You are on page 1of 13

Force Majeure

Force Majeure atau force mayor bukan lah merupakan terminologi yang asing di
kalangan komunitas Hukum. Force Majeure sendiri secara harafiah berarti “Kekuatan
yang lebih besar”.1 Sedangkan dalam Konteks hukum, force majeure dapat diartikan
sebagai clausula yang memberikan dasar pemaaf pada salah satu pihak dalam suatu
perjanjian, untuk menanggung sesuatu hal yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya,
yang mengakibatkan pihak tersebut tidak dapat menunaikan kewajibannya berdasarkan
kontrak yang telah diperjanjikan.2 Hal yang tidak dapat diperkirakan tersebut tentu lah
juga menciptakan situasi di mana tidak dapat diambil langkah apa pun untuk
mengeliminir atau menghindarinya. Jadi seharusnya kedua criteria tersebut terpenuhi
untuk diterimanya dalil force majeure karena terjadinya suatu event. Bagaimana kalau
salah satu pihak yang terikat dalam kontrak sepatutnya mengetahui atau menyadari
bahwa atas kontrak yang ditandatanganinya akan tak terhindarkan dan tak dapat
dieliminir terjadi suatu event tertentu di masa mendatang berakibat tidak terlaksananya
kewajiban sebagaimana digariskan dalam kontrak?

Dalam ruang lingkup yang lebih spesifik, terdapat istilah “Acts of God”, yang merupakan
cakupan dari Force Majeure itu sendiri3. Sesungguhnya dapat diuraikan bahwa Force
Majeure Clause adalah klausula yang memberikan dasar pemaaf atas terjadinya event-
event atau kejadian-kejadian tertentu yang dialami pihak tertentu. Event-event atau
kejadian-kejadian tersebut dapat berupa kejadian atau event yang tergolong sebagai
kehendak Tuhan (Acts of God) seperti banjir, gempa bumi dan Tsunami atau kejadian
yang tidak tergolong sebagai kehendak Tuhan seperti krisis ekonomi, terhentinya proses
produksi karena unjuk rasa dll.

Pengadilan di Kanada telah mengembangkan “doctrin of Frustation” terhadap perkara-


perkara atas terjadinya force majeure karena Acts of God.4 Jika dalam suatu perkara,
terdapat hal-hal yang memenuhi kriteria, maka Pengadilan akan melepaskan kewajiban
para pihak yang terlibat dalam perjanjian dikarenakan terjadinya peristiwa force majeure
tersebut.
Sedangkan di Inggris, doctrin of Frustration diperkenalkan melalui The Implied Term
Test. Test tersebut dilakukan oleh Pengadilan dengan cara menganalisa kontrak yang
dibuat oleh para pihak. Indikasinya adalah

Salah satu kasus yang menjadi rujukan utama berkaitan dengan force majeure adalah
Atlantic Paper Stock Limited v. St. Ane-Nackawic Pulp & Paper Co. Ltd yang
diputuskan oleh Canada Supreme Court.5 Keduanya berdasarkan kontrak yang telah
disepakati, Atlantic Paper Stock Limited berkewajiban menyediakan bahan baku berupa
sisa atau sampah kertas untuk diolah oleh St. Ane-Nackawic Pulp & Paper Co. Ltd .
Dalam kontrak disepakati bahwa St. Anne akan menyediakan minimal 10.000 ton bahan
baku sisa atau sampah kertas. Kewajiban tersebut menjadi pupus ketika terjadi atau
sebagai akibat dari Acts of God (Klausula Force Major), tindakan musuh Ratu atau
musuh masyarakat, Penegak Hukum, buruh mogok atau kerusuhan oleh buruh, perusakan
atau kerusakan terhadap fasilitas produksi atau ketiadaan di pasar bubur kertas (pulp) atas
bahan baku yang dibutuhkan. Ternyata setelah jangka waktu 14 bulan, St. Anne
memberitahukan kepada Atlantic tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai akibat
“ketidaktersediaan bahan baku di pasar”. Pengadilan berpendapat bahwa
“ketidaktersediaan bahan baku di pasar” memenuhi klausula force majeure. Hal ini
karena klausula force majeure pada umumnya terkait dengan hal-hal yang tidak dapat
diprediksi dan di luar keadaan yang bersifat normal.

Selain hal-hal yang tidak dapat diprediksi dan di luar keadaan yang bersifat normal,
dalam konteks perdagangan internasional terdapat juga hal-hal yang tidak tergolong
sebagai force majeure tapi berakibat terjadinya ketiadaan equilibrium pada para pihak
yang terlibat dalam perjanjian, yang dikenal sebagai hardship.6 Hanya saja cakupan dari
hardship adalah event yang terjadi atau keadaan yang timbul sifatnya memberatkan salah
satu pihak tetapi masih memungkinkan untuk dilaksanakan. berbeda halnya dengan
terjadinya event atau timbulnya kondisi force majeure, di mana pihak yang mendalilkan
benar-benar tidak dapat melaksanakan kewajiban kontraktualnya oleh karena hal-hal atau
keadaan yang terjadi benar-benar tidak dapat ditanggulangi. Sehingga dalam hal
terjadinya hardship masih dapat dirundingkan oleh para pihak untuk menerapkan
perjanjian berdasarkan situasi dan kondisi terakhir. Sedangkan dalam hal terjadinya force
majeure, tidak ada solusi karena pihak yang mendalilkan telah gagal dalam menunaikan
kewajiban kontraktualnya.

Definisi hardship sendiri dapat dilihat pada pasal 6.2.2 UNIDROIT:

There is hardship where the occurrence of events fundamentally alters the


equilibrium of the contract either because the cost of a party's performance has
increased or because the value of the performance a party receives has
diminished, and

(a) the events occur or become known to the disadvantaged party after the
conclusion of the contract;

(b) the events could not reasonably have been taken into account by the
disadvantaged party at the time of the conclusion of the contract;

(c) the events are beyond the control of the disadvantaged party; and

(d) the risk of the events was not assumed by the disadvantaged party."7

Jadi berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi inti
permasalahannya adalah terjadinya ketidakseimbangan beban yang harus dipikul oleh
salah satu pihak sebagai akibat perubahan kondisi yang tidak dapat diprediksi, tetapi
masih dapat tertanggulangi dengan melakukan penyesuaian.

Secara konseptual, force majeure dan hardship di anut tidak jauh berbeda oleh
Inggris dan Amerika Serikat.

Inggris sebagai negara Common Law menganut prinsip strict liability atas
terjadinya pelanggaran, berpedoman bahwa terjadinya suatu event, yang menyebabkan
tidak dapat dilaksanakannya suatu prestasi setelah ditandatanganinya suatu perjanjian,
tidak lah menjadi dasar pemaaf untuk tidak melaksanakan prestasi tersebut.8 Prinsip ini
diterapkan di Inggris sampai tahun 1863, yang mana dalam kasus Taylor v. Caldwell,
pengadilan menjadi lebih longgar dengan berpendapat bahwa strict liability hanya dapat
diterapkan pada kontrak yang jelas dan tegas, tidak tergantung pada timbulnya suatu
keadaan tertentu atau hal tertentu di masa mendatang baik tersurat maupun tersirat.
Perubahan pandangan tersebut juga membuka jalan untuk masuknya doctrine of
Impossibility dalam hukum Inggris, yang mnejadi dasar Concept of Frustration. Konsep
ini mendasarkan interpretasi pada kehendak para pihak yang terpaksa memberikan
prestasi dan kontraprestasi dengan keadaan jauh berbeda dari ketentuan dalam kontrak
sehingga perjanjian menjadi frustasi. Oleh karena itu konsepnya dikenal dengan istilah
Concept of Frustration. Konsep ini sendiri tercipta dari kasus – kasus Coronation , seperti
pada suatu kasus, sebuah apartemen telah disewa untuk sehari karena letaknya yang
strategis dapat secara khusus melihat Coronation Parade of Edward VII. Ternyata parade
dibatalkan karena sakitnya Raja Edward. Akibat dibatalkannya parade tersebut, penyewa
menolak untuk membayar karena tidak jadi mempergunakan apartmen untuk menonton
parade. Pemilik tidak terima dan menggugat ke Pengadilan untuk pembayaran uang sewa
apartment. Pengadilan memutuskan perjanjiannya sudah frustasi karena dasar dan esensi
untuk mengeksekusi telah jauh berbeda dengan intensi yang telah diperjanjikan para
pihak.

Amerika Serikat juga menganut doctrine of Impossibility sebagaimana terdapat


US Restatement (Second) of Contracts dan the Uniform Commercial Code.9 Pada Section
261 of the Restatement (Second) dengan judul "Discharge by Supervening
Impracticability" terkesan jelas dianutnya doktrin tersebut:

"Where, after a contract is made, a party's performance is made impracticable


without his fault by the occurrence of an event, the non-occurrence of which was
a basic assumption in which the contract was made, his duty to render that
performance is discharged, unless the language or the circumstances indicate the
contrary."

Jadi terlihat, bahwa suatu prestasi yang diperjanjikan sebelumnya dapat tidak
direalisasikan dengan sebab terjadi atau tidak-nya hal-hal yang telah digariskan. Bila
melihat redaksionalnya, terlihat bahwa event tersebut berada pada tataran force majeure
bukan hardship. Hal ini karena suatu hal atau tindakan tertentu tidak dapat dilaksanakan
tentulah disebabkan kondisi untuk terciptanya atau dilakukannya hal terkait tidak ada
atau keadaan pada waktu perbuatan atau event itu akan dilakukan atau terjadi
kontraproduktif.

Tetapi kategori Impossibility itu sendiri sebenarnya bukanlah berarti selalu identik
dengan force majeure dalam arti tidak mungkin untuk melaksanakan, terbuka
kemungkinan hardship pun dimasukkan oleh para pihak ke dalam klausul force majeure.
Hal ini karena tidak mungkin itu dapat juga diartikan bahwa kalau dipaksakan untuk
dilaksanakan akan mengakibatkan terjadinya kerugian yang besar bagi pihak terkait, yang
mana hal ini tentu saja dapat dirundingkan dengan mitra perjanjian agar prestasi dapat
dilaksanakan dengan beberapa penyesuaian. Jika para pihak sebelumnya telah
menggariskan bahwa perubahan keadaan yang kontraproduktif bagi salah satu pihak
tergolong sebagai force majeure meski masih memungkinkan untuk dilaksanakan (yang
mana keadaan ini sebenarnya masih dalam tataran hardship), tentunya klausul tersebut
akan tetap berlaku sebagai klausul force majeure. Atau dengan kata lain, “impracticabe”
tidak selalu identik dengan ketidak mungkinan, melainkan dapat diartikan karena lebih
memberatkan salah satu pihak melebihi dari apa yang telah diperjanjikan, sebagaimana
dapat dilihat pada The Uniform Commercial Code dalam Section 2-615:

"Except so far as a seller may have assumed a greater obligation and subject to the preceding section on
substituted performance: (a) Delay in delivery or non-delivery in whole or in part by a seller who
complies with paragraphs (b) and (c) is not in breach of his duty under a contract for sale if
performance as agreed has been made impracticable by the occurrence of a contingency the non-
occurrence of which was the basic assumption on which the contract was made or by compliance
in good faith with any foreign or domestic governmental regulation or order whether or not it later
proves to be invalid."

Tetapi teori-teori di atas tampak terlalu abstrak akibat ketiadaan suatu contoh kongkret
yang spesifik. Oleh karena itu pembahasan pada bab-bab selanjutnya akan difokuskan
pada penguraian contoh.
Posisi Kasus

X , sebuah perusahaan pengelola pembangkit listrik mengadakan perjanjian


pengadaan batu bara dengan XXX, trader batu bara, sebanyak 2 kali pengapalan sebesar
65,000 MT + 10% menurut opsi penjual untuk periode 1 November 1999 sampai 31
Februari 1999 untuk batu bara yang hanya berasal dari Batu licin, dengan harga US$
29,75 per metric ton untuk batu bara berkalori 6250 kcal/g pada saat diterima.

Kontrak ini realisasinya tergantung pada kesuksesan “trial burn” test atas “trial
barges” yang ditentukan melalui kontrak yang berlainan. Terdapat pembatasan-
pembatasan bagi penjual dalam kontrak pengadaan tersebut, yakni batu bara hanya boleh
berasal dari daerah Batu Licin di Kalimantan dan muatan batu bara harus homogen pada
setiap kargo serta moda transportasinya juga tidak boleh mempergunakan selain yang
digariskan pada perjanjian. Jika pembatasan tersebut diabaikan, maka terlepas dari segala
hak yang dimiliki oleh Penjual, Pembeli akan menolak batu bara di pelabuhan Pembeli.
Yang mana sebagai dampak atas penolakan itu, Penjual diharuskan memberikan ganti
rugi atas segala biaya yang dikeluarkan oleh penjual untuk terlaksananya pembelian batu
bara tersebut. Selain itu Penjual diharuskan mengangkut kembali kargonya serta
menanggung segala kerugian atau kerusakan yang berkaitan dengan penolakan Pembeli
atas batu bara tersebut. Selain itu penjual diharuskan menempuh segala upaya untuk
mengurangi dan meminimalisir debu pada batu bara selama pengangkutan dari
pertambangan ke pelabuhan pemuatan dan dari tempat pemberangkatan sampai pada
pelabuhan tujuan.

Berkaitan dengan kualitas batu bara dalam setiap pengapalan, akan ditentukan
oleh Pemeriksa Independen yang berkompeten, dipilih atas kesepakatan kedua belah
pihak. Dalam kontrak juga terdapat “representative sample”, yaitu contoh batu bara yang
kurang dari satu kilogram, dibungkus dengan disegel memakai metal yang akan diuji oleh
Pemeriksa Independen tersebut. Pemeriksa kemudian menyiapkan sekitar 700 gram
contoh dari batu bara yang akan dikapalkan bersamaan diangkutnya kargo tersebut
dengan disegel memakai metal dan dituliskan “contractual sample”.

Adapun batasan kualitas yang juga akan menimbulkan hak bagi Pembeli untuk
menolak kargo dari Penjual kalau:

1. Volatile matter on air dried basis less than 26%


2. Inherent moisture exceeds 8% on air dried basis
3. Total moisture on received basis excess of 13%
4. Ash content exceeds 12% on air dried basis
5. Sulphur content exceeds 0,9 % or is below 0,2% on air dried basis
6. Chlorine content exceeds 0,05% on air dried basis
7. Ash fusion temperature (initial deformation) in a reducing atmosphere is below 1,
135° C.
8. Hardgrove grindability index is below 35
9. Gross calorific value is below 6,250 kcal/kg on air dried basis

Perjanjian juga mengatur dalam hal Pembeli akan mengeksekusi haknya untuk
menolak batu bara yang sampai di pelabuhan Pembeli, sebelumnya Pembeli melakukan
pemberitahuan kepada Penjual dan para pihak akan bertemu untuk mencari solusi.

Dalam kontrak juga diatur penyesuaian-penyesuaian yang dapat dilakukan


berkaitan dengan ketidaksesuaian kargo yang masih dapat diterima oleh Pembeli, yaitu:

1. Penyesuaian harga karena kadar Kalori


Kadar kalori yang dijadikan acuan adalah 6,250 kcal/g pada saat diterima. Jika
pada salah satu pengapalan, kadar kalori kotor (gross calorific value) melebihi atau
kurang dari 6,250 kcal/g ketika diterima, maka penyesuaiannya mengikuti rumus:

G - 6,250

Penyesuaian = F x (--------------)

6,250

F = harga CIF permetrik ton

G = Nilai kalori kotor kargo dalam satuan kcal/kg ketika diterima

2. Kompensasi harga karena kadar abu dan sulphur

Kalau kadar abu (on air dried basis) dan kadar sulphur (on air dried basis) pada
kargo yang diterima melebihi yang diperjanjikan, maka Penjual diharuskan memberikan
kompensasi kepada Pembeli berdasarkan rumus:

Kompensasi = US$ 0,40/MT x (F% - F1%) / 1,0% +

US$ 0,52/MT x (H% - H1%) / 0,1%

F = kandungan abu sesungguhnya (on air dried basis) sebagaimana tercantum


dalam sertifikat analisa kualitas dari Penilai

F1 = kandungan abu yang diperjanjikan oleh Penjual sebagaimana tercantum


dalam perjanjian

H = kandungan sulphur sesungguhnya (on air dried basis) sebagaimana tercantum


dalam sertifikat analisa kualitas dari Penilai

H1 = kandungan sulphur yang diperjanjikan oleh Penjual sebagaimana tercantum


dalam perjanjian

Tetapi harus diingat bahwa kompensasi di atas hanya berlaku ketika kualitas
masing-masing elemen tersebut melebihi batas minimal dari kadar yang diperjanjikan.
Penjual tidak akan mendapat kompensasi kalau kadar masing-masing elemen lebih
rendah dari yang diperjanjikan.
3. Kompensasi atas batu bara yang melebihi ukuran

Jika terdapat sejumlah batu bara dalam suatu pengapalan yang melebihi ukuran 70
mm, maka berat batu bara yang melebihi ukuran tersebut berakibat berat yang tercantum
di B/L dikurangi berat batu bara yang melebihi ukuran tersebut. Jika batu bara yang
melebihi ukuran mencapai lebih dari 3% dari total batu bara pada suatu pengapalan, maka
Pembeli dapat menolak batu bara tersebut.

Event Force Majeure

Adapun klausul force majeure dalam kontrak antara X dengan XXX adalah
bahwa tidak ada satu pihak pun yang harus bertanggung jawab terhadap pihak lainnya
berkaitan dengan pengadaan, pengiriman dan penerimaan batu bara dalam hal terjadinya
“force majeure” event, termasuk tapi tidak terbatas pada:

1. perang, krisis perang, kekerasan, aksi pemberontak atau belligerent, sabotase


blokade, ketidakamanan, revolusi, kekacauan atau ketidaktertiban
2. penawanan atau penahanan pangeran, penguasa atau orang.
3. perampasan, penyitaan atau nasionalisasi
4. embargo, pembatasan ekspor atau impor baik disebabkan oleh Undang-undang,
SK maupun hukum
5. keadaan darurat militer atau darurat sipil
6. kebakaran, gempa bumi, petir, gelombang, acts of God, kapal pengangkut disita
7. kehilangan tonnase kapal karena ditenggelamkan oleh belligerent atau disita
Pemerintah baik secara formal maupun tidak
8. kecelakaan pada jalur kereta, pelabuhan, fasilitas dok pemuatan barang, selat atau
pada lalu lintas laut
9. epidemi atau karantina
Jika salah satu event force majeure di atas terjadi, maka pihak yang
mengalaminya memberitahukan kepada mitra-nya, untuk dimusyawarahkan bersama-
sama guna dicari jalan keluar yang konstruktif dan produktif bagi kedua belah pihak.
Selain itu terdapat kewajiban bagi pihak yang terkena force majeure tersebut
mengupayakan penyelesaian atas event itu berdasarkan itikad baik secepat dan sebaik
mungkin.

Hal-hal yang diatur diatas terkesan cukup rigid dan lebih berpihak kepada
pembeli. Hak tolak yang dapat di eksekusi kalau lebih dari 3% ukuran batu bara pada
suatu pengapalan melebihi 70 mm tentunya bukanlah merupakan hal yang mudah bagi
pihak penjual. Ternyata penjual bukanlah produsen atau pemilik tambang, yang mana
untuk memenuhi perjanjian tersebut, XXX mengadakan perjanjian dengan BF pada harga
US$ 22,9 per metric ton FOBT Vessel atau US$ 21,4 FAS Vessel.

Tetapi perjanjian jual-beli dengan BF ternyata diadakan tidak dengan criteria yang
lebih ketat yaitu:

1. Volatile matter on air dried basis less than 40% - 44%


2. Inherent moisture exceeds 6% on air dried basis
3. Total moisture on received basis excess of 8% - 11%
4. Ash content exceeds 8% - 11% on air dried basis
5. Sulphur content exceeds 0,7 % standard; 0,9% maximum
6. Gross calorific value is 6350 kcal/kg on air dried basis
7. ukuran 0-70 mm sebesar 90%

Selain criteria di atas, terdapat metode penyesuaian harga dikaitkan dengan Total
moisture (as Received Basis) dan Gross Calorific Value (air dried).

Total Moisture yang melebihi 11% pada musim kering dan 10% di musim hujan
pada saat kargo diterima, akan mengakibatkan berat kargo tersebut dikurangi dalam
perhitungan untuk invoice dengan rumus:
Invoice weight = 111- Actual TM x B/L weight

100

Gross Calorific Value (air dried) berada di atas atau di bawah 6350 Kcal/kg, maka akan
diadakan penyesuaian berdasarkan rumus:

Adjusted FOBT/FAS Price = Base FOBT/FAS Price x (Actual GCV on Air Dried)

6500

Ternyata, BF juga merupakan broker, yang mana untuk memenuhi kewajibannya,


mengadakan perjanjian dengan BKP, sebuah perusahaan pengelola tambang di
Kalimantan, dengan criteria:

1. Total moisture 9%
2. Inherent moisture 7%
3. Volatile matter 41%
4. Gross Calorific Value 6500 Kcal/ Kg
5. ukuran 0 – 50 mm = 95%

BF merupakan salah satu perusahaan afiliasi untuk pemasaran batu bara yang
dihasilkan oleh BKP. BKP sebagai produsen batu bara, tidak tergantung pada BF karena
terdapat beberapa perusahaan lain yang mendapatkan hak untuk memasarkan batu bara
yang dihasilkan oleh tambang-tambang BKP.

Ternyata sampai akhir periode pengapalan, tidak ada batu bara yang diterima oleh
X meski telah dimintakan konfirmasi sesuai mekanisme yang ada di kontrak, meski XXX
telah mendalilkan telah terjadi force majeure berkaitan dengan kewajibannya terhadap X
disebabkan oleh factor alam. Faktor alam ini antara lain karena pada rentang waktu
kontrak merupakan musim penghujan, yang mana produksi batu bara pada musim hujan
lebih sulit karena berkaitan dengan masalah kualitas batu bara yang digali. Akhirnya
sesuai pilihan forum pada kontrak, masalah ini diajukan ke forum arbitrase.

Dalil Force Majeure XXX tidak dapat diterima karena berdasarkan investigasi
yang dilakukan X, BKP masih terus berproduksi yang diindikasikan dengan tetap adanya
arus pengangkutan batu bara dari lokasi pertambangan ke pelabuhan serta hal-lain yang
didapat tim yang dikirim oleh X. Oleh karena itu X membawa permasalahan tersebut ke
arbitrase. Selain itu X juga menyampaikan pada XXX atas data yang diperoleh dari
investigasinya. Oleh karena XXX tidak memiliki hubungan langsung maupun afiliasi
dengan BKP, XXX menghubungi BF untuk memverifikasi data yang diperoleh pihak X
atas BKP. BF berdasarkan data yang diperoleh dari BKP menyatakan bahwa informasi
yang diperoleh tidak akurat, karena kapasitas produksi BKP pada musim penghujan
benar-benar berkurang drastis, sehingga BKP memprioritaskan pada afiliasinya yang
memenuhi kebutuhan pembeli yang telah lama menjalin hubungan bisnis.

XXX tidak dapat memenuhi kewajiban disebabkan BF tidak mendapatkan supply batu
bara dari BKP sebagai produsen. Tetapi harus dilihat terlebih dahulu apakah BKP
menjadi penyebab utama, karena perlu diperhatikan apakah antara BF dengan BKP
memiliki kesepakatan tertentu serta jatah minimal bagi BF ketika musim hujan. Selain itu
tentunya harus dilihat apakah X memperbolehkan XXX untuk mengambil batu bara dari
sumber lain, kalau tidak tentu lah BF tidak bias mencari alternatif lain. Jika
diperbolehkan, maka harus dilihat lebih lanjut hal yang menyebabkan XXX atau pun BF
tidak berusaha mencari supplier lain untuk memenuhi pesanan. Hal yang seharusnya
dilakukan oleh XXX adalah berusaha untuk menegosiasikan kepada X agar
diperbolehkan mengambil batu bara dari tempat lain. Force majeure yang terjadi dapat
menjadi hardship kalau periode pengapalan masih memungkinkan untuk dipenuhi dan
tidak lah merupakan harga mati dari pihak X bahwa batu baranya harus lah berasal dari
lokasi penambangan tertentu. Oleh karena itu Force Majeure dalam kasus ini bukanlah
tergolong Force Majuere yang disebabkan karena Acts of God. Hal ini karena musim
penghujan merupakan hal yang biasa di negara tropis seperti Indonesia, yang mana pada
musim tersebut terjadi penurunan kapasitas produksi yang cukup signifikan bagi
produsen batu bara. Oleh karena itu XXX seharusnya mempertimbangkan apakah
perjanjian yang dibuat dengan X cukup berimbang atau berat sebelah. Jika klausul yang
diperjanjikan bagi X adalah sebuah harga mati, seharusnya dapat diketahui dan
ditegaskan oleh XXX bahwa yang diminta tidak akan berubah terlepas kondisi apa pun,
yang mana akan menimbulkan konsekwensi logis pada penetapan harga adalah harga
premium. Tapi tentu saja semua tergantung pertimbangan XXX, ketika XXX pada saat
perjanjian menyanggupi dan sepenuhnya menyadari bahwa X memang sejak
ditandatanganinya perjanjian hanya menginginkan apa yang telah diperjanjikan, maka
ketidakmampuan XXX untuk memenuhinya disebabkan factor cuaca pada periode
pengapalan, XXX tidak dapat mendeklarasikanForce Majuere melainkan menyatakan
dirinya Wanprestasi. Tetapi keadaan akan menjadi sangat berbeda situasinya ketika
beberapa tambang BKP dilarang beroperasi oleh Pemerintah Daerah di mana daerah-
daerah tambang terkait terletak dan atau beberapa daerah tambang mengalami musibah
longsor yang terjadi tidak seperti tahun-tahun sebelumnya karena curah hujan jauh lebih
deras dari ttahun-tahun sebelumnya, dengan membawa dampak pada terhentinya
produksi selama periode pengapalan. Pada situasi seperti ini lah X dapat menyatakan
dirinya Force Majeure untuk dapat memenuhi kewajibannya kepada X dengan asumsi
yang diinginkan adalah sesuai perjanjian dan tidak dapat dinegosiasikan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa dalil Force Majeure tidak berlaku semata-mata untuk
segala situasi yang menghambat atau menghalangi suatu pihak untuk melaksanakan
kewajibannya, melainkan haruslah disebabkan karena keadaan yang terjadi tersebut
merupakan hal yang tidak dapat diduga atau di luar kebiasaan yang biasanya terjadi
dalam situasi normal.

You might also like