diberi penjelasan mengenai kemungkinan tumor

dapat berulang dan pasien disarankan untuk menjalani operasi lanjutan guna menutup defek pada

sulcus buccogingival. Pasien menolak dilakukan operasi lanjutan karena merasa tidak ada

keluhan makan minum maupun aktivitas sehari-hari.

DISKUSI

Fibromiksoma atau odontogenic myxoma (miksoma odontogen) atau miksofibroma

adalah tumor jinak yang berasal dari jaringan ikat papil gigi. Ada pendapat yang menyatakan

tumor ini terbentuk oleh proses degeneratif, ada juga yang berpendapat bahwa tumor ini
13

merupakan bentuk modifikasi fibroma(berasal dari sel-sel mesenkim embrional/matang). Pada

pasien ini tidak ditemukan keluhan adanya gigi yang tidak tumbuh, sehingga teori modifikasi

fibroma lebih dapat diterima.

Gambaran klinis tumor ini jinak, timbul di usia muda terutama 25-30 tahun. Tumor ini

secara histologis jinak, terdiri dari sel stelata di dalam stroma retikuler. Fibromiksoma

mengandung banyak substansi interselular yang kaya dengan asam mukopolisakarida yang

membuatnya sangat agresif sehingga memiliki sifat destruktif pada tulang dan kemampuan

menginvasi struktur disekitarnya.6 Fibromiksoma dapat membesar tanpa gejala, pertumbuhannya

lambat dan baru diketahui setelah timbul perubahan bentuk wajah.

Pada gambaran CT scan didapatkan destruksi tulang medial dan lateral sinus maksilaris

sinistra dan massa telah menginfiltrasi sinus sfenoid sinistra, sinus etmoid kanan-kiri dan kavum

nasi sinistra. Hal ini sesuai dengan literatur di mana dijelaskan meskipun tumor ini jinak namun

dapat mengakibatkan destruksi lokal akibat perluasan tumor.

Prinsip terapi tumor sinonasal adalah reseksi/operasi. Reseksi dapat bertujuan sebagai

pengobatan maupun paliatif yaitu mengurangi nyeri akibat regangan, dekompresi struktur-

struktur vital, debulking dan memulihkan kepercayaan diri pasien. Radioterapi diberikan sebagai

terapi tambahan setelah operasi atau sebagai terapi paliatif. Kemoterapi pada tumor sinonasal

biasanya merupakan terapi paliatif untuk mengurangi nyeri dan mengurangi sisa massa.

Penatalaksanaan yang dianjurkan untuk fibromiksoma adalah ektirpasi massa atau insisi radikal

untuk memperkecil resiko rekurensi tumor.6,19,20

Kasus diatas adalah suatu fibromiksoma pada seorang laki-laki berusia 26 tahun. Hal ini

sesuai dengan literatur di mana angka kejadian fibromiksoma paling banyak pada usia 25-30

tahun.19 Pada kasus ini tumor membesar secara lambat sampai mencapai ukuran yang besar dan
14

mengakibatkan deformitas. Pasien ini juga mengalami destruksi pada konka dan pendesakan

septum ke sisi kontralateral. Penatalaksanaan pasien ini sesuai dengan yang dianjurkan yaitu

ektirpasi massa tumor.

SIMPULAN

Dilaporkan sebuah kasus seorang laki-laki usia 26 tahun dengan fibromiksoma sinonasal

yang berasal dari sinus maksilaris sinistra yang menimbulkan deformitas pada wajah sebelah

kiri. Massa juga keluar dari sinus maksilaris ke kavum nasi dan mengakibatkan obstruksi nasal,

deformitas pada hidung dan pendorongan septum nasi kekanan.

Pasien ini ditatalaksana dengan tindakan ekstirpasi/enukleasi tumor. Pasca operasi hingga

follow-up 3 bulan pasca operasi didapatkan keluhan obstruksi hidung tidak ada, pasien dapat

melakukan aktifitas sehari-hari secara normal dan tidak ada tanda-tanda rekurensi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Buchner A, Odell EW. Odontogenic myxoma/myxofibroma. In: Patology and Genetic Head

and Neck Tumor. World Health Organization Classification of Tumours. Barnes L, Eveson

JW, Reichart P, Sydansky J (Eds). IARC Press. Lyon. 2005: 318-9.

2. Slootweg PJ. Odontogenic cysts-developmental. In: Pathology of the Head and Neck.

Cardesa A, Slootweg PJ (Eds). Springer. Heidelberg. 2006: 124-5.


15

3. Praetorius F. Odontogenic tumours. In: Surgical Pathology of the Head and Neck. Barnes L

(Ed). Informa Healthcare. New York. 2007; 3thEd(3): 1201-1313.

4. Sapp JP. Odontogenic tumours. In: Contemporary oral and Maxillofacial Pathology. Sapp

JP, Eversole LR, Wysocki GP (Eds). Mosby. 2004; 2ndEd: 134-63.

5. Grand S, Lantuejoul S, Ferretti G, Reyt E, Le Bas JF. Fibromyxoma of the retropharyngeal

space. AJNR Am J Neuroradiol. 1998; 19:1793–5.

6. Shahoon H, Esmaeili M, Nikhalat M, Farokhi E. Odontogenic fibromyxoma and

odontogenic cyst in an eight-year-old boy: Three-year follow-up. J Dent Res Dent Clin Dent

Prospect. 2009; 3(3):103-5.

7. Abdelwahab IF, Hermann G, Klein MJ, Kenan S, Lewis MM. Fibromyxoma of bone.

Skeletal Radiology. 1991; 20:95-8.

8. Gupta S, Gupta R, John A, Umarji H. Odontogenic fibromyxoma. JK Science. 2007; 9(1):

92-5.

9. Mishra A, Bhatia M, Sukhla GK. Fibromyxoma maxilla. Indian J Otolaryngol Head and

Neck Surgery. 2004; 56(4): 93-5.

10. Keszler A, Dominguez FV, Giannunzio G. Myxoma in childhood: an analysis of 10 cases. J

Oral Maxillofac Surg. 1995;53:518-21.

11. Craig GT. The paradental cyst. A specific inflammatory odontogenic cyst. Br Dent J.

1976;141:9-14.

12. Wirth WA, Leavitt D, Enzinger F. Multiple intramuscular myxomas: another extraskeletal

manifestation of fibrous dysplasia. Cancer. 1971; 27:1167–73.

13. Tse J, Vander S. The soft tissue myxoma of the head and neck region; report of a case and

literature review. Head Neck Surg. 1985; 7:479-83.


16

14. Enzinger FM. Intramuscular myxoma: a review and follow up studi of 34 cases. Am J Clin

Pathol. 1965; 43:104-13.

15. Glazunov MF, Puckhov JG. Human muscular myxoma and intracellular inclusions. Vopr

Onkol. 1960; 6:11–27.

16. Shafer WG, Hine MK, Levy BM. Cysts and tumours of odontogenic origin. In: A textbook

of oral pathology. Igaku-Shoin W.B.Saunders; 1983: 295-7.

17. Chen CT, Chen YR, Lai JP, Tung TC. Maxillary myxoma reated with wide resection and

immediate reconstruction: a case report. Ann Plast Surg. 1997; 39(1): 87-93.

18. Nwafo DC, Adi FC. Giant fibromyxoma of the parietal pleura. Thorax. 1978; 33: 520-3.

19. Malhotra V, Sethi A, Malhotra S, Sareen D, Puri R. Massive odontogenic fibromyxoma of

maxilla. The Internet J Oncol. 2005; 3(1).

20. Zimmer LA, Carrau RL. Neoplasms of the nose and paranasal sinuses. In: Head & Neck
Surgery-Otorhinolaryngology. Bailey BJ, Johnson JT (eds). Lippincott Williams & Wilkins.
Philadelphia. 4th ed; 2006:1481-99.

You might also like