Professional Documents
Culture Documents
Oleh
Ronald David Martua
MSJ 131021080001
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR SINGKATAN
BAB I PENDAHULUAN
2.1 PPOK
2.1.1 Definisi
2.1.2 Patogenesis dan Patofisiologi
2.1.2.1 Patogenesis PPOK
2.1.2.2 Patofisiologi PPOK
2.1.3 Diagnosis dan klasifikasi PPOK
2.1.3.1 Diagnosis PPOK
2.1.3.2 Klasifikasi PPOK
2.1.4 Manifestasi kelainan ekstra paru pada PPOK
4.1 Inflamasi lokal
4.2 Inflamasi sistemik
4.3 Komorbiditas Pada PPOK
2.2 Kakhesia
2.2.1 Definisi
2.2.2 Mekanisme
2.2.3 Kakhesia pada PPOK
2.2.3.1 Infalamasi sitemik
2.2.3.2 Ketidakseimbangan energi
2.2.3.3 Atropi otot
2.2.3.4 Penggunaan energi saat istirahat
2.2.4 Mekanisme pengurangan massa otot pada PPOK
2.2.4.1 Penurunan massa sel tubuh pada PPOK
2.2.4.2 Pengecilan Otot
2.2.4.3 Perubahan metabolisme otot
2.2.4.4 Disfungsi otot rangka
2.2.5 Pengukuran kakhesia
2.3 TNF-α
2.3.1 Produksi dan sekresi TNF-α
2.3.2 Regulasi TNF−α
2.3.3 TNF-α dan inflamasi
2.3.4 TNF-α dan kakhesia
2.4 Leptin
2.4.1 Struktur Leptin
2.4.2 Fungsi dan fisiologi leptin
PENDAHULUAN
memperkirakan pada tahun 2020 akan menduduki peringkat ketiga penyebab kematian
diseluruh dunia.1 Indonesia sendiri belum memiliki data pasti mengenai kejadian PPOK,
berdasarkan survei rumah tangga Depkes 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama
dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6 penyebab kematian di Indonesia.2 Angka
Lansia didefinisikan sebagai seseorang yang berusia lebih dari 65 tahun.4 Jumlah dan
persentase lansia dalam populasi masyarakat terus meningkat seiring peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan dan kualitas hidup. Pada tahun 1900 hanya 1% dari populasi dunia
berusia lebih dari 65 tahun, pada tahun 2010 jumlah tersebut meningkat menjadi 8%, dan
pada tahun 2050 diperkirakan berjumlah 20% dari seluruh populasi dunia.4 Indonesia
memiliki jumlah lansia sebanyak 6% dari jumlah penduduk atau 14,1 juta jiwa.2
Inggris menunjukan angka kejadian PPOK 1-2% dari seluruh populasi usia, angka ini
kemudian meningkat menjadi 9% pada penderita berusia diatas 45 tahun, dan pada populasi
usia diatas 75 tahun menjadi 15-30%.5 Populasi penduduk lansia di dunia yang makin
meningkat seiring meningkatnya usia harapan hidup, menyebabkan jumlah penderita PPOK
lansia semakin meningkat sehingga memerlukan perhatian dan penanganan yang lebih
khusus. Selain jumlahnya yang semakin meningkat, penderita PPOK usia lanjut sering disertai
penyakit komorbid yang meningkatkan angka kesakitan dan kematian juga memerlukan biaya
kebanyakan penderita PPOK meninggal karena penyebab non respiratorik, seperti kanker atau
PPOK adalah kakhesia, hipertensi, diabetes, gagal jantung, penyakit jantung koroner, kanker,
osteoporosis, depresi dan anemia.6,7,8 Penyakit komorbid ini lebih sering ditemukan pada
Kakhesia merupakan suatu keadaan berat badan rendah yang patologis dengan
kehilangan massa otot yang lebih dominan daripada kehilangan massa lemak.9,10 Gambaran
klinis suatu kakhesia pada orang dewasa dapat berupa kehilangan berat badan atau gangguan
pertumbuhan pada anak-anak.10 Kakhesia merupakan salah satu penanda prognosis buruk
pada penderita PPOK. Kondisi ini akan memperberat gejala klinis penderita PPOK terutama
Angka kejadian kakhesia pada penderita PPOK sekitar 20-40% dan semakin
meningkat sesuai derajat beratnya PPOK.10,11 Patofisiologi kakhesia pada penderita PPOK
masih merupakan perdebatan. Inflamasi sistemik yang terjadi pada penderita PPOK diyakini
sebagai penyebab kakhesia. Selain hal tersebut ketidak seimbangan energi, hipoksia arteri,
atropi massa otot karena tidak digunakan dan variasi genetik merupakan penyebab lain
salah satu penanda inflamasi sistemik, berupa proinflamatori yang meningkatkan transkripsi
NF-kB sehingga meningkatkan perusakan protein sel dan mencetuskan kehilangan massa
otot.12,13 Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan terjadi peningkatan kadar
TNF-α pada penderita PPOK.12,14 Leptin sebagai gen obesitas merupakan hormon yang
memegang peranan dalam mengatur massa tubuh dan berhubungan dengan indeks massa
tubuh maupun masa lemak.15,16 Leptin akan mengurangi nafsu makan, meningkatkan
penggunaan energi dan menurunkan berat badan. Telah dilakukan berbagai penelitian untuk
menghubungkan kadar leptin dengan kejadian kakhesia pada PPOK, namun belum
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah suatu penyakit yang ditandai oleh
adanya pembatasan aliran udara napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Pembatasan aliran
udara napas ini biasanya progresif dan berkaitan dengan terjadinya respons inflamasi paru yang
abnormal terhadap partikel atau gas penyebab.18 Penyakit ini dapat mempengaruhi organ di luar
Pembatasan aliran udara kronis yang terjadi pada PPOK disebabkan oleh gabungan
kelainan saluran napas kecil (bronkhiolitis obstruktif) dan destruksi parenkhim (emfisema).
Inflamasi kronik menyebabkan remodelling dan penyempitan saluran napas kecil. Kerusakan
parenkhim paru, yang juga disebabkan oleh proses inflamasi menyebabkan terlepasnya
hubungan alveoler dengan saluran napas kecil dan menurunnya elastic recoil paru dan
selanjutnya akan menghilangkan kemampuan saluran napas untuk tetap terbuka saat
ekspirasi.18,19,20
Manifestasi klinis PPOK merupakan hasil perubahan struktur dan fungsi jaringan alveolar
dan saluran nafas kecil. Proses yang menyebabkannya dapat berupa inflamasi,
ketidakseimbangan proteinase dan antiproteinase, antioksidan, perubahan phenotipe sel paru dan
perubahan matriks ekstraselular. Beberapa mediator seperti proteinase, oksidan dan sitokin ikut
2.1.2.1.1 Inflamasi
PPOK ditandai oleh adanya inflamasi kronik sepanjang saluran napas, parenkhim dan
pembuluh pulmonal.19,20 Inflamasi ini akan merusak paru, menyebabkan terjadinya perubahan
patologis yang karakteristik untuk PPOK dan menghalangi proses penyembuhannya. Bukti dari
proses inflamasi ini adalah didapatkan sel inflamasi pada jaringan paru dan saluran nafas
penderita PPOK pada sediaan jaringan operasi maupun pemeriksaan post mortem, juga
ditemukannya sel inflamasi pada bronchoalveolar lavage fluid (BALF) dan sputum dan
meningkatnya sel inflamasi pada udara ekspirasi.21,22 Sel inflamasi yang dihubungkan dengan
PPOK diantaranya. netrofil, eosinofil, makrofage dan limfosit.20,21,22 Intensitas dan karakteristik
Selain inflamasi terdapat 2 proses lain yang penting dalam patogenesis PPOK, yaitu
ketidakseimbangan antara proteinase dengan antiproteinase di paru serta stres oksidatif. Kedua
proses ini dapat merupakan akibat proses inflamasi atau sebagai pengaruh lingkungan
Individu dengan defesiensi serum alfa 1 antitripsin, yang berfungsi menghambat kerja
proteinase seperti netrofil elastase, memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya emfisema.
Elastin yang merupakan target netrofil elastase adalah komponen utama dinding alveolus.
Fragmentasi dari elastin akan meningkatkan inflamasi karena menjadi agen kemotaktik yang
peroksida (H2O2) dan nitrit oxide (NO) adalah oksidan yang terbentuk karena merokok atau
Stres oksidatif berperan pada PPOK melalui berbagai cara. Oksidan dapat bereaksi dan
merusak berbagai molekul biologi seperti protein, lemak, asam nukleat yang akan menyebabkan
terjadinya disfungsi atau kematian sel atau matriks ekstraseluler paru. Selain hal tersebut stres
oksidatif juga berperan pada ketidakseimbangan antara proteinase – antiproteinase dengan cara
membuat tidak aktif antiproteinase seperti alfa 1 antitripsin atau dengan mengaktifasi proteinase
seperti Mineralo proteinase (MMPs).20,21,22 Oksidan juga menimbulkan inflamasi dengan cara
beberapa gen inflamatori yang penting pada PPOK seperti IL8 dan TNF-α .21,22,23
Asap rokok dan zat iritan per inhalasi merupakan penyebab utama dari kejadian PPOK.
Asap rokok merupakan campuran partikel dan gas. Pada tiap hembusan asap rokok terdapat l014
radikal bebas yaitu radikal hidroksida (OH-). Sebagian besar radikal bebas ini akan sampai di
alveolus waktu menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru
secara langsung maupun melalui modifikasi fungsi anti elastase pada saluran napas. Anti elastase
berfungsi menghambat netrofil. Oksidan menyebabkan fungsi ini terganggu, sehingga timbul
Partikulat dalam asap rokok dan udara terpolusi mengendap pada lapisan mukus yang
melapisi mukosa bronkus, sehingga menghambat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi
mukosa berkurang, sehingga iritasi pada sel epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih
merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini ditandai dengan gangguan aktifitas silia menimbulkan
gejala batuk kronik dan dahak yang produktif. Produk dahak yang berlebihan memudahkan
timbulnya infeksi serta menghambat proses penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu
lingkaran dengan akibat terjadi hipersekresi. Bila iritasi dan oksidasi di saluran napas terus
berlangsung maka terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Selain itu terjadi pula
metaplasi skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan
obstruksi saluran napas yang bersifat irreversibel. Obstruksi saluran napas yang terjadi sangat
kompleks, tetapi interaksi dengan hiperaktivitas bronkus merupakan faktor utama. 19,20
2.1.4.1 Diagnosis
Diagnosis PPOK harus selalu dipertimbangkan pada seorang penderita dengan keluhan
batuk, berdahak banyak atau sesak napas dengan atau tidak disertai riwayat paparan terhadap
faktor risiko PPOK. Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan yang objektif untuk adanya
Pemeriksaan spirometri harus dilakukan pada penderita dengan keluhan seperti pada
anamnesa diatas, meskipun tidak jelas terdapat adanya keluhan sesak napas. Pemeriksaan yang
dilihat adalah Forced Expiratory Volume Second 1 (FEV1), Forced Volume Capacity (FVC) dan
ratio antara FEV1/ FVC. Pada penderita dengan PPOK kedua parameter tersebut menurun.
Terdapatnya penurunan FEV1 <70% saat pemeriksaan pasca bronkodilator disertai dengan rasio
FEV1/FVC < 70% mengkonfirmasi adanya hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel. Selain tu dihitung rasio FEV1 pederita dengan FEV1 kontrol sesuai dengan usia dan
Dikerjakan hanya satu kali saat diagnosis. Tes ini berguna untuk menyingkirkan asma,
menentukan faal paru terbaik yang dapat dicapai oleh penderita asma, menentukan prognosis dan
membedakan PPOK menjadi empat derajat berat penyakit (tabel 1). Pengukurannya berdasarkan
angka FEV penderita dibandingkan dengan FEV prediksi sesuai dengan umur dan jenis kelamin
penderita.
Stadium I : PPOK ringan, dicirikan dengan keterbatasan aliran udara ringan (FEV1/FVC <
0,70 ; FEV1 ≥ 80% prediksi) gejala batuk kronik dan bisa didapatkan produksi sputum.pada
stadium ini umumnya seseorang tidak menyadari bahwa fungsi parunya tidak normal.
(FEV1/FVC < 0,70 ; 50% ≤FEV1 ≤ 80% prediksi) dengan nafas memendek yang bertambah
Stadium III : PPOK berat, dicirikan dengan berlanjutnya perburukan keterbatasan aliran udara
(FEV1/FVC < 0,70 ; 30% ≤FEV1 ≤ 50% prediksi), nafas memendek semakin berat,
berkurangnya kapasitas kemampuan kerja, kelemahan, eksaserbasi berulang dan hampir selalu
Stadium IV : PPOK sangat berat, dicirikan dengan keterbatasan aliran nafas berat (FEV1/FVC
< 0,70 ; FEV1 < 30% prediksi atau FEV1 < 50% prediksi ditambah adanya gagal nafas kronik).
Gagal nafas didefinisikan sebagai tekanan parsial arterial oksigen (PaO2) kurang dari 8,0 kPa
(60 mmHg) dangan atau tanpa tekanan parsial arterial CO2 lebih dari 6,7 kPa (50 mmHg). Gagal
nafas dapat mengakibatkan efek pada jantung seprti cor pulmonale (gagal jantung kanan). Tanda
klinis cor pulmonale termasuk peningkatan vena jugular dan edema tungkai. Pasien dapat
diklasifikasikan dalam stadium IV PPOK walau FEV1 > 30% bila didapatkan komplikasi
tersebut. Pada stadium ini kualitas hidup sangat menurun dan eksaserbasi dapat mengancam
kelangsungan hidup.18
abnormal tapi juga menimbulkan inflamasi sistemik termasuk stress oksidatif sistemik, aktivasi
inflamasi sistemik ditandai dengan mobilisasi dan aktivasi sel inflamasi ke dalam sirkulasi.
Proses inflamasi ini merangsang sistem hematopoetik terutama sumsum tulang untuk
melepaskan leukosit dan trombosit serta merangsang hepar untuk memproduksi acute phase
protein seperti CRP dan fibrinogen. Acute phase protein akan meningkatkan pembekuan darah
yang merupakan prediktor angka kesakitan dan kematian pada penyakit kardiovaskular sehingga
Inflamasi sistemik
Stress oksidatif
Aktivasi sel inflamasi
Peningkatan kadar plasma sitokin dan akut fase protein
Nutrisi abnormal dan penurunan berat badan
Peningkatan resting energy expenditure
Komposis tubuh abnormal
Metabolisme asam amino abnormal
Disfungsi otot rangka
Hilangnya massa otot
Struktur/ fungsi abnormal
Keterbatasan latihan
Efek sistemik potensial lainnya
Efek kardiovaskular
Efek sistem saraf
Efek osteoskeletal
Dikutip dari Agusti dkk 21
Banyak penelitian menemukan bahwa respons inflamasi paru terhadap pajanan gas atau
asap rokok ditandai dengan peningkatan jumlah neutrofil, makrofag dan limfosit T yang
didominasi oleh CD8+, peningkatan konsentrasi sitokin proinflamasi seperti leukotrien B4, IL-8
dan TNF-α dan bukti bahwa stress oksidatif disebabkan oleh inhalasi asap rokok atau sel
inflamasi yang diaktifkan. Perubahan respons inflamasi yang sama juga ditemukan pada sirkulasi
sistemik. Konsep ini merupakan kunci untuk memahami efek sistemik PPOK.
peningkatan kadar acute phase protein walaupun pada penderita PPOK stabil. TNF-α mengatur
proses inflamasi pada tingkat multiseluler dengan cara merangsang peningkatan ekspresi
molekul adesi leukosit dan sel endotel selain itu juga dengan meningkatkan pengaturan sitokin
proinflamasi lainnya (IL-8 dan IL-6) serta menginduksi angiogenesis. Secara umum proses
inflamasi akan ditentukan oleh keseimbangan antara mediator pro dan antiinflamasi.
Penelitian untuk menilai kadar sistemik mediator anti inflamasi sudah dilakukan terhadap
soluble IL-1 receptor type II (sIL-IRII) decoy receptor IL-1 dan soluble TNF receptor 55 dan 75
(sTNF-R55 dan sTNF-R75) yang menghambat aktiviti biologi TNF-α. Pada penderita PPOK
cenderung meningkat. Tidak ada perbedaan yang terlihat pada kadar sIL-IRII antara penderita
Hipoksia jaringan adalah mekanisme lain yang dapat menyebabkan inflamasi sistemik
pada PPOK. Dalam penelitian klinis terbaru, ditemukan bahwa TNF-α dan reseptornya
meningkat secara signifikan pada penderita PPOK, dan secara signifikan berkorelasi dengan
beratnya hipoksemia arterial. Hal ini menunjukkan bahwa hipoksemia arterial pada PPOK
berhubungan dengan aktivasi sistem TNF-α in vivo. Jika berhasil dibuktikan, hal ini dapat
mengubah pandangan menyeluruh terhadap terapi oksigen jangka panjang. Peningkatan harapan
hidup pada pasien yang mendapat terapi oksigen di rumah mungkin disebabkan efek terhadap
2.2 Kakhesia
2.2.1 Definisi
Kakhesia adalah suatu keadaan kelainan metabolisme patologis yang ditandai penurunan
berat badan yang ekstrim akibat kehilangan massa otot dengan atau tanpa kehilangan massa
lemak.10,11 Keadaan kakhesia merupakan penanda penyakit tertentu seperti keganasan ataupun
beberapa penyakit infeksi seperti tuberkulosis atau HIV-AIDS. Kakhesia sering ditemukan pada
penyakit PPOK dan angka kejadiannya meningkat sesuai derajat PPOK. Pada PPOK berat
dengan gagal nafas didapatkan angka kejadian kakhesia mencapai 50%, sedangkan pada
penderita dengan PPOK ringan sampai sedang prevalensinya mencapai 10-15%. Secara
keseluruhan angka kejadian kakhesia pada PPOK sekitar 25% dan dihubungkan dengan
lemak yang lebih dominan dari kehilangan massa otot, sedangkan pada kakhesia kehilangan
Kehilangan massa otot merupakan keadaan patognomonik untuk suatu kakhesia. Dalam
berbagai penelitian diketahui bahwa perbaikan otot bergantung pada suatu proses katabolisme
dan anabolisme. Mekanisme peningkatan kerusakan massa otot dan bagaimana tubuh berupaya
Mekanisme terjadinya kerusakan otot yang paling dimengerti saat ini adalah ATP-
Sistem ini dapat diaktivasi oleh sitokin, glukokortikoids, asidosis, inaktivitas, atau kadar insulin
yang rendah.11,33
Pada jalur ini, protein mengalami degradasi melalui ubiquitination, dan subsequently
dikenali dan diproses di proteosome, yaitu katalis core pada ubiquitin-proteosome pathway.
Peningkatan pengkodean mRNA enzim dan protein dari jalur merupakan petunjuk untuk
Pensignalan dan langkah awal dari terjadinya degradasi protein otot pada penderita
caachexia masih dalam penelitian. Bukti bahwa kakhesia dipicu secara endogen, pada binatang
percobaan tikus yang tidak tumor diberikan darah tikus dengan sarcoma menjadi kakhesia.
Beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa sitokin berpengaruh terhadap kejadian kakhesia
(1) Kultur mioblast yang terekspos TNF-a atau sitokin lain tidak menunjukkan diferensiasi yang
normal, (2) Kakhesia dapat diinduksi pada hewan kecil dengan injeksi proinflamasi sitokin. (3)
Kejadian kakhesia tadi dapat pula dicegah dengan pemberian inhibiting dari sitokin tadi. Dan (4)
Kejadian kakhesia tadi dapat pula dicegah dengan pencegahan pada reseptor inflamasi. 11,33
Meskipun proinflamsi sitokin seperti TNF-a dan IL-6 dapat mengaktivasi jalur ubiquitin-
proteasome, namun tidak bisa menurunkan indeks massa tubuh secara langsung. Dalam hal ini
aktivasi nuclear factor-kappa B (NF-kB) merupakan kunci pada langkah intermedietnya. NF-kB
merupakan faktor transkripsi ubiquitous yang terdapat dalam sitosol dan dalam bentuk tidak aktif
bila bersama pasangannya IkB. Sitokin inflamasi dapat meningkatkan degradasi dari IkB melalui
proteosome. Dengan tidak adanya faktor inhibisi ini maka NF-kB dapat pindah ke dalam inti sel,
berikatan dengan elemen DNA dan meregulasi transkripsi dari kode beberapa gen dan hormon
pertumbuhan. Pada otot, NF-kB dapat menginhibisi ekspresi dari MyoD, yang merupakan faktor
transkripsi yang penting dan spesifik untuk diferensiasi otot rangka dan memperbaikinya.
Pencegahan secara langsung pada NF-kB pada binatang percobaan dapat mencegah kakhesia. 11,33
Sebagai tambahan NF-kB dapat juga menekan transkripsi dari proteosome C3 sub unit di
sel otot, juga memblok degradasi dari protein otot. Yang menarik adalah glukokortikoid exert
efek kataboliknya dengan opposing supressor NF-kB proteasome. Sebagai kesimpulan penelitian
dasar telah menunjukkan bukti aktivasi sitokin terhadap jalur ubiquitin proteosome, yang
menghasilkan keadaan katabolik dan akhirnya kakhesia, dibandingkan proses patologis lain.
Bagaimanapun langkah-langkah ini masih harus dibuktikan lebih lanjut dan penelitian terhadap
peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS). Protein otot skelet dapat dimodifikasi oleh ROS
sehingga mudah didegradasi oleh proteasome. Pemberian antioksidan dapat mencegah terjadinya
wasting pada binatang murin yang diberi TNF-α . Sehingga inflamasi dan ROS mempunyai
terdapat faktor anabolik yang mempertahankan keadaan homeostasis. Mekanisme dari faktor
anabolik dan pemeliharaan dari otot menjadi sangat penting. Sebagai contoh, telah dibuktikan
bahwa insulin dan Insulin growth factor (IGF) merangsang sintesa myofibril. IGFs dapat juga
menurunkan degradasi protein dengan menurunkan aktivitas dari jalur ubiquitin-proteosome. 11,33
PPOK ditandai dengan adanya inflamasi sitemik dalam kadar yang rendah dengan adanya
kadar hormon anabolik yang rendah. Peningkatan kadar IL-6, IL-8, TNF-a dan CRP, pada
penderita PPOK dihubungkan dengan adanya peningkatan penggunaan energi saat istirahat dan
tidak berespon terhadap terapi nutrisi, pernyataan tersebut menimbulkan dugaan sitokin tersebut
Penurunan massa sel tubuh merupakan manifestasi sistemik yang penting pada PPOK
dan terlihat berupa kehilangan lebih dari 40% actively metabolizing tissue. Perubahan massa sel
tubuh diketahui melalui penurunan berat badan dan penurunan massa lemak bebas. Massa lemak
bebas dapat dibagi 2 yaitu kompartemen intraseluler atau massa sel tubuh dan kompartemen
penderita yang menjalani rehabilitasi medik. Massa lemak bebas yang hilang mempengaruhi
proses pernapasan, fungsi otot perifer, kapasiti latihan dan status kesehatan. Penurunan berat
badan mempunyai efek negatif terhadap prognosis penderita PPOK. Schols dkk. melakukan
penelitian retrospektif terhadap 400 penderita PPOK. Penelitian ini menemukan bahwa indeks
massa tubuh (IMT) kurang dari 25 kg/m2, umur dan PaO2 rendah merupakan prediktor yang
bermakna terhadap peningkatan angka kematian sementara Landbo dkk. menyatakan prognosis
yang buruk pada penderita PPOK bila IMT kurang dari 20 kg/m2.
penderita PPOK biasanya normal bahkan lebih besar daripada normal sedangkan asupan nutrisi
pada malnutrisi memang kurang. Laju metabolisme penderita PPOK biasanya meningkat tidak
seperti pada penderita malnutrisi namun respons penderita PPOK terhadap asupan nutrisi
seringkali buruk. Mekanisme lain yang menerangkan kakhesia adalah hubungan antara sitokin
dengan leptin.
proses penurunan massa sel tubuh. Penderita PPOK stabil yang tidak mengalami kerusakan
jaringan tetap menunjukkan keseimbangan antara proses pemecahan dan pembentukan protein.
Perubahan hormon juga berhubungan dengan perubahan protein. Insulin, Growth hormon (GH),
insulin-like growth factors (IGFs) merupakan hormon anabolik yang membantu sintesis protein
sementara glukokortikoid merangsang proses proteolisis pada jaringan otot. Insulin menekan
proses pemecahan protein. Growth hormon meningkatkan massa lemak bebas, merangsang
katabolik berhubungan dengan penurunan GH yang terikat pada reseptor, ekspresi gen IGF-1 dan
IGF-1 yang terikat protein. Perubahan IGF-1 selama katabolisme diterangkan sebagai
mekanisme adaptasi untuk membantu pengurangan proses anabolik pada saat stres atau saat IGF-
1 meningkat di jaringan. Pemberian IL-1 dan TNF-α pada hewan percobaan berhubungan dengan
kadar IGF-1 plasma yang rendah dan penurunan sintesis protein. Sintesis protein yang
Hormon anabolik seperti testosteron bekerja pada otot dengan dua cara. Pertama dengan
merangsang efek anabolik protein melalui reseptor androgen, kedua dengan menghambat
katabolik protein melalui netralisasi efek glukokortikoid. Penurunan kadar testosteron total dan
bebas pada penderita PPOK telah banyak dilaporkan. Pemberian glukokortikoid sistemik dosis
rendah sebagai antiinflamasi masih sering digunakan. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai
keseimbangan hormon anabolik dan katabolik pada PPOK untuk mendapatkan strategi terapi
ketidakseimbangan energi, atropi otot karena tidak digunakan dan peningkatan penggunaan
mereka menemukan kejadian kakhesia pada penderita yang tidak mendapat obat kortikosteroid,
Otot skelet sendiri dapat berkontribusi terhadap inflamasi sistemik, seperti terbukti pada
penderita PPOK saat aktivitas fisik. Aktivitas fisik meningkatkan secara spesifik kadar plasma
TNF-α pada PPOK. TNF-α memiliki berbagai efek yang dapat berujung pada muscle wasting.
Efek TNF-α diperantarai oleh NF-κB, yang dalam keadaan normal tidak aktif, tetapi dapat
menyebabkan muscle wasting antara lain dengan stimulasi langsung kehilangan protein,
apoptosis sel otot, dan perubahan sinyal TNF-α/NF-κB yang disebabkan stres oksidatif.
Inflamasi dan stres oksidatif yang menjadi karakteristik PPOK memiliki efek sinergis terhadap
kerusakan otot.
penderita PPOK, diantaranya mengenai asupan energi, basal metabolik rate, metabolisme dan
komposisi tubuh. Penelitian saat ini tertuju pada penurunan berat badan yang tak dapat
dijelaskan.
Kehilangan masa otot merupakan inti permasalahan dari kehilangan berat badan tubuh
pada penderita PPOK, dan kehilangan masa lemak mendapat porsi yang lebih kecil. Sehingga
perubahan komposisi tubuh, dalam hal ini kehilangan masa otot telah terlebih dahulu timbul pada
penderita PPOK walaupun berat badan penderita tersebut belum turun secara bermakna.
Penghitungan kehilangan massa otot ini memerlukan penggunaan teknnologi canggih seperti
dual-energy X-ray, atau bioelectrical impedance. Dengan menggunakan teknologi ini engelen
dan kawan-kawan dapat menunjukkan perubahan dari komposisi tubuh (lean mass, fat mass, dan
masa tulang) pada penderita PPOK dan kontrol, juga pada penderita bronkhitis kronis dan
emphysema.
Penggunaan kata malnutrisi dan kakhesia sering digunakan dalam pembahasan gangguan
nutrisi pada penderita PPOK. Terdapat berbedaan yang bermakna dalam kedua terminologi
penyakit ini, yaitu respon terhadap terapi nutrisi, sehingga banyak peneliti mengemukakan
bahwa keadaan berat badan rendah pada penderita PPOK lebih cocok pada keadaan kakhesia
dibandingkan kurang nutrisi. Pada penderita PPOK dengan terapi nutrisi cenderung mengalami
peningkatan basal metabolisme rate dan tidak bersepon dengan terapi nutrisi. Penyebab dari
gangguan nutrisi sampai sat ini masih belum jelas. Seperti telah dikemukakan diawal, bahwa
penurunan asupan nutrisi tidak merupakan faktor yang dominan pada pasien PPOK.
Dalam keadaan tidak seimbangnya nutrisi, kebutuhan energi dasar biasanya berkurang.
Hal ini berlawanan dengan peningkatan kebutuhan energi dasar yang merupakan karakteristik
penderita PPOK; perbedaan ini diperkirakan disebabkan oleh inflamasi sistemik. Peningkatan
konsumsi oksigen oleh otot-otot pernapasan tidak dapat menjelaskan fenomena ini dan pada
PPOK yang stabil asupan nutrisi umumnya mencukupi. Sehingga peningkatan kehilangan massa
otot secara umum yang disebabkan respon inflamasi kronis adalah satu-satunya penjelasan yang
paling mungkin. Kehilangan massa otot ini tidak spesifik untuk PPOK, tetapi biasanya
ditemukan pada keadaan kaheksia dengan peningkatan degradasi protein dan respon yang buruk
terhadap intervensi nutrisional. Hal ini serupa dengan yang ditemui pada AIDS, kanker, gagal
ini hanya berdasarkan perkiraan saja mengingat belum ada teknik yang mudah untuk menghitung
masa otot. Berdasarkan sebuah penelitian kehilangan berat badan pada penderita PPOK
mencapai 49% dari 253 penderita. Angka prevalensi dari atropi otot dan efeknya mungkin lebih
tinggi lagi bila berdasarkan penghitungan lean body mass suatu pengurangan dari indeks massa
tubuh. Penelitian yang mendukung hal ini ditemukannya penurunan diameter otot paha yang
lebih besar dibandingkan penurunan berat badan, menunjukkan bahawa kehilangan masa otot
Massa otot yang rendah akan berhubungan dengan kelemahan otot perifer dan penurunan
status fungsional, dan menurunkan kualitas hidup penderita. Penurunan masa otot dan efeknya
juga mempunyai makna yang sama pada penderita PPOK yang masih memiliki fungsi kontraksi
aparatus yang masih baik. Pada penderita PPOK dengan kekuatan otot yang menurun atau sering
Proses pemecahan protein sel pada otot merupakan keadaan yang sering didapatkan
sebagai respons terhadap asidosis, infeksi atau asupan kalori yang tidak adekuat. Selama keadaan
ini, otot dan kulit akan kehilangan protein dalam jumlah lebih besar dibandingkan organ-organ
visceral sedangkan otak tidak terpengaruh. Pengurangan massa otot pada penderita PPOK
terutama terdapat pada ekstremitas bawah. Jalur adenosine triphosphate (ATP) tergantung pada
ubiquitin-proteasom berperan dalam peningkatan proteolisis pada berbagai tipe atropi otot.
Pengaruh TNF-α pada sel otot rangka berupa pengurangan kandungan protein total dan
hilangnya adult myosin heavy chain. Guttridge dkk. melaporkan TNF-α merangsang aktivasi NF-
κβ untuk menghambat diferensiasi otot rangka dengan menekan myoD-mRNA pada saat pasca
transkripsi. Tumor necrosis factor-α dan interferon γ (IFγ) mempengaruhi regulasi otot rangka
melalui penghambatan terbentuknya serat-serat otot baru, degenerasi serat-serat otot yang baru
inflamasi diduga berperan pada pengecilan otot melalui penghambatan difrensiasi miogen
melalui jalur NF- κ β dan secara langsung menghambat NF- κ β seperti yang terlihat pada
pengurangan otot berhubungan dengan kaheksia. Proses kematian sel yang terprogram atau
Peningkatan penggunaan energi saat istirahat (REE) sering terjadi pada penderita PPOK,
beberapa ahli menghubungkan hal ini dengan terjadinya kakhesia pada penderita PPOK, tetapi
pada umumnya penderita PPOK terjadi pembatasan aktivitas sehari-hari sehingga total
Dilain pihak perbaikan nutrisi pada penderita PPOK ternyata gagal memperbaiki keadaan
kakhesia maupun menambah massa otot. Kakhesia merupakan keadaan yang berbeda dengan
ketidakseimbangan energi dan kelaparan karena terdapat modifikasi dari metabolisme protein
lemak dan karbohidrat yang berhubungan dengan inflamasi sistemik. Berbagai karakteristik lain
mengenai kakhesia juga ditemukan pada penderita PPOK, yang tidak dapat dijelaskan dengan
hanya ketidakseimbangan nutrisi yaitu : kehilangan otot lebih banyak daripada lemak dan
degradasi protein, juga tidak berespon terhadap terapi nutrisi. Jelasnya muscle wasting pada
PPOK lebih cocok pada keadaan kakhesia dibandingkan ketidakseimbangan nutrisi saja.
Pengukuran kakhesia menggunakan indeks massa tubuh (IMT), yaitu perbandingan berat
tubuh dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam meter. Keadaan kakhesia ditandai
dengan IMT < 19 kg.m-2. Pada seorang penderita PPOK bisa mengakami kehilangan massa otot
yang bermakna namun memiliki cadangan lemak yang berlebih sebagai akibat dari kurangnya
aktivitas fisik, sehingga menghasilkan IMT yang sama. Sesuai dengan definisi kakhesia dimana
keilangan massa otot lebih dominan dibandingkan keilangan lemak, maka perhitungan IMT arus
dengan pengurangan massa lemak, hal ini dikenal dengan lean body mass (LBM).29
Berdasarkan uraian tadi maka perhitungan keadaan kakesia pada penderita PPOK
haruslah berdasarkan lean body mass (LBM), yang juga dihitung dengan kg.m-2.
Schols dan kawan-kawan mengemukakan kakhesia didefinisikan dengan LBM <16 kg.m-2 pada
TNF-α adalah suatu sitokin yang pada awalnya diketahui sebagai produk dari makrofag
yang terlibat dalam gangguan metabolisme pada keadaan inflamasi kronik dan keganasan. 35,36
Sejak diketahui TNF-α terlibat dalam hilangnya jaringan lemak tubuh, banyak penelitian
meneliti tentang peran fisiologi sitokin ini pada jaringan lemak. TNF-α saat ini juga diketahui
TNF-α dihasilkan oleh berbagai sel, yang terutama adalah monosit, fibroblast dan sel
endotel. Sel adiposit putih terutama terletak dalam jaringan subkutan adalah sumber utama dari
sitokin. Sel lain di dalam jaringan lemak juga dapat menghasilkan sitokin. Sel-sel tersebut adalah
sel-sel yang merupakan bagian dari sistem imun dan sel-sel stroma vascular. 27,35,36
Mekanisme sekresi dari TNF-α sangat kompleks. TNF-α disekresikan dalam bentuk
prekursor yang berikatan dengan membran sel (protein transmembran) dengan berat molekul
sebesat 26 kDa (kilodalton) dan terdiri dari 233 asam amino. Bentuk terikat dari TNF-α
kemudian dirubah menjadi bentuk terlarut yang mempunyai berat molekul sebesar 17 kDa dan
terdiri dari 157 amino oleh suatu enzim matriks metaloproteinase. 27,35,36
TNF-α dalam bentuk terikat maupun yang terlarut kemudian berikatan dengan
reseptornya. Terdapat dua tipe reseptor dari TNF-α yaitu TNF-R1 dan TNF-R2. Ekspresi
mRNA dari kedua reseptor ini juga ditemukan di jaringan lemak. TNF-α bentuk terikat dapat
berinteraksi dengan kedua tipe reseptor sama kuatnya, sedangkan TNF-α dalam bentuk terlarut
TNF-α diketahui juga dapat berinteraksi dengan ligand lainnya yang terletak di
berbagai jaringan selain di jaringan lemak, namun demikian hanya TNF-α yang berikatan
dengan reseptor utamanya yang diketahui aktif di dalam jaringan lemak. TNF-R1 memperantarai
proses apoptosis, sementara TNF-R2 menginduksi satu atau lebih mitogen associated
proteinkinase.
Sintesis dari TNF-α berhubungan dengan jumlah jaringan lemak dan metabolisme
asam lemak. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa pada hewan dengan obesitas ditemukan
peningkatan ekspresi mRNA, TNF-α dan sintesis proteinnya di dalam jaringan lemaknya. 27,35,36
Peranan TNF-α dalam respon inflamasi sistemik sudah banyak diteliti. Jumlah mRNA
Beberapa penelitian menunjukkan hubungan langsung antara kadar TNF-α dan laju
metabolik istirahat serta hubungannya dengan peningkatan kadar acute phase protein. Tumor
necrosis factor-α berhubungan dengan percepatan metabolisme dan perubahan protein serta
peningkatan berkurangnya berat badan pada penderita PPOK. Inflamasi sistemik menyebabkan
metabolisme yang berlebihan dan menginduksi respons katabolik. Beberapa mekanisme yang
dapat menimbulkan peningkatan laju metabolisme antara lain pemakaian obat β2 agonis pada
2.4 Leptin
2.4.1 Struktur Leptin
Leptin merupakan produk dari gen ob dan terdiri dari rantai tunggal proteohormon
dengan berat molekul 16 kDa dan panjang 167 asam amino. Zhang dkk. pada tahun 1997 untuk
pertamakalinya menggambarkan struktur kristal leptin yang terdiri dari empat berkas heliks yang
mirip dengan keluarga sitokin rantai panjang helikal. Leptin mengandung empat α -heliks
antiparalel. Terdapat dua loop panjang yang menhubungkan heliks A dengan B dan C dengan D,
serta loop yang lebih pendek yang menghubungkan heliks B dengan C. 37,38
Reseptor leptin (Ob-R atau Lepr), merupakan anggota dari keluarga reseptor sitokin kelas
I. Terdapat enam isoform reseptor leptin yang telah diidentifikasi yaitu Ob-Ra, Ob-Rb, Ob-Rc,
Ob-Rd, Ob-Re, dan Ob-Rf. Dua dari isoform hanya terdapat pada masing-masing satu spesies
yaitu Ob-Rd pada mencit dan Ob-Rf pada tikus. Pada manusia, dilaporkan hanya terdapat tiga
reseptor leptin yaitu Ob-Ra, Ob-Rb, dan Ob-Rc. Keenam reseptor ini diklasifikasikan kedalam
tiga kelas yaitu bentuk panjang (Ob-Rb), bentuk pendek (Ob-Ra, Ob-Rc, Ob-Rd, dan Ob R-f),
dan Ob-Re yang merupakan suatu secreted isoform. Reseptor ini sedikit terdapat di daerah
transmembran dan sitoplasma, serta diperoleh dari pemecahan proteolitik isoform Ob-Rb dan
Ob-Ra. Reseptor Ob-Rb mengandung domain intraselular terpanjang yang sangat penting untuk
Reseptor Ob-Rb dalam jumlah yang banyak diekspresikan pada hipotalamus dan efek
anoreksigenik leptin bergantung kepada reseptor bentuk panjang ini. Baik defisiensi leptin
(ob/ob) maupun defisiensi reseptor leptin Ob-Rb (db/db) pada tikus menyebabkan fenotip
jaringan lain seperti bagian fundus lambung, otot skelet, hati, dan plasenta. Leptin bekerja pada
sistem saraf pusat, terutama pada hipotalamus untuk menekan asupan makanan dan menstimulasi
keluaran energi. Pada bagian medial hipotalamus, leptin mengaktivasi sel-sel saraf anorektik,
yang melepaskan neuropeptida yang menekan selera makan yaitu proopiomelanocortin (POMC)
dan cocaine amphetamine regulated transcript (CART). Pada saat yang sama, leptin
menghambat kelompok lain sel-sel saraf yang leptin-sensitive; disebut sebagai oreksigenik, yang
melepaskan neuropeptida untuk mengatur selera makan yaitu neuropeptide Y (NPY) dan agouti-
related protein (AgRP). Kedua kelompok sel leptin-sensitive mengirimkan sinyal yang menekan
selera makan kepada sel-sel saraf kunci pada hipotalamus lateral [bersama-sama dengan
Berbagai penelitian telah banyak dilakukan tentang fungsi leptin, sehingga ia tidak
sekedar sebagai hormon yang berfungsi untuk menekan selera makan semata (Tabel 2.1).
kerentanan terhadap infeksi pada manusia. Pada penderita dengan malnutrisi baik imunitas
Leptin telah diketahui mempunyai korelasi positif yang kuat dengan IMT, yaitu akan
meningkat pada keadaan overweight dan menurun pada keadaan wasted. Leptin diduga terlibat
dalam regulasi silang di antara status nutrisi dan respons imun. Leptin memainkan peranan
penting dalam regulasi asupan makanan, pengeluaran energi (energy expenditure), dan
pengendalian berat badan. Leptin mengatur nafsu makan dan pengeluaran energi pada tingkat
hipotalamus melalui ikatan dengan reseptor spesifiknya. Berbagai bukti eksperimental telah
memperlihatkan sejumlah fungsi dari leptin, antara lain menstimulasi respons proinflamasi,
meningkatkan proliferasi, diferensiasi, dan aktivasi sel-sel hematopoetik, sistem imun, fungsi
Kadar leptin dalam darah secara proporsional bergantung pada massa lemak tubuh,
sehingga pada keadaan malnutrisi terdapat penurunan kadar leptin. Kadar leptin yang rendah
sangat mempengaruhi respons imun tubuh dalam mengatasi infeksi. Berbagai penelitian terhadap
fungsi leptin terhadap respons imun maupun imunomodulatori telah banyak dilakukan.
Telah pula banyak penelitian pada orang dewasa yang menemukan hubungan antara
kadar leptin dan zat makanan/nutrien yang dapat mempengaruhi kadar leptin di dalam tubuh.
Zat-zat tersebut antara lain adalah karbohidrat, lemak, protein, kolesterol, sukrosa, alkohol, asam
lemak jenuh, asam lemak tak jenuh (minyak ikan), dan tinggi garam. Dengan demikian, kadar
leptin serum pada dewasa sangat dipengaruhi oleh indeks glikemik dan asupan asam-asam
lemak. 37,38,39
Leptin adalah protein yang disintesis oleh jaringan lemak dan berperan dalam
keseimbangan energi. Kadar leptin berkurang pada penderita PPOK dengan berat badan
sebagai respons inflamasi sitemik selama eksaserbasi. Leptin juga berperan dalam imunit sel
Leptin adalah protein yang disintesis oleh jaringan lemak dan berperan dalam
keseimbangan energi. Kadar leptin berkurang pada penderita PPOK dengan berat badan
sebagai respons inflamasi sitemik selama eksaserbasi. Leptin juga berperan dalam imunitas
SIMPULAN
Kakhesia merupakan salah satu penanda prognosis buruk pada penderita PPOK.
Kondisi ini akan memperberat gejala klinis penderita PPOK terutama dengan adanya
Angka kejadian kakhesia pada penderita PPOK sekitar 20-40% dan semakin
meningkat sesuai derajat beratnya PPOK.8,9,10 Patofisiologi kakhesia pada penderita PPOK
masih merupakan perdebatan. Inflamasi sistemik yang terjadi pada penderita PPOK diyakini
sebagai penyebab kakhesia. Selain hal tersebut ketidak seimbangan energi, hipoksia arteri,
atropi massa otot karena tidak digunakan dan variasi genetik merupakan penyebab lain
meningkatkan transkripsi NF-kB yang meningkatkan perusakan protein sel dan mencetuskan
kehilangan massa otot.4,11,12 Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan terjadi
Leptin sebagai gen obesitas merupakan hormon yang memegang peranan dalam
mengatur massa tubuh dan berhubungan dengan indeks massa tubuh maupun masa lemak. 13,14
Leptin akan mengurangi nafsu makan, meningkatkan penggunaan energi dan menurunkan
berat badan. Telah dilakukan berbagai penelitian untuk menghubungkan kadar leptin dengan
kejadian kakhesia pada PPOK, namun belum menunjukkan hubungan yang bermakna.
DAFTAR PUSTAKA
1. Celli BR, Cote CG, Marin JM, Casanova C, Oca MM, Mendez RA et all. The
Body-Mass Index, Airflow Obstruction, Dyspnea, and Exercise Capacity Index. New
2. Survey Kesehatan Rumah Tangga 1992. Badan Lit Bang Kes. Depkes RI dan Biro Pusat
Statistik RI 1992.
3. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi saluran nafas akut. Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi 4. Pusat penerbitan
4. Population Reference Bureau. World Population Data Sheet 2010. Washington DC:
8. Rio FG, Miravities M, Soriano JB, Munoz L, Tauleria ED, Sanchez G et all. Sytemic
10. Morley JE, Thomas DR, Wilson M. Cachexia: pathophysiology and clinical relevance.
11. Debigare R, Cote CH, Maltais F. Peripheral muscle wasting in chronic obstructive
13. KC Shin, JH Chung, KH Lee. Effects of TNF-a and leptin on weight loss in patients with
stable chronic obstructive pulmonary disease. The korean journal of internal medicine
2007;22:249-245.
14. J Congeton. The pulmonary cachexia syndrome: aspect of energy balance. Proceedings of
patients with chronic obstructive Pulmonary disease. AM Journal respiratory critical care
medical 1999;158:1215-1219.
16. Karakas S, Karadag F, Karul AB, Gurgey O, Gurel S, Gunet E et all. Circulating leptin
17. YY Meng, ST Ying, LX min. The role of serum leptin and tumor necrosis factor-a in
malnutrition of male chronic obstructive pulmonary disease patients. China medical journal
2006;119:628-633.
18. GOLD Executive Committee. Global strategy for the diagnosis, management, and
2006.
Grippi Robert, AI Pack. Fishman’s Pulmonary and disease and disorders, Mc Graw Hill
20. Senior RM, Atkinson JJ. Chronic obstructive pulmonary disease: epidemiology,
Robert, AI Pack. Fishman’s Pulmonary and disease and disorders, Mc Graw Hill Medical,
21. AGN Agusti, A Noguera, J Souleda, E Sala, J Pons, X Busquets. Systemic effects of
what we don’t know (but should). Proceedings of the american thoracic society 2007;4:522-
525.
pulmonary disease: implication for new treatment strategies. Current medicinal chemistry
2007;14:787-796.
24. PJ Barnes. Future treatments for chronic obstructive pulmonar disease and it’s
25. Chung KF. Cytokines as targets in chronic obstructive pulmonary disease. Current drug
26. EFM Wouters. Chronic obstructive pulmonary disease. 5:Systemic effects of COPD.
Thorax 2002;57:1067-70
27. Barnes PJ. The cytokine network in ashma and chronic obstructive pulmonary disease.
29. AMWJ Schols, R Broekhuizen, CAW Scheepers, EF Wouters. Body composition and
mortality in chronic obstructive pulmonary disease. The american journal of clinical nutrition
2005;82:53-59.
pulmonary disease. Clinical relevance and mechanism. American journal respiratory critical
33. RT Jagoe, MPKJ Engelen. Muscle wasting and changes in muscle protein metabolism in
necrosis factor-alpha serum levels, weight loss and tissue oxygenation in chronic obstructive
35. C Seifart, A Dempfle, A Plagens, U Seifart U Clostermann, B Muller et all. TNF-a, TNF-
36. Calikoglu M, Sahin G, Unlu A, Ozturk C, Tamer L, Ercan B et all. Leptin and TNF-alpha
levels in patients with chronic obstructive pulmonary disease and their relationship to
37. Annemie, WJ Schols, Eva C, Creutzberg, Buurman WA, Campfield LA et all. Plasma
leptin is related to proinflammatory status and dietary intake in patients with chronic
obstructive pulmonary disease. American journal respirology critical care medical 1999;
160:1220-26
38. DD Sin, SFP Man. Impaired lung function and serum leptin in men and women with
et all. Plasma leptin and insulin-like growth factor I levels during acute exacerbation of
40. JHJ Vernooy, NEA Drummen, RJV Suylen, RHE Cloots, GM Moller, KR Bracke et all.
encanced pulmonary leptin expression in patients wit severe COPD and asymptomatic
41. T Ozeki, Y Fujita, K Kida. Protein malnutrition in elderly patients with chronic
42. JE Morley. Weight loss in older person: new therapeutic approaches. Current
relating blood markersof inflammation and nutritional status to survival in cachectic geriatric
2009;14:98-104.
45. Schols, R Broekhuizen, CAW Scheepers, EF Wouters. Body composition and mortality
2005;82:53-59.
46. EFM Wouters. Local and systemic inflammation in chronic obstructive pulmonary
47. SS yeh. MW Schuster. Geriatrics cachexia: the role of cytokines. The american journal of