You are on page 1of 39

BAB I

PENDAHULUAN

Salah satu gangguan jiwa yang merupakan permasalahan kesehatan di


seluruh dunia adalah skizofrenia. Para pakar kesehatan jiwa menyatakan bahwa
semakin modern dan industrial suatu masyarakat, semakin besar pula stressor
psikososialnya, yang pada gilirannya menyebabkan orang jatuh sakit karena tidak
mampu mengatasinya. Salah satu penyakit itu adalah gangguan jiwa skizofrenia.1
Gangguan jiwa merupakan gangguan pada pikiran, perasaan, atau perilaku
yang mengakibatkan penderitaan dan terganggunya fungsi sehari-hari. Skizofrenia
adalah sekelompok gangguan psikotik dengan distorsi khas proses pikir, kadang-
kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan
dari luar dirinya, waham yang kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, afek
abnormal yang terpadu dengan situasi nyata atau sebenarnya, dan autisme.
Meskipun demikian, kesadaran yang jernih dan kapasitas intelektual biasanya
tidak terganggu.2
Walaupun skizofrenia tergolong sebagai suatu penyakit yang banyak
menyerang anggota masyarakat, cukup mengherankan bahwa tidak banyak
diketahui mengenai epidemiologi penyakit ini, khususnya di Indonesia.3 Di
Amerika Serikat, prevalensi skizofrenia seumur hidup dilaporkan secara
bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5%; konsisten dengan rentang tersebut,
penelitian
Epidemiological Catchment Area (ECA) yang disponsori oleh National
Institute of Mental Health (NIMH) melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar
1,3%. Kira-kira 0,025 sampai 0,05% populasi total diobati untuk skizofrenia
dalam satu tahun. Walaupun dua pertiga dari pasien yang diobati tersebut
1
Anonymous. 2004. Konsep Psikoterapi Islam dalam Penyembujan Penderita Skizofrenia Aksis IV (Telaah Teoritik).
Diunduh pada tanggal 24 Januari 2011. http://idb4.wikispaces.com/file/view/uf4005.1.pdf.
2
Anonymous. 2007. Skizofrenia dapatkah disembuhkan. Diunduh pada tanggal 24 Januari 2011.
http://drliza.wordpress.com/2007/12/01/skizofrenia-dapatkah-disembuhkan/.
3
Bahar Ernaldi. Materi Pengajaran Pemeriksaan Psikiatrik, Klasifikasi Diagnostik, dan Gangguan Psikiatrik Utama.
Palembang: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unsri. 1985.
membutuhkan perawatan di rumah sakit, hanya kira-kira setengah dari semua
pasien skizofrenik mendapat pengobatan, tidak tergantung pada keparahan
penyakit. Jumlah biaya yang dikeluarkan, secara langsung maupun tak langsung
untuk perawatan penderita skizofrenia di Amerika Serikat pada tahun 1971 adalah
sebesar US$ 14 billion. Di seluruh dunia, diperkirakan terdapat 2 juta kasus
skizofrenia baru tiap tahun dan seluruh penderita skizofrenia diperkirakan
berjumlah 10 juta, hampir sama dengan jumlah penduduk kota New York.3
Lima tahun terakhir telah membawa kemajuan besar dalam mengerti
skizofrenia di dalam tiga bidang. Pertama, kemajuan teknik pencitraan otak,
khusunya pencitraan resonansi magnetik (MRI: Magnetic Resonance Imaging),
daerah otak tertentu yang diperhatikan adalah amigdala, hipokampus, dan girus
parahipokampus. Kedua, setelah perkenalan clozapine (clozaril), risperidone dan
juga remoxipride, suatu antipsikotik atipikal dengan efek samping neurologis
yang minimal. Obat tersebut dan obat atipikal lainnya akan lebih efektif dalam
menurunkan gejala negatif skizofrenia dan dapat dihubungkan dengan rendahnya
insidensi efek samping neurologis. Ketiga, saat terapi obat mengalami kemajuan
dan saat dasar biologis yang kuat untuk skizofrenia semakin dikenal luas, terdapat
peningkatan minat pada faktor psikososial yang mempengaruhi skizofrenia,
termasuk yang mempengaruhi onset, relaps, dan hasil terapi.4

BAB II
4
Saddock BJ, Saddock VA. Schizophrenia In:Kaplan & Saddock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical
Psychiatry. 10th ed. New York: Lippicontt Williams & Wilkins. 2007.
SKIZOFRENIA

II.1 Definisi
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizein” yang berarti “terpisah”
atau “pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya
atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Secara umum, gejala
skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu gejala positif, gejala negatif,
dan gangguan dalam hubungan interpersonal.5
Skizofrenia adalah diagnosis kejiwaan yang menggambarkan gangguan
mental dengan karakter abnormalitas dalam persepsi atau gangguan mengenai
realitas. Abnormalitas persepsi dapat berupa gangguan di kelima panca indera,
tapi biasanya berupa halusinasi auditorik, paranoid, waham bizarre, dan dapat
juga berupa disorganisasi berbicara dan gangguan komunikasi sosial yang nyata.
Sering terjadi pada dewasa muda, ditegakkan melalui pengalaman pasien dan
dilakukan observasi tingkah laku, serta tidak dibutuhkan adanya pemeriksaan
laboratorium.6
Berdasarkan PPDGJ III, skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom
dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak
selalu bersifat kronis atau “deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang
tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada
umunya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari
pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul
(blunted), kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual
biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian.6
Skizofrenia merupakan suatu gangguan psikotik yang kronik, sering
mereda, namun hilang timbul dengan manifestasi klinis yang amat luas variasinya.
Menurut Eugen Bleuler, skizofrenia adalah suatu gambaran jiwa yang terpecah

5
Maramis, W.E. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Erlangga University Press. Surabaya 2005.
6
Paul, Jhon. Skizofrenia. Diunduh tanggal 26 Januari 2011. http://www. Medical news.com/
belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses pikir, perasaan dan
perbuatan.4

II.2 Epidemiologi
Sekitar 1% penduduk dunia akan mengidap skizofrenia pada suatu waktu
dalam hidupnya. Di Indonesia diperkirakan 1-2% penduduk atau sekitar 2-4 juta
jiwa akan terkena penyakit ini. Bahkan sekitar sepertiga dari 1-2 juta jiwa yang
terjangkit penyakit skizofrenia ini atau sekitar 700 ribu hingga 1,4 juta jiwa kini
sedang mengidap skizofrenia. Perkiraan angka ini disampaikan Dr. LS Chandra,
Sp.KJ dari Sanatorium Dharmawangsa Jakarta Selatan. Tiga perempat dari jumlah
pasien skizofrenia umumnya dimulai pada usia 16 sampai 25 tahun pada jenis
kelamin laki-laki. Pada perempuan, skizofrenia biasanya mulai diidap pada usia
25 hingga 30 tahun. Penyakit yang satu ini cenderung menyebar di antara anggota
keluarga sedarah.6
Walaupun skizofrenia tergolong sebagai suatu penyakit yang banyak
menyerang anggota masyarakat, cukup mengherankan bahwa tidak banyak
diketahui mengenai epidemiologi penyakit ini, khususnya di Indonesia. Di
Amerika Serikat, prevalensi skizofrenia seumur hidup dilaporkan secara
bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5%; konsisten dengan rentang tersebut,
penelitian Epidemiological Catchment Area (ECA) yang disponsori oleh National
Institute of Mental Health (NIMH) melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar
1,3%. Kira-kira 0,025 sampai 0,05% populasi total diobati untuk skizofrenia
dalam satu tahun. Walaupun dua pertiga dari pasien yang diobati tersebut
membutuhkan perawatan di rumah sakit, hanya kira-kira setengah dari semua
pasien skizofrenik mendapat pengobatan, tidak tergantung pada keparahan
penyakit.4
Di seluruh dunia, diperkirakan terdapat 2 juta kasus skizofrenia baru tiap
tahun dan seluruh penderita skizofrenia diperkirakan berjumlah 10 juta orang,
hampir sama dengan jumlah penduduk kota New York.4
II.3 Etiologi 5
Skizofrenia merupakan suatu bentuk psikosis yang sering dijumpai sejak
dulu. Meskipun demikian pengetahuan tentang faktor penyebab dan
patogenesisnya masih minim diketahui. Adapun beberapa faktor etiologi yang
mendasari terjadinya skizofrenia, antara lain:
1) Genetik
Dapat dipastikan bahwa ada faktor genetik yang juga menentukan
timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang
keluarga-keluarga penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar
satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri penderita skizofrenia ialah
0,9-1,8%; bagi saudara kandung 7-15%; bagi anak dengan salah satu orang
tua yang menderita skizofrenia 7-16%; bila kedua orang tua menderita
skizofrenia 40-68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2-15%; dan bagi
kembar satu telur (homozigot) 61-86%.
Tetapi pengaruh genetik tidak sesederhana seperti hukum-hukum
Mendel. Diduga bahwa potensi untuk mendapatkan skizofrenia diturunkan
(bukan penyakit itu sendiri) melalui gen yang resesif. Potensi ini mungkin
kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan
individu itu apakah akan terjadi skizofrenia atau tidak (mirip hal genetik
pada diabetes melitus).

2) Endokrin
Dahulu diduga bahwa skizofrenia mungkin disebabkan oleh suatu
gangguan endokrin. Teori ini dikemukakan berhubung dengan sering
timbulnya skizofrenia pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau
puerperium dan waktu klimakterium. Tetapi hal ini tidak dapat dibuktikan.

3) Metabolisme
Beberapa peneliti menduga bahwa skizofrenia disebabkan oleh
suatu gangguan metabolisme, karena penderita dengan skizofrenia tampak
pucat dan tidak sehat. Ujung ekstremitas agak sianosis, nafsu makan
berkurang dan berat badan menurun. Pada penderita dengan stupor
katatonik konsumsi zat asam menurun. Namun, hipotesis ini tidak
dibenarkan oleh banyak sarjana. Belakangan ini teori metabolisme
mendapat perhatian lagi berhubung dengan penelitian dengan memakai
obat halusinogenik, seperti meskalin dan asam lisergik diethilamide (LSD-
25). Obat-obat ini dapat menimbulkan gejala-gejala yang mirip dengan
gejala-gejala skizofrenia, tetapi sifatnya reversibel. Mungkin skizofrenia
disebabkan oleh suatu “inborn error of metabolism”, tetapi hubungan
terakhir belum ditemukan.
4) Susunan Saraf Pusat
Ada yang mencari penyebab skizofrenia ke arah kelainan susunan
saraf pusat, yaitu pada diensefalon atau korteks otak. Tetapi kelainan
patologis yang ditemukan itu mungkin disebabkan oleh perubahan-
perubahan postmortem atau merupakan artefakt pada waktu membuat
sediaan.

Teori-teori tersebut di atas dapat dimasukkan ke dalam kelompok teori


somatogenik, yaitu teori yang mencari penyebab skizofrenia dalam kelainan yang
dilihat dari faktor fisik seseorang. Kelompok teori lain ialah teori psikogenik,
yaitu skizofrenia dianggap sebagai suatu gangguan fungsional dan penyebab
utama ialah konflik, stres psikologik dan konflik hubungan antarmanusia. Dalam
kelompok ini termasuk:
5) Teori Adolf Meyer
Skizofrenia tidak disebabkan oleh suatu penyakit yang disebabkan
karena adanya kelainan anatomi ataupun fisiologis dalam tubuh (faktor
fisik), menurut Meyer (1906), sebab dari dahulu hingga sekarang para
sarjana tidak dapat menemukan kelainan patologis-anatomis atau fisiologis
yang khas pada susunan saraf. Sebaliknya Meyer mengakui bahwa suatu
kelainan pada fisik (anatomi atau fisiologi) dapat mempengaruhi
timbulnya skizofrenia. Menurut Meyer, skizofrenia merupakan suatu
reaksi yang salah atau merupakan suatu maladaptasi. Oleh karena itu,
timbul suatu disorganisasi kepribadian dan lama-kelamaan orang itu
menjauhkan diri dari kenyataan (otisme). Hipotesis Meyer ini kemudian
memperoleh banyak penganut di Amerika Serikat dan mereka memakai
istilah “reaksi skizofrenik”.
6) Teori Sigmund Freud
Dalam formula Freud, pada skizofrenia terdapat:
- Kelemahan ego, yang dapat timbul karena penyebab psikogenik
ataupun somatik.
- Superego dikesampingkan sehingga tidak bertenaga lagi dan Id yang
berkuasa serta terjadi suatu regresi ke fase narsisisme.
- Kehilangan kapasitas untuk pemindahan (“tranference”) sehingga terapi
psikoanalitik tidak mungkin.
7) Eugen Bleuler (1857-1938)
Pada tahun 1911, Bleuler menganjurkan supaya lebih baik dipakai
istilah “skizofrenia”, karena nama ini dengan tepat sekali menonjolkan
gejala utama penyakit ini, yaitu jiwa yang terpecah-belah, adanya
keretakan atau disharmoni antara proses berfikir, perasaan dan perbuatan
(schizos = pecah-belah atau bercabang, phren = jiwa).
Bleuler membagi gejala-gejala skizofrenia menjadi dua kelompok:
1) Gejala-gejala primer:
- Gangguan asosiasi
- Gangguan afek
- autisme
- ambivalens
2) Gejala-gejala sekunder:
- Waham
- Halusinasi
- Gejala katatonik atau gangguan psikomotorik yang lain.
Bleuler menganggap bahwa gejala-gejala primer merupakan
manifestasi penyakit yang disebabkan faktor fisik (yang belum diketahui
apa sebenarnya, yang masih merupakan hipotesis), sedangkan gejala-
gejala sekunder ialah manifestasi dari usaha penderita untuk menyesuaikan
diri terhadap gangguan primer tadi. Jadi gejala-gejala sekunder ini secara
psikologis dapat dimengerti.
8) Kemudian muncul teori lain yang menganggap skizofrenia sebagai suatu
sindroma yang dapat disebabkan oleh bermacam-macam sebab, antara lain
genetika, pendidikan yang salah, maladaptasi, tekanan jiwa, penyakit
organik seperti arteriosklerosis otak dan penyakit lain yang belum
diketahui.
9) Akhirnya timbul pendapat bahwa skizofrenia itu adalah suatu gangguan
psikosomatik, gejala-gejala pada badan hanya sekunder karena gangguan
dasar yang psikogenik, atau merupakan manifestasi somatik dari gangguan
psikogenik. Tetapi pada skizofrenia justru yang menjadi masalah ialah
menentukan mana yang primer dan mana yang sekunder, mana yang
merupakan penyebab dan mana yang hanya akibatnya saja.

II.4 Gambaran Klinis


Perjalanan penyakit skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase
prodromal, fase aktif dan fase residual. Pada fase prodromal biasanya timbul
gejala-gejala non-spesifik yang lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih dari
satu tahun sebelum onset psikotik menjadi jelas. Gejala tersebut meliputi: hendaya
fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi
perawatan diri. Perubahan-perubahan ini akan mengganggu individu serta
membuat resah keluarga dan teman, mereka akan mengatakan “orang ini tidak
seperti yang dulu”. Semakin lama fase prodromal semakin buruk prognosisnya.
Pada fase aktif gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik,
inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir semua individu
datang berobat pada fase ini, bila tidak mendapat pengobatan gejala-gejala
tersebut dapat hilang spontan suatu saat mengalami eksaserbasi atau terus
bertahan. Fase aktif akan diikuti oleh fase residual dimana gejala-gejalanya sama
dengan fase prodromal tetapi gejala positif/psikotiknya sudah berkurang. Di
samping gejala-gejala yang terjadi pada ketiga fase di atas, terkadang juga timbul
gangguan kognitif berupa gangguan berbicara spontan, mengurutkan peristiwa,
kewaspadaan dan eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan sosial).7

II.5 Kriteria Diagnosis


A. Kriteria Bleuler untuk Skizofrenia3
Bleuler menggunakan konstelasi gejala kompleks primer dan gejala
kompleks sekunder untuk menegakkan diagnosis skizofrenia.
1. Gejala primer :
- Gangguan asosiasi
- Gangguan afek
- Autisme
- Ambivalensi
2. Gejala sekunder :
- Waham
- Halusinasi
- Ilusi
- Katatonia

B. Kriteria Schneider untuk Skizofrenia4


Kriteria Schneider adalah berdasarkan adanya gejala-gejala yang
disebutnya sebagai gejala urutan pertama (first rank symptoms) dan gejala urutan
kedua (second rank symptoms).
1. Gejala urutan pertama:
- Audible thoughts
- Voices arguing atau voices discussing atau keduanya
- Voices commenting
- Somatic passivity experiences
- Thought withdrawal dan pengalaman lainnya yang
dipengaruhi oleh pikiran
- Thought broadcasting
- Delusional perceptions
7
Luana. Skizofrenia. EGC. Jakarta.2007.
- Semua pengalaman lain yang melibatkan kemauan, afek,
dan pengendalian impuls
2. Gejala urutan kedua:
- Gangguan persepsi lainnya
- Gagasan bersifat waham yang tiba-tiba
- Kebingungan
- Perubahan mood disforik dan euforik
- Perasaan kemiskinan emosional
- “...dan beberapa lainnya juga”

C. Kriteria DSM-IV untuk Skizofrenia4


DSM-IV mempunyai kriteria diagnosis resmi dari American Psychiatric
Association untuk skizofrenia. Kriteria diagnosis DSM-IV sebagian besar tidak
berubah dari DSM edisi ketiga yang direvisi (DSM-III-R), walaupun DSM-IV
menawarkan lebih banyak pilihan bagi klinisi dan lebih deskriptif terhadap situasi
klinis yang aktual.
a) Gejala karakteristik: dua (atau lebih) berikut, masing-masing ditemukan
untuk bagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau
kurang jika diobati dengan berhasil):
1. Waham
2. Halusinasi
3. Bicara terdisorganisasi (misalnya, sering menyimpang atau
inkoheren)
4. Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas
5. Gejala negatif, yaitu, pendataran afektif, alogia, atau tidak ada
kemauan (avolition)
Catatan: hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham
adalah kacau atau halusinasi terdiri dari suara yang terus-menerus
mengkomentari perilaku atau pikiran pasien, atau dua atau lebih
suara yang saling bercakap satu sama lainnya.
b) Disfungsi sosial atau pekerjaan: untuk bagian waktu yang bermakna
sejak onset gangguan, satu atau lebih fungsi utama, seperti pekerjaan,
hubungan interpersonal, atau perawatan diri, adalah jelas di bawah
tingkat yang dicapai sebelum onset (atau jika onset pada masa anak-
anak atau remaja, kegagalan untuk mencapai tingkat pencapaian
interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang diharapkan).
c) Durasi: tanda gangguan menetap terus-menerus menetap selama
sekurangnya 6 bulan. Periode 6 bulan ini harus termasuk sekurangnya 1
bulan gejala (atau kurang jika diobati dengan berhasil) yang memenuhi
kriteria A (yaitu, gejala fase aktif) dan mungkin termasuk periode gejala
prodormal atau residual. Selama periode prodormal atau residual, tanda
gangguan mungkin dimanifestasikan hanya oleh gejala negatif atau dua
atau lebih gejala yang dituliskan dalam kriteria A dalam bentuk yang
diperlemah (misalnya, keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi yang
tidak lazim).
d) Penyingkiran gangguan skizoafektif dan gangguan mood: Gangguan
skizoafektif dan gangguan mood dengan ciri psikotik telah disingkirkan
karena:
1. Tidak ada episode depresif berat, manik, atau campuran yang telah
terjadi bersama-sama dengan gejala fase aktif; atau
2. Jika episode mood telah terjadi selama gejala fase aktif, durasi
totalnya adalah relatif singkat dibanhdingkan durasi periode aktif
dan residual.
e) Penyingkiran zat/kondisi medis umum: Gangguan tidak disebabkan
oleh efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya obat yang salah
digunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum.
f) Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasif: jika terdapat
riwayat adanya gangguan autistik atau gangguan perkembangan
pervasif lainnya, diagnosis tambahan skizofrenia dibuat hanya jika
waham atau halusinasi yang menonjol juga ditemukan untuk
sekurangnya 1 bulan (atau kurang jika diobati secara berhasil).
Klasifikasi perjalanan penyakit longitudinal (dapat diterapkan hanya
setelah sekurangnya 1 tahun lewat sejak onset awal gejala fase aktif):
- Episodik dengan gejala residual interepisode (episode didefinisikan
oleh timbulnya kembali gejala psikotik yang menonjol); juga
disebutkan jika dengan gejala negatif yang menonjol
- Episodik tanpa gejala residual interepisodik
- Kontinu (gejala psikotik yang menonjol ditemukan di seluruh periode
obsernasi); juga disebutkan jika dengan gejala negatif yang menonjol
- Episode tunggal dalam remisi parsial; juga disebutkan jika dengan
gejala negatif yang menonjol
- Episode tunggal dalam remisi penuh
- Pola lain atau tidak ditemukan

D. Kriteria Gabriel Langfeldt untuk Skizofrenia4


1) Kriteria gejala
Petujuk penting ke arah diagnosis skizofrenia adalah (jika tidak ada
gangguan kognitif, infeksi, atau intoksikasi yang dapat ditunjukkan)
a. Perubahan kepribadian, yang bermanifestasi sebagai penumpulan
emosional dengan jenis khusus diikuti oleh hilangnya inisiatif, dan
perilaku yang berubah dan seringkali aneh. (Khususnya pada
hebefrenik, perubahan kepribadian yang terjadi adalah karakteristik
dan petunjuk utama ke arah diagnosis)
b. Pada tipe katatonik, riwayat penyakit dan tanda tipikal dalam
periode kegelisahan dan stupor (dengan negativisme, wajah
berminyak, katalepsi, gejala vegetatif khusus, dan lain-lain)
c. Pada psikosis paranoid, gejala penting pembelahan kepribadian
(atau gejala depersonalisasi) dan hilangnya perasaan realitas (gejala
derealisasi) atau waham primer
d. Halusinasi kronis
2) Kriteria perjalanan penyakit
Keputusan akhir tentang diagnosis tidak dapat dibuat sebelum periode
follow up selama sekurangnya lima tahun telah menunjukkan
perjalanan penyakit yang jangka panjang.

E. Kriteria Fleksibel4
Jumlah gejala minimal yang diperlukan dapat empat sampai delapan,
tergantung pada pilihan peneliti:
1) Afek terbatas
2) Tilikan buruk
3) Pikiran bersuara keras (thoughts aloud)
4) Rapport buruk
5) Waham yang luas
6) Bicara inkoheren
7) Informasi yang tidak dapat dipercaya
8) Waham aneh
9) Waham nihilistik
10) Tidak adanya wajah terdepresi
11) Tidak adanya elasi

F. Kriteria Diagnostik Riset4


Kriteria 1 sampai 3 adalah diperlukan untuk diagnosis:
1) Sekurangnya dua dari berikut ini untuk penyakit definitif dan satu untuk
kemungkinan (tidak memperhitungkan yang terjadi selama periode
penyalahgunaan atau putus obat atau alkohol):
a. Thought echo, thought insertion, atau thought broadcasting
b. Waham sedang dikendalikan atau dipengaruhi, waham aneh lain, atau
waham multipel
c. Waham selain dari kejar atau cemburu yang berlangsung sekurangnya
satu bulan
d. Waham dengan jenis apapun jika disertai dengan halusinasi jenis
apapun selama sekurangnya satu minggu
e. Halusinasi dimana suara terus-menerus mengkomentari perilaku
subjek atau pikiran seakan-akan mereka terjadi atau dua atau lebih
suara yang saling bercakap satu sama lain
f. Halusinasi verbal nonafektif yang berbicara dengan subjek
g. Halusinasi dengan jenis apapun di sepanjang hari selama beberapa
hari atau secara intermiten untuk selama sekurangnya satu bulan
h. Keadaan definitif adanya gangguan pikiran formal yang nyata yang
disertai oleh afek yang tumpul atau tidak sesuai, waham atau
halusinasi jenis apapun atau perilaku yang jelas terdisorganisasi
2) Satu dari dua berikut ini:
a. Periode penyakit sekarang berlangsung sekurangnya dua minggu sejak
onset perubahan kondisi subjek yang biasanya dapat dilihat
b. Subjek pernah mengalami periode penyakit sebelumnya yang
berlangsung sekurangnya 2 minggu, selama ia memenuhi kriteria dan
tanda-tanda residual penyakit tetap ada (misalnya: penarikan sosial
yang parah, afek yang tumpul atau tidak sesuai, gangguan pikiran
formal, atau pikiran/pengalaman persepsi yang tidak lazim)
3) Pada periode aktif dari penyakit tidak boleh ditemukan kriteria untuk
sindroma manik atau depresif yang kemungkinan atau definitif sampai
derajat dimana merupakan bagian penyakit yang menonjol.

G. Kriteria St. Louis4


1) Keduanya diperlukan:
a. Penyakit kronis dengan gejala sekurangnya selama enam bulan
sebelum saat pemeriksaan tanpa kembali ke tingkat penyesuaian
psikososial premorbid
b. Tidak ada periode gejala depresif atau manik yang cukup untuk
memenuhi persyaratan gangguan mood atau kemungkinan
gangguan mood
2) Sekurangnya satu yang berikut:
a. Waham atau halusinasi tanpa kebingungan atau disorientasi yang
bermakna
b. Produksi verbal yang menyebabkan komunikasi sulit karena tidak
adanya organisasi yang logis atau dapat dimengerti (jika ada
autisme, keputusan diagnostik harus ditunda)
3) Sekurangnya tiga untuk penyakit definitif, dua untuk kemungkinan
penyakit:
a. Tidak pernah menikah
b. Penyesuaian sosial atau riwayat kerja premorbid yang
buruk
c. Riwayat keluarga skizofrenia
d. Tidak adanya penyalahgunaan alkohol atau zat lain dalam
satu tahun onset
e. Usia sebelum 40 tahun

H. Kriteria Taylor dan Abrams untuk Skizofrenia4


Semua kriteria harus dipenuhi untuk diagnosis:
1) Lama episode lebih dari enam bulan
2) Kesadaran yang jernih
3) Adanya waham, halusinasi, atau gangguan pikiran formal (verbigerasi,
non sequiturs, pendekatan kata, neologisme, penghambatan, dan keluar
daru jalur)
4) Tidak ada afek yang luas
5) Tidak ada tanda dan gejala yang cukup untuk membuat diagnosis
gangguan mood
6) Tidak ada penyalahgunaan alkohol atau zat lain dalam satu tahun episode
indeks
7) Tidak ada tanda dan gejala fokal penyakit otak yang jelas atau penyakit
medis utama yang diketahui menyebabkan perubahan perilaku yang
bermakna
I. Present State Examination4
Dua belas butir berikut ini dari Present State Examination bersesuaian
dengan sistem diagnostik skizofrenia 12-poin, dengan berbagai tingkat kepastian
diagnostik yang didasarkan pada skor yang ditentukan oleh pemeriksa. Sembilan
gejala masing-masing memiliki skor 1 jika ada (+), dan tiga poin memiliki skor 1
jika tidak ada (-).
1) Afek terbatas (+)
2) Tilikan buruk (+)
3) Pikiran bersuara keras (+)
4) Terbangun pagi hari (-)
5) Rapport buruk (+)
6) Wajah terdepresi (-)
7) Elasi (-)
8) Waham yang luas (+)
9) Bicara inkoheren (+)
10) Informasi yang tidak dapat dipercaya (+)
11) Waham aneh (+)
12) Waham nihilistik (+)

J. Kriteria Tsuang dan Winokur4


a) Hebefrenik (A sampai D harus ditemukan):
A. Usia onset dan data sosiofamilial (satu dari berikut):
1. Usia onset sebelum 25 tahun
2. Tidak menikah dan tidak bekerja
3. Riwayat skizofrenia dalam keluarga
B. Pikiran terdisorganisasi
C. Perubahan afek (1 atau 2):
1. Perilaku aneh
2. Gejala motorik (a atau b):
a. Sifat hebefrenik
b. Sifat katatonik (jika ada, dapat dimodifikasi menjadi
hebefrenik dengan sifat katatonik)
b) Paranoid (A sampai C harus ada):
A. Usia onset dan data sosiofamilial (satu dari berikut):
1. Usia onset setalah 25 tahun
2. Menikah atau bekerja
3. Tidak ada riwayat skizofrenia dalam keluarga
B. Kriteria pengecualian:
1. Pikiran terdisorganisasi harus tidak ditemukan atau dalam
derajat ringan, seperti bicara tidak dapat dimengerti
2. Gejala afektif atau perilaku seperti yang dijelaskan dalam
hebefrenia, harus tidak ada atau dalam derajat ringan
C. Preokupasi dengan waham atau halusinasi yang luas dan tersusun
baik
K. Kriteria PPDGJ III untuk Skizofrenia8
Dalam PPDGJ III Dijelaskan bahwa untuk menegakkan diagnosis
skizofrenia harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jalas
(dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala=gejala itu kurang tajam
atau jelas).
1. Salah satu dari:
- “thought echo” : isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda; atau
- “thought insertion or withdrawal” : isi pikiran yang asing dari luar
masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
- “thought broadcasting” : isi pikirannya tersiar keluar sehingga
orang lain atau umum mengetahuinya;
2. Salah satu dari:

8
Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. FK Unika Atmajaya.Jakarta.2007
- “delusion of control” : waham tentang dirinya dikendalikan
oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau
- “delusion of influence” : waham tentang dirinya
dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau
- “delusion of passivity” : waham tentang dirinya tidak
berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; atau
(tentang “dirinya” : secara jelas merujuk ke pergerakan
tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau
penginderaan khusus;
- “delusional perception” : pengalaman inderawi yang tak wajar,
yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat
mistik atau mukjizat;
3. Halusinasi auditorik:
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus
terhadap perilaku pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri
(diantara berbagai suara yang berbicara), atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasala dari salah satu bagian
tubuh
4. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut
budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil,
misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau
kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu
mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing
dari dunia lain).
Atau paling sedikit dua gejala ini yang harus selalu ada secara
jelas:
5. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila
disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang
setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun
disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap,
atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus-menerus;
6. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami
sisipan (interpolation), yang berakibat inkoherensi atau
pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
7. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah
(excitement), posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas
cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
8. Gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara
yang jarang, dan respon emosional yang menumpul atau tidak
wajar, biasanya mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial
dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;

Adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun


waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodormal); Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatau, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan
penarikan diri secara sosial.

II.6 Jenis Skizofrenia8


1. Jenis paranoid (F 20.0)
- Gejala utama : waham primer + sekunder & halusinasi
- Sering mulai sesudah 30 tahun, permulaan subakut
- Kepribadian sebelum sakit : skizoid suka menyendiri; pendiam; cenderung
menghindar terhadap aktivitas-aktivitas sosial yang melibatkan kontak
atau interaksi dengan orang-orang; tidak memiliki ketertarikan untuk
menjalin hubungan dekat dengan orang sekitar, bahkan dengan
keluarganya sendiri; tidak menunjukkan ekspresi emosi yang biasanya
seperti orang nornal pada umumnya (cenderung bersikap dingin).
(Medline, mayoclinic)

Gejala utamanya adalah adanya delusi persecusion dan grandeur, dimana


individu merasa dikejar-kejar. Hal tersebut terjadi karena segala sesuatu
ditanggapi secara sensitif dan egosentris seolah-olah orang lain akan berbuat
buruk kepadanya. Oleh karena itu, sikapnya terhadap orang lain agresif.
Delusi tersebut diperkuat oleh halusinasi penglihatan dan pendengaran,
misalnya terlihat wajah-wajah yang menakutkan, terdengar suara
mengancam, dan sebagainya sehingga timbul reaksi menyerang atau agresi
karena terganggu. Hal-hal tersebut juga bisa mendorong penderita untuk
membunuh orang lain atau sebaliknya bunuh diri, sebagai usahanya untuk
menghindari delusi persecusion Terdapat kecenderungan homoseksualitas,
dimana penderita laki-laki akan mengancam laki-laki dan penderita
perempuan akan mengancam perempuan. Adanya delusion of grendeur dapat
menimbulkan delusion of persecusion, dimana individu menganggap orang
lain cemburu kepada kepintarannya, kekayaannya, kepopulerannya,
kecantikannya, kedudukan sosialnya, dan sebagainya. Pada penderita timbul
"Ideas of Reference", yaitu terjadi percampuran antara waham dan halusinasi
dengan kecenderungan untuk memberikan impresi/nuansa pribadi terhadap
segala kejadian yang dialaminya. Misalnya, suara klakson mobil di jalan
depan rumah, dianggapnya sebagai terompet tanda penyerbuan terhadap
dirinya segera akan dimulai.8

Pedoman Diagnostik
• Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
• Sebagai tambahan :
 Halusinasi dan/ atau waham yang harus menonjol;
• Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau
memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk
verbal berupa bunyi pluit, mendengung atau tawa
• Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat
seksual
• Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan, dipengaruhi, keyakinan bahwa dia sedang
dikejar-kejar
 Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan,
serta gejala katatonik secara relatif tidak nyata/ tidak menonjol

2. Skizofrenia hebefrenik / hebefrenia (F 20.1)


- Perlahan- lahan, timbul pada masa remaja (15-25 tahun)
- Gejala utama : gangguan proses berpikir, gangguan kemauan,
depersonalisasi / double personality (identifikasikan dirinya sebagai
meja, dan anggap dirinya sudah tidak ada lagi)
- Tambahan : mannerism, neologisme, perilaku kekanaka-kanakan, waham
dan halusinasi banyak
Pada tipe ini terjadi disintegrasi emosi, dimana emosinya bersifat kekanak-
kanakan, ketolol-tololan, seringkali tertawa sendiri kemudian secara tiba-tiba
menangis tersedu-sedu. Terjadi regresi total, dimana individu menjadi
kekanak-kanakan. Individu mudah tersinggung atau sangat irritable.
Seringkali dihinggapi sarkasme (sindiran tajam) dan menjadi marah meledak-
ledak atau explosive tanpa sebab.
Pembicaraannya kacau, suka berbicara berjam-jam. Pada awal gangguan
seringkali komunikatif, tetapi lama-kelamaan komunikasinya menjadi tidak
karuan (inkoheren), yang bahkan sampai akhirnya individu tidak komunikatif.
Terjadi halusinasi dan delusi yang biasanya sifatnya fantastis, misalnya : ada
vampire yang menyedot darahnya, dan sebagainya. Cara berpikirnya kacau.
Hal tersebut terlihat dari cara berbicaranya yang tidak karuan.
Tulisan/Graphis yang dibuatnya bersifat kacau, dimana terjadi regresi, yaitu
bersifat kekanak-kanakan.
Pedoman Diagnostik
- Memenuhi kriteria umum diagnosis skozofrenia.
- Diagnosis heberfrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada
usia remaja atau dewasa muda (onset biasanya 15-25 tahun).
- Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas: pemalu dan sering
menyendiri
Diagnosis hebefrenia perlu pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan
lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran berikut memang benar
bertahan:
- Perilaku yang tidak bertanggung jawab, kecenderungan selalu
menyendiri, dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa
perasaan;
- Afek pasien dangkal dan tidak wajar/disertai cekikikan/perasaan
puas diri/ senyum sendiri/sikap tinggi hati/tertawa menyeringai/keluhan
hipokondrikal, ungkapan diulang-ulang
- Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak
menentu serta inkoheren.
- Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses
pikir umumnya menonojol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi
biasanya tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions and
hallucinations). Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan
(determination) hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku
penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless)
dan tanpa maksud (empty of purpose).

3. Skizofrenia katatonik (F 20.2)


- Timbul pertama (15-30 tahun), akut, didahului stress emosional
- Terjadi :
• Stupor katatonik : mutisme, muka tanpa mimic, negativism, makanan
ditolak, tidak bergerak sama sekali dalam waktu yang lama
• Gaduh gelisah katatonik : hiperaktivitas motorik tapi tidak diserta
emosi yang semestinya, stereotipi, mennerisme, grimace, dan
neologisme
Dibandingkan dengan tipe jenis schizophrenia lainnya, tipe katatonik ini
serangannya berlangsung jauh lebih cepat. Aktivitasnya jauh berkurang
dibandingkan waktu normal. Pada individu terjadi stupor, dimana
individu diam, tidak mau berkomunikasi, kalau berbicara suaranya
monoton, ekspresi mukanya datar, makan dan berpakaian harus dibantu
dan sikap badannya aneh yaitu biasanya tegang/kaku seperti serdadu dan
biasanya dipertahankan untuk waktu yang lama. Catatonic stufor ini
terdapat dua bentuk, yaitu (1) rigid, dimana badan menjadi sangat kaku,
bisa seperti bentangan di antara dua benda, (2) chorea-fleksibility, dimana
badannya menjadi lentur seperti lilin dan posisinya dapat dibentuk.
Penderita schizophrenia katatonik yang parah biasanya di tempat tidur,
tidak mau berbicara, jorok, makan-minum dipaksa, dan apabila mata
terbuka biasanya akan terpaku pada satu titik, tidak berkedip, dan ekspresi
kosong. Perkembangan selanjutnya yaitu setelah beberapa minggu atau
beberapa bulan, terjadi catatonic excitement dimana penderita
menunjukkan suatu gerakan tertentu dalam waktu yang lama dan
kemudian secara ekstrem berubah sebaliknya. Misalnya, berbaring
menghadap tembok kiri dalam waktu yang lama dan kemudian
menghadap tembok kanan.
Penderita bersikap negatif (negatifistic), dimana penderita tidak ada
interest sama sekali terhadap sekelilingnya, tanpa kontak sosial, dan
membisu dalam waktu yang lama.

Pedoman Diagnostik
- Memenuhi kriteria umum diagnosis skozofrenia.
- Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi
gambaran klinisnya :
• Stupor atau mutisme
• Gaduh-gelisah
• Menampilkan posisi tubuh tertentu
• Negativisme
• Rigiditas
• Fleksibilitas cerea (posisi yang dapat dibentuk)
• Gejala-gejala lain seperti ”command autism”
- Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku
dari gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda
sampai diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain.

4. Skizofrenia tak terinci (F 20.3)


Pedoman Diagnostik
- Memenuhi kriteria umum diagnosis skozofrenia.
- Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,
heberfrenik, atau katatonik:
- Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi
pasca-skizofrenia.

5. Depresi pasca-skizofrenia (F 20.4)


Pedoman Diagnostik
Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
- Pasien telah menderita skizofrenia (memenuhi kriteria umum
skizofrenia) selama 12 bulant terakhir ini
- Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya)
- Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu memenuhi
paling sedikit kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun
waktu paling sedikit 2 minggu
Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia, diagnosis menjadi
Episode Depresif, bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis
harus tetap antara (F20.0 – F 20.

6. Skizofrenia residual (F 20.5)


Pedoman Diagnostik
Untuk diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi
semua :
- Gejala ”negatif” dari skizofrenia yang menonjol, misalnya
perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, pasif dan ketiadaan
inisiatif, miskin dalam kuantitas dan isi pembicaraan, afek menumpul,
komunikasi non-verbal yang buruk, perawatan diri dan kinerja yang
buruk
- Setidaknya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa
lampau untuk menegakkan diagnosis skizofrenia
- Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana
intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi
telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom ”negatif” dari
skizofrenia
- Tidak terdapat dementia atau penyakit/ gangguan otak organik lain.

7. Skizofrenia simplex (F 20.6)


- Timbul pertama pada masa pubertas 8-14 tahun, terjadi perlahan- lahan
- Gejala utama : kedangkalan emosi, kemunduran kemauan
- Mulanya (kurang memperhatikan keluarga, menarik diri dari pergaulan)
→ makin lama makin mundur dalam pekerjaan & pelajaran →
pengangguran → pengemis, penjahat
Simptom utamanya adalah apati, yaitu seolah tidak memiliki kepentingan
untuk diri sendiri. Bahkan, sering harus diberikan pengertian tentang hal-hal
yang menjadi kebutuhannya. Penderita biasanya berkeinginan untuk
berbaring, malas-malasan, jorok, tidur-tiduran, jarang mandi, motorik
lamban, dan jarang berbicara. Sering berperilaku yang amoral, misalnya
memaki-maki orang yang sedang lewat, memainkan alat kelaminnya.
Individu pada waktu normal adalah anak yang baik, dimana prestasinya
cukup baik, perilakunya menyenangkan. Hal tersebut terjadi karena individu
tidak mempunyai cukup energi untuk menentang orang lain atau orang tua
sehingga hanya bisa menurut. Energi lemahnya tersebut ditampilkan dalam
bentuk apatis (kelesuan). Individu tidak memiliki ambisi untuk mendapatkan
pemuasan (tidak mau apa-apa), yang apabila dipaksakan untuk melakukan
sesuatu seringkali muncul reaksi agresi (marah), dan apabila hal tersebut
semakin dipaksakan maka biasanya individu akan jatuh sakit.

Pedoman Diagnostik
- Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan
karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan
perlahan dari :
• Gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa
didahului halusinasi, waham atau manifestasi lain dari episode
psikotik
• Disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang
bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok,
tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara
sosial
- Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan dengan
sub tipe skizofrenia lainnya.

II.7 Diagnosis Banding


Gangguan Psikotik Sekunder dan Akibat Obat
Gejala psikosis dan katatonia dapat disebabkan oleh berbagai macam
keadaan medis nonpsikiatrik dan dapar diakibatkan oleh berbagai macam zat. Jika
psikosis atau katatonia disebabkan oleh kondisi medis nonpsikiatrik atau
diakibatkan oleh suatu zat, diagnosis yang paling sesuai adalah gangguan psikotik
akibat kondisi medis umum, gangguan katatonia akibat kondisi medis umum, atau
gangguan psikotik akibat zat. Manifestasi psikiatrik dari banyak kondisi medis
nonpsikiatrik dapat terjadi awal dalam perjalanan penyakit, seringkalli sebelum
perkembangan gejala lain. Dengan demikian, klinisi harus mempertimbangkan
berbagai macam kondisi medis nonpsikiatrik di dalam diagnosis banding psikosis,
bahkan tanpa adanya gejala fisik yang jelas. Pada umumnya, pasien dengan
gangguan neurologis mempunyai lebih banyak tilikan pada penyakitnya dan lebih
menderita akibat gejala psikiatriknya daripada pasien skizofrenik, suatu kenyataan
yang dapat membantu klinisi untuk membedakan kedua kelompok pasien tersebut.
Saat memeriksa seorang pasien psikotik, klinisi harus mengikuti tiga
pedoman umum tentang pemeriksaan keadaan nonpsikiatrik. Pertama, klinisi
harus cukup agresif dalam mengejar kondisi medis nonpsikiatrik jika pasien
menunjukkan adanya gejala yang tidak lazim atau jarang atau adanya variasi
dalam tingkat kesadara. Kedua, klinisi harus berusaha untuk mendapatkan riwayat
keluarga yang lengkap, termasuk riwayat gangguan medis, neurologis, dan
psikiatrik. Ketiga, klinisi harus mempertimbangkan kemungkinan suatu kondisi
medis nonpsikiatrik, bahkan pada pasien dengan diagnosis skizofrenia
sebelumnya. Seorang pasien skizofrenia mempunyai kemungkinan yang sama
untuk menderita tumor otak yang menyebabkan gejala psikotik dibandingkan
dengan seorang pasien nonskizofrenik.

Berpura-pura dan Gangguan Buatan


Baik berpura-pura atau gangguan buatan mungkin merupakan suatu
diagnosis yang sesuai pada pasien yang meniru gejala skizofrenia tetapi
sebenarnya tidak menderita skizofrenia. Orang telah menipu menderita gejala
skizofrenik dan dirawat dan diobati di rumah sakit psikiatrik. Orang yang secara
lengkap mengendalikan produksi gejalanya mungkin memenuhi diagnosis
berpura-pura (malingering); pasien tersebut biasanya memiliki alasan finansial
dan hukum yang jelas untuk dianggap gila. Pasien yang kurang mengendalikan
pemalsuan gejala psikotiknya mungkin memenuhi diagnosis suatu gangguan
buatan (factitious disorder). Tetapi, beberapa pasien dengan skizofrenia seringkali
secara palsu mengeluh suatu eksaserbasi gejala psikotik untuk mendapatkan
bantuan lebih banyak atau untuk dapat dirawat di rumah sakit.

Gangguan Psikotik Lain


Gejala psikotik yang terlihat pada skizofrenik mungkin identik dengan
yang terlihat pada gangguan skizofreniform, gangguan psikotik singkat, dan
gangguan skizoafektif. Gangguan skizofreniform berbeda dari skizofrenia karena
memiliki lama (durasi) gejala yang sekurangnya satu bulan tetapi kurang daripada
enam bulan. Gangguan psikotik singkat adalah diagnosis yang tepat jika gejala
berlangsung sekurangnya satu hari tetapi kurang dari satu bulan dan jika pasien
tidak kembali ke tingkat fungsi premorbidnya. Gangguan skizoafektif adalah
diagnosis yang tepat jika sindroma manik atau depresif berkembang bersama-
sama dengan gejala utama skizofrenia.
Suatu diagnosis gangguan delusional diperlukan jika waham yang tidak
aneh (nonbizzare) telah ada selama sekurangnya satu bulan tanpa adanya gejala
skizofrenia lainnya atau suatu gangguan mood.

Gangguan Mood
Diagnosis banding skizofrenia dan gangguan mood dapat sulit, tetapi
penting karena tersedianya pengobatan yang spesifik dan efektif untuk mania dan
depresi. Gejala afektif atau mood pada skizofrenia harus relatif singkat terhadap
lama gejala primer. Tanpa adanya informasi selain dari pemeriksaan status
mental, klinisi harus menunda diagnosis akhir atau harus menganggap adanya
suatu gangguan mood, bukannya membuat diagnosis skizofrenia secara prematur.

Gangguan Kepribadian
Berbagai gangguan kepribadian dapat ditemukan dengan suatu ciri
skizofrenia; gangguan kepribadian skizotipal, skizoid, dan ambang adalah
gangguan kepribadian dengan gejala yangn paling mirip. Gangguan kepribadian,
tidak seperti skizofrenia, mempunyai gejala yang ringan, suatu riwayat
ditemukannya gangguan selama hidup pasien, dan tidak adanya onset tanggal
yang dapat diidentifikasi.

Tabel 1. Diagnosis Banding Gejala Mirip Skizofrenia


Medis dan Neurologi Psikiatrik
- Akibat zat: amfetamin, halusinogen, alkaloid - Psikosis atipikal
beladona, halusinosis alkohol, putus - Gangguan autistik
barbiturat, kokain, phencyclidine (PCP) - Gangguan psikotik singkat
- Epilepsi – terutama epilepsi lobus temporalis - Gangguan delusional
- Neoplasma, penyakit serebrovaskuar, atau - Gangguan buatan dengan tanda dan gejala
trauma – terutama frontalis atau limbik psikologis yang menonjol
- Kondisi lain: - Berpura-pura
Sindroma imunodefisiensi didapat (AIDS) - Gangguan mood
Porfiria intermiten akut - Masa remaja normal
Defisiensi B12 - Gangguan obsesif-kompulsif
Keracunan karbonmonoksida - Gangguan kepribadian – skizotipal, skizoid,
Lipoidosis serebral ambang, paranoid
Penyakit Creutzfeldt-Jakob - Gangguan skizoafektif
Penyakit Fabry - Skizofrenia
Penyakit Fahr - Gangguan skizofreniform
Penyakit Hallervorden-Spatz
Keracunan logam berat
Ensefalitis herpes
Homosistinuria
Penyakit Huntington
Lekodistrofi metakromatik
Neurosifilis
Hidrosefalus tekanan normal
Pelagra
Lupus eritematosus sistemik
Sindroma Wernicke-Korsakoii
Penyakit Wilson
II.8 Penatalaksanaan 5,7
Psikofarmaka
Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang
sama pada dosis ekuivalen, perbedaan utama pada efek sekunder (efek samping:
sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan jenis anti psikosis
mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat.
Pergantian disesuaikan dengan dosis ekuivalen.
Apabila obat antipsikosis tertentu tidak memberikan respons klinis dalam
dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang tepat, dapat diganti dengan
obat anti psikosis lain (sebaiknya dan golongan yang tidak sama) dengan dosis
ekuivalennya. Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti psikosis sebelumnya
sudah terbukti efektif dan efek sampingnya ditolerir baik, maka dapat dipilih
kembali untuk pemakaian sekarang.
Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah
obat anti psikosis atipikal. Sebaliknya bila gejala positif lebih menonjol
dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal. Begitu juga pasien-pasien
dengan efek samping ekstrapiramidal pilihan kita adalah jenis atipikal. Obat
antipsikotik yang beredar di pasaran dapat di kelompokkan menjadi dua bagian
yaitu anti psikotik generasi pertama (APG I) dan anti psikotik generasi ke dua
(APG ll). APG I bekerja dengan memblok reseptor D2 di mesolimbik,
mesokortikal, nigostriatal dan tuberoin fundibular sehingga dengan cepat
menurunkan gejala positif tetapi pemakaian lama dapat memberikan efek samping
berupa: gangguan ekstrapiramidal, tardive dyskinesia, peningkatan kadar
prolaktin yang akan menyebabkan disfungsi seksual/peningkatan berat badan dan
memperberat gejala negatif maupun kognitif. Selain itu APG I menimbulkan efek
samping anti kolinergik seperti mulut kering pandangan kabur gangguan miksi,
defekasi dan hipotensi. APG I dapat dibagi lagi menjadi potensi tinggi bila dosis
yang digunakan kurang atau sama dengan 10 mg di antaranya adalah
trifluoperazine, fluphenazine, haloperidol dan pimozide. Obat-obat ini digunakan
untuk mengatasi sindrom psikosis dengan gejala dominan apatis, menarik diri,
hipoaktif, waham dan halusinasi. Potensi rendah bila dosisnya lebih dan 50 mg di
antaranya adalah chlorpromazine dan thiondazine digunakan pada penderita
dengan gejala dominan gaduh gelisah, hiperaktif dan sulit tidur.
APG II sering disebut sebagai serotonin dopamin antagonis (SDA) atau
anti psikotik atipikal. Bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin pada ke
empat jalur dopamin di otak yang menyebabkan rendahnya efek samping
extrapiramidal dan sangat efektif mengatasi gejala negatif. Obat yang tersedia
untuk golongan ini adalah clozapine, olanzapine, quetiapine dan rispendon. Juga
tersedia obat aripiprazol untuk golongan APG III atau sering disebut Dopamin
System Stabilizers (DSS).
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
1. Onset efek primer (efek klinis): 2-4 minggu. Onset efek sekunder
(efek samping): 2-6 jam.
2. Waktu paruh: 12-24 jam (pemberian 1-2x per hari)
3. Dosis pagi dan malam dapat berbeda (pagi kecil, malam besar)
sehingga tidak mengganggu kualitas hidup penderita.
4. Obat anti psikosis long acting: fluphenazine decanoate 25 mg/cc
atau haloperidol decanoas 50 mg/cc, IM untuk 2-4ininggu. Berguna untuk
pasien yang tidak/sulit minum obat, dan untuk terapi pemeliharaan.
Mulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3
hari sampai mencapai dosis efektif (sindrom psikosis reda), dievaluasi setiap 2
minggu bila pertu dinaikkan sampai dosis optimal kemudian dipertahankan 8-12
minggu (stabilisasi). Diturunkan setiap 2 minggu (dosis maintenance) lalu
dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi drug holidaytapering off (dosis
diturunkan 2-4 minggu) lalu dihentikan. Untuk pasien dengan serangan sindrom
psikosis multi episode, terapi pemeliharaan paling sedikit 5 tahun (ini dapat
menurunkan derajat kekambuhan 2,5 sampai 5 kali).
Pada umumnya pemberian obat anti psikosis sebaiknya dipertahankan
selama minimal 2 tahun untuk pasien skizofrenia akut setelah semua gejala
psikosis reda sama sekali. Sedangkan pasien skizofrenia berulang, lama
pemberian obat minimal 5 tahun. Pasien skizofrenia dengan perilaku menyimpang
yag berbahaya seperti piromania diperlukan pemberian obat seumur hidup. Pada
penghentian pemberian obat mendadak dapat timbul gejala cholinergic rebound
gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing dan gemetar. Keadaan ini dapat
diatasi dengan pemberian antikolinergikt seperti injeksi sulfas atropin 0,25 mg
(secara intra muskular), tablet trihexyphenidyl 3x2 mg/hari.

Terapi elektro-konvulsi (TEK)


Seperti juga dengan terapi konvulsi yang lain, cara bekerjanya elektrokonvulsi
belum diketahui dengan jelas. Dapat dikatakan bahwa terapi konvulsi dapat
memperpendek serangan skizofrenia dan mempermudah kontak dengan penderita.
Akan tetapi terapi ini tidak dapat mencegah serangan yang akan datang.
Bila dibandingkan dengan terapi koma insulin, maka dengan TEK lebih
sering terjadi serangan ulangan. Akan tetapi TEK lebih mudah diberikan, dapat
dilakukan secara ambulant, bahaya lebih kurang, lebih murah, dan tidak
memerlukan tenaga yang khusus seperti pada terapi koma insulin.
TEK baik hasilnya pada jenis katatonik terutama stupor. Terhadap
skizofrenia simplex efeknya mengecewakan; bila gejala hanya ringan kemudian
diberi TEK, kadang-kadang gejala menjadi lebih berat.
Terapi koma insulin
Meskipun pengobatan ini tidak khusus, bila diberikan pada permulaan
penyakit, hasilnya memuaskan. Persentasi kesembuhan lebih besar bila dimulai
dalam waktu enam bulan sesudah penderita jatuh sakit. Terapi koma insulin
memberi hasil yang baik pada katatonia dan skizofrenia paranoid.
Psikoterapi dan rehabilitasi
Psikoterapi suportif dapat membantu individual atau kelompok, serta
bimbingan yang praktis dengan maksud untuk mengembalikan penderita ke
masyarakat.
Perlu juga diperhatikan lingkungan penderita. Bila mungkin diatur
sedemikian rupa sehingga ia tidak mengalami stres terlalu banyak. Bila mungkin
sebaiknya ia dikembalikan ke pekerjaan sebelum sakit, dan tergantung pada
kesembuhannnya apakah tanggung jawabnya dalam pekerjaan itu akan penuh atau
tidak.
Lobotomi profrontal
Dapat dilakukan bila terapi lain secara intensif tidak berhasil dan bila penderita
sangat mengganggu lingkungannya.

II.8 Kekambuhan Skizofrenia7


Kekambuhan gangguan jiwa pisikotik adalah munculnya kembali gejala-
gejala pisikotik yang nyata. Angka kekambuhan secara positif berhubungan
dengan beberapa kali masuk Rumah Sakit (RS), lamanya dan perjalanan penyakit.
Penderita-penderita yang kambuh biasanya sebelum keluar dari RS mempunyai
karakteristik hiperaktif, tidak mau minum obat dan memiliki sedikit keterampilan
sosial.
Pada penelitian Porkony dkk (1993), dilaporkan bahwa 49% penderita
Skizofrenia mengalami rawat ulang setelah follow up selama 1 tahun, sedangkan
penderita-penderita non Skizofrenia hanya 28% . Pada penelitian Solomon dkk
(1994), melaporkan bahwa dalam waktu 6 bulan pasca rawat didapatkan 30%-
40% penderita mengalami kekambuhan, sedangkan setelah 1 tahun pasca rawat
40%-50% penderita mengalami kekambuhan, dari setelah 3-5 tahun pasca rawat
didapatkan 65%-75% penderita mengalami kekambuhan.
Penderita dengan skizofrenia dapat mengalami remisi dan kekambuhan,
mereka dapat dalam waktu yang lama tidak muncul gejala, maka skizofrenia
sering disebut dengan penyakit kronik, karena itu perlu mendapatkan perhatian
medis yang sama, seperti juga individu-individu yang menderita penyakit kronik
lainnya seperti hipertensi dan diabetes mellitus.
Ada beberapa hal yang bisa memicu kekambuhan skizofrenia, antara lain
tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan sendiri
obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan dari keluarga dan
masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang berat yang membuat stress.
Empat faktor penyebab penderita kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit,
menurut Sullinger :
Penderita
Sudah umum diketahui bahwa penderita yang gagal memakan obat secara teratur
mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan 25% sampai 50% klien yang pulang dari rumah sakit tidak
memakan obat secara teratur.

Dokter
Makan obat yang teratur dapat mengurangi kekambuhan, namun pemakaian obat
neuroleptic yang lama dapat menimbulkan efek samping Tardive Diskinesia yang
dapat mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol.
Penanggung jawab penderita
Setelah penderita pulang ke rumah maka pihak rumah sakit tetap bertanggung
jawab atas program adaptasi penderita di rumah.
Keluarga
Berdasarkan penelitian di Inggris dan Amerika keluarga dengan ekspresi emosi
yang tinggi (bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak menekan dan
menyalahkan), hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi
emosi yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi
keluarga yang rendah. Selain itu penderita juga mudah dipengaruhi oleh stres
yang menyenangkan (naik pangkat, menikah) maupun yang menyedihkan
(kematian/kecelakaan). Dengan terapi keluarga penderita dan keluarga dapat
mengatasi dan mengurangi stres. Cara terapi bisanya: mengumpulkan semua
anggota keluarga dan memberi kesempatan menyampaikan perasaan-perasaannya.
Memberi kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan baru kepada penderita
ganguan jiwa, memfasilitasi untuk menemukan situasi dan pengalaman baru bagi
penderita.
Beberapa gejala kambuh yang perlu diidentifikasi oleh klien dan
keluarganya yaitu: menjadi ragu-ragu dan serba takut, tidak nafsu makan, sukar
konsentrasi, sulit tidur, depresi, tidak ada minat serta menarik diri.
Untuk dapat hidup dalam masyarakat, maka penderita skizofrenia perlu
mempelajari kembali keterampilan sosial. Penderita-penderita yang baru keluar
dari RS memerlukan pelayanan dari masyarakat agar mereka dapat menyesuaikan
diri dan menyatu dalam masyarakat. Tingginya angka rehospitalisasi merupakan
tanda kegagalan dalam sistem masyarakat. Penderita kronis di dalam masyarakat
membutuhkan dukungan hidup yang dapat dipertahankan untuk waktu yang lama.
Beberapa penderita tetap dapat mengalami kekambuhan meskipun mereka
mendapatkan pelayanan pasca rawat (after care services) pada instansi-instansi.

II.9 Prognosis 4,5


Pada umumnya prognosis untuk gangguan jiwa adalah dubia dikarenakan
banyaknya faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap penyembuhan pasien.
Untuk menetapkan prognosisnya, kita harus mempertimbangkan semua faktor di
bawah ini:
1. Kepribadian prepsikotik: Bila skizoid dan hubungan antar-manusia
memang kurang memuaskan, maka prognosa lebih jelek.
2. Bila skizofrenia timbul secara akut, maka prognosa akan lebih baik
daripada bila penyakit itu mulai secara pelan-pelan.
3. Jenis: Prognosa jenis katatonik yang paling baik dari semua jenis. Sering
penderita-penderita dengan katatonia sembuh dan kembali ke kepribadian
prepsikotik. Kemudian menyusul jenis paranoid. Banyak dari penderita ini
dapat dikembalikan ke masyarakat. Hebefrenia dan skizofrenia simplex
mempunyai prognosa yang sama jelek. Biasanya penderita dengan jenis
skizofrenia ini menuju ke arah kemunduran mental.
4. Umur: Makin muda umur permulaannya, makin jelek prognosanya.
5. Pengobatan: Makin cepat diberi pengobatan, makin baik prognosanya.
6. Dikatakan bahwa bila terdapat faktor pencetus, seperti penyakit badaniah
atau stres psikologik, maka prognosa lebih baik.
7. Faktor keturunan: Prognosa lebih berat bila di dalam keluarga terdapat
seorang atau lebih yang juga menderita skizofrenia.
Menurut Robin & Guze :
 Baik
- Personalitas premorbid baik
- Faktor pencetus jelas
- Tidak ada riwayat keluarga
- Kesaradan berawan
- Terjadi akut
- Affect atau mood tidak datar
- Gejala-gejala paranoid

Menurut Kaplan & Sadock’s:


 Mengevaluasi prognosis dengan melihat riwayat longitudinal dari penyakit,
dimulai dengan riwayat keluarga sampai pada sistem penanganan
 Menentukan baik atau buruknya prognosis pada skizofrenia :
- Prognosis baik :
• Riwayat keluarga ttg gangguan mood / affect
• Perilaku dan personalitas premorbid yang baik
• Sudah menikah
• Onset akut
• Gejala kelainan mood terutama kelainan depresif
• Gejala positif (Positive symptoms)
• Sistem pembantu (support systems) yang baik
- Prognosis buruk :
• Riwayat keluarga skizofrenia
• Riwayat trauma perinatal
• Onset pada usia muda
• Perilaku dan personalitas premorbid yang buruk
• Lajang, bercerai, atau menjanda
• Insidious onset
• Tanpa sebab yang jelas
• Tanda dan gejala gangguan neurologis
• Cenderung menarik diri autistic behavior
• Gejala negatif (Negative symptoms)
• Tidak ada remisi dalam 3 tahun
• Sering kambuh
• Riwayat kekerasan

BAB III
KESIMPULAN

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizein” yang berarti


“terpisah”atau “pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Berdasarkan PPDGJ
III, skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak
belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
“deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada umunya ditandai
oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi,
serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted).6
Di Indonesia diperkirakan satu sampai dua persen penduduk atau sekitar
dua sampai empat juta jiwa akan terkena penyakit ini. Bahkan sekitar sepertiga
dari sekitar satu sampai dua juta yang terjangkit penyakit skizofrenia ini atau
sekitar 700 ribu hingga 1,4 juta jiwa kini sedang mengidap skizofrenia. Penyakit
yang satu ini cenderung menyebar di antara anggota keluarga sedarah.7
Perjalanan penyakit skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase
prodromal, fase aktif dan fase residual. Pada fase prodromal biasanya timbul
gejala-gejala non spesifik yang lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih dari
satu tahun sebelum onset psikotik menjadi jelas. Gejala tersebut meliputi :
hendaya fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan
fungsi perawatan diri. Pada fase aktif gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti
tingkah laku katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. .
Fase aktif akan diikuti oleh fase residual di mana gejala-gejalanya sama dengan
fase prodromal tetapi gejala positif/psikotiknya sudah berkurang.7
Menurut PPDGJ III Skizofrenia terdiri dari skizofrenia paranoid, skrizofrenia
herbefrenik, skizofrenia katatonik, skizofrenia tak terinci, depresi pasca-
skizofrenia, skizofrenia simplek, skizofrenia residual. Skizofrenia paranoid
ditandai dengan gejala utama waham primer dan sekunder serta halusinasi,
kepribadian sebelum sakit : schizoid (mudah tersinggung, suka menyendiri,
congkak, dan kurang percaya kepada orang lain). Simptom utamanya adalah
adanya delusi persecusion dan grandeur, dimana individu merasa dikejar-kejar.
Delusi tersebut diperkuat oleh halusinasi penglihatan dan pendengaran.
Skizofrenia hebefrenik timbul perlahan- lahan, pada masa remaja (15-25 tahun)
dengan gejala utama gangguan proses berpikir, gangguan kemauan,
depersonalisasi/ double personality serta gejala tambahan : mannerism,
neologisme, perilaku kekanaka-kanakan, waham dan halusinasi. Skizofrenia
katatonik timbul pertama (15-30 tahun), akut, didahului stress emosional. Dapat
terjadi stupor katatonik : mutisme, muka tanpa mimic, negativism, makanan
ditolak, tidak bergerak sama sekali dalam waktu yang lama dan gaduh gelisah
katatonik: hiperaktivitas motorik tapi tidak diserta emosi yang semestinya,
stereotipi, mennerisme, grimace, dan neologisme. Skizofrenia tak terinci apabila
tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, herbfrenik, atau
katatonik.8
Penatalaksanaan skizofrenia dengan penggunaan obat antipsikotik golongan
tipikal (dopamin reseptor antagonis) ataupun atipikal (serotonin dopamin
antagonis). Untuk skizofrenia dengan gejala negatif yang lebih menonjol dari
gejala positif pilihannya adalah obat anti psikosis atipikal. Sebaliknya bila gejala
positif lebih menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal.
Begitu juga pasien-pasien dengan efek samping ekstrapiramidal pilihan kita
adalah jenis atipikal. Pilihan terapi lain dengan dengan terapi elektro konvulsi,
psikoterapi dan rehabilitasi.8
Pada umumnya prognosis untuk gangguan jiwa adalah dubia dikarenakan
banyaknya faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap penyembuhan pasien.4
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonymous. 2004. Konsep Psikoterapi Islam dalam Penyembujan Penderita


Skizofrenia Aksis IV (Telaah Teoritik). Diunduh pada tanggal 24 Januari
2011. http://idb4.wikispaces.com/file/view/uf4005.1.pdf.
2. Anonymous. 2007. Skizofrenia dapatkah disembuhkan. Diunduh pada tanggal
24 Januari 2011. http://drliza.wordpress.com/2007/12/01/skizofrenia-
dapatkah-disembuhkan/.
3. Bahar Ernaldi. Materi Pengajaran Pemeriksaan Psikiatrik, Klasifikasi
Diagnostik, dan Gangguan Psikiatrik Utama. Palembang: Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK-Unsri. 1985.
4. Saddock BJ, Saddock VA. Schizophrenia In:Kaplan & Saddock’s Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 10th ed. New York:
Lippicontt Williams & Wilkins. 2007.
5. Maramis, W.E. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Erlangga University Press.
Surabaya 2005.
6. Paul, Jhon. Skizofrenia. Diunduh tanggal 26 Januari 2011. http://www.
Medical news.com/
7. Luana. Skizofrenia. EGC. Jakarta.2007.
8. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. FK Unika
Atmajaya.Jakarta.2007

You might also like