You are on page 1of 14

Abu Hassan Ali al Nadwi

Sayyid Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi mendapat julukan Imam Rabbani, Islami, Qur’ani,
Muhammadi dari DR. Yusuf Qardhawi, seorang ulama yang tersohor bijaksana dalam berbagai
tulisan dan fatwa-fatwa kontemporer.

An-Nadwi juga dikenal sebagai seorang ulama dan pemikir Muslim brilian yang bukan
saja dikenal di tanah kelahirannya tapi juga di seluruh dunia Islam. Sampai akhir hayatnya (1999)
beliau masih menempati beberapa posisi penting di lembaga Islam internasional seperti Rabitah
‘Alam Islamy yang berpusat di Mekkah, Dewan Ilmu Pengetahuan dan Bahasa Arab di
Damaskus, Majelis Pertimbangan di Universitas Madinah, serta ketua lektor Pusat Pengkajian
Islam di Oxford University.

An-Nadwi dikenal sebagai ensiklopedis karena ilmunya yang melimpah dan daya
kritisnya yang tajam. Visinya yang modernis dan integralis menjadikannya mampu
mengembangkan aktifitas da’wah serta pemikiran ke berbagai bidang. Sebanyak 50 judul buku
dalam beragam medan pemikiran Islam yang ditulis dalam empat bahasa yaitu Arab, Urdu,
Perancis, dan Inggris berhasil beliau sumbangkan untuk memperkaya khazanah kepustakaan
Islam. Selain itu, beliau juga telah menyampaikan ratusan ceramah hasil penelitian dan makalah
yang kesemuanya ditulis untuk kemaslahatan serta pengabdiannya kepada Islam.

Beliau adalah ulama yang dapat diterima oleh semua aliran serta kalangan Islam di
seluruh India dan juga kalangan di dunia Islam yang memungkinkannya berperan dalam
menghilangkan berbagai penyebab pertikaian. Beliau telah tercatat berperan serta dalam kurang
lebih seratus muktamar dan forum Internasional yang membahas problematika ummat dan
masalah keislaman. Walaupun dikenal sebagai sosok modernis, beliau sangat keras menentang
semua arus yang keluar dari manhaj Islam yang benar. Sejak muda ia mengkritik habis pemikiran
takrif (Muslim yang mengkafirkan sesamanya) dan i’tizaliyah (mengisolasikan diri dari
kehidupan dunia) yang muncul akibat pemahaman yang dangkal terhadap pemikiran Abul A’la
al-Maududi di India dan Sayyid Qutb di Mesir.

Selama hidupnya, beliau memang dikenal sebagai seorang ulama yang lapang dada dan
menghargai karya dan jerih payah orang lain, selama itu untuk Islam. Beliau sangat menjahui

1
sifat fanatik buta terhadap tokoh yang ia kagumi. Beliau menganggap maulana Mohammad Ilyas
adalah tokoh yang beliau kagumi dengan jama’ah tablighnya, tapi beliau tidak menutup mata
bahwa jama’ah yang telah menyebar ke seluruh penjuru dunia ini butuh kepada pengembangan
intelektualitas mereka. Demikian halnya dengan Ikhwanul Muslimin(IM), beliau begitu
mengagumi sosok Hasan al-Banna dan para pengikutnya, bahkan dalam pengantarnya terhadap
karya al-Banna Mudzakaratudda’wah waddaiyah beliau menulis bahwa pembunuhan dan
penganiayaan terhadap Al-Banna serta pengikutnya adalah sebuah kejahatan yang takkan pernah
terlupakan oleh sejarah. Pada tahun 1951 beliau berkunjung ke Mesir dan berjumpa dengan para
murid serta pengikut Al-Banna seperti Syeikh Mohammad al-Ghazali, Yusuf Al-Qardhawi dan
lain-lain, memperkenalkan beliau lebih dekat tentang Ikhwanul Muslimin.

Meskipun demikian beliau mengakui bahwa (IM) bukanlah rumah yang dihuni oleh para
malaikat yang lepas dari dosa dan kesalahan. Oleh sebab itu beliau menulis buku Uridu an
Atahaddats ila Ikhwanil Muslimin. Karya tersebut beliau katakan sebagai kritik dan saran dari
seorang Muslim untuk saudaranya.

Pribadi dan kezuhudannya

Syekh Yusuf Al-Qardhawi menyebutnya sebagai salah satu dari segelintir ulama abad 20
yang pantas untuk mendapatkan tempat di jajaran ulama Rabbany. Pengakuan Qardhawi
bukanlah berlebihan karena beliau adalah sosok ulama yang beramal dengan ilmunya, dikenal
zuhud dalam kehidupannya, menempatkan dunia pada proporsi yang sebenarnya, menjadikan
kehidupan para salaf sebagai cermin kehidupan ideal bagi seorang muslim yang jauh dari sifat
ghuluw dalam ibadah dan keduniaan.

Dalam pandangan An-Nadwi, ulama sejati adalah ulama yang jauh dari kemewahan dunia
serta mempunyai sifat zuhud yang tinggi. Zuhud dalam pengertian An-Nadwi bukanlah
meninggalkan dunia dengan memakai pakaian compang-camping atau mengisolir diri dari
gelanggang kehidupan, tapi hakikat zuhud adalah menahan diri dari nafsu dunia di saat kita
mampu untuk mendapatkannya. Sifat inilah menurutnya membuat para ulama salaf serta para
mujaddid Islam seperti Ibnu Taimiyah, Imam Ahmad bin Hanbal, dan para mujaddid sesudah
mereka begitu tegar di depan pesona keduniaan dan tetap mengatakan tidak pada iming-iming
kekuasaan.

2
Dalam suatu kesempatan di salah saatu universitas di Timur Tengah selesai
menyampaikan ceramah An-Nadwi ditawarkan uang sebesar 6000 dolar tapi beliau menolaknya
dan mengatakan bahwa beliau tidak pernah mengambil upah dari da’wah.

Dalam salah satu tulisannya tentang An-Nadwi, Syeikh Al-Qardhawi menuturkan


pengalamannya: suatu ketika dalam kunjungannya ke Qatar (tempat al-Qardhawi bermukim) di
bulan Ramadhan An-Nadwi sempat menceritakan tentang krisis finansial yang dihadapi oleh
Nadwatul Ulama, Al-Qardhawi menganjurkan An-Nadwi untuk mendatangi para muhsinin dan
menyampaikan hal itu, tapi An-Nadwi menolaknya dan mengatakan bahwa mereka adalah para
pasien dan kita adalah para dokter dan jika para dokter telah meminta bantuan pada sang pasien
siapa lagi yang akan mengobati mereka?

Anak Seorang Ulama dan Ibu Hafidhah

Dilahirkan di Rae Bareilly India pada 6 Muharram 1333 H, bertepatan dengan Januari
1913 M. Ayahnya Allama Sayyid ‘Abdul Hayyi Al-Husny adalah seorang ulama India yang
cukup terkenal dan sekaligus seorang penulis produktif. Karya monumentalnya, Nuzhatul
Khawatir adalah sebuah karya ensiklopedia yang memuat biografi tokoh dan ulama India. Karena
karya tersebut beliau dijuluki Ibnu Khalkan India. Abdul Hayyi meninggal di saat An-Nadwi
berusia sepuluh tahun.

Ibunya Sayyidah Khairunnissa, adalah seorang wanita shalihah dan hafidhah juga dikenal
sebagai seorang sastrawan yang banyak menulis syair baik dalam bahasa Arab ataupun Urdu dan
Persi.Sepeninggal ayahnya, An-Nadwi lebih banyak mendapatkan bimbingan dari sang ibu; dari
didikan sang ibu An-Nadwi bisa menghafal al-Quran tigapuluh juz pada usia kanak-kanak serta
berhasil mempelajari dasar-dasar bahasa Arab dan Persi. Dari ibunya, An-Nadwi bukan hanya
mendapatkan bimbingan intelektualitas tapi juga bimbingan spiritual dan kecintaan kepada al-
Quran. Setiap malam juma’at, kenang An-Nadwi, sang ibu selalu membiasakan anak-anaknya
untuk membaca surah al-Kahfi agar selamat dari fitnah dajjal (sebagaimana anjuran Rasulullah
saw).

Setelah keluar dari madrasaah oleh sang ibu An-Nadwi diantarkan belajar dasar-dasar
sastra Arab pada syeikh Khalil Bin Muhammad Al-Anshari Al-Yamany dan Prof Dr. Taqiyuddin
alhilaly yang pada waktu itu menjadi dosen di Nadwatul ‘ulama Lokcnow India.
3
Ketika berusia 14 tahun beliau mulai mengecap pendidikan formal di Universitas
Lokcnow mengambil jurusan sastra Arab, dan beliau menjadi mahasiswa termuda. Selama belajar
di universitas tersebut, An-Nadwi banyak mendalami buku-buku yang berhubungan dengan sasta
Arab seperti Nahjatul Balagah. Di universitas yang sama an-Nadwi juga mendalami bahasa
Inggris dan ilmu-ilmu umum.

Selesai mendalami sastra Arab, beliau mulai mempelajari disiplin ilmu yang lain seperti
hadits, tafsir, tarikh, yang semuanya beliau tempuh dengan jalur talaqqy dari seorang syeikh
kepada syeikh yang lain, sebuah corak pendalaman ilmu yang ditempuh oleh para ulama salaf.

Dari maulana Khaidar Hasan Khan di Nadwatul ‘Ulama, beliau mendalami ilmu hadits
dan menamatkan kutubussittah. Selesai mengaji pada maulana Khaidar Hasaan beliau nyantri di
Daarul ‘Ulum Dheoband sebuah pesantren tradisional yang banyak menelorkan ulama-ulama
India. Di markas para pakar hadits tersebut, An-Nadwi tinggal beberapa waktu.

Selesai mendalami hadits, pada tahun 1932 an-Nadwi pergi ke Lahor. Di kota tua tersebut
beliau mendalami tafsir alquran pada syeikh Ahmad ‘Ali Al-Lahori. Dari mufassir kenamaan
tersebut beliau berhasil menyelsaikan ummahatu tafsir, seperti Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir At-
Thabary, tafsir Al-Baidhawi dan lain- lain.

Sekembalinya dari Lahor beliau ditunjuk sebagai dosen sastra arab dan tafsir di
Nadwwatul Ulama Lockhnow. Di Universitas yang memadukan sistem tradisional dan modern
tersebut, An-Nadwi mulai berkenalan dengan majalah-majalah berbahasa Arab yang terbit di
Timur Tengah seperti al-Manar, al-Hilal, az-Zahra, dan lain-lain. Majalah-majalah pembaruan
Islam tersebut bukan saja ikut memberi andil terhadap pembentukan intelektualitas beliau, tapi
juga memperkenalkan An-Nadwi pada uslub (metode) penulisan bahasa Arab. Maka tidak heran
jika pada usia 16 tahun beliau telah berhasil menulis biografi Sayyid Ahmad Irfan seorang ulama
India, dimuat di majalah al-Manar bahkan kemudian diterbitkan oleh Rasyid Ridha di Mesir.

Mendambakan kembalinya Khilafah Isamiyah

Tujuh puluh tahun berjalan bersama kafilah da’wah beliau telah banyak menyaksikan
pahit getirnya perjalanan ummat, namun tragedi sejarah yang pernah menimpa ummat ini yang
beliau akui sebagai tragedi yang paling menyedihkannya adalah jatuhnya khilafah Islamiyah di

4
Turki pada tahun 1924. Kalau saja dunia tahu tulisnya, tentang kerugian yang akan diderita dunia
akibat jatuhnya khilafah niscaya mereka akan mengenang hari kejatuhan itu sebagai hari
dukacita.

25 tahun setelah jatuhnya khilafah, pada tahun 1951 karya monumentalnya masa khasiral
‘alam biinhithatil muslimin diterbitkan. Karya tersebut telah mendapatkan kekaguman dan
sambutan hangat dari para pemikir muslim, Assyahid Sayyid Quthb mengomentarinya sebagai
karya sejarah yang telah menafsirkan sejarah lewat tafsiran Islam yang lebih luas. Karya tersebut
telah mengantarkan beliau untuk mendapatkan The King Faishal International Award pada tahun
1980 bersama Dr. Mohammad Natsir (alm).

Lewat karyanya yang pernah menjadi best seller itu, An-Nadwi ingin menyadarkan
kembali ummat Islam bahwa mereka bukanlah aktor dari sebuah babak-babak drama yang
dipentaskan atau anak-anak catur yang dipermainkan, tapi mereka adalah faktor utama yang
menentukan wajah dunia. Sudah saatnya, lanjut An-Nadwi, Islam memimpin dunia sekali lagi
sebagaimana Islam telah menyelamatkan dunia pada abad ke-enam dengan kedatangan
Rasulullah Saw. Dunia Arab, lanjut An-Nadwi adalah harapan dunia Islam untuk memimpin
dunia sekali lagi, karena mereka adalah rahim yang pernah melahirkan para pahlawan Islam yang
membuka pintu gerbang dunia.

Sayang ajal lebih dulu menjemputnya sebelum menyaksikan bendera khilafah berkibar
sekali lagi. Beliau menghembuskan nafasnya yang terahir pada hari Juma’at pada tanggal 31
Desember 1999 di tanah kelahirannya.

Pemikiran Abu Hassan Ali al Nadwi

Dalam bukunya al-Sira’ Bayn al-Fikrah al-Islamiyyah wa al-Fikrah al-Gharbiah al-Nadwi


menyebutkan aspek pengaruh barat. Antara pengaruh barat yang meluas dalam negara Islam ialah
aspek pendidikan. Menurut al-Nadwi, umat Islam perlu membebaskan dari system pendidikan
sekular atau mengambil sistem pendidikan barat secara total. Menurutnya system pengajian barat
merupakan suatu usaha mendalam untuk melenyap dan membasmi unsur-unsur keislaman. Beliau
merujuk kepada kata-kata H.A.R Gibb dalam buku Whither Islam yang menyebutkan bahawa
berjaya atau tidak modernisasi dan westernisasi di dunia Islam dapat dilihat dari aspek
pendidikan barat dan pengaruhnya yang meluas di kalangan orang-orang timur. Beliau memuji
5
Iqbal kerana walaupun mendapat pendidikan barat tetapi beliau tidak lebur dalam arus
pendidikan pemikiran barat. Menurutnya, antara teori yang digunakan dalam sistem pendidikan
barat ialah menimbulkan keraguan dan syak kepada kesucian riwayat dan dalil. Oleh itu jalan
terbaik bagi mengatasi masalah ini ialah merangkai semula sistem pendidikan Islam walaupun
menghadapi kesulitan dan waktu yang panjang.

Al-Nadwi juga begitu peka dengan sistem pendidikan dan banyak mengkritik golongan
orientalis yang menyelewengkan fakta sebenar mengenai Islam. Dari segi faktor keagamaan,
tujuan orientalis adalah menyebarkan agama Kristian dan menonjolkannya lebih daripada agama
Islam. Di samping itu, mereka cuba membangkitkan rasa bangga terhadap mereka ke dalam jiwa
anak-anak muda Islam. Dari segi politik, golongan orientalis adalah utusan barat ke negara-
negara Islam dengan tujuan membuat penyelidikan yang berhubung dengan adat, bahasa, tabiat
dan jiwa orang-orang timur. Melalui cara ini, barat dapat meluaskan kekuasaan
dan pengaruhnya ke atas umat Islam. Walaupun begitu, ada juga golongan orientalis yang
membuat penyelidikan semata-mata kerana rasa minat mereka terhadap ilmu.

Menurut al-Nadwi, antara orientalis yang menghasilkan penyelidikan yang baik yang
wajar diberi penghargaan ialah Prof. T.W. Arnold, pengarang buku Preaching of Islam, Stanley
Lane pengarang buku Saladin (Salahuddin al-Ayubi) dan Moors in Spains, Dr. Aloys Spenger
Edward William Lane, A.W.J- Wensinck, yang telah menyusun Mu‘ajam Hadith. Semua
pengarang-pengarang ini menunjukkan keikhlasan mereka dalam membahaskan sesuatu isu tanpa
dipengaruhi oleh faktor politik, ekonomi dan agama.

Al-Nadwi telah memberi kritikan pedas terhadap golongan orientalis yang seharusnya
direnung oleh pelajar-pelajar muslim yang lain. Beliau menyebut bahawa dengan mengakui
sumbangan ilmu orientalis ini, tiada halangan baginya untuk menegaskan bahawa kaum orientalis
ini sering tidak beroleh taufik dari Ilahi walaupun mereka banyak melakukan penyelidikan dan
penggalian terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an, sunnah, sirah nabi, feqah Islam, akhlak dan tasauf.
Mereka hanya keluar dengan tangan hampa tanpa memperolehi apa-apa dari keimanan dan
keyakinan. Sebaliknya didapati bertambah besar jurang yang memisahkan mereka dengan ilmu
tersebut disebabkan oleh iktikad permusuhan yang terpendam dalam hati mereka. Tujuan mereka

6
hanya ingin mencari kelemahan tentang Islam dan mengemukakannya untuk maksud politik
maupun keagamaan.

Menurut al-Nadwi, umat Islam sekarang menghadapi kejumudan pemikiran atau


mendapnya kecerdasan akal yang menimpa sarjana Islam atau pusat-pusat pengajian Islam
semenjak waktu yang lama. Begitu juga, jarang ditemui ulama yang dapat meyakinkan generasi
muda mengenai keunggulan Islam dan keabdian ajaran agama untuk mereka melayari kehidupan
serta menyingkap takbir kelemahan-kelemahan peradaban barat dan sorotan yang ilmiah dan
analisa yang teliti.
Umat Islam juga menghadapi kekosongan yang besar iaitu tidak ada pemimpin yang
dapat menghadapi peradaban barat dengan keimanan dan berani. Ciri-ciri pemimpin ini ialah
mereka yang menggabungkan keimanan dengan kemajuan keilmuan untuk manfaat umat dan
negara. Mereka tidak memandang pemimpin barat sebagai idola yang mesti diikuti tetapi hanya
mengambil contoh yang baik. Ia menaruh harapan dan keyakinan bahawa seandainya ia perlu
banyak belajar dari barat maka barat juga perlu banyak belajar darinya. Malah berkemungkinan
barat lebih memerlukannya. Menurutnya, usaha pembaratan berlaku dengan cepat dan berjaya
kerana pendidikan barat telah menyerap masuk ke dalam jiwa anak-anak muda Islam. Taufan
sistem pendidikan barat ini telah menyapu bersih generasi muda Islam yang menjadi harapan
bangsa sehingga pemikiran mereka tidak dapat menerima agama Islam yang sebenar. Antara
buku beliau yang terkenal ialah Riddah La Abu Bakr Laha (murtad: mengapa tidak ada Abu
Bakar memeranginya). Di dalam buku ini, beliau menyebutkan bahawa umat Islam kini
menghadapi ancaman murtad yang lebih merbahaya iaitu fahaman metarialisme (kebendaan)
yang datang dari pengaruh barat. Menurutnya, metarialisme merupakan fahaman yang
berdasarkan penolakan kepada agama dan pemikiran yang menafikan adanya Tuhan, alam ghaib,
wahyu dan kerasulan. Sungguhpun penganjur-penganjur falsafah kebendaan ini tidak
menganggapnya sebagai satu agama yang baru, namun pada hakikatnya falsafah ini adalah
sejenis agama yang baru. Faham baru ini sedang melanda dunia Islam tanpa disedari oleh kita
sendiri.
Al-Nadwi menjelaskan bahawa tamadun kebendaan yang menafikan ketuhanan
merupakan dajjal yang membawa kerosakan ke atas dunia ini. Tamadun yang dilahirkan pada
abad 17 dan mulai mencapai peringkat kematangan dalam abad ini. Tamadun kebendaan ini
meletakkan kebendaan dan pemiliknya sebagai suci dan mengagungkan kebendaan dari segala-

7
galanya.Beliau turut menggariskan beberapa faktor yang menyebabkan fahaman ini dapat
menawan jiwa orang-orang Islam. Antaranya ialah pertamanya kelemahan orang Islam dari sudut
keimanan, ijtihad dan ilmu pengetahuan. Fikiran menjadi sempit dan keghairahan terhadap agama
mereka telah lenyap sama sekali. Keduanya para ulama tidak memainkan peranan yang sebenar
dan tidak pula berusaha untuk memimpin orang Islam lain terutama anak-anak muda Islam.
Ketiganya penjajahan yang berlaku ke atas negara-negara umat Islam. Orang-orang Islam
mengkagumi falsafah barat yang dianggap mengandungi kebenaran dan kemajuan. Inilah di
antara faktor yang menyebabkan fahaman ini meresap dengan cepat ke dalam jiwa orang-orang
Islam. Tambahan pula, ulama tidak menyedari akan bahaya fahaman ini. Al-Nadwi melihat
fahaman ini sebagai satu ancaman yang besar kepada umat Islam. Akhirnya,kebanyakan
pemimpin negara Islam adalah hasil daripada pendidikan barat. Inilah sebab utama berlakunya
pertarungan antara dua alam pemikiran yang berlaku di dunia Islam menyebabkan negara Islam
terumbang-ambing. Dalam menghadapi cabaran idealism tersebut umat Islam perlu kembali
melihat keadaan dan hakikatnya yang sebenar, memperbaiki dan membetulkan nilai-nilai agama
dalam diri sendiri dan masyarakat, merombak system ekonomi dengan menghapuskan riba serta
melaksanakan sistem zakat dan baitulmal. Ia bertujuan untuk memperseimbangkan taraf umat
muslimin serta menghapuskan kemiskinan, menekankan kemajuan sains dan ilmu pengetahuan
agar dapat mendekatkan pertaliannya dengan agama serta menubuhkan persatuan umat Islam di
peringkat antarabangsa.
Al-Nadwi menegaskan bahawa dalam menjalankan dakwah Islam, para pendakwah harus
mengamalkan beberapa sikap yaitu pertamanya seseorang itu mestilah mempunyai perasaan cinta
dan keikhlasan iman kepada Allah tanpa sebarang keinginan untuk memperolehi sebarang faedah
kebendaan dan keuntungan lain sebagai penghargaan. Keduanya ia hendaklah meneguhkan
amalan Amru bil makruf dengan cara mengajak manusia supaya melakukan perkara kebaikan dan
melarang daripada kemungkaran. Ketiganya ia hendaklah menjadi contoh atau model seorang
muslim sejati kepada muslim yang lain. Keempat ia hendaklah berbangga menjadi seorang
muslim dan apa yang diserunya. Jika ia mempunyai nilai pemikiran seumpama itu,maka tidak
diragukan lagi bahawa dia akan berjaya di dalam perjuangan yang suci ini.Al-Nadwi berpendapat
bahawa jalan yang paling selamat dalam mendidik umat Islam ialah kembali beriman kepada
Alllah sebagaimana Rasulullah dahulu telah melaksanakannya dengan begitu berkesan.
Kemungkaran dan kerosakan adalah berpunca dari keengganan manusia untuk kembali kepada
penawar dan rawatan nubuwwah. Hanya dengan kembali kepada bentuk didikan di atas sahajalah

8
manusia masa kini dapat diselamatkan sebagaimana manusia pada zaman dahulu diselamatkan
oleh Rasulullah. Oleh itu, beliau menyarankan umat Islam kembali kepada acuan madrasah
kerasulan.
Dalam menghadapi pengaruh barat di dunia Islam al-Nadwi mengakui peranan yang
dimainkan oleh tokoh Jemaah al-Islamiyyah Pakistan Abu Ala al-Maududi dan pemimpin Ikhwan
al-Muslimun di Mesir dalam mengkritik pemikiran barat dan menyorot kelemahan-kelemahannya
dari segi ilmiah dan agama. Al-Nadwi menjelaskan kegagalan agama Kristian dalam
membendung arus kebendaan di barat. Beliau menyebut bahawa agama Kristian telah kehilangan
pengaruhnya ke atas dunia barat dan kekosongan itu diambil alih oleh faham kebendaan semata-
mata, namun agama Kristian gagal mengetengahkan seorangpun yang dapat menentang kekejian
faham kebendaan, membimbing dunia barat kembali kepada asas-asas agama sebenar,
memulihkan keyakinan terhadap agama Kristian yang asli dan mempertahankan nilai-nilai akhlak
daripada fahaman kebendaan dan norma-norma pemuasan hawa nafsu yang wujud dalam budaya
sekarang. Dunia barat telah gagal menghadapi cabaran-cabaran moden dan gagal menemui
penyelesaian terhadap masalah-masalah semasa melalui pandangan agama terhadap kehidupan
dunia ini. Sebaliknya barat telah berputus asa dengan agama Kristian sama sekali. Barat telah
gagal dalam pembinaan insan walaupun mereka berjaya dalam teknologi kini sehingga mampu
terbang di udara seperti burung dan berenang seperti ikan di dalam lautan. Tetapi mereka gagal
bagaimana hendak berjalan di atas dunia ini. Perkara ini disebabkan akal dan jiwa mereka kosong
daripada kerohanian. Mereka muflis dalam pembinaan dalaman diri. Secara ringkasnya, al-Nadwi
memainkan peranan penting dalam menangkis salah faham pemikiran barat terhadap Islam dan
menyarankan umat Islam tidak merasa naif berhadapan dengan barat. Beliau menyebutkan
kemunduran umat Islam bukan sahaja merugikan umat Islam sendiri tetapi dunia keseluruhannya

kata-katanya dalam buku Tarshid al-Sahwah al-Islamiyyah iaitu :


“ Menjadi kewajiban kita menyemarakkan perasaan kepentingan jihad mengikut perspektif al-
Quran.Sesungguhnya revolusi Iman yang membezakan umat ini dengan umat yang lain yang
telahmelahirkan tokoh dan pejuang sepanjang zaman. Pengabaian umat terhadap kepentingan
jihad dan revolusi ini merupakan satu kerugian yang besar, kekosongan yang tidak dapat
digantidengan keluasan ilmu dan ketinggian akal dan tamadun.”

9
Faktor Yang Membentuk Keperibadian Al-Nadwi

Peranan Keluarga

Faktor utama yang membentuk jiwanya ialah didikan ibunya yang sentiasa memberi
perhatian mengenai didikan agama yang bernama Khairunnisa’.Sementara bapanya seorang yang
berpegang kuat kepada ajaran agama.Keluarganya adalah keluarga yang cintakan agama dan ilmu
serta menjadi pengarang buku.Ini termasuk peranan abangnya Dr. Abu ‘Ali al-Hasani
yangmendidiknya sejak kecil.

Peranan Darul Ulum, Nadwatul Ulama

Faktor kedua ialah peranan Darul Ulum yang mendidiknya terutama dalam kesusasteraan
Arab dan kesusasteraan Urdu. Dari sini beliau menelaah kitab-kitab besar dalam kedua-dua
bahasa tersebut. Pada masa ini juga, bakat menulis dan mengarang serta pidato semakin
berkembang

Peranan Syair Iqbal

al-Nadwi begitu kagum dengan syair Iqbal terutama mengenai tema kecintaan dan
keimanan.Begitu juga pertemuan beliau dengan Iqbal yang memberi kesan dalam
pembentukanperibadinya sehingga beliau mengarang buku riwayat hidup Iqbal dan syair-
syairnya yang berjudul Rawa’i’ Iqbal.

Kesan al-Quran dan Sirah Nabi.

Minatnya yang mendalam terhadap al-Quran dan sirah nabi telah memberi kesan yang
besar dalam jiwannya sejak kecil lagi. Beliau belajar al-Quran dengan berguru kepada Ahmad Ali
al-Lahori. Beliau juga merupakan guru tafsir al-Quran semasa mula berkhidmat di Darul Ulum.
Di samping itu, beliau juga menerbitkan buku mengenai al-Quran dan ulum al-Quran. Al-
Nadwi sejak kecil lagi juga berminat membaca buku kisah nabi-nabi dan beliau sendiri mengakui
terpengaruh dengan buku Rahmatan lil ‘Alamin karangan Sulayman al-Mansurpuri yang

10
dibacanya dalam usia 10 tahun.Akhirnya beliau juga mengarang buku sirah al-Nabawiyyah
(sejarah nabi) dan buku yang berkaitan dengan subjek ini.

Hubungan dengan ahli Rabbani dan ahli Sufi.

Antara keistemewaan al-Nadwi dan keluarganya ialah hubungannya dengan ulamak-


ulama rabbani yang mendidik jiwa manusia. Pendidikan ini amat penting dalam membentuk jiwa
manusia. Al-Nadwi juga mengarang buku yang menceritakan kepentingan kejiwaan yang
berjudul Rabbaniah la Rahbaniah. Al-Nadwi sendiri mendapat didikan kerohanian daripada
Abdul Qadir al-Rayfuri dan Muhammad Ilyas al-Kandahlawi.

Kesan Subjek Sejarah dan Sains Kemanusiaan.

Al-Nadwi juga terkenal sebagai seorang yang minat dan pakar dalam bidang sejarah dan
sains kemanusiaan. Tambahan pula, penguasaan yang mendalam dalam bahasa Inggeris
menyebabkan beliau sentiasa terkehadapan dalam menyatakan isu-isu tersebut. Beliau sentiasa
optimis dengan tamadun Islam yang akan memimpin dunia.

Al-Nadwi dan Manhaj Dakwah


Menurut al-Nadwi manusia sekarang ini memerlukan kepada dakwah dan kebangkitan
Islam. Keperluan manusia kepada dakwah islam tidak kurang pentingnya sepertimana keperluan
mereka kepada makanan, air dan udara. Ketiadaan dakwah bukan sahaja membahayakan
masyarakat Islam tetapi juga masyarakat dunia keseluruhannya. Tanpa dakwah Islam seolah-olah
manusia berada seperti sekelompok kambing-kambing yang tidak ada penjaganya atau kapal
yang tidak ada nakhoda.Zaman ini memerlukan kepada kebangkitan Islam lebih daripada zaman-
zaman terdahulu kerana zaman ini penuh dengan gejala syahwat dan syubahat. Zaman yang
penuh dengan falsafah dan ideologi asing. Oleh itu, dakwah dan kebangkitan Islam menjadi
keperluan bagi setiap negara Islam.

11
Al-Nadwi telah menggariskan manhaj dakwah yaitu :

1. Kebangkitan dakwah itu hendaklah bertepatan dengan akidah yang berteraskan al-Quran
danSunnah, amalan Rasulullah, Khulafa al-Rasyidin, para ahli ilmu dan akidah dari
kalangan orang muslim.

2. Pembinaan generasi muda yang mendalami ilmu agama dan pembentukan orientasi
pemikiran yang soleh dan mantap yang menyinari hati-hati mereka. Generasi ini
hendaklah mempunyai hubungan kuat antara iman yang mendalam dengan amalan-
amalan dengan al-Quran, sirah nabi, sejarah Islah dan tajdid yang dapat membimbing
mereka ke arah kepimpinan berwibawa. Dakwah itu hendaklah berkaitan dengan isu-isu
masyarakat semasa, gerakan islam dan aliran-aliran yang bersifat aktif dan pendirian
Islam mengenainya serta kesannya dalam kehidupan.

3. Tidak terlalu negatif terhadap pemerintah dan berjuang pada bukan musuh. Adalah
menjadi kewajipan bagi pendakwah sentiasa bersikap positif dari negatif dan menyeru
mereka memelihara agama Islam dan melaksanakan sisten Islam daripada kita menduduki
tempat tersebut.

4. Pemimpin kebnagkitan Islam dan pendakwah hendaklah bersifat sederhana, zuhud,


bersyukur dan bertawakkal dalam lingkungan syariah sepertimana yang dilakukan oleh
salafus soleh. Kebanyakan juru islah ummah terdiri daripada mereka yang zuhud.

5. Hendaklah mengikat pendakwah dengan semangat berkorban dan kepahlawanan.Jika


sekira semangat ini tidak wujud dalam diri pendakwah nescaya membahayakan dakwah
yang sahih dan kebangkitan Islam. Perkara utama yang sering disuarakan al-Nadwi ialah
sifat pendakwah rabbani. Menurutnya, pendakwah rabbani ini telah berjaya
menyampaikan dakwah dengan baik dan melindungi masyarakat dari kebejatan makhlak
dan moral. Dalam menguatkan hujahnya beliau membawa contoh dakwah yang dilakukan
oleh ahli-ahli rabbani seperti Abdul Qadir Jailani, Jamaluddin, Ahmad al-Sirhindi dan
lain-lain. Menurut al-Nadwi bahawa kekuatan rohani dapat menambahkan semangat

12
kepahlawanan dan perjuangan. Dalam sejarah Islam, pejuang-pejuang Islam adalah terdiri
daripada orang-orang yang jiwanya bersih dan terdidik dengan ibadah dan menikmati
kedudukan rohani yang luhur. Malahan terminal terakhir dalam perjalanan rohaniah ialah
kecintaan untuk gugur syahid. Oleh itu, sifat pendakwah yang utama ialah mempunyai
tahap kerohanian yang tinggi. Sebagai contohnya Amir Abdul Qadir al-Jaza’iri seorang
ahli sufi dan panglima perang. Shakib Arsalam menceritakan kehidupannya : “ setiap hari
dia bangun dan melakukan solat subuh di masjid dekat rumahnya. Tidak pernah
meninggalkannya kecuali jika ia sakit. Dia sering melakukan solat tahajjud dan pada
bulan Ramadhan secara rutin melakukan latihan tarikat sufi. Dia tetap menjadi teladan
dalam kebaikan, takwa dan akhlak yang mulia hingga wafat pada tahun 1883M”.

Al-Nadwi menggunakan manhaj dakwah dengan berteraskan kepada al-Quran kemudian


hadith dan sirah serta kisah-kisah para sahabat. Ini jelas terbukti dalam bukunya Rawa’i min adab
al-da’wah yang mana beliau mengambil contoh-contoh dakwah para nabi-nabi yang bersumberan
al-Quran dan al-Hadith.Di samping itu, beliau mengakui manhaj itu mungkin berbeda dari satu
tempat dari satu tempat yang lain kerama dakwah mesilah mengambil masalah lingkungan ,
sausana dan persekitaran. Oleh itu, dakwah yang berkesan ialah dakwah yang mengambilkira
realiti yang ada. Di samping itu, pendekatan hikmah dan bijaksana perlu diberi perhatian.al-
Nadwi juga menyarankan memahami al-Quran dengan mendalam, sejarah dakwah dan tokoh-
tokoh dakwah serta adab-adab Islam. Kebanyakan bidang tersebut telah ditulisnya untuk
penyediaan kepada para pendakwah.

Yusuf al-Qardhawi menjelaskan keistimewaan dakwah al-Nadwi iaitu :

1. Allah telah memberikannya akal dan hikmah yang dapat melahirkan kalimah-kalimah
yang tepat pada tempat dan masa. Bertegas pada tempat yang memerlukannya dan
berlembut pada tempat yang memerlukannya. Ini yang saya kenali sejak beliau muda
sehinggalah kini.

2. Memiliki ilmu yang luas yang diperlukan oleh seseorang pendakwah sepertimana yang
saya sebut enam perkara ilmu dalam buku saya Thaqafah al-Da’iyyah iaitu ilmu agama,
bahasa, kemanusiaan, Sains dan Semasa.

13
3. Al-Nadwi memilki bakat kesusasteraan yang tinggi. Perkara ini dapat dilihat dalam buku-
buku tulisan dan surat-suratnya. Beliau dibesarkan dalam sausana bahasa Arab sejak kecil

4. Al-Nadwi memiliki jiwa yang hidup dan hati yang sentiasa terikat dengan Allah, rasul dan
agama yang suci ini. Perkataan yang keluar dari hati yang bersih akan memberi kesan
yang besar kepada jiwa seseorang.

5. Al-Nadwi memiliki akhlak dan peribadi yang mulia. Antara akhlaknya ialah lemah
lembut, toleransi, berani, sabar, adil dan jauh dari sifat sombong dan takabur.

6. Al-Nadwi berpegang kepada akidah yang betul iaitu akidah ahli Sunnah wa Jamaah yang
jauh dari perkara syirik, khurafat dan bid’ah yang berleluasa di India.Ini disebabkan
beliau mendapat didikan di madrasah Deoband dan Nadwatul Ulama

Kesimpulannya khazanah pemikiran al-Nadwi haruslah digali oleh generasi kini sebagai
satu panduan untuk kita berkhidmat dalam medan dakwah. Al-Nadwi pernah menyebutkan
kepada murid-muridnya bahawa beliau menulis buku-buku bukan untuk generasinya tetapi
adalah untuk generasi kamu dan seterusnya, bukan untuk tujuan peribadinya tetapi untuk ditatap
oleh generasi seterusnya sebagai bekalan dalam menjalani kehidupan atas muka bumi ini.

14

You might also like