You are on page 1of 4

I.

REAKSI HIPERSENSITIVITAS

Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan
imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel
limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan
sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu
dengan antigen lalu mengadakan diferensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang
mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.

Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon.
Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga
yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi
rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.

Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:

Tipe I : Reaksi Anafilaksi

Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE
yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini
menimbulkan reaksi tipe cepat.

Tipe II : reaksi sitotoksik

Di sini antigen terikat pada sel sasaran. Antibodi dalam hal ini IgE dan IgM dengan
adanya komplemen akan diberikan dengan antigen, sehingga dapat mengakibatkan
hancurnya sel tersebut. Reaksi ini merupakan reaksi yang cepat menurut Smolin (1986),
reaksi allografi dan ulkus Mooren merupakan reaksi jenis ini.

Tipe III : reaksi imun kompleks

Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk kompleks


imun. Keadaan ini menimbulkan neurotrophichemotactic factor yang dapat menyebabkan
terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada pembuluh darah
kecil. Pengejawantahannya di kornea dapat berupa keratitis herpes simpleks, keratitis
karena bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan jamur. Reaksi demikian juga terjadi pada
keratitis Herpes simpleks.

Tipe IV : Reaksi tipe lambat

Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi
(imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal
sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan
antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai pada reaksi
penolakan pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten, keratitis Herpes simpleks dan
keratitis diskiformis
II. Defisiensi Imun dan Peradangan

Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi
tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengindentifikasi dan membunuh patogen
serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas,
organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit. Serta
menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat
dari jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa.

Sistem Imun adalah struktur epektif yang menggabungkan spesifisitas dan adaptasi.
Kegagalan pertahanan dapat muncul, dan jatuh pada 3 kategori yaitu: Defisiensi Imun,
autoimunitas dan Hipersensitivitas.

1. Defisiensi Imun

Defisiensi Imun muncul ketika satu atau lebih komponen sistem Imun tidak aktif,
kemampuan sistem Imun untuk merespon patogen berkurang pada baik golongan muda
dan golonga tua, respon imun berkurang pada usia 50 tahun, respon juga dapat terjadi
karena penggunaan Alkohol dan narkoba adalah akibat paling umum dari fungsi imun
yang buruk, namun, kekurangan nutrisi adalah akibat paling umum yang menyebabkan
difisiensi imun di negara berkembang. Diet kekurangan cukup protein berhubungan
dengan gangguan imunitas selular, aktivitas komplemen, fungsi fagosit, konsentrasi
antibody, IgA dan produksi sitokin, Defisiensi nutrisi seperti zinc, Selenium, zat besi,
tembaga, vitamin A, C, E, B6 dan asam folik (vitamin B9) juga mengurangi respon imun.

Difisiensi imun juga dapat didapat dari chronic granulomatus disease (penyakit
yang menyebabkan kemampuan fagosit untuk menghancurkan fagosit berkurang),
contohnya: Aids dan beberapa tipe kanker.

2. Autoimunitas

Respon imun terlalu aktif menyebabkan disfungsi imun yang disebut


autoimunitas. Sistem imun gagal untuk memusnahkan dengan tepat antara diri sendiri dan
orang lain yang menyerang dari bagian tubuh.

3. Hipersensitivitas

Adalah respon imun yang merusak jaringan tubuh sendiri. Mereka terbagi
menjadi 4 kelas (tipe I-IV) yaitu:

1. Reaksi anafilaksi

2. Reaksi sitotoksik

3. reaksi imun kompleks


4. reaksi toep lambat

Penyakit Imun

kadang-kadang, akibat defisiensi Sel B atau Sel T, sistem imun gagal


mempertahankan tubuh dari serangan, masing-masing infeksi bakteri atau virus,
sebaliknya, pada beberapa keadaan sistem imun bereaksi berkelebihan. Seperti pada
penyakit otoimun.

Penyakit defisiensi imun muncul ketika sistem imun kurang aktif daripada
biasanya, menyebabkan munculnya infeksi. Defisiensi imun merupakan penyebab dari
penyakit genetika, seperti severe combined immunodeficiency, atau diproduksi oleh
farmaseutikal atau infeksi, seperti sindrom defisiensi imun dapatan (AIDS) yang
disebabkan oleh retrovirus HIV. Penyakit autoimun menyebabkan sistem imun yang
hiperaktif menyerang jaringan normal seperti jaringan tersebut merupakan benda asing.
Penyakit autoimun yang umum termasuk rheumatoid arthritis, diabetes melitus tipe 1 dan
lupus erythematosus.

Respon Imun

Respon Imun Terbagi menjadi 2 yaitu:

1. Respon nonspesifik yaitu respon imun secara non selektif melawan bahan asing. Ini
Adalah pertahanan pertama membentuk sel-sel atipikal (sel asing, mutan atau yang
mengalami cidera). Contohnya: peradangan.
2. Respon imun spesifik yaitu suatu mikroba invasif yang masuk, komponen-komponen
spesifik sistem imun melakukan persiapan untuk secara selektif menyerang benda asing
tersebut. Sistem imun tidak saja mampu mengenali molekul asing sebagai sesuatu yang
bermolekul sendiri, sel-sel sistem imun spesifik, yakni limfosit.

Peradangan

Adalah salah satu dari respon pertama sistem imun terhadap infeksi, adapun gejala
dari peradangan adalah kemerahan dan bengkak yang di akibatkan oleh peningkatan
aliran darah ke jaringan, peradangan di produksi oleh eikosanoid dan sitokin, yang
dikeluarkan oleh sel yang terinfeksi atau terluka. Eikosanoid termasuk prostaglandin yang
memproduksi demam dan pembesaran pembuluh darah berkaitan dengan peradangan dan
leukotrin yang menarik sel darah putih.

III. Pertimbangan Geriatric

Kata geriatrics untuk pertama kali diberikan oleh seorang dokter Amerika, Ignaz leo
Vaschers pada tahun 1909. geriatric (geriatrics = geriatric medicine) berasal dari kata-kata
geros (usia lanjut) dan iateria (mengobati). Geriatri merupakan cabang gerotologi.
Gerontology ini dibagi menjadi:
A. Biology of aging
B. Social gerontology dan
C. Geriatric medicine, yang mengupas problem-problem klinis orang-orang usia lanjut:

Definisi geriatri medicine yang banyak dipakai adalah sebagai berikut: Geriatrics is the
branch of general (internal) medicine concerned with the clinical, preverentive, remedial
and social aspects of illiness in the elderly.

Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari masalah kesehatan pada lansia
yang menyangkut aspek promotof, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta psikososial
yang menyertai kehidupan lansia. Sementara Psikogeriatri adalah cabang ilmu kedokteran
jiwa yang mempelajari masalah kesehatan jiwa pada lansia yang menyangkut aspek
promotof, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta psikososiak yang menyertai kehidupan
lansia.

Ada 4 ciri yang dapat dikategorikan sebagai pasien Geriatri dan Psikogeriatri, yaitu:

 Keterbatasan fungsi tubuh yang berhubungan dengan makin meningkatnya usia

 Adanya akumulasi dari penyakit-penyakit degeneratif

 Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila : a) Ketergantungan pada
orang lain (sangat memerlukan pelayanan orang lain), b) Mengisolasi diri atau
menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan karena berbagai sebab, diantaranya
setelah menjalani masa pensiun, setelah sakit cukup berat dan lama, setelah kematian
pasangan hidup dan lain-lain.

 Hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan (homeostasis) sehingga


membawa lansia kearah kerusakan / kemerosotan (deteriorisasi) yang progesif
terutama aspek psikologus yang mendadak, misalnya bingung, panik, depresif, apatis
dan sebagainya. Hal itu biasanya bersumber dari munculnya stressor psikososial yang
paling berat, misalnya kematian pasangan hidup, kematian sanak keluarga dekat,
terpaksa berurusan dengan penegak hukum, atau trauma psikis.

Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia. Faktor-
faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat menikmati hari tua
mereka dengan bahagia. Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang sangat
mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut:

1. Penurunan Kondisi Fisik


2. Penurunan Fungsi dan Poetnsi Seksual
3. Perubahan Aspek Psikososial
4. Perubahan yang Berkaitan Dengan Perkejaan
5. Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat.

You might also like