You are on page 1of 39

Referat KTA

HUBUNGAN KADAR LEPTIN DAN TUMOR NECROTIZING FACTOR-


α DENGAN KEADAAN KAKHESIA
PADA PENDERITA PPOK USIA LANJUT

Oleh
Ronald David Martua
MSJ 131021080001

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT DR HASAN SADIKIN
BANDUNG
2010
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR SINGKATAN

BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PPOK
2.1.1 Definisi
2.1.2 Patogenesis dan Patofisiologi
2.1.2.1 Patogenesis PPOK
2.1.2.2 Patofisiologi PPOK
2.1.3 Diagnosis dan klasifikasi PPOK
2.1.3.1 Diagnosis PPOK
2.1.3.2 Klasifikasi PPOK
2.1.4 Manifestasi kelainan ekstra paru pada PPOK
4.1 Inflamasi lokal
4.2 Inflamasi sistemik
4.3 Komorbiditas Pada PPOK
2.2 Kakhesia
2.2.1 Definisi
2.2.2 Mekanisme
2.2.3 Kakhesia pada PPOK
2.2.3.1 Infalamasi sitemik
2.2.3.2 Ketidakseimbangan energi
2.2.3.3 Atropi otot
2.2.3.4 Penggunaan energi saat istirahat
2.2.4 Mekanisme pengurangan massa otot pada PPOK
2.2.4.1 Penurunan massa sel tubuh pada PPOK
2.2.4.2 Pengecilan Otot
2.2.4.3 Perubahan metabolisme otot
2.2.4.4 Disfungsi otot rangka
2.2.5 Pengukuran kakhesia
2.3 TNF-α
2.3.1 Produksi dan sekresi TNF-α
2.3.2 Regulasi TNF−α
2.3.3 TNF-α dan inflamasi
2.3.4 TNF-α dan kakhesia
2.4 Leptin
2.4.1 Struktur Leptin
2.4.2 Fungsi dan fisiologi leptin

BAB III SIMPULAN


BAB IV DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) menduduki peringkat keempat penyebab

morbiditas dan mortalitas di Amerika Serikat. World Health Organization (WHO)

memperkirakan pada tahun 2020 akan menduduki peringkat ketiga penyebab kematian

diseluruh dunia.1 Indonesia sendiri belum memiliki data pasti mengenai kejadian PPOK,

berdasarkan survei rumah tangga Depkes 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama

dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6 penyebab kematian di Indonesia.2 Angka

ini diyakini lebih tinggi pada populasi lanjut usia (lansia).3

Lansia didefinisikan sebagai seseorang yang berusia lebih dari 65 tahun.4 Jumlah dan

persentase lansia dalam populasi masyarakat terus meningkat seiring peningkatan kualitas

pelayanan kesehatan dan kualitas hidup. Pada tahun 1900 hanya 1% dari populasi dunia

berusia lebih dari 65 tahun, pada tahun 2010 jumlah tersebut meningkat menjadi 8%, dan

pada tahun 2050 diperkirakan berjumlah 20% dari seluruh populasi dunia.4 Indonesia

memiliki jumlah lansia sebanyak 6% dari jumlah penduduk atau 14,1 juta jiwa.2

Kejadian PPOK semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Penelitian di

Inggris menunjukan angka kejadian PPOK 1-2% dari seluruh populasi usia, angka ini

kemudian meningkat menjadi 9% pada penderita berusia diatas 45 tahun, dan pada populasi

usia diatas 75 tahun menjadi 15-30%.5 Populasi penduduk lansia di dunia yang makin

meningkat seiring meningkatnya usia harapan hidup, menyebabkan jumlah penderita PPOK

lansia semakin meningkat sehingga memerlukan perhatian dan penanganan yang lebih

khusus. Selain jumlahnya yang semakin meningkat, penderita PPOK usia lanjut sering disertai
penyakit komorbid yang meningkatkan angka kesakitan dan kematian juga memerlukan biaya

yang tinggi dalam pengobatannya.6

Penyakit komorbid merupakan penyakit penyerta yang berhubungan dengan penyakit

dasarnya.7 Penyakit komorbid ini mempengaruhi prognosis penyakit PPOK, bahkan

kebanyakan penderita PPOK meninggal karena penyebab non respiratorik, seperti kanker atau

penyakit kardiovaskuler. Penyakit komorbid yang sering dihubungkan dengan penderita

PPOK adalah kakhesia, hipertensi, diabetes, gagal jantung, penyakit jantung koroner, kanker,

osteoporosis, depresi dan anemia.6,7,8 Penyakit komorbid ini lebih sering ditemukan pada

penderita PPOK usia lanjut.

Kakhesia merupakan suatu keadaan berat badan rendah yang patologis dengan

kehilangan massa otot yang lebih dominan daripada kehilangan massa lemak.9,10 Gambaran

klinis suatu kakhesia pada orang dewasa dapat berupa kehilangan berat badan atau gangguan

pertumbuhan pada anak-anak.10 Kakhesia merupakan salah satu penanda prognosis buruk

pada penderita PPOK. Kondisi ini akan memperberat gejala klinis penderita PPOK terutama

dengan adanya kelemahan dan kehilangan otot-otot pernafasan. 9,10,11

Angka kejadian kakhesia pada penderita PPOK sekitar 20-40% dan semakin

meningkat sesuai derajat beratnya PPOK.10,11 Patofisiologi kakhesia pada penderita PPOK

masih merupakan perdebatan. Inflamasi sistemik yang terjadi pada penderita PPOK diyakini

sebagai penyebab kakhesia. Selain hal tersebut ketidak seimbangan energi, hipoksia arteri,

atropi massa otot karena tidak digunakan dan variasi genetik merupakan penyebab lain

kakhesia pada penderita PPOK.10,11 Tumor Necrotizing Factor-α ( Τ Ν F−α) merupakan

salah satu penanda inflamasi sistemik, berupa proinflamatori yang meningkatkan transkripsi

NF-kB sehingga meningkatkan perusakan protein sel dan mencetuskan kehilangan massa
otot.12,13 Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan terjadi peningkatan kadar

TNF-α pada penderita PPOK.12,14 Leptin sebagai gen obesitas merupakan hormon yang

memegang peranan dalam mengatur massa tubuh dan berhubungan dengan indeks massa

tubuh maupun masa lemak.15,16 Leptin akan mengurangi nafsu makan, meningkatkan

penggunaan energi dan menurunkan berat badan. Telah dilakukan berbagai penelitian untuk

menghubungkan kadar leptin dengan kejadian kakhesia pada PPOK, namun belum

menunjukkan hubungan yang bermakna.13,17


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik

2.1.1 Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah suatu penyakit yang ditandai oleh

adanya pembatasan aliran udara napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Pembatasan aliran

udara napas ini biasanya progresif dan berkaitan dengan terjadinya respons inflamasi paru yang

abnormal terhadap partikel atau gas penyebab.18 Penyakit ini dapat mempengaruhi organ di luar

paru yang memperberat kondisi pasien.8,18

2.1.2 Patogenesis dan patofisiologi

Pembatasan aliran udara kronis yang terjadi pada PPOK disebabkan oleh gabungan

kelainan saluran napas kecil (bronkhiolitis obstruktif) dan destruksi parenkhim (emfisema).

Inflamasi kronik menyebabkan remodelling dan penyempitan saluran napas kecil. Kerusakan

parenkhim paru, yang juga disebabkan oleh proses inflamasi menyebabkan terlepasnya

hubungan alveoler dengan saluran napas kecil dan menurunnya elastic recoil paru dan

selanjutnya akan menghilangkan kemampuan saluran napas untuk tetap terbuka saat

ekspirasi.18,19,20

2.1.2.1 Patogenesis PPOK

Manifestasi klinis PPOK merupakan hasil perubahan struktur dan fungsi jaringan alveolar

dan saluran nafas kecil. Proses yang menyebabkannya dapat berupa inflamasi,
ketidakseimbangan proteinase dan antiproteinase, antioksidan, perubahan phenotipe sel paru dan

perubahan matriks ekstraselular. Beberapa mediator seperti proteinase, oksidan dan sitokin ikut

berperan dalam proses ini. 19

2.1.2.1.1 Inflamasi

PPOK ditandai oleh adanya inflamasi kronik sepanjang saluran napas, parenkhim dan

pembuluh pulmonal.19,20 Inflamasi ini akan merusak paru, menyebabkan terjadinya perubahan

patologis yang karakteristik untuk PPOK dan menghalangi proses penyembuhannya. Bukti dari

proses inflamasi ini adalah didapatkan sel inflamasi pada jaringan paru dan saluran nafas

penderita PPOK pada sediaan jaringan operasi maupun pemeriksaan post mortem, juga

ditemukannya sel inflamasi pada bronchoalveolar lavage fluid (BALF) dan sputum dan

meningkatnya sel inflamasi pada udara ekspirasi.21,22 Sel inflamasi yang dihubungkan dengan

PPOK diantaranya. netrofil, eosinofil, makrofage dan limfosit.20,21,22 Intensitas dan karakteristik

seluler serta molekuler inflamasinya bervariasi seiring dengan progresifitas penyakitnya.

2.1.2.1.2 Ketidakseimbangan antara proteinase dan antiproteinase

Selain inflamasi terdapat 2 proses lain yang penting dalam patogenesis PPOK, yaitu

ketidakseimbangan antara proteinase dengan antiproteinase di paru serta stres oksidatif. Kedua

proses ini dapat merupakan akibat proses inflamasi atau sebagai pengaruh lingkungan

(komponen oksidatif rokok) atau genetik seperti defisiensi alfa 1 antitripsin.19,20

Individu dengan defesiensi serum alfa 1 antitripsin, yang berfungsi menghambat kerja

proteinase seperti netrofil elastase, memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya emfisema.

Elastin yang merupakan target netrofil elastase adalah komponen utama dinding alveolus.
Fragmentasi dari elastin akan meningkatkan inflamasi karena menjadi agen kemotaktik yang

poten untuk makrofag dan netrofil.19,20

2.1.2.1.3 Ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan

Pada PPOK terjadi ketidakseimbangan antara oksidan dengan antioksidan. Hidrogen

peroksida (H2O2) dan nitrit oxide (NO) adalah oksidan yang terbentuk karena merokok atau

dilepaskan dari sel inflamasi dan sel epitel.20,21,22

Stres oksidatif berperan pada PPOK melalui berbagai cara. Oksidan dapat bereaksi dan

merusak berbagai molekul biologi seperti protein, lemak, asam nukleat yang akan menyebabkan

terjadinya disfungsi atau kematian sel atau matriks ekstraseluler paru. Selain hal tersebut stres

oksidatif juga berperan pada ketidakseimbangan antara proteinase – antiproteinase dengan cara

membuat tidak aktif antiproteinase seperti alfa 1 antitripsin atau dengan mengaktifasi proteinase

seperti Mineralo proteinase (MMPs).20,21,22 Oksidan juga menimbulkan inflamasi dengan cara

mengaktifasi faktor transkripsi Nuclear factor-kappa B (NF–kB) yang mengatur ekspresi

beberapa gen inflamatori yang penting pada PPOK seperti IL8 dan TNF-α .21,22,23

2.1.2.2 Patofisiologi PPOK

Asap rokok dan zat iritan per inhalasi merupakan penyebab utama dari kejadian PPOK.

Asap rokok merupakan campuran partikel dan gas. Pada tiap hembusan asap rokok terdapat l014

radikal bebas yaitu radikal hidroksida (OH-). Sebagian besar radikal bebas ini akan sampai di

alveolus waktu menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru

secara langsung maupun melalui modifikasi fungsi anti elastase pada saluran napas. Anti elastase
berfungsi menghambat netrofil. Oksidan menyebabkan fungsi ini terganggu, sehingga timbul

kerusakan jaringan intersititial alveolus.19,21

Gambar 2.1 : Peranan sitokin dalam patofisiologi PPOK


(dikutip dari PJ Barnes)27

Partikulat dalam asap rokok dan udara terpolusi mengendap pada lapisan mukus yang

melapisi mukosa bronkus, sehingga menghambat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi

mukosa berkurang, sehingga iritasi pada sel epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih

merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini ditandai dengan gangguan aktifitas silia menimbulkan

gejala batuk kronik dan dahak yang produktif. Produk dahak yang berlebihan memudahkan

timbulnya infeksi serta menghambat proses penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu

lingkaran dengan akibat terjadi hipersekresi. Bila iritasi dan oksidasi di saluran napas terus

berlangsung maka terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Selain itu terjadi pula

metaplasi skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan
obstruksi saluran napas yang bersifat irreversibel. Obstruksi saluran napas yang terjadi sangat

kompleks, tetapi interaksi dengan hiperaktivitas bronkus merupakan faktor utama. 19,20

2.1.4 Diagnosis dan klasifikasi PPOK

2.1.4.1 Diagnosis

Diagnosis PPOK harus selalu dipertimbangkan pada seorang penderita dengan keluhan

batuk, berdahak banyak atau sesak napas dengan atau tidak disertai riwayat paparan terhadap

faktor risiko PPOK. Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan yang objektif untuk adanya

hambatan pada aliran napas (spirometri). 18

2.1.4.1.1 Pengukuran Hambatan Aliran Udara

Pemeriksaan spirometri harus dilakukan pada penderita dengan keluhan seperti pada

anamnesa diatas, meskipun tidak jelas terdapat adanya keluhan sesak napas. Pemeriksaan yang

dilihat adalah Forced Expiratory Volume Second 1 (FEV1), Forced Volume Capacity (FVC) dan

ratio antara FEV1/ FVC. Pada penderita dengan PPOK kedua parameter tersebut menurun.

Terdapatnya penurunan FEV1 <70% saat pemeriksaan pasca bronkodilator disertai dengan rasio

FEV1/FVC < 70% mengkonfirmasi adanya hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya

reversibel. Selain tu dihitung rasio FEV1 pederita dengan FEV1 kontrol sesuai dengan usia dan

jenis kelamin yang berguna untuk menentukan tingkat beratnya PPOK. 18


2.1.4.1.2 Tes reversibilitas bronkodilator

Dikerjakan hanya satu kali saat diagnosis. Tes ini berguna untuk menyingkirkan asma,

menentukan faal paru terbaik yang dapat dicapai oleh penderita asma, menentukan prognosis dan

tuntunan untuk terapi. 18

2.1.4.2 Derajat beratnya PPOK

Penentuan derajat beratnya PPOK ditentukan melalui pengukuran spirometri, yang

membedakan PPOK menjadi empat derajat berat penyakit (tabel 1). Pengukurannya berdasarkan

angka FEV penderita dibandingkan dengan FEV prediksi sesuai dengan umur dan jenis kelamin

penderita.

Tabel 2.1 Klasifikasi Beratnya PPOK Berdasarkan Spirometri Post Bronkodilator

Stadium I : Ringan FEV1/FVC < 0,70

FEV1 ≥ 80% prediksi

Stadium II : Sedang FEV1/FVC < 0,70

50% ≤FEV1 ≤ 80% prediksi

Stadium III : Berat FEV1/FVC < 0,70

30% ≤FEV1 ≤ 50% prediksi

Stadium IV : Sangat Berat FEV1/FVC < 0,70

FEV1 < 30% prediksi atau

FEV1 < 50% prediksi, ditambah adanya gagal nafas kronik


Dikutip dari GOLD18

Stadium I : PPOK ringan, dicirikan dengan keterbatasan aliran udara ringan (FEV1/FVC <

0,70 ; FEV1 ≥ 80% prediksi) gejala batuk kronik dan bisa didapatkan produksi sputum.pada

stadium ini umumnya seseorang tidak menyadari bahwa fungsi parunya tidak normal.

Stadium II : PPOK sedang, dicirikan dengan memburuknya keterbatasan aliran udara

(FEV1/FVC < 0,70 ; 50% ≤FEV1 ≤ 80% prediksi) dengan nafas memendek yang bertambah

dengan aktivitas, batuk, dan produksi sputum kadangkala bertambah.

Stadium III : PPOK berat, dicirikan dengan berlanjutnya perburukan keterbatasan aliran udara

(FEV1/FVC < 0,70 ; 30% ≤FEV1 ≤ 50% prediksi), nafas memendek semakin berat,

berkurangnya kapasitas kemampuan kerja, kelemahan, eksaserbasi berulang dan hampir selalu

berdampak terhadap kualitas hidup.

Stadium IV : PPOK sangat berat, dicirikan dengan keterbatasan aliran nafas berat (FEV1/FVC

< 0,70 ; FEV1 < 30% prediksi atau FEV1 < 50% prediksi ditambah adanya gagal nafas kronik).

Gagal nafas didefinisikan sebagai tekanan parsial arterial oksigen (PaO2) kurang dari 8,0 kPa

(60 mmHg) dangan atau tanpa tekanan parsial arterial CO2 lebih dari 6,7 kPa (50 mmHg). Gagal

nafas dapat mengakibatkan efek pada jantung seprti cor pulmonale (gagal jantung kanan). Tanda

klinis cor pulmonale termasuk peningkatan vena jugular dan edema tungkai. Pasien dapat

diklasifikasikan dalam stadium IV PPOK walau FEV1 > 30% bila didapatkan komplikasi

tersebut. Pada stadium ini kualitas hidup sangat menurun dan eksaserbasi dapat mengancam

kelangsungan hidup.18

2.1.5 Manifestasi kelainan ekstra paru pada PPOK


Penyakit Paru Obstruktif Kronik tidak hanya menyebabkan respons inflamasi paru yang

abnormal tapi juga menimbulkan inflamasi sistemik termasuk stress oksidatif sistemik, aktivasi

sel-sel inflamasi di sirkulasi sistemik dan peningkatan sitokin proinflamasi.20,22,23,24 Respons

inflamasi sistemik ditandai dengan mobilisasi dan aktivasi sel inflamasi ke dalam sirkulasi.

Proses inflamasi ini merangsang sistem hematopoetik terutama sumsum tulang untuk

melepaskan leukosit dan trombosit serta merangsang hepar untuk memproduksi acute phase

protein seperti CRP dan fibrinogen. Acute phase protein akan meningkatkan pembekuan darah

yang merupakan prediktor angka kesakitan dan kematian pada penyakit kardiovaskular sehingga

menjadi pemicu terjadi trombosis koroner, aritmia dan gagal jantung.20,22,23,24

Tabel 2.2 Efek sistemik PPOK

Inflamasi sistemik
Stress oksidatif
Aktivasi sel inflamasi
Peningkatan kadar plasma sitokin dan akut fase protein
Nutrisi abnormal dan penurunan berat badan
Peningkatan resting energy expenditure
Komposis tubuh abnormal
Metabolisme asam amino abnormal
Disfungsi otot rangka
Hilangnya massa otot
Struktur/ fungsi abnormal
Keterbatasan latihan
Efek sistemik potensial lainnya
Efek kardiovaskular
Efek sistem saraf
Efek osteoskeletal
Dikutip dari Agusti dkk 21

Banyak penelitian menemukan bahwa respons inflamasi paru terhadap pajanan gas atau

asap rokok ditandai dengan peningkatan jumlah neutrofil, makrofag dan limfosit T yang

didominasi oleh CD8+, peningkatan konsentrasi sitokin proinflamasi seperti leukotrien B4, IL-8

dan TNF-α dan bukti bahwa stress oksidatif disebabkan oleh inhalasi asap rokok atau sel
inflamasi yang diaktifkan. Perubahan respons inflamasi yang sama juga ditemukan pada sirkulasi

sistemik. Konsep ini merupakan kunci untuk memahami efek sistemik PPOK.

Perubahan sejumlah mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-8 ditemukan berupa

peningkatan kadar acute phase protein walaupun pada penderita PPOK stabil. TNF-α mengatur

proses inflamasi pada tingkat multiseluler dengan cara merangsang peningkatan ekspresi

molekul adesi leukosit dan sel endotel selain itu juga dengan meningkatkan pengaturan sitokin

proinflamasi lainnya (IL-8 dan IL-6) serta menginduksi angiogenesis. Secara umum proses

inflamasi akan ditentukan oleh keseimbangan antara mediator pro dan antiinflamasi.

Penelitian untuk menilai kadar sistemik mediator anti inflamasi sudah dilakukan terhadap

soluble IL-1 receptor type II (sIL-IRII) decoy receptor IL-1 dan soluble TNF receptor 55 dan 75

(sTNF-R55 dan sTNF-R75) yang menghambat aktiviti biologi TNF-α. Pada penderita PPOK

stabil ditemukan peningkatan bermakna sTNF-R55 dibandingkan dengan kontrol sTNF-R57

cenderung meningkat. Tidak ada perbedaan yang terlihat pada kadar sIL-IRII antara penderita

PPOK dengan kontrol. 23,24,25


Gambar 2.2 Patofisiologi kelainan ekstra paru pada PPOK
(dikutip dari )

Hipoksia jaringan adalah mekanisme lain yang dapat menyebabkan inflamasi sistemik

pada PPOK. Dalam penelitian klinis terbaru, ditemukan bahwa TNF-α dan reseptornya

meningkat secara signifikan pada penderita PPOK, dan secara signifikan berkorelasi dengan

beratnya hipoksemia arterial. Hal ini menunjukkan bahwa hipoksemia arterial pada PPOK

berhubungan dengan aktivasi sistem TNF-α in vivo. Jika berhasil dibuktikan, hal ini dapat

mengubah pandangan menyeluruh terhadap terapi oksigen jangka panjang. Peningkatan harapan

hidup pada pasien yang mendapat terapi oksigen di rumah mungkin disebabkan efek terhadap

inflamasi sistemik. 24,25,26,27

2.2 Kakhesia

2.2.1 Definisi

Kakhesia adalah suatu keadaan kelainan metabolisme patologis yang ditandai penurunan

berat badan yang ekstrim akibat kehilangan massa otot dengan atau tanpa kehilangan massa

lemak.10,11 Keadaan kakhesia merupakan penanda penyakit tertentu seperti keganasan ataupun

beberapa penyakit infeksi seperti tuberkulosis atau HIV-AIDS. Kakhesia sering ditemukan pada

penyakit PPOK dan angka kejadiannya meningkat sesuai derajat PPOK. Pada PPOK berat

dengan gagal nafas didapatkan angka kejadian kakhesia mencapai 50%, sedangkan pada

penderita dengan PPOK ringan sampai sedang prevalensinya mencapai 10-15%. Secara

keseluruhan angka kejadian kakhesia pada PPOK sekitar 25% dan dihubungkan dengan

prognostik yang buruk pada pasien.28,29,30


Kakhesia berbeda dengan keadaan kelaparan, pada kelaparan terjadi kehilangan massa

lemak yang lebih dominan dari kehilangan massa otot, sedangkan pada kakhesia kehilangan

massa otot lebih dominan dari kehilangan massa lemak. 31,32,33

2.2.2 Mekanisme Kakhesia

Kehilangan massa otot merupakan keadaan patognomonik untuk suatu kakhesia. Dalam

berbagai penelitian diketahui bahwa perbaikan otot bergantung pada suatu proses katabolisme

dan anabolisme. Mekanisme peningkatan kerusakan massa otot dan bagaimana tubuh berupaya

meregulasinya memegang peranan penting terjadinya kakhesia. 11,33

Mekanisme terjadinya kerusakan otot yang paling dimengerti saat ini adalah ATP-

ubiquitin-dependent proteolytic sistem melalui contractile protein yang menyebabkan kakhesia.

Sistem ini dapat diaktivasi oleh sitokin, glukokortikoids, asidosis, inaktivitas, atau kadar insulin

yang rendah.11,33

Pada jalur ini, protein mengalami degradasi melalui ubiquitination, dan subsequently

dikenali dan diproses di proteosome, yaitu katalis core pada ubiquitin-proteosome pathway.

Peningkatan pengkodean mRNA enzim dan protein dari jalur merupakan petunjuk untuk

kakhesia pada model binatang. Sedangkan penghambatan dari proteosome menunjukkan

penurunan perusakan protein pada beberapa model dengan kakhesia.11,33

Pensignalan dan langkah awal dari terjadinya degradasi protein otot pada penderita

caachexia masih dalam penelitian. Bukti bahwa kakhesia dipicu secara endogen, pada binatang

percobaan tikus yang tidak tumor diberikan darah tikus dengan sarcoma menjadi kakhesia.
Beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa sitokin berpengaruh terhadap kejadian kakhesia

(1) Kultur mioblast yang terekspos TNF-a atau sitokin lain tidak menunjukkan diferensiasi yang

normal, (2) Kakhesia dapat diinduksi pada hewan kecil dengan injeksi proinflamasi sitokin. (3)

Kejadian kakhesia tadi dapat pula dicegah dengan pemberian inhibiting dari sitokin tadi. Dan (4)

Kejadian kakhesia tadi dapat pula dicegah dengan pencegahan pada reseptor inflamasi. 11,33

Meskipun proinflamsi sitokin seperti TNF-a dan IL-6 dapat mengaktivasi jalur ubiquitin-

proteasome, namun tidak bisa menurunkan indeks massa tubuh secara langsung. Dalam hal ini

aktivasi nuclear factor-kappa B (NF-kB) merupakan kunci pada langkah intermedietnya. NF-kB

merupakan faktor transkripsi ubiquitous yang terdapat dalam sitosol dan dalam bentuk tidak aktif

bila bersama pasangannya IkB. Sitokin inflamasi dapat meningkatkan degradasi dari IkB melalui

proteosome. Dengan tidak adanya faktor inhibisi ini maka NF-kB dapat pindah ke dalam inti sel,

berikatan dengan elemen DNA dan meregulasi transkripsi dari kode beberapa gen dan hormon

pertumbuhan. Pada otot, NF-kB dapat menginhibisi ekspresi dari MyoD, yang merupakan faktor

transkripsi yang penting dan spesifik untuk diferensiasi otot rangka dan memperbaikinya.

Pencegahan secara langsung pada NF-kB pada binatang percobaan dapat mencegah kakhesia. 11,33

Sebagai tambahan NF-kB dapat juga menekan transkripsi dari proteosome C3 sub unit di

sel otot, juga memblok degradasi dari protein otot. Yang menarik adalah glukokortikoid exert

efek kataboliknya dengan opposing supressor NF-kB proteasome. Sebagai kesimpulan penelitian

dasar telah menunjukkan bukti aktivasi sitokin terhadap jalur ubiquitin proteosome, yang

menghasilkan keadaan katabolik dan akhirnya kakhesia, dibandingkan proses patologis lain.

Bagaimanapun langkah-langkah ini masih harus dibuktikan lebih lanjut dan penelitian terhadap

hal ini masih sangat dibutuhkan. 11,33


Sitokin proinflamasi juga dapat memainkan peranan mengurangi masa otot melalui

peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS). Protein otot skelet dapat dimodifikasi oleh ROS

sehingga mudah didegradasi oleh proteasome. Pemberian antioksidan dapat mencegah terjadinya

wasting pada binatang murin yang diberi TNF-α . Sehingga inflamasi dan ROS mempunyai

interaksi dan sinergi dalam menimbulkan proteolisis otot. 11,33

Meskipun peningkatan katabolisme merupakan proses utama dari kakhesia, masih

terdapat faktor anabolik yang mempertahankan keadaan homeostasis. Mekanisme dari faktor

anabolik dan pemeliharaan dari otot menjadi sangat penting. Sebagai contoh, telah dibuktikan

bahwa insulin dan Insulin growth factor (IGF) merangsang sintesa myofibril. IGFs dapat juga

menurunkan degradasi protein dengan menurunkan aktivitas dari jalur ubiquitin-proteosome. 11,33

2.2.3 Kakhesia pada PPOK

PPOK ditandai dengan adanya inflamasi sitemik dalam kadar yang rendah dengan adanya

kadar hormon anabolik yang rendah. Peningkatan kadar IL-6, IL-8, TNF-a dan CRP, pada

penderita PPOK dihubungkan dengan adanya peningkatan penggunaan energi saat istirahat dan

tidak berespon terhadap terapi nutrisi, pernyataan tersebut menimbulkan dugaan sitokin tersebut

menyebabkan kejadian kakhesia pada PPOK. 11,33

Penurunan massa sel tubuh merupakan manifestasi sistemik yang penting pada PPOK

dan terlihat berupa kehilangan lebih dari 40% actively metabolizing tissue. Perubahan massa sel

tubuh diketahui melalui penurunan berat badan dan penurunan massa lemak bebas. Massa lemak

bebas dapat dibagi 2 yaitu kompartemen intraseluler atau massa sel tubuh dan kompartemen

ekstraseluler. Kompartemen intraseluler menggambarkan bagian pertukaran energi sedangkan

kompartemen ekstraseluler menggambarkan substansi di luar sel. Kerusakan jaringan umumnya


terjadi pada penderita PPOK dengan prevalensi 20% pada penderita PPOK stabil dan 35% pada

penderita yang menjalani rehabilitasi medik. Massa lemak bebas yang hilang mempengaruhi

proses pernapasan, fungsi otot perifer, kapasiti latihan dan status kesehatan. Penurunan berat

badan mempunyai efek negatif terhadap prognosis penderita PPOK. Schols dkk. melakukan

penelitian retrospektif terhadap 400 penderita PPOK. Penelitian ini menemukan bahwa indeks

massa tubuh (IMT) kurang dari 25 kg/m2, umur dan PaO2 rendah merupakan prediktor yang

bermakna terhadap peningkatan angka kematian sementara Landbo dkk. menyatakan prognosis

yang buruk pada penderita PPOK bila IMT kurang dari 20 kg/m2.

Penderita PPOK cenderung mengalami kaheksia daripada malnutrisi. Asupan nutrisi

penderita PPOK biasanya normal bahkan lebih besar daripada normal sedangkan asupan nutrisi

pada malnutrisi memang kurang. Laju metabolisme penderita PPOK biasanya meningkat tidak

seperti pada penderita malnutrisi namun respons penderita PPOK terhadap asupan nutrisi

seringkali buruk. Mekanisme lain yang menerangkan kakhesia adalah hubungan antara sitokin

dengan leptin.

Ketidakseimbangan proses pemecahan dan penggantian protein juga berperan dalam

proses penurunan massa sel tubuh. Penderita PPOK stabil yang tidak mengalami kerusakan

jaringan tetap menunjukkan keseimbangan antara proses pemecahan dan pembentukan protein.

Perubahan hormon juga berhubungan dengan perubahan protein. Insulin, Growth hormon (GH),

insulin-like growth factors (IGFs) merupakan hormon anabolik yang membantu sintesis protein

sementara glukokortikoid merangsang proses proteolisis pada jaringan otot. Insulin menekan

proses pemecahan protein. Growth hormon meningkatkan massa lemak bebas, merangsang

produksi hepar dan sekresi IGF-1.


Resistensi GH terjadi pada keadaan katabolisme saat inflamasi. Keadaan puasa dan

katabolik berhubungan dengan penurunan GH yang terikat pada reseptor, ekspresi gen IGF-1 dan

IGF-1 yang terikat protein. Perubahan IGF-1 selama katabolisme diterangkan sebagai

mekanisme adaptasi untuk membantu pengurangan proses anabolik pada saat stres atau saat IGF-

1 meningkat di jaringan. Pemberian IL-1 dan TNF-α pada hewan percobaan berhubungan dengan

kadar IGF-1 plasma yang rendah dan penurunan sintesis protein. Sintesis protein yang

dirangsang oleh IGF-1 dihambat pada saat mioblas terpajan TNF-α.

Hormon anabolik seperti testosteron bekerja pada otot dengan dua cara. Pertama dengan

merangsang efek anabolik protein melalui reseptor androgen, kedua dengan menghambat

katabolik protein melalui netralisasi efek glukokortikoid. Penurunan kadar testosteron total dan

bebas pada penderita PPOK telah banyak dilaporkan. Pemberian glukokortikoid sistemik dosis

rendah sebagai antiinflamasi masih sering digunakan. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai

keseimbangan hormon anabolik dan katabolik pada PPOK untuk mendapatkan strategi terapi

yang lebih tepat.

Beberapa mekanisme diduga menyebabkan kejadian ini yaitu inflamasi sistemik,

ketidakseimbangan energi, atropi otot karena tidak digunakan dan peningkatan penggunaan

energi saat istirahat.

2.2.3.1 Inflamasi sistemik

Beberapa penelitian telah menghubungkan kejadian kakhesia pada penderita PPOK,

mereka menemukan kejadian kakhesia pada penderita yang tidak mendapat obat kortikosteroid,

berdasarkan ketidakcukupan gizi, peningkatan basal metabolisme, hipoksia, peningkatan saraf


simpatis, dan gangguan hormon leptin, dengan variasi genetik pada populasi. Saat ini penelitian

kearah inflamasi sistemik merupakan hal yang paling dicari,

Otot skelet sendiri dapat berkontribusi terhadap inflamasi sistemik, seperti terbukti pada

penderita PPOK saat aktivitas fisik. Aktivitas fisik meningkatkan secara spesifik kadar plasma

TNF-α pada PPOK. TNF-α memiliki berbagai efek yang dapat berujung pada muscle wasting.

Efek TNF-α diperantarai oleh NF-κB, yang dalam keadaan normal tidak aktif, tetapi dapat

diaktifkan oleh sitokin inflamasi seperti TNF-α. Mekanisme-mekanisme TNF-α untuk

menyebabkan muscle wasting antara lain dengan stimulasi langsung kehilangan protein,

apoptosis sel otot, dan perubahan sinyal TNF-α/NF-κB yang disebabkan stres oksidatif.

Inflamasi dan stres oksidatif yang menjadi karakteristik PPOK memiliki efek sinergis terhadap

kerusakan otot.

2.2.3.2 Ketidakseimbangan Energi

Beberapa penelitian telah menunjukkan kehadiran ketidakseimbangan nutrisi pada

penderita PPOK, diantaranya mengenai asupan energi, basal metabolik rate, metabolisme dan

komposisi tubuh. Penelitian saat ini tertuju pada penurunan berat badan yang tak dapat

dijelaskan.

Kehilangan masa otot merupakan inti permasalahan dari kehilangan berat badan tubuh

pada penderita PPOK, dan kehilangan masa lemak mendapat porsi yang lebih kecil. Sehingga

perubahan komposisi tubuh, dalam hal ini kehilangan masa otot telah terlebih dahulu timbul pada

penderita PPOK walaupun berat badan penderita tersebut belum turun secara bermakna.

Penghitungan kehilangan massa otot ini memerlukan penggunaan teknnologi canggih seperti

dual-energy X-ray, atau bioelectrical impedance. Dengan menggunakan teknologi ini engelen
dan kawan-kawan dapat menunjukkan perubahan dari komposisi tubuh (lean mass, fat mass, dan

masa tulang) pada penderita PPOK dan kontrol, juga pada penderita bronkhitis kronis dan

emphysema.

Penggunaan kata malnutrisi dan kakhesia sering digunakan dalam pembahasan gangguan

nutrisi pada penderita PPOK. Terdapat berbedaan yang bermakna dalam kedua terminologi

penyakit ini, yaitu respon terhadap terapi nutrisi, sehingga banyak peneliti mengemukakan

bahwa keadaan berat badan rendah pada penderita PPOK lebih cocok pada keadaan kakhesia

dibandingkan kurang nutrisi. Pada penderita PPOK dengan terapi nutrisi cenderung mengalami

peningkatan basal metabolisme rate dan tidak bersepon dengan terapi nutrisi. Penyebab dari

gangguan nutrisi sampai sat ini masih belum jelas. Seperti telah dikemukakan diawal, bahwa

penurunan asupan nutrisi tidak merupakan faktor yang dominan pada pasien PPOK.

Dalam keadaan tidak seimbangnya nutrisi, kebutuhan energi dasar biasanya berkurang.

Hal ini berlawanan dengan peningkatan kebutuhan energi dasar yang merupakan karakteristik

penderita PPOK; perbedaan ini diperkirakan disebabkan oleh inflamasi sistemik. Peningkatan

konsumsi oksigen oleh otot-otot pernapasan tidak dapat menjelaskan fenomena ini dan pada

PPOK yang stabil asupan nutrisi umumnya mencukupi. Sehingga peningkatan kehilangan massa

otot secara umum yang disebabkan respon inflamasi kronis adalah satu-satunya penjelasan yang

paling mungkin. Kehilangan massa otot ini tidak spesifik untuk PPOK, tetapi biasanya

ditemukan pada keadaan kaheksia dengan peningkatan degradasi protein dan respon yang buruk

terhadap intervensi nutrisional. Hal ini serupa dengan yang ditemui pada AIDS, kanker, gagal

jantung kronis, dan gagal ginjal.

2.2.3.3 Atropi otot


Prevalensi kejadian atropi otot pada penderita PPOK cukup tinggi, walaupun pernyataan

ini hanya berdasarkan perkiraan saja mengingat belum ada teknik yang mudah untuk menghitung

masa otot. Berdasarkan sebuah penelitian kehilangan berat badan pada penderita PPOK

mencapai 49% dari 253 penderita. Angka prevalensi dari atropi otot dan efeknya mungkin lebih

tinggi lagi bila berdasarkan penghitungan lean body mass suatu pengurangan dari indeks massa

tubuh. Penelitian yang mendukung hal ini ditemukannya penurunan diameter otot paha yang

lebih besar dibandingkan penurunan berat badan, menunjukkan bahawa kehilangan masa otot

lebih dini terjadi dari kehilangan berat badan.

Massa otot yang rendah akan berhubungan dengan kelemahan otot perifer dan penurunan

status fungsional, dan menurunkan kualitas hidup penderita. Penurunan masa otot dan efeknya

juga mempunyai makna yang sama pada penderita PPOK yang masih memiliki fungsi kontraksi

aparatus yang masih baik. Pada penderita PPOK dengan kekuatan otot yang menurun atau sering

terpapar kortikosteroid, maka akan lebih buruk lagi.

Proses pemecahan protein sel pada otot merupakan keadaan yang sering didapatkan

sebagai respons terhadap asidosis, infeksi atau asupan kalori yang tidak adekuat. Selama keadaan

ini, otot dan kulit akan kehilangan protein dalam jumlah lebih besar dibandingkan organ-organ

visceral sedangkan otak tidak terpengaruh. Pengurangan massa otot pada penderita PPOK

terutama terdapat pada ekstremitas bawah. Jalur adenosine triphosphate (ATP) tergantung pada

ubiquitin-proteasom berperan dalam peningkatan proteolisis pada berbagai tipe atropi otot.

Pengaruh TNF-α pada sel otot rangka berupa pengurangan kandungan protein total dan

hilangnya adult myosin heavy chain. Guttridge dkk. melaporkan TNF-α merangsang aktivasi NF-

κβ untuk menghambat diferensiasi otot rangka dengan menekan myoD-mRNA pada saat pasca

transkripsi. Tumor necrosis factor-α dan interferon γ (IFγ) mempengaruhi regulasi otot rangka
melalui penghambatan terbentuknya serat-serat otot baru, degenerasi serat-serat otot yang baru

dibentuk dan menyebabkan ketidakmampuan memperbaiki kerusakan otot rangka. Sitokin

inflamasi diduga berperan pada pengecilan otot melalui penghambatan difrensiasi miogen

melalui jalur NF- κ β dan secara langsung menghambat NF- κ β seperti yang terlihat pada

pengurangan otot berhubungan dengan kaheksia. Proses kematian sel yang terprogram atau

apoptosis juga berperan pada pengecilan otot.

2.2.3.4 Peningkatan penggunaan energi saat istirahat

Peningkatan penggunaan energi saat istirahat (REE) sering terjadi pada penderita PPOK,

beberapa ahli menghubungkan hal ini dengan terjadinya kakhesia pada penderita PPOK, tetapi

pada umumnya penderita PPOK terjadi pembatasan aktivitas sehari-hari sehingga total

penggunaan energinya tidak berbeda jauh dengan populasi normal.

Dilain pihak perbaikan nutrisi pada penderita PPOK ternyata gagal memperbaiki keadaan

kakhesia maupun menambah massa otot. Kakhesia merupakan keadaan yang berbeda dengan

ketidakseimbangan energi dan kelaparan karena terdapat modifikasi dari metabolisme protein

lemak dan karbohidrat yang berhubungan dengan inflamasi sistemik. Berbagai karakteristik lain

mengenai kakhesia juga ditemukan pada penderita PPOK, yang tidak dapat dijelaskan dengan

hanya ketidakseimbangan nutrisi yaitu : kehilangan otot lebih banyak daripada lemak dan

degradasi protein, juga tidak berespon terhadap terapi nutrisi. Jelasnya muscle wasting pada

PPOK lebih cocok pada keadaan kakhesia dibandingkan ketidakseimbangan nutrisi saja.

2.2.4 Pengukuran kakhesia

Pengukuran kakhesia menggunakan indeks massa tubuh (IMT), yaitu perbandingan berat

tubuh dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam meter. Keadaan kakhesia ditandai
dengan IMT < 19 kg.m-2. Pada seorang penderita PPOK bisa mengakami kehilangan massa otot

yang bermakna namun memiliki cadangan lemak yang berlebih sebagai akibat dari kurangnya

aktivitas fisik, sehingga menghasilkan IMT yang sama. Sesuai dengan definisi kakhesia dimana

keilangan massa otot lebih dominan dibandingkan keilangan lemak, maka perhitungan IMT arus

dengan pengurangan massa lemak, hal ini dikenal dengan lean body mass (LBM).29

Berdasarkan uraian tadi maka perhitungan keadaan kakesia pada penderita PPOK

haruslah berdasarkan lean body mass (LBM), yang juga dihitung dengan kg.m-2.

Diambil dari calculating lean body mass.....clinical parmakokinet 2010

Schols dan kawan-kawan mengemukakan kakhesia didefinisikan dengan LBM <16 kg.m-2 pada

laki-laki dan <15 kg.m-2 pada perempuan. 29

2.3 Tumor Necrotizing Factor-α

TNF-α adalah suatu sitokin yang pada awalnya diketahui sebagai produk dari makrofag

yang terlibat dalam gangguan metabolisme pada keadaan inflamasi kronik dan keganasan. 35,36

Sejak diketahui TNF-α terlibat dalam hilangnya jaringan lemak tubuh, banyak penelitian

meneliti tentang peran fisiologi sitokin ini pada jaringan lemak. TNF-α saat ini juga diketahui

berperan dalam patogenesis terjadinya obesitas dan resistensi insulin.


2.3.1 Produksi dan sekresi TNF-α

TNF-α dihasilkan oleh berbagai sel, yang terutama adalah monosit, fibroblast dan sel

endotel. Sel adiposit putih terutama terletak dalam jaringan subkutan adalah sumber utama dari

sitokin. Sel lain di dalam jaringan lemak juga dapat menghasilkan sitokin. Sel-sel tersebut adalah

sel-sel yang merupakan bagian dari sistem imun dan sel-sel stroma vascular. 27,35,36

Mekanisme sekresi dari TNF-α sangat kompleks. TNF-α disekresikan dalam bentuk

prekursor yang berikatan dengan membran sel (protein transmembran) dengan berat molekul

sebesat 26 kDa (kilodalton) dan terdiri dari 233 asam amino. Bentuk terikat dari TNF-α

kemudian dirubah menjadi bentuk terlarut yang mempunyai berat molekul sebesar 17 kDa dan

terdiri dari 157 amino oleh suatu enzim matriks metaloproteinase. 27,35,36

TNF-α dalam bentuk terikat maupun yang terlarut kemudian berikatan dengan

reseptornya. Terdapat dua tipe reseptor dari TNF-α yaitu TNF-R1 dan TNF-R2. Ekspresi

mRNA dari kedua reseptor ini juga ditemukan di jaringan lemak. TNF-α bentuk terikat dapat

berinteraksi dengan kedua tipe reseptor sama kuatnya, sedangkan TNF-α dalam bentuk terlarut

lebih banyak berinteraksi dengan TNF-R1.

TNF-α diketahui juga dapat berinteraksi dengan ligand lainnya yang terletak di

berbagai jaringan selain di jaringan lemak, namun demikian hanya TNF-α yang berikatan

dengan reseptor utamanya yang diketahui aktif di dalam jaringan lemak. TNF-R1 memperantarai

proses apoptosis, sementara TNF-R2 menginduksi satu atau lebih mitogen associated

proteinkinase.

2.3.2 Regulasi TNF-α


Regulasi oleh faktor nutrisi

Sintesis dari TNF-α berhubungan dengan jumlah jaringan lemak dan metabolisme

asam lemak. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa pada hewan dengan obesitas ditemukan

peningkatan ekspresi mRNA, TNF-α dan sintesis proteinnya di dalam jaringan lemaknya. 27,35,36

2.3.3 TNF-α dan Inflamasi

Peranan TNF-α dalam respon inflamasi sistemik sudah banyak diteliti. Jumlah mRNA

2.3.3 TNF-α dan Kakhesia

Beberapa penelitian menunjukkan hubungan langsung antara kadar TNF-α dan laju

metabolik istirahat serta hubungannya dengan peningkatan kadar acute phase protein. Tumor

necrosis factor-α berhubungan dengan percepatan metabolisme dan perubahan protein serta

peningkatan berkurangnya berat badan pada penderita PPOK. Inflamasi sistemik menyebabkan

metabolisme yang berlebihan dan menginduksi respons katabolik. Beberapa mekanisme yang

dapat menimbulkan peningkatan laju metabolisme antara lain pemakaian obat β2 agonis pada

penderita PPOK, proses inflamasi serta hipoksia jaringan. 27,35,36

2.4 Leptin
2.4.1 Struktur Leptin

Leptin merupakan produk dari gen ob dan terdiri dari rantai tunggal proteohormon

dengan berat molekul 16 kDa dan panjang 167 asam amino. Zhang dkk. pada tahun 1997 untuk

pertamakalinya menggambarkan struktur kristal leptin yang terdiri dari empat berkas heliks yang

mirip dengan keluarga sitokin rantai panjang helikal. Leptin mengandung empat α -heliks

antiparalel. Terdapat dua loop panjang yang menhubungkan heliks A dengan B dan C dengan D,

serta loop yang lebih pendek yang menghubungkan heliks B dengan C. 37,38

Reseptor leptin (Ob-R atau Lepr), merupakan anggota dari keluarga reseptor sitokin kelas

I. Terdapat enam isoform reseptor leptin yang telah diidentifikasi yaitu Ob-Ra, Ob-Rb, Ob-Rc,

Ob-Rd, Ob-Re, dan Ob-Rf. Dua dari isoform hanya terdapat pada masing-masing satu spesies

yaitu Ob-Rd pada mencit dan Ob-Rf pada tikus. Pada manusia, dilaporkan hanya terdapat tiga

reseptor leptin yaitu Ob-Ra, Ob-Rb, dan Ob-Rc. Keenam reseptor ini diklasifikasikan kedalam

tiga kelas yaitu bentuk panjang (Ob-Rb), bentuk pendek (Ob-Ra, Ob-Rc, Ob-Rd, dan Ob R-f),

dan Ob-Re yang merupakan suatu secreted isoform. Reseptor ini sedikit terdapat di daerah

transmembran dan sitoplasma, serta diperoleh dari pemecahan proteolitik isoform Ob-Rb dan

Ob-Ra. Reseptor Ob-Rb mengandung domain intraselular terpanjang yang sangat penting untuk

pemberian sinyal (signaling) leptin. 37,38,39

Reseptor Ob-Rb dalam jumlah yang banyak diekspresikan pada hipotalamus dan efek

anoreksigenik leptin bergantung kepada reseptor bentuk panjang ini. Baik defisiensi leptin

(ob/ob) maupun defisiensi reseptor leptin Ob-Rb (db/db) pada tikus menyebabkan fenotip

obesitas herediter yang berat.

2.4.2 Fungsi dan Fisiologi Leptin


Leptin terutama dihasilkan oleh sel-sel adiposit, walaupun dapat pula dihasilkan oleh

jaringan lain seperti bagian fundus lambung, otot skelet, hati, dan plasenta. Leptin bekerja pada

sistem saraf pusat, terutama pada hipotalamus untuk menekan asupan makanan dan menstimulasi

keluaran energi. Pada bagian medial hipotalamus, leptin mengaktivasi sel-sel saraf anorektik,

yang melepaskan neuropeptida yang menekan selera makan yaitu proopiomelanocortin (POMC)

dan cocaine amphetamine regulated transcript (CART). Pada saat yang sama, leptin

menghambat kelompok lain sel-sel saraf yang leptin-sensitive; disebut sebagai oreksigenik, yang

melepaskan neuropeptida untuk mengatur selera makan yaitu neuropeptide Y (NPY) dan agouti-

related protein (AgRP). Kedua kelompok sel leptin-sensitive mengirimkan sinyal yang menekan

selera makan kepada sel-sel saraf kunci pada hipotalamus lateral [bersama-sama dengan

melanin-concentrating hormone (MCH) dan orexin (ORX)], untuk kemudian mengendalikan

kebiasaan makan. 37,38,39

Berbagai penelitian telah banyak dilakukan tentang fungsi leptin, sehingga ia tidak

sekedar sebagai hormon yang berfungsi untuk menekan selera makan semata (Tabel 2.1).

Tabel 2.3 Berbagai Penelitian Tentang Fungsi Leptin

Jenis Penelitian Nama Peneliti Tahun Penelitian


Fungsi neuroendokrin -Dubey dkk. 2007
-Meier dkk. 2004
-Bluher dkk. 2004
-Considin dkk. 1996
Fungsi angiogenesis -Wolk dkk. 2006
-Honigmann dkk. 1998
-Bouloumie dkk. 1998
Fungsi pembentukan tulang -Cirmanova dkk. 2008
-Ducy dkk. 2000
Fungsi reproduksi -Hoggard dkk. 1998
-Chehab dkk. 1996
Fungsi hematopoesis -Claycombe dkk. 2008
(limfopoesis, -Bennet dkk. 1996
mielopoesis) -Gainsford dkk. 1996
Fungsi respons imun -Mattioli dkk. 2005
-Esfahani dkk. 2004
-Palacio dkk. 2002
-Faggioni dkk. 2001
-Chezet dkk. 2001
Fungsi imunomodulatori -Somech dkk. 2007
-Oero dkk. 2006
-Xiao dkk. 2003
-Margalet dkk. 2003
- Lord dkk. 2002
-Gabai dkk. 2001
-Sarraf dkk. 1997
Dikutip dari Considin 1996

Malnutrisi merupakan penyebab umum terjadinya defisiensi imun sekunder dan

kerentanan terhadap infeksi pada manusia. Pada penderita dengan malnutrisi baik imunitas

spesifik (acquired immunity) maupun nonspesifik (innate immunity) akan dipengaruhi.

Leptin telah diketahui mempunyai korelasi positif yang kuat dengan IMT, yaitu akan

meningkat pada keadaan overweight dan menurun pada keadaan wasted. Leptin diduga terlibat

dalam regulasi silang di antara status nutrisi dan respons imun. Leptin memainkan peranan

penting dalam regulasi asupan makanan, pengeluaran energi (energy expenditure), dan

pengendalian berat badan. Leptin mengatur nafsu makan dan pengeluaran energi pada tingkat

hipotalamus melalui ikatan dengan reseptor spesifiknya. Berbagai bukti eksperimental telah

memperlihatkan sejumlah fungsi dari leptin, antara lain menstimulasi respons proinflamasi,

meningkatkan proliferasi, diferensiasi, dan aktivasi sel-sel hematopoetik, sistem imun, fungsi

neuroendokrin, formasi tulang, serta reproduksi. 37,38,39

Kadar leptin dalam darah secara proporsional bergantung pada massa lemak tubuh,

sehingga pada keadaan malnutrisi terdapat penurunan kadar leptin. Kadar leptin yang rendah

sangat mempengaruhi respons imun tubuh dalam mengatasi infeksi. Berbagai penelitian terhadap

fungsi leptin terhadap respons imun maupun imunomodulatori telah banyak dilakukan.
Telah pula banyak penelitian pada orang dewasa yang menemukan hubungan antara

kadar leptin dan zat makanan/nutrien yang dapat mempengaruhi kadar leptin di dalam tubuh.

Zat-zat tersebut antara lain adalah karbohidrat, lemak, protein, kolesterol, sukrosa, alkohol, asam

lemak jenuh, asam lemak tak jenuh (minyak ikan), dan tinggi garam. Dengan demikian, kadar

leptin serum pada dewasa sangat dipengaruhi oleh indeks glikemik dan asupan asam-asam

lemak. 37,38,39

2.4.3 Leptin dan inflamasi sistemik

Leptin adalah protein yang disintesis oleh jaringan lemak dan berperan dalam

keseimbangan energi. Kadar leptin berkurang pada penderita PPOK dengan berat badan

rendah. Gangguan ketidakseimbangan energi berhubungan dengan peningkatan kadar leptin

sebagai respons inflamasi sitemik selama eksaserbasi. Leptin juga berperan dalam imunit sel

T, angiogenesis, reproduksi dan kontrol ventilasi.

2.4.4 Leptin dan kakhesis

Leptin adalah protein yang disintesis oleh jaringan lemak dan berperan dalam

keseimbangan energi. Kadar leptin berkurang pada penderita PPOK dengan berat badan

rendah. Gangguan ketidakseimbangan energi berhubungan dengan peningkatan kadar leptin

sebagai respons inflamasi sitemik selama eksaserbasi. Leptin juga berperan dalam imunitas

sel T, angiogenesis, reproduksi dan kontrol ventilasi. 37,38,39,40


BAB III

SIMPULAN

Kakhesia merupakan salah satu penanda prognosis buruk pada penderita PPOK.

Kondisi ini akan memperberat gejala klinis penderita PPOK terutama dengan adanya

kelemahan dan kehilangan otot-otot pernafasan.

Angka kejadian kakhesia pada penderita PPOK sekitar 20-40% dan semakin

meningkat sesuai derajat beratnya PPOK.8,9,10 Patofisiologi kakhesia pada penderita PPOK

masih merupakan perdebatan. Inflamasi sistemik yang terjadi pada penderita PPOK diyakini

sebagai penyebab kakhesia. Selain hal tersebut ketidak seimbangan energi, hipoksia arteri,

atropi massa otot karena tidak digunakan dan variasi genetik merupakan penyebab lain

kakhesia pada penderita PPOK


Tumor Necrotizing Factor-α ( Τ Ν F−α) merupakan proinflamatori yang

meningkatkan transkripsi NF-kB yang meningkatkan perusakan protein sel dan mencetuskan

kehilangan massa otot.4,11,12 Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan terjadi

peningkatan kadar TNF-α pada penderita PPOK.

Leptin sebagai gen obesitas merupakan hormon yang memegang peranan dalam

mengatur massa tubuh dan berhubungan dengan indeks massa tubuh maupun masa lemak. 13,14

Leptin akan mengurangi nafsu makan, meningkatkan penggunaan energi dan menurunkan

berat badan. Telah dilakukan berbagai penelitian untuk menghubungkan kadar leptin dengan

kejadian kakhesia pada PPOK, namun belum menunjukkan hubungan yang bermakna.

DAFTAR PUSTAKA

1. Celli BR, Cote CG, Marin JM, Casanova C, Oca MM, Mendez RA et all. The

Body-Mass Index, Airflow Obstruction, Dyspnea, and Exercise Capacity Index. New

England Journal Medicine 2004;350:1005-12.

2. Survey Kesehatan Rumah Tangga 1992. Badan Lit Bang Kes. Depkes RI dan Biro Pusat

Statistik RI 1992.

3. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi saluran nafas akut. Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B,

Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi 4. Pusat penerbitan

ilmu penyakit dalam. Jakarta. 2006; 978-88.

4. Population Reference Bureau. World Population Data Sheet 2010. Washington DC:

Population Reference Bureau; 2010.


5. Crocket T. COPD in elderly. 2006. Abstract. Wiltshire. Avaiable at www.

6. Rennard SI. Inflammation in COPD : a link to systemic comorbidities. European

Respiratory Review 2007; 16:105, 91-97

7. DD Sin, NR Anthonisen, JB Soriano, AG Agusti. Mortality in COPD: role of

comorbidities. European respiratory journal 2006;28:1245-1257

8. Rio FG, Miravities M, Soriano JB, Munoz L, Tauleria ED, Sanchez G et all. Sytemic

inflammation in chronic obstructive pulmonary disease : a population based study.

Respiratory research 2010, 11:63

9. Wagner PD. Possible mechanisms underlying the development of kakhesia in COPD.

European respiratory journal 2008;31:492-501

10. Morley JE, Thomas DR, Wilson M. Cachexia: pathophysiology and clinical relevance.

The american journal of clinical nutrition 2006;83:735-43

11. Debigare R, Cote CH, Maltais F. Peripheral muscle wasting in chronic obstructive

pulmonary disease. AM Journal respiratory critical care medical 2001;164:1712-1717.

12. S Mukopadhyay, JR Hoidal, TK Mukerjee. Role of TNF-a in pulmonary

pathophysiology. Biomed central respiratory research 2006;7:125.

13. KC Shin, JH Chung, KH Lee. Effects of TNF-a and leptin on weight loss in patients with

stable chronic obstructive pulmonary disease. The korean journal of internal medicine

2007;22:249-245.

14. J Congeton. The pulmonary cachexia syndrome: aspect of energy balance. Proceedings of

nutrition society 1999;58:321-328.


15. Tabatake N, Nakamura H, Abe S, Hino T, Saito H, Yuki H et all. Circulating leptin in

patients with chronic obstructive Pulmonary disease. AM Journal respiratory critical care

medical 1999;158:1215-1219.

16. Karakas S, Karadag F, Karul AB, Gurgey O, Gurel S, Gunet E et all. Circulating leptin

and body composition in chronic obstructive pulmonary disease. International journal

clinician practice 2005; 59,10:1167-1170.

17. YY Meng, ST Ying, LX min. The role of serum leptin and tumor necrosis factor-a in

malnutrition of male chronic obstructive pulmonary disease patients. China medical journal

2006;119:628-633.

18. GOLD Executive Committee. Global strategy for the diagnosis, management, and

prevention of chronic obstructive pulmonary disease. Medical Communications Resources;

2006.

19. JL Wright, Churg A, Pathologic Features of Chronic Obstructive Pulmonary Disease:

Diagnostic Criteria and Differential Diagnosis. In AP Fishman, JA Elias, JA Fishman, MA

Grippi Robert, AI Pack. Fishman’s Pulmonary and disease and disorders, Mc Graw Hill

Medical, New York 2008. P:693-706.

20. Senior RM, Atkinson JJ. Chronic obstructive pulmonary disease: epidemiology,

pathophysiology, and pathogenesis. In AP Fishman, JA Elias, JA Fishman, MA Grippi

Robert, AI Pack. Fishman’s Pulmonary and disease and disorders, Mc Graw Hill Medical,

New York 2008. P:707-726

21. AGN Agusti, A Noguera, J Souleda, E Sala, J Pons, X Busquets. Systemic effects of

chronic obstructive pulmonary disease. European respirology journals 2003;21:347-360.


22. A Agusti. Systemic effects of chronic obstructive pulmonary disease. What we know and

what we don’t know (but should). Proceedings of the american thoracic society 2007;4:522-

525.

23. LG Heaney, JT Lindsay, LP Augustine McGarvey. Inflammation in chronic obstructive

pulmonary disease: implication for new treatment strategies. Current medicinal chemistry

2007;14:787-796.

24. PJ Barnes. Future treatments for chronic obstructive pulmonar disease and it’s

comorbidities. Proceedings of the american thoracic society 2008;5:857-864.

25. Chung KF. Cytokines as targets in chronic obstructive pulmonary disease. Current drug

targets 2006, 7, 675-681.

26. EFM Wouters. Chronic obstructive pulmonary disease. 5:Systemic effects of COPD.

Thorax 2002;57:1067-70

27. Barnes PJ. The cytokine network in ashma and chronic obstructive pulmonary disease.

The journal of clinical investigation 2008; 118,11;3546-54

28. Takabatake N, Nakamura H, Minamihaba O, Inage M, Inoue S, Kagaya S et all. A novel

pathophysiologic phenomenon in cachexic patients with chronic obstructive pulmonary

disease. American journal respiratory critical care medical 2001; 163:1314-19

29. AMWJ Schols, R Broekhuizen, CAW Scheepers, EF Wouters. Body composition and

mortality in chronic obstructive pulmonary disease. The american journal of clinical nutrition

2005;82:53-59.

30. R Debigare, CH Cote, F Maltais. Peripheral muscle wasting in cronic obstructive

pulmonary disease. Clinical relevance and mechanism. American journal respiratory critical

care medical 2001; 164:1712-17.


31. JK Berry, C Baum. Reversal of chronic obstructive pulmonary disease-associated weight

loss. Are there pharmacological treatment options? Drugs 2004;64(10):1041-52

32. F karadag, AB Karul, O Cildag, C Altun, O Gurgey. Determinants of BMI in patients

with COPD. Respirology 2004;9:70-75

33. RT Jagoe, MPKJ Engelen. Muscle wasting and changes in muscle protein metabolism in

chronic obstructive pulmonary disease. European repirology journal 2003;22:52-63.

34. G Pitsiou, G Kyrazis, O Hatzizisi, P Agryropoulou, E Mavrofridis, D Patakas. Tumor

necrosis factor-alpha serum levels, weight loss and tissue oxygenation in chronic obstructive

pulmonary disease. Respiratory medicine 2002;96:594-598

35. C Seifart, A Dempfle, A Plagens, U Seifart U Clostermann, B Muller et all. TNF-a, TNF-

b, IL-6, and IL-10-promoter polymorpism in patients with chronic obstructive pulmonary

disease. Avaiable at www.

36. Calikoglu M, Sahin G, Unlu A, Ozturk C, Tamer L, Ercan B et all. Leptin and TNF-alpha

levels in patients with chronic obstructive pulmonary disease and their relationship to

nutritional parameters. Resprations 2004;71:45-50

37. Annemie, WJ Schols, Eva C, Creutzberg, Buurman WA, Campfield LA et all. Plasma

leptin is related to proinflammatory status and dietary intake in patients with chronic

obstructive pulmonary disease. American journal respirology critical care medical 1999;

160:1220-26

38. DD Sin, SFP Man. Impaired lung function and serum leptin in men and women with

normal body weight: a population based study. Thorax 2003;58:659-698


39. P Kythreotis, A Kokkini, S Avgeropoulou, A Hadjioannou, E Anastasakou, A Rasidakis

et all. Plasma leptin and insulin-like growth factor I levels during acute exacerbation of

chronic obstructive pulmonary disease. Biomed central pulmonary medicine 2009;9:11.

40. JHJ Vernooy, NEA Drummen, RJV Suylen, RHE Cloots, GM Moller, KR Bracke et all.

encanced pulmonary leptin expression in patients wit severe COPD and asymptomatic

smokers. Thorax 2009;64:26-32.

41. T Ozeki, Y Fujita, K Kida. Protein malnutrition in elderly patients with chronic

obstructive pulmonary disease. Geriatrics and gerontology international 2002;2:131-137.

42. JE Morley. Weight loss in older person: new therapeutic approaches. Current

pharmacetical design 2007;13:3637-47.

43. SS Yeh, A Hafner, CK Chang, DM Levine, TS Parker, MW Schuster. Risk factors

relating blood markersof inflammation and nutritional status to survival in cachectic geriatric

patients in a randomized clinical trial. Journal american geriatric society 2004;52:1708-12

44. RA Incalzi, C Pedone, S Scarlata, S Battalgia, N Scicilone, F Forestiere et all. Correlates

of mortality in elderly COPD patients: focus on health-related quality of life. Respirology

2009;14:98-104.

45. Schols, R Broekhuizen, CAW Scheepers, EF Wouters. Body composition and mortality

in chronic obstructive pulmonary disease. The american journal of clinical nutrition

2005;82:53-59.

46. EFM Wouters. Local and systemic inflammation in chronic obstructive pulmonary

disease. Proceedings of the american thoracic society 2005;2:26-33.

47. SS yeh. MW Schuster. Geriatrics cachexia: the role of cytokines. The american journal of

clinical nutrition 1999;70:183-97.

You might also like