You are on page 1of 4

Sudah lama masyarakat mengkhawatirkan gejala makin tumbuh suburnya komersialisasi di

bidang pendidikan. Gejala ini bisa dilihat dari makin banyaknya pihak yang menggunakan lembaga
pendidikan sebagai alat untuk mengeruk keuntungan finansial. Di mana-mana, dapat ditemukan
fenomena yang nyaris serupa: banyak sekolah dan perguruan tinggi menarik iuran tinggi kepada murid
atau mahasiswanya, dengan maksud untuk memperbesar margin keuntungan ekonomi bagi lembaga
penyelenggara pendidikan tersebut.

Komersialisasi, mau tak mau, akan menyebabkan penyelenggara lembaga pendidikan


menempatkan profit sebagai sasaran utama. Sementara kegiatan belajar-mengajar—yang seharusnya
menjadi ruh dari aktivitas lembaga pendidikan—justru hanya dijadikan sasaran antara. Perubahan skala
prioritas ini, jelas akan sangat mempengaruhi aktivitas lembaga pendidikan, terutama dalam hal-hal
yang berkaitan dengan masalah likuiditas.

Subordinasi aktivitas pendidikan di bawah aspek komersial pada akhirnya melahirkan sistem

pendidikan yang sangat dipengaruhi hukum pasar, dimana posisi tawar di dunia pendidikan

sangat ditentukan oleh daya beli seseorang. Dengan bahasa yang lebih sederhana, orang-orang yang
memiliki banyak uang atau yang berdaya beli tinggilah yang memiliki akses lebih

besar untuk menikmati pendidikan. Sementara orang-orang miskin, orang-orang terpinggirkan, dan
vulnerable people—yang sejatinya lebih membutuhkan pendidikan—justru tersingkir.

Dalam situasi semacam inilah, pendidikan dianggap tidak memihak kepada rakyat, namun

sebaliknya menjadi abdi dan alat kapitalis. Imbas lain dari komersialisasi pendidikan

adalah semakin menurunnya mutu pendidikan. Hal ini bisa terjadi, karena dalam praktek pendidikan
yang komersialistis, penyelenggara lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas. Keberhasilan
pendidikan tidak lagi diukur dari kapasitas intelektual alumni yang dihasilkan, akan tetapi dari berapa
jumlah peserta didik yang dapat ditampung. Jumlah yang besar dianggap lebih penting, karena berkaitan
langsung dengan peningkatan pendapatan lembaga.

Di tengah upaya pemerintah mengupayakan pendidikan yang berkualitas merata dan terjangkau,
komersialisasi pendidikan merupakan masalah besar yang harus segera dicarikan jalan keluar
pemecahannya. Jika tidak segera diberantas, bukan tak mungkin dalam jangka panjang komersialisasi
akan membawa sistem pendidikan Indonesia ke titik nadir.

Terkait dengan upaya tersebut, sudah seharusnya kita menyambut Undang-undang Badan

Hukum Pendidikan (UU BHP) dengan sikap optimistis. Bukan karena undang-undang tersebut

bisa menjadi panasea—obat mujarab—bagi sistem pendidikan nasional yang sedang dihinggapi penyakit
komersialisasi, akan tetapi paling tidak bisa mencegah agar penyakit itu tidak berkembang semakin
kronis.
Semangat UU BHP pada intinya berupaya menciptakan pendidikan nirlaba yang berkualitas.

Nirlaba berarti BHP tidak boleh mengambil keuntungan dari penyelenggaraan pendidikan.

BHP juga diharuskan membantu kalangan tidak mampu, dengan menerima anak-anak

yang potensi akademiknya tinggi namun kurang mampu secara ekonomi, serta memungut

dana masyarakat maksimal 1/3 dari biaya operasional.

Sedangkan berkualitas diupayakan dengan mewajibkan BHP memenuhi organ-organ pengelolaan


pendidikan, dengan dijelaskan secara rinci mengenai fungsi, tugas, peran dan struktur masing-masing
organ tersebut; memberikan otonomi pengelolaan pendidikan formal; mengatur akuntabilitas publik
dan transparansi; mengupayakan kejelasan status SDM tenaga kependidikan; serta memberikan
pelayanan terbaik pada pemangku kepentingan melalui prinsip penjaminan mutu dan layanan prima.

Ketentuan dalam UU BHP secara jelas menggambarkan bahwa BHP justru sangat menghindari terjadinya
komersialisasi dan kapitalisasi dalam pendidikan. Sangat tidak beralasan jika ada pihak-pihak yang
berpikiran bahwa UU BHP diciptakan untuk melegalkan komersialisasi yang dilakukan penyelenggara
pendidikan.

Lebih dari itu, UU BHP juga mengatur sanksi bagi BHP yang tidak melaksanakan aturan-aturan yang
sudah termaktub dalam undang-undang, baik berupa sanksi administratif berupa

teguran, penghentian pelayanan, penghentian hibah, hingga pencabutan izin. Sementara itu,

BHP yang menyalahgunakan kekayaan dan pendapatannya seperti mengambil keuntungan dari kegiatan
pendidikan, dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama lima tahun dan dapat ditambah dengan
denda paling banyak Rp500 juta.

Adanya sanksi administratif, pidana dan denda bagi pelanggar UU BHP menunjukkan

bahwa pemerintah bersungguh-sungguh ingin menciptakan sistem pendidikan nasional yang

bebas dari komersialisasi, berkualitas dan berpihak kepada masyarakat miskin. (

Ditengah kondisi ekonomi yang masih belum pulih dari krisis berkepanjangan, tingkat keinginan generasi
muda untuk meraih pendidikan di perguruan tinggi mulai berkurang. Tidak hanya generasi muda saja
yang berkurang gairah menuntut ilmu, namun beban orang tua untuk membiayai pendidikan putra-
putrinya ke bangku perguruan tinggi juga akan semakin berat. Sehingga muncul stigma baru “buat apa
sekolah tinggi-tinggi, uang habis, toh nantinya akan jadi pengangguran juga”.

Sepertinya dunia pendidikan kita tidak pernah lepas dari masalah. Selalu muncul polemik, mulai dari
nasib guru, uang sekolah/SPP (Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan) yang mahal, insiden soal SPMB
(Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), masalah kualitas dan mutu pendidikan, hingga masalah
komersialisasi pendidikan, terutama di perguruan tinggi.

Kasihan sekali buat calon mahasiswa yang akan masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di kota Padang
tahun ini. Karena mereka harus menanggung beban biaya pendidikan yang lebih mahal (naik sampai 100
%) dari biaya tahun lalu. Hal ini buah dari menguatnya liberalisasi ekonomi dan kapitalisasi di sektor
pendidikan.

Dalam sistem kapitalis, peran negara di minimalisasi, negara hanya sebagai regulator. Sehingga peran
swasta pun dioptimalkan. Muncullah istilah-istilah baru yang sebenarnya menipu, seperti otonomi
kampus yang intinya negara lepas tangan terhadap dunia pendidikan. Akibatnya, sekolah dan kampus
harus jungkir-balik mencari dana. Jalan pintas yang diambil PTN adalah menaikkan biaya pendidikan.
Jadilah pendidikan semakin mahal dan sulit dijangkau kalangan menengah ke bawah.

Ancaman komersialisasi menjadi kenyataan ketika perguruan tinggi berubah statusnya menjadi PT
BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara) yang kemudian diperkuat dengan RUU BHP (Badan
Hukum Pendidikan). Alasannya, memang kelihatannya bagus seperti meningkatkan transparansi,
akuntabilitas, dan jaminan mutu. Namun, praktiknya adalah kapitalisasi pendidikan. Ciri-cirinya seperti
peran negara diminimalkan dan pendidikan lebih diserahkan kepada masyarakat. Lagi-lagi yang muncul
adalah masalah pendanaan. Perguruan Tinggi akhirnya harus banting tulang untuk mencari sumber
pendanaan mulai dari buka bisnis sampai yang paling gampang menaikkan biaya pendidikan (SPP
mahasiswa).
Akibatnya, pendidikan menjadi barang mewah dan sulit dijangkau oleh mereka yang berkantong tipis.
Alasan yang mendasari terjadinya privatisasi tidak lain untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Pemerintah sering dianggap kurang mampu mengelola pendidikan. Akibatnya, lembaga pendidikan
menjadi tidak efisien, tidak kompetitif, dan tidak berkembang.

Muncul rumus baru yakni sesuatu yang berkualitas itu mahal. Tapi kalau begitu hanya orang tertentu
saja yang bisa menikmati, bagaimana dengan yang lain yang justru sebagian besar warga negara ini, apa
mereka tidak boleh menikmati pendidikan yang bermutu? apakah pendidikan berkualitas hanya bagi
mereka yang punya uang? Jawabannya sudah jelas tidak, karena di negara lain termasuk negara
tetangga kita pendidikan dapat dirasakan oleh semua orang, kaya maupun miskin.

Pemerintah seharusnya mampu mengupayakan suatu pendidikan yang berkualitas tetapi dapat
dijangkau. Ingat masa depan negeri ini ada di tangan generasi muda bukan pada kekayaan yang dimiliki
oleh sebuah PTN. Jadi pikirkanlah nasib mereka agar mereka dapat memperoleh pendidikan yang sejajar
dengan bangsa-bangsa lain hingga mereka mampu bersaing di tengah persaingan global. Bukannya
menawarkan konsep BHMN PTN yang terkesan ingin lepas tanggung jawab.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah. Namun, bukan berarti hal itu dibebankan kepada
masyarakat. Kewajiban Pemerintahlah yang seharusnya menjamin pendidikan setiap rakyatnya baik
kaya maupun miskin (amanat konstitusi negara), dengan akses yang mudah untuk pendidikan yang
bermutu. Saat ini, status PT-BHMN memberikan peluang yang besar untuk memandulkan peran
Pemerintah dalam sektor pendidikan. Dana pendidikan akan terpotong hingga tinggal 8% (Kompas,
10/5/2005). Kondisi ini tidak terlepas dari tekanan utang dan kebijakan pembayaran utang luar negeri.

Kebijakan yang sensitif seperti menaikkan biaya SPP perlu didahului dengan proses pembahasan dan
pertimbangan yang matang melibatkan semua unsur termasuk mahasiswa sebagai objek kebijakan
tesebut. Apakah sudah dipertimbangkan dengan masak biaya pendaftaran yang ditetapkan PTN tahun
2007 dapat terjangkau oleh sebagaian besar masyarakat Sumatera Barat?

Bagi para pengelola PTN harus berani terbuka dan transparan sehingga tidak ada kecurigaan dan pada
sisi lain kebijakannya akan mudah dipahami oleh masyarakat. Karena kebetulan saja tahun ini tidak ada
protes atau perlawanan dari mahasiswa, mungkin mahasiswa sekarang adalah dari golongan mampu
dan berpunya.

Mahasiswa jangan semata dijadikan objek pendanaan. Persoalan finance perguruan tinggi perlu
dicarikan jalan keluarnya, bukannya mempersulit akses masyarakat untuk belajar di PTN dengan
menaikkan biaya masuk dan SPP mahasiswa baru. PTN semakin tidak memberikan tempat bagi si miskin,
padahal idealnya PTN adalah tempat berkumpulnya anak bangsa yang cerdas dari berbagai kelas, bukan
kumpulan anak orang-orang berkelas dengan kapabilitas yang tidak jelas. (Pdg/ 13 Juli 2007)

You might also like