You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN

Apendicitis merupakan kasus gawat bedah abdomen yang tersering dan


memerlukan tindakan bedah segera untuk menghindari komplikasi yang serius.
Apendicitis akut yang terlambat ditangani akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas penderita. Untuk itu ketepatan diagnosa sangat dibutuhkan dalam
pengambilan keputusan tindakan. Ketepatan diagnosis tergantung dari
kemampuan dokter melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium.
Insiden apendicitis akut di Indonesia dilaporkan menempati urutan
tertinggi diantara kasus-kasus kegawatan darurat, seperti juga halnya dinegara
barat. Walaupun begitu diagnosis serta keputusan bedah masih cukup sulit
ditegakkan. Pada beberapa keadaan apendicitis akut agak sulit didiagnosis,
misalnya pada fase awal dari apendisits akut gejala dan tandanya masih sangat
samar apalagi bila sudah diberi antibiotika. Dengan pemeriksaan yang cermat dan
teliti resiko kesalahan diagnosis pada apendicitis akut sekitar 15-20%. Bahkan
pada wanita kesalahan diagnosis ini mencapai 45-50%. Hal ini dapat disadari
mengingat wanita terutama yang masih sangat muda sering timbul gangguan yang
mirip apendicitis akut.
Upaya mempertajam diagnosis sudah banyak dilakukan, antara lain
dengan menggunakan sarana diagnosis penunjang seperti: Foto Polos Abdomen,
Pemeriksaan Barium Enema, Laparoskopi dan Ultrasonografi.
Mengingat masalah diatas maka perlu diketahui tanda, gejala, pemeriksaan
laboratorium sederhana mana yang berperan secara bermakna dalam
mendiagnosis apendicitis akut, serta berapa akurasi, sensitifitas dan spesifitas dari
tanda, gejala dan pemeriksaan laboratorium sederhana tersebut dan untuk
memudahkan dokter dalam mengambil keputusan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Dan Fisiologi Appendiks


Apendiks (appendiks vermiformis) merupakan organ yang berbentuk
tabung panjang dan sempit. Panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15cm) dan
berpangkal di caecum. Pada posisi yang lazim, apendiks terletak pada regio
abdomen kanan bawah di titik McBurney. Titik McBurney dicari dengan
menarik garis dari spina iliaca anterior superior (SIAS) kanan ke umbilicus.
Titik sepertiga lateral garis ini merupakan tempat pangkal apendiks. Dasar
apendiks muncul dari sisi posteromedial caecum dimana tiga taenia coli
bertemu.1

Menurut Helmut (1988) Posisi apendiks sangat bervariasi, sehingga


kemungkinan sulit untuk menentukan posisi normal apendiks. Macam –
macam posisi apendiks :
1. Posisi retrocecal  kira-kira 65%.

2. Posisi pelvic  apendiks tergantung menyilang linea terminal masuk


kepelvis minor, tipe desenden 31 %.
3. Posisi paracolica  apendiks terletak horizontal di belakang sekum 2%.

4. Posisi preileal  apendiks didepan ujung akir ileum 1%.

5. Posisi post ileal  appendiks dibelakang ujung akir ileum 1%.

Gambar 2.1 : posisi appendiks (Helmut Leonhardt 1988)

2
Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada
panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya apendiks
terletak retroperitoneal, yaitu dibelakang sekum, dibelakang colon ascenden
atau ditepi lateral colon ascenden. Gejala apendiks tergantung dari letak
apendiksnya.1

Gambar 1. Anatomi Appendiks 2,3

Appendiks dipersarafi oleh persarafan parasimpatis yang berasal dari


cabang N. Vagus dan persarafan simpatis yang berasal dari N. Thoracalis X.
Vaskularisasi appendiks berasal dari A. Appendicularis yang merupakan
arteri tanpa kolateral, sehingga jika arteri ini tersumbat, appendiks akan
mengalami ganggren.1

3
Appendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 ml per hari. Lendir ini
normalnya dicurahkan ke dalam lumen lalu mengalir ke dalam caecum.
Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampakya berperan dalam
terjadinya appendicitis.1
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated
Lymphoid Tissue) di sepanjang saluran cerna termasuk appendiks adalah
IgA, yang berfungsi sebagai pelindung terhadap infeksi.1

B. Definisi Dan Epidemiologi Appendicitis


Appendicitis adalah peradangan dari appendiks vermiformis dan
merupakan kegawatdaruratan bedah abdomen yang paling sering ditemukan.
Appendicitis menyerang 7-9% dari keseluruhan populasi di Amerika Serikat
dan paling sering ditemukan pada umur 10-19 tahun walaupun secara jelas
dapat juga terlihat baik pada pasien yang lebih muda maupun yang lebih tua.
Insiden appendicitis di Amerika Serikat sekitar 1,1 kasus setiap 1000 orang
per tahun. Terdapat faktor predisposisi dari keluarga. Insiden dari
appendicitis adalah lebih rendah pada negara dengan budaya konsumsi
makanan tinggi serat. Serat makanan dianggap mengurangi kekentalan feses,
mengurangi bowel transit time dan mengurangi pembentukan fekalit, yang
dapat menyebabkan obstruksi lumen apendiks.4

Secara umum insiden dari appendicitis sekitar 1,4 kali lebih besar pada
laki-laki dibandingkan perempuan. Insiden dari appendektomi primer
diperkirakan sama besar pada kedua jenis kelamin ini. Insiden dari
appendicitis meningkat bertahap sesuai pertambahan umur, puncaknya pada
akhir usia belasan tahun, dan secara bertahap menurun pada usia tua. Nilai
median pada usia saat appendektomi adalah 22 tahun. Walaupun jarang,
appendicitis pada neonatus dan bahkan pada prenatal tetap ditemukan.4

Keseluruhan angka kematian dari appendicitis yang berkisar antara 0,2-


0,8% lebih banyak diakibatkan oleh komplikasi dari penyakit itu sendiri
daripada intervensi bedah. Angka kematian meningkat diatas 20% pada

4
pasien yang usianya lebih dari 70 tahun, biasanya disebabkan keterlambatan
diagnosis dan terapi. Angka perforasi lebih tinggi pada pasien kurang dari 18
tahun dan lebih dari 50 tahun, kemungkinan akibat dari keterlambatan
diagnosis. Perforasi dari apendiks berhubungan dengan peningkatan yang
mencolok pada angka kematian dan kesakitan akibat appendicitis.4

C. Etiologi Appendicitis
a. Peranan Lingkungan  diet dan higiene
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya
appendicitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora
normal kolon. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya appendicitis.
Diet memainkan peran utama pada pembentukan sifat feses, yang mana
penting pada pembentukan fekalit. Kejadian appendicitis jarang di negara
yang sedang berkembang, dimana diet dengan tinggi serat dan konsistensi
feses lebih lembek. Kolitis, divertikulitis dan karsinoma kolon adalah
penyakit yang sering terjadi di daerah dengan diet rendah serat dan
menghasilkan feses dengan konsistensi keras.6

b. Peranan Obstruksi
Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan dalam
appendicitis akut. Fekalit merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen
apendiks pada 20% anak-anak dengan appendicitis, terjadinya fekalit
berhubungan dengan diet rendah serat. Frekuensi obstruksi meningkat
sesuai dengan derajat proses inflamasi. Fekalit ditemukan 40% pada kasus
appendicitis sederhana (simpel), sedangkan pada appendicitis akut dengan
gangren tanpa ruptur terdapat 65% dan appendicitis akut dengan gangren
disertai ruptur terdapat 90% .6
Jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks akan
mengalami edema dan hipertrofi sebagai respon terhadap infeksi virus di

5
sistem gastrointestinal atau sistem respiratorius, yang akan menyebabkan
obstruksi lumen apendiks. Megakolon kongenital terjadi obstruksi pada
kolon bagian distal yang diteruskan ke dalam lumen apendiks dan hal ini
merupakan salah satu alasan terjadinya appendicitis pada neonatus.6
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan appendicitis adalah
erosi mukosa apendiks karena parasit seperti Entamoeba hystolityca dan
benda asing mungkin tersangkut di apendiks untuk jangka waktu yang
lama tanpa menimbulkan gejala, namun cukup untuk menimbulkan risiko
terjadinya perforasi.6
Secara patogenesis faktor terpenting terjadinya appendicitis adalah
adanya obstruksi lumen apendiks yang biasanya disebabkan oleh fekalit.
Sekresi mukosa yang terkumpul selama adanya obstruksi lumen apendiks
menyebabkan distensi lumen akut sehingga akan terjadi kenaikkan tekanan
intraluminer dan sebagai akibatnya terjadi obstruksi arterial serta iskemia.
Akibat dari keadaan tersebut akan terjadi ulserasi mukosa sampai
kerusakan seluruh lapisan dinding apendiks, lebih lanjut akan terjadi
perpindahan kuman dari lumen masuk kedalam submukosa. Dengan
adanya kuman dalam submukosa maka tubuh akan bereaksi berupa
peradangan supurativa yang menghasilkan pus, keluarnya pus dari dinding
yang masuk ke dalam lumen apendiks akan mengakibatkan tekanan
intraluminer akan semakin meningkat, sehingga desakan pada dinding
apendiks akan bertambah besar menyebabkan gangguan pada sistem vasa
dinding apendiks. Mula-mula akan terjadi penekanan pada vasa limfatika,
kemudian vena dan terakhir adalah arteri, akibatnya akan terjadi edema
dan iskemia dari apendiks, infark seterusnya melanjut menjadi gangren.
Keadaan ini akan terus berlanjut dimana dinding apendiks akan mengalami
perforasi, sehingga pus akan tercurah kedalam rongga peritoneum dengan
akibat terjadinya peradangan pada peritoneum parietale. Hasil akhir dari
proses peradangan tersebut sangat tergantung dari kemampuan organ dan
omentum untuk mengatasi infeksi tersebut, jika infeksi tersebut tidak bisa
diatasi akan terjadi peritonitis umum. Pada anak-anak omentum belum

6
berkembang dengan sempurna, sehingga kurang efektif untuk mengatasi
infeksi, hal ini akan mengakibatkan apendiks cepat mengalami
komplikasi.6

c. Peranan Flora Bakterial


Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya
beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat
dalam appendicitis sama dengan penyakit kolon lainnya. Penemuan kultur
dari cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap appendicitis sederhana.
Pada tahap appendicitis supurativa, bakteri aerobik terutama Escherichia
coli banyak ditemukan, ketika gejala memberat banyak organisme,
termasuk Proteus, Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat
ditemukan. Bakteri aerobik yang paling banyak dijumpai adalah E. coli.
Sebagian besar penderita apendicitis gangrenosa atau appendicitis
perforasi banyak ditemukan bakteri anaerobik terutama Bacteroides
fragilis.6

D. Patogenesis Dan Kriteria Makroskopik Appendicitis


• Dalam patogenesisnya, terdapat dua faktor yang memegang peranan
penting yaitu obstruksi dan infeksi. Setelah terjadi obstruksi lumen
apendiks vermiformis akan terbendung. Sekret yang terus menerus
dikeluarkan ini akan menyebabkan apendiks vermiformis teregang. Akibat
regangan tersebut terjadi tekanan terhadap pembuluh darah sehingga
dinding apendiks vermiformis menjadi edema. Karena edema ini resistensi
selaput lendir berkurang, terjadi ulserasi juga terjadi invasi dan
multiplikasi bakteri pada dinding apendiks vermiformis. Bakteri ini akan
menembus mukosa, submukosa dan muskularis yang akan menimbulkan
edema, gangguan vaskular dan hiperplasia dari folikel limfoid. Pada
akhirnya dapat terjadi trombosis pada aliran vena dengan nekrosis dan
perforasi.

7
• Pada fase-fase awal dari apendicitis akut, apendiks vermiformis tampak
edema yang terjadi selain karena tekanan terhadap pembuluh-pembuluh
juga karena banyak terdapatnya cairan yang meninggalkan kapiler dan
masuk kedalam jaringan. Hal ini terjadi karena permeabilitas kapiler yang
meningkat. Cairan dari kapiler ini mengandung molekul-molekul protein
seperti albumin, globulin, dan fibrinogen. Selain edema, apendiks
vermiformis tampak tegang dan terdapat eksudasi netrofil pada mukosa,
submukosa. Biasanya keterlibatan mukosa yang paling menonjol. Pada
tahap ini pembuluh darah subserosa menjadi kongesti dan mengandung
netrofil matang. Kongesti ini terjadi karena vaskular-mikro jaringan
melebar yang berisi darah terbendung. Netrofil tersebut kemudian akan
migrasi ke perivaskular. Reaksi ini akan mengubah serosa yang mengkilat
menjadi suram dan tampak hiperemi. Penampakan makroskopik ini
dikenal sebagai apendicitis akut tahap awal (apendicitis akut mukosa)

• Pada fase awal dari apendicitis dapat terjadi penyembuhan, apendiks


vermiformis jarang sekali kembali pada keadaan semula. Biasanya timbul
jaringan fibrotik terutama pada daerah mukosa. Resiko terjadinya serangan
ulangan kurang lebih 10% dalam waktu 6 bulan dan kurang lebih 50%
dalam 5 tahun. Beberapa kasus sembuh secara inkomplit, sel
polimorfonuklear diganti dengan mononuklear dan juga terdapat fibrosis
pada dinding apendiks vermiformis, terjadilah apendicitis kronis.

• Pada tahap selanjutnya eksudasi netrofil pada dinding apendiks


vermiformis semakin banyak terutama lekosit polimorfonuklear sampai
pada lapisan muskularis. Keadaan ini disebut apendicitis akut flegmonosa.
Pada apendicitis akut flegmonosa bisa terdapat fokus-fokus purulen dan
nekrosis pada mukosa yang disebut sebagai apendicitis akut nekrotikans.
Dengan bertambah buruknya reaksi inflamasi akan terbentuk abses pada
dinding, pus dalam lumen serta terjadi ulserasi. Pada tahap ini lapisan
serosa biasanya dilapisi oleh eksudat fibrin purulen dan tahap ini disebut
apendicitis akut purulenta.

8
• Kelanjutan dari reaksi ini adalah apendiks vermiformis tampak lebih
merah akibat hiperemi yang berlebihan dan edema dengan tanda-tanda
perdarahan dibawah lapisan serosa. Dari luar juga tampak eksudat
bercampur fibrin dan mesoapendiks yang membengkak. Rongga apendiks
vermiformis juga mengandung pus berwarna merah karena perdarahan.
Bersamaan dengan itu terjadi gangren yang berwarna kehitaman karena
nekrosis sepanjang dinding sampai lapisan serosa. Tahap ini disebut
apendicitis akut gangrenosa dan merupakan keadaan yang dapat berlanjut
menjadi ruptur pada apendiks vermiformis.

• Pada tahap selanjutnya terjadi apendicitis perforata bila apendiks


vermiformis telah ruptur dan pus yang terdapat didalam lumen apendiks
vermiformis dapat keluar menyebar ke organ-organ lain maupun di dalam
fossa apendiks vermiformis yang dapat mengakibatkan peritonitis.

E. Gejala Klinis Apendicitis


Gejala awal yang merupakan gejala klasik apendicitis adalah nyeri
samar-samar dan tumpul di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau
periumbilikus. Keluhan ini sering disertai rasa mual dan kadang ada muntah.
Pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri
akan berpindah ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri
terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik
setempat. Namun terkadang tidak dirasakan nyeri di daerah epigastrium,
tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat
pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah
terjadinya perforasi. Bila terdapat rangsangan peritoneum, biasanya penderita
mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk. Appendicitis juga dapat disertai
dengan demam ringan, dengan suhu sekitar 37,5 -38,5o C. 1,3

Timbulnya gejala peradangan apendiks tergantung dari letak


apendiksnya. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang

9
sekum (terlindung oleh caecum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu
jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut
kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan,
bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya
kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal. Bila apendiks terletak di
rongga pelvis dan terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul
gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika
apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi
peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangan dindingnya.1,3

Pada beberapa keadaan, appendicitis agak sulit didiagnosis sehingga


tidak ditangani tepat pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya pada
orang berusia lanjut yang gejalanya sering samar-samar saja sehingga sering
baru dapat didiagnosis setelah perforasi. Pada wanita hamil dengan usia
kehamilan trimester pertama, gejala apendicitis berupa nyeri perut, mual, dan
muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan
usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke
kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi
lebih ke regio lumbal kanan.1,3

F. Diagnosis Appendicitis
Diagnosis klinis dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesa dan
pemeriksaan fisik (inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi). Bila diperlukan
dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium,
Foto polos abdomen, USG ataupun CT-Scan, dan sebagainya. 1,7

10
Pemeriksaan Fisik

• Inspeksi : Pada appendicitis akut biasanya ditemukan distensi perut.


• Palpasi : pada regio iliaka kanan (pada titik Mc Burney) apabila ditekan
akan terasa nyeri (nyeri tekan Mc Burney) dan bila tekanan dilepas juga
akan terasa nyeri (nyeri lepas Mc Burney). Defans muscular
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut
kanan bawah (Nyeri tekan merupakan kunci diagnosis dari appendicitis).
Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan
bawah yang disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan
di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan
bawah yang disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign). Khusus untuk
appendicitis kronis tipe Reccurent/Interval Appendicitis terdapat nyeri di
titik Mc Burney tetapi tidak ada defans muscular sedangkan untuk yang
tipe Reccurent Appendicular Colic ditemukan nyeri tekan di apendiks. 1,7
• Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini dilakukan
untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan
dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan
atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila
appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan
1,7
tersebut akan menimbulkan nyeri.

Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang,


kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul
kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang
akan menimbulkan nyeri pada apendicitis pelvika. 1,7

11
• Pemeriksaan colok dubur : Jika daerah infeksi dapat dicapai saat
dilakukan pemeriksaan ini, akan memberikan rasa nyeri pada arah jam 9
sampai jam 12. Maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak
didaerah pelvis. Pada appendicitis pelvika kunci diagnosis adalah nyeri
terbatas pada saat dilakukan colok dubur. 1,7

Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis


klinis appendicitis masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus.
Kesalahan diagnosis lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki.
Hal ini dapat disadari mengingat pada perempuan terutama yang masih muda
sering mengalami gangguan yang mirip appendicitis. Keluhan itu berasal dari
genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit
ginekologik lain.Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis appendicitis
meragukan, sebaiknya dilakukan observasi penderita di rumah sakit dengan
pengamatan setiap 1-2 jam. Foto barium kurang dapat dipercaya.
Ultrasonografi dan laparoskopi bisa meningkatkan akurasi diagnosis pada
kasus yang meragukan.6,7

• Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium

12
Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting untuk
menilai awal keluhan nyeri kuadran kanan bawah dalam menegakkan
diagnosis apenddicitis akut. Pada pasien dengan apendicitis akut, 70-
90% hasil laboratorium nilai leukosit dan neutrofil akan meningkat,
walaupun hal ini bukan hasil yang karakteristik. Penyakit infeksi pada
pelvis terutama pada wanita akan memberikan gambaran laborotorium
yang terkadang sulit dibedakan dengan appendicitis akut Pemeriksaan
laboratorium merupakan alat bantu diagnosis. Pada dasarnya inflamasi
merupakan reaksi lokal dari jaringan hidup terhadap suatu jejas. Reaksi
tersebut meliputi reaksi vaskuler, neurologik, humoral dan seluler. Pada
anak dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik
apenddicitis akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya
lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung jenis
menunjukkan pergeseran kekiri hampir 75%. Jika jumlah lekosit lebih
dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis.
Pada metode lain dikatakan penderita appendicitis akut bila ditemukan
jumlah lekosit antara 12.000-20.000/mm3 dan bila terjadi perforasi atau
peritonitis jumlah lekosit antara 20.000-30.000/mm3. Ada juga metode
yang menyatakan bahwa kombinasi antara kenaikan angka lekosit dan
granulosit adalah yang dipakai untuk pedoman menentukan diagnosa
appendicitis akut. 6,7
Tes laboratorium untuk appendicitis bersifat kurang spesifik,
sehingga hasilnya juga kurang dapat dipakai sebagai konfirmasi
penegakkan diagnosa. Jumlah lekosit untuk appendisitis akut adalah
>10.000/mm3 dengan pergeseran kekiri pada hemogramnya (>70%
netrofil). Sehingga gambaran lekositosis dengan peningkatan granulosit
dipakai sebagai pedoman untuk appendicitis akut. Kontroversinya
adalah beberapa penderita dengan appendicitis acut, memiliki jumlah
lekosit dan granulosit tetap normal.3,6,7
Marker inflamasi lain yang dapat digunakan dalam diagnosis
apenddicitis akut adalah C-reactive protein (CRP). Petanda respon

13
inflamasi akut (acute phase response) dengan menggunakan CPR telah
secara luas digunakan di negara maju. Pada appendicitis ditemukan
kadar CRP yang meningkat yaitu > 1 mg/dl. Nilai senstifitas dan
spesifisits CRP cukup tinggi, yaitu 80-90% dan lebih dari 90%.
Pemeriksaan CRP mudah untuk setiap Rumah Sakit didaerah, tidak
memerlukan waktu yang lama (5 -10 menit), dan murah. 3,6
Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan
menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen.
Urinalisa sangat penting pada anak dengan keluhan nyeri abdomen
untuk menentukan atau menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran
kencing. Apendiks yang mengalami inflamasi akut dan menempel pada
ureter atau vesika urinaria, pada pemeriksaan urinalisis ditemukan
jumlah sel lekosit 10-15 sel/lapangan pandang. 6

2. Foto Polos abdomen


Pada apendicitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak
membantu. Mungkin terlihat adanya fekalit pada abdomen sebelah
kanan bawah yang sesuai dengan lokasi apendiks, gambaran ini
ditemukan pada 20% kasus. Kalau peradangan lebih luas dan
membentuk infiltrat maka usus pada bagian kanan bawah akan kolaps.
Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada daerah
kanan bawah abdomen kosong dari udara. Gambaran udara seakan-
akan terdorong ke pihak lain. Proses peradangan pada fossa iliaka
kanan akan menyebabkan kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke
kanan. Gambaran ini tampak pada penderita appendicitis akut. Bila
sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan tampak
udara bebas di bawah diafragma. Kadang-kadang udara begitu sedikit
sehingga perlu foto khusus untuk melihatnya. Untuk appendicitis
kronis dapat dilakukan apendikogram, dimana hasil positif bisa berupa
Filling defect, Non Filling defect, Parsial, Irreguler, mouse tail. 6

14
Kalau sudah terjadi peritonitis yang biasanya disertai dengan
kantong-kantong pus, maka akan tampak udara yang tersebar tidak
merata dan usus-usus yang sebagian distensi dan mungkin tampak
cairan bebas, gambaran lemak preperitoneal menghilang, pengkaburan
psoas shadow. Walaupun terjadi ileus paralitik tetapi mungkin terlihat
pada beberapa tempat adanya permukaan cairan udara (air-fluid level)
yang menunjukkan adanya obstruksi. Foto x-ray abdomen dapat
mendeteksi adanya fecalith (kotoran yang mengeras dan terkalsifikasi,
berukuran sebesar kacang polong yang menyumbat pembukaan
apendiks) yang dapat menyebabkan appendicitis. Ini biasanya terjadi
pada anak-anak. Foto polos abdomen supine pada abses appendik
kadang-kadang memberi pola bercak udara dan air fluid level pada
posisi berdiri/LLD (decubitus), kalsifikasi bercak rim-like (melingkar)
sekitar perifer mukokel yang asalnya dari apendiks. Pada appendicitis
akut, kuadran kanan bawah perlu diperiksa untuk mencari
appendikolit: kalsifikasi bulat lonjong, sering berlapis. 6
Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium enema hanya
digunakan pada kasus-kasus menahun. Pemeriksaan radiologi dengan
barium enema dapat menentukan penyakit lain yang menyertai
appendicitis. Barium enema adalah suatu pemeriksaan x-ray dimana
barium cair dimasukkan ke kolon dari anus untuk memenuhi kolon.
Tes ini dapat seketika menggambarkan keadaan kolon di sekitar
apendiks dimana peradangan yang terjadi juga didapatkan pada kolon.
Impresi ireguler pada basis sekum karena edema (infiltrasi sehubungan
dengan gagalnya barium memasuki apendiks (20% tak terisi).
Terisinya sebagian dengan distorsi bentuk kalibernya tanda
appendicitis akut, terutama bila ada impresi sekum. Sebaliknya lumen
apendiks yang paten menyingkirkan diagnosa appendicitis akut. Bila
barium mengisi ujung apendiks yang bundar dan ada kompresi dari
luar yang besar di basis sekum yang berhubungan dengan tak terisinya
apendiks tanda abses apendiks. Barium enema juga dapat

15
menyingkirkan masalah-masalah intestinal lainnya yang menyerupai
apendiks, misalnya penyakit Chron, inverted appendicel stump,
intususepsi, neoplasma benigna/maligna. 3,6

3. Ultrasonografi
Ultrasonografi telah banyak digunakan untuk diagnosis
appendicitis akut maupun appendicitis dengan abses. Untuk dapat
mendiagnosis appendicitis akut diperlukan keahlian, ketelitian, dan
sedikit penekanan transduser pada abdomen. Apendiks yang normal
jarang tampak dengan pemeriksaan ini. Apendiks yang meradang
tampak sebagai lumen tubuler, diameter lebih dari 6 mm, tidak ada
peristaltik pada penampakan longitudinal, dan gambaran target pada
penampakan transversal. Keadaan awal appendicitis akut ditandai
dengan perbedaan densitas pada lapisan apendiks, lumen yang utuh,
dan diameter 9 – 11 mm. Keadaan apendiks supurasi atau gangren
ditandai dengan distensi lumen oleh cairan, penebalan dinding
apendiks dengan atau tanpa apendikolit. Keadaan apendiks perforasi
ditandai dengan tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan bebas
intraperitonial, dan abses tunggal atau multipel. 6
Akurasi ultrasonografi sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan
kemampuan pemeriksa. Pada beberapa penelitian, akurasi antara 90 –
94%, dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85 dan 92%.
Pemeriksaan dengan Ultrasonografi (USG) pada appendicitis akut,
ditemukan adanya fekalit, udara intralumen, diameter apendiks lebih
dari 6 mm, penebalan dinding apendiks lebih dari 2 mm dan
pengumpulan cairan perisekal. Apabila apendiks mengalami ruptur
atau perforasi maka akan sulit untuk dinilai, hanya apabila cukup udara
maka abses apendiks dapat diidentifikasi. 6
USG dapat mengidentifikasi appendik yang membesar atau abses.
Walaupun begitu, appendik hanya dapat dilihat pada 50% pasien
selama terjadinya appendicitis. Oleh karena itu, dengan tidak

16
terlihatnya apendiks selama USG tidak menyingkirkan adanya
appendicitis. USG juga berguna pada wanita sebab dapat
menyingkirkan adanya kondisi yang melibatkan organ ovarium, tuba
falopi dan uterus yang gejalanya menyerupai appendicitis. Hasil USG
dapat dikatagorikan menjadi normal, non spesifik, kemungkinan
penyakit kelainan lain, atau kemungkinan appendik. Hasil USG yang
tidak spesifik meliputi adanya dilatasi usus, udara bebas, atau ileus.
Hasil USG dikatakan kemungkinan appaendik jika ada pernyataan
curiga atau jika ditemukan dilatasi appendik di daerah fossa iliaka
kanan, atau dimana USG di konfirmasikan dengan gejala klinik dimana
kecurigaan appendicitis. 6,7
“Ultrasonogram showing 
longitudinal section (arrows) of
inflamed appendix”

4. Computed Tomography Scanning (CT-Scan)


Pada keadaan normal apendiks, jarang tervisualisasi dengan
pemeriksaan ini. Gambaran penebalan dinding apendiks dengan
jaringan lunak sekitar yang melekat, mendukung keadaan apendiks
yang meradang. CT-Scan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi yaitu 90–100% dan 96–97%, serta akurasi 94–100%. CT-Scan
sangat baik untuk mendeteksi apendiks dengan abses atau flegmon.
Pada pasien yang tidak hamil, CT-scan pada daerah appendik sangat
berguna untuk mendiagnosis appendicitis dan abses periappendikular
sekaligus menyingkirkan adanya penyakit lain dalam rongga perut dan
pelvis yang menyerupai appendicitis.6,7

CT-Scan showing enlarged and CT- scan showing cross-section of


inflamed appendix (A) extending inflamed appendix(A) with
from the cecum (C).
17 appendicolith (a).
5. Laparoskopi (Laparoscopy)
Meskipun laparoskopi mulai ada sejak awal abad 20, namun
penggunaanya untuk kelainan intraabdominal baru berkembang sejak
tahun 1970-an. Dibidang bedah, laparoskopi dapat berfungsi sebagai
alat diagnostik dan terapi. Disamping dapat mendiagnosis apendicitis
secara langsung, laparoskopi juga dapat digunakan untuk melihat
keadaan organ intraabdomen lainnya. Hal ini sangat bermanfaat
terutama pada pasien wanita. Pada appendicitis akut laparoskopi
diagnostik biasanya dilanjutkan dengan apendektomi laparoskopi.6,7

6. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard)
untuk diagnosis appendicitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat
mengenai gambaran histopatologi appendicitis akut. Perbedaan ini
didasarkan pada kenyataan bahwa belum adanya kriteria gambaran
histopatologi appendicitis akut secara universal dan tidak ada
gambaran histopatologi apendicitis akut pada orang yang tidak
dilakukan operasi. Dari hasil penelitian variasi diagnosis histopatologi
appendisitis akut diperoleh kesimpulan bahwa diperlukan adanya

18
komunikasi antara ahli patologi dan antara ahli patologi dengan ahli
bedahnya. 6
Definisi histopatologi appendicitis akut:
1. Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di lapisan
epitel.
2. Abses pada kripte dengan sel granulosit di lapisan epitel.
3. Sel granulosit dalam lumen apendiks dengan infiltrasi ke dalam lapisan
epitel.
4. Sel granulosit di atas lapisan serosa apendiks dengan abses apendikuler,
dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa.
5. Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses mukosa dan
keterlibatan lapisan mukosa, bukan appendicitis akut tetapi
periappendicitis.
• Sistem skor Alvarado

Diagnosis apendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya


berdasarkan gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya komunikasi
antara anak, orang tua dan dokter. Anak belum mampu untuk
mendiskripsikan keluhan yang dialami, suatu hal yang relatif lebih mudah
pada umur dewasa. Keadaan ini menghasilkan angka apendektomi negatif
sebesar 20% dan angka perforasi sebesar 20-30% (Ramachandran, 1996).
Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis
ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara
untuk menurunkan insidensi apendektomi negatif, salah satunya adalah
dengan instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring
sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif
(Seleem; Amri dan Bermansyah, 1997). Alfredo Alvarado tahun 1986
membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala , tiga tanda dan dua
temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra operasi
dan untuk menilai derajat keparahan apendisitis. Dalam sistem skor
Alvarado ini menggunakan faktor risiko meliputi migrasi nyeri, anoreksia,
nausea dan atau vomitus, nyeri tekan di abdomen kuadran kanan bawah,

19
nyeri lepas tekan, temperatur lebih dari 37,20C, lekositosis dan netrofil
lebih dari 75%. Nyeri tekan kuadran kanan bawah dan lekositosis
mempunyai nilai 2 dan keenam sisanya masing-masing mempunyai nilai
1, sehingga kedelapan faktor ini memberikan jumlah skor 10 (Alvarado,
1986; Rice, 1999).

Skor Alvarado
Faktor Risiko Skoring

~ migrasi nyeri 1

~ nausea dan vomitus 1

~ anoreksia 1

Tanda

~ nyeri kuadran kanan bawah 2

~ nyeri lepas tekan 1

~ temperatur > 37,20C 1

Laboratorium

~ angka lekosit > 10.000 2

~ persentase netrofil > 75% 1

Total Skor 10

Nilai :
<4  kronis
4 – 7  ragu-observasi
>7  akut

Penelitian yang dilakukan oleh Amri dan Bermansyah (1997)


mengenai skor Alvarado pada diagnosis apendisitis akut dengan skor
pembatas (cut off point) 6, didapatkan sensitivitas: 90,90% dan
spesifisitas: 75,75% dengan akurasi diagnostik: 83,33%, Tranggono

20
(2000) melaporkan dengan memakai skor pembatas (cut off point) 7
didapatkan sensitivitas: 71,43% dan spesifisitas: 69,09% dengan akurasi
diagnostik 69,74%. Sedangkan Fenyo melaporkan sensitivitas: 90,20%
dan spesifisitas: 91,40%. Berdasarkan skoring terhadap faktor risiko yang
digunakan dalam sistem skor Alvarado seperti tertulis di atas maka dapat
diasumsikan bahwa semakin lengkap gejala, tanda dan pemeriksaan
laboratorium yang muncul atau keberadaannya positif maka skor Alvarado
akan semakin tinggi, mendekati 10, ini mengarahkan kepada apendisitis
akut atau apendisitis perforasi. Demikian pula sebaliknya jika semakin
tidak lengkap maka skor Alvarado semakin rendah, mendekati 1, ini
mengarahkan kepada apendisitis kronis atau bukan apendisitis. Skor
Alvarado adalah sistem skoring yang didasarkan pada gejala dan tanda
klinis apendisitis akut, telah banyak dipergunakan. Pada tulisan aslinya,
Alvarado merekomendasikan untuk melakukan operasi pada semua pasien
dengan skor 7 atau lebih dan melakukan observasi untuk pasien dengan
skor 5 atau 6.

Andersson, dalam studi meta-analisis gejala klinis dan laboratorium


mendapatkan hasil bahwa riwayat nyeri berpindah (migration pain) dari
umbilikus dan reaksi peritoneal (nyeri tekan kanan bawah, nyeri
lepas/Rebound’s sign, Rovsing’s sign) adalah informasi diagnostik
apendisitis akut yang penting (Andersson, 2004)

G. DIAGNOSIS BANDING APPENDICITIS


Beberapa penyakit mempunyai tanda dan gejala yang menyerupai apendicitis
akut dan perlu dipertimbangkan sebagai diagnosa banding. Penyakit-penyakit
itu adalah:

1. Gastroenteritis
Pada penyakit ini ditemukan mual, muntah dan diare, gejala yang sama
akan ditunjukkan pada peradangan apendiks yang terletak pelvikal. Pada
anamnesis akan ditemukan mual muntah mendahului rasa sakit

21
(berlawanan dengan apendicitis akut) juga pada gastroenteritis sakit perut
lebih ringan. Panas dan lekositosis kurang menonjol jika dibandingkan
apendicitis akut. Pada pemeriksaan colok dubur apendicitis akut letak
pelvikal akan memberikan rasa nyeri, sedangkan gastroenteritis tidak.
2. Demam dengue
Dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis, disini didapatkan hasil
tes positip untuk Rumpel Leede, trombositopeni dan hematokrit yang
meningkat.
3. Limfadenitis mesenterika
Ditandai dengan rasa nyeri perut terutama kanan, disertai mual dan nyeri
tekan perut yang samar. Pada anamnesa akan ditemukan mual dan muntah
yang mendahului rasa sakit (pada apendicitis akut mual dan muntah
timbul setelah rasa sakit)
4. Gangguan genitalia wanita
Ovulasi dari ovarium kanan dapat memberikan rasa sakit yang mirip
dengan apendicitis akut. Pada anamnesa akan ditemukan keluhan nyeri
yang sama sebelumnya dan rasa nyeri akan berlangsung saat ovulasi
terjadi, yaitu sekitar 12-14 hari setelah haid pertama haid terakhir. Pada
ovulasi tanda radang tidak ada, dan nyeri biasanya menghilang kurang dari
dua hari.
5. Infeksi panggul
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendicitis akut.
Temperatur biasanya lebih tinggi, dan nyeri lebih difus. Pada wanita
biasanya disertai dengan keputihan.
6. Kehamilan ektopik
Pada apendicitis tidak ditemukan tumor dan nyeri pada gerakan servik
uteri tidak seberapa nyata seperti yang ditemukan pada kehamilan
ektopik. Nyeri perut bagian bawah pada apendicitis terletak pada titik
McBurney.
7. Kista ovarium yang terpuntir

22
Nyeri timbul mendadak dengan intensitas yang tinggi serta teraba massa
dalam rongga pelvis, tidak ada demam.
8. Endometriosis eksterna
Nyeri didapatkan ditempat endometriosis berlangsung, nyeri pada saat
menstruasi karena darah tidak dapat keluar.
9. Gangguan traktus urinarius
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas pada batu ureter atau batu ginjal kanan,
juga ditemukan eritrosuria. Pada pielonefritis sering disertai demam tinggi
menggigil, nyeri kostovertebral disebelah kanan dan piuria.
10. Penyakit lain
Penyakit lain yang perlu dipikirkan adalah peradangan diperut seperti
divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung,
kolesistisis akut, pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus awal,
perforasi kolon, demam tifoid abdominalis

H. Terapi Appendicitis
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan
apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
perforasi. Insidensi apendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar
20%. Pada apendicitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah.

23
• Appendektomi (Laparoskopi appendektomi dan open appendektomi)
o Cito  akut, abses & perforasi

o Elektif  kronik

• Konservatif kemudian operasi elektif (Infiltrat)  biasanya setelah 3


bulan konservatif baru dilakukan operasi
• Bed rest total posisi Fowler (anti Trandelenburg)
• Diet rendah serat
• Antibiotika spektrum luas
• Metronidazol
• Monitor  Infiltrat, tanda2 peritonitis (perforasi), suhu tiap 6 jam, LED,
bila baik mobilisasi pulang. 6,7

Penderita anak perlu cairan intravena untuk mengoreksi dehidrasi ringan.


Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung dan untuk
mengurangi bahaya muntah pada waktu induksi anestesi. Pada appendicitis
akut dengan komplikasi berupa peritonitis karena perforasi menuntut tindakan
yang lebih intensif, karena biasanya keadaan anak sudah sakit berat. Timbul
dehidrasi yang terjadi karena muntah, sekuestrasi cairan dalam rongga
abdomen dan febris. Anak memerlukan perawatan intensif sekurang-
kurangnya 4-6 jam sebelum dilakukan pembedahan. Pipa nasogastrik
dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi distensi abdomen
dan mencegah muntah. Kalau anak dalam keadaan syok hipovolemik maka
diberikan cairan ringer laktat 20 ml/kgBB dalam larutan glukosa 5% secara
intravena, kemudian diikuti dengan pemberian plasma atau darah sesuai
indikasi. Setelah pemberian cairan intravena sebaiknya dievaluasi kembali
kebutuhan dan kekurangan cairan. Sebelum pembedahan, anak harus
memiliki urin output sebanyak 1 ml/kgBB/jam. Untuk menurunkan demam
diberikan acetaminophen suppositoria (60mg/tahun umur). Jika suhu di atas
380C pada saat masuk rumah sakit, kompres alkohol dan sedasi diindikasikan
untuk mengontrol demam. 6

24
Antibiotika sebelum pembedahan diberikan pada semua anak dengan
appendicitis, antibiotika profilaksis mengurangi insidensi komplikasi infeksi
appendicitis. Pemberian antibiotika dihentikan setelah 24 jam selesai
pembedahan. Antibiotika berspektrum luas diberikan secepatnya sebelum ada
biakan kuman. Pemberian antibiotika untuk infeksi anaerob sangat berguna
untuk kasus-kasus perforasi appendicitis. Antibiotika diberikan selama 5 hari
setelah pembedahan atau melihat kondisi klinis penderita. Kombinasi
antibiotika yang efektif melawan bakteri aerob dan anaerob spektrum luas
diberikan sebelum dan sesudah pembedahan. Kombinasi ampisilin
(100mg/kg), gentamisin (7,5mg/kg) dan klindamisin (40mg/kg) dalam dosis
terbagi selama 24 jam cukup efektif untuk mengontrol sepsis dan
menghilangkan komplikasi appendicitis perforasi. Metronidazol aktif
terhadap bakteri gram negatif dan didistribusikan dengan baik ke cairan tubuh
dan jaringan. Obat ini lebih murah dan dapat dijadikan pengganti
klindamisin.6
Open appendektomi ini merupakan prosedur yang sudah lama menjadi
standar untuk operasi apendicitis. Pada metode ini, ahli bedah melakukan
tindakan operasi dengan melakukan insisi pada perut kanan bawah, dengan
panjang luka kurang lebih 5 cm. Belakangan ini metode open appendektomi
yang menggunakan insisi Mc Burney ini sudah banyak ditinggalkan karena
luasnya insisi sehingga akan menimbulkan jaringan parut yang cukup luas
penyembuhan luka yang lama sehingga tidak baik untuk kosmetik. Pada
teknik laparoskopi appendektomi beberapa incisi kecil dibuat di abdomen
(biasanya 3 irisan). Pada salah satu incisi, laparoskopi dimasukkan.
Laparoskopi mempunyai lensa kecil (sebagai kamera) yang berhubungan
dengan monitor TV. Appendektomi dilakukan oleh ahli bedah sambil melihat
ke monitor TV. Instrumen kecil dimasukkan ke dalam incisi lainnya dan
digunakan untuk mengambil appendiks. 3,5,6,7

25
inflamed appendix removal by open surgery

Skema Appendektomi Laparoskopi. 3,5,6,7


I. Komplikasi Appendicitis
• Luka infeksi
• Obstruksi saluran cerna
• Abses abdominal/pelvis
• Stump appendicitis  walaupun jarang terjadi, namun ada sekitar 36
kasus appendicitis yang dilaporkan berasal dari jaringan apendiks sisa
operasi appendektomi sebelumnya.
• Peritonitis
• Kematian (namun jarang). 6,9

26
J. Prognosis Appendicitis
Dengan diagnosis dan pembedahan yang cepat, tingkat mortalitas dan
morbiditas penyakit ini sangat kecil. Angka kematian lebih tinggi pada anak
dan orang tua. Apabila appendiks tidak diangkat, dapat terjadi serangan
berulang.5,9

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat, R dan de Jong, Wim. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:
EGC

2. Heller, Jacob L. 2008. Appendectomy - series: Normal anatomy. Retrieved


May 22, 2010, from Medline Plus:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/presentations/100001_1.htm

3. Hackam, David. 2008. Appendicitis. Retrieved May 22, 2010, from Knol – A
Unit of Knowledge : http://knol.google.com/k/dr-david-
hackam/appendicitis/RNKGbbtd/Z1o0Yg

4. Craig, Sandy. 2008. Appendicitis, Acute. Retrieved May 22, 2010, from
eMedicine : http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview

5. Brunicardi, F.C., et al. 2007. Schwartz`s Principle of Surgery. USA : The Mc


Graw Hill Company.

6. Bedah Digestif. 2008. Apendicitis akut. Retrieved May 22, 2010, from Ilmu
Bedah UGM: http://bedahugm.net/Bedah-Digesti/Apendicitis-akut.html

7. Hardin, Mike. 1999. Acute Appendicitis Review and Update. Retrieved May
22, 2009, from American Academy of Family Physicians.:
http://www.aafp.org/afp/991101ap/2027.htm

8. Craig, Sandy. 2008. Appendicitis, Acut Differential Diagnoses & Workup.


Retrieved May 22, 2010, from eMedicine :
http://emedicine.medscape.com/article/773895-diagnosis

9. Craig, Sandy. 2008. Appendicitis, Acut - Follow-up. Retrieved May 22, 2010,
from eMedicine : http://emedicine.medscape.com/article/773895-followup

28

You might also like