Professional Documents
Culture Documents
Malaria Serebral
Oleh
AHMAD RAHMAWAN
Agustus, 2008
1
BAB I
PENDAHULUAN
Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh sporozoa dari genus
Plasmodium, yang secara klinis ditandai dengan serangan paroksismal dan
periodik, disertai anemia, pembesaran limpa dan kadang-kadang dengan
komplikasi pernisiosa seperti ikterik, diare, black water fever, acute tubular
necrosis, dan malaria cerebral.1 Berdasarkan laporan WHO (2000), terdapat lebih
dari 2400 juta penduduk atau 40% dari penduduk dunia tinggal di daerah endemis
malaria. Sementara, prevalensi penyakit malaria di seluruh dunia diperkirakan
antara 300-500 juta klinis setiap tahunnya. Sedangkan angka kematian yang
dilaporkan mencapai 1-1,5 juta penduduk per tahun, terutama terjadi pada anak-
anak di Afrika, khususnya daerah yang kurang terjangkau oleh pelayanan
kesehatan.2
Di Indonesia, sampai saat ini angka kesakitan penyakit malaria masih
cukup tinggi, terutama di daerah luar Jawa dan Bali. Namun, kini di daerah Jawa
dan Bali sudah terjadi peningkatan jumlah penderita malaria. Hal ini diakibatkan
banyaknya pengungsi yang berasal dari daerah yang dilanda konflik, sehingga
juga ikut berperan bagi terjadinya penyebaran malaria dari daerah endemis ke
daerah non-endemis.2
Dalam pelaksanaan program pemberantasan malaria, sudah banyak biaya
dan tenaga yang dikerahkan tetapi belum membuahkan basil yang nyata. Salah
satu kendala adalah keterlambatan mendiagnosis malaria sedini mungkin sehingga
tidak dapat segera diberi pengobatan. Oleh sebab itu dalam perbaikan strategi
pemberantasan malaria, upaya diagnosis dini dan pengobatan tepat merupakan
sasaran utama. Walaupun sampai saat ini diagnosis pasti hanya dapat dipastikan
melalui pemeriksaan parasitologis yang memerlukan keterampilan dan fasilitas
khusus.3
1
2
Dari 300 - 500 juta kasus klinis malaria di dunia, terdapat sekitar 3 juta
kasus malaria berat (malaria komplikasi) dan kasus kematian akibat malaria. Dari
kasus tersebut, paling banyak disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Malaria
berat atau malaria komplikasi yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum
ditandai dengan disfungsi berbagai organ. Salah satu jenis malaria komplikasi
adalah malaria serebral6. Studi terhadap populasi migran di Indonesia
menunjukkan bahwa risiko terkena malaria komplikasi setiap tahunnya 1,34 kali
pada orang dewasa (>15 tahun) dan 0,25 kali pada anak-anak (<10 tahun).
Patogenesis malaria komplikasi meliputi cytoadherent pada mikrovaskular
terhadap eritrosit terinfeksi parasit, adherens antara eritrosit normal dengan
eritrosit yang mengandung parasit (rosetting), dan pengeluaran sitokin sebagai
respons terhadap substansi toksik yang dikeluarkan oleh Plasmodium falciparum
yang menyebabkan kerusakan jaringan7,8. Namun, pada keadaan tertentu
pengeluaran sitokin sebagai respons terhadap substansi toksik dari Plasmodium
falciparum terjadi secara berlebihan sehingga menyebabkan kerusakan jaringan
yang sangat berat dan fatal. Dalam makalah ini, penulis akan menguraikan tentang
mekanisme imunologis yang berperan bagi terjadinya malaria serebral (malaria
komplikasi).2
1.2 Tujuan
Penulisan makalah tinjauan kepustakaan ini bertujuan memberikan
informasi mengenai infeksi malaria falciparum dengan komplikasi malaria berat,
yaitu malaria serebral. Secara khusus, akan dibahas mengenai etiologi,
patogenesis, penegakan diagnosis, terapi, prognosis, hingga prevensi dan follow
up pasien yang menderita malaria serebral.
3
BAB II
ISI
3
4
yang membendung kapiler yang bocor dan menimbulkan anoksia dan edema
jaringan.
Manifestasi klinis penderita malaria ini sangat beragam, dari yang tanpa
gejala sampai dengan yang berat. Di daerah endemis malaria, manifestasi klinis
tersebut sudah sangat dikenal oleh tenaga kesehatan bahkan penderita dapat
mendiagnosis penyakitnya sendiri. Pada daerah non endemis diperlukan
pengalaman untuk mengarah ke diagnosis malaria antara lain pengetahuan
epidemiologis, status malaria daerah asal atau tempat tinggal, mengetahui riwayat
tindakan medis yang pernah didapat (transfusi darah, suntikan), riwayat penyakit
dan berpergian dari penderita tersebut.3
Gejala klinis mulai tampak setelah 1 hingga 4 minggu setelah infeksi dan
umumnya mencakup demam dan menggigil. Hampir seluruh pasien dengan
malaria akut memiliki episode demam, sesuai dengan tipikal demam masing-
masing plasmodium. Menggigil dapat terjadi secara tidak teratur, terutama pada
infeksi Plasmodium falciparum. Gejala lainnya yaitu sakit kepala, keringat yang
meningkat, nyeri punggung, nyeri otot, diare, nausea, vomiting, dan batuk.7
Banyak faktor yang mempengaruhi manifestasi klinis tersebut antara lain:3
1) Status kekebalan yang biasanya berhubungan dengan tingkat endemisitas
tempat tinggalnya.
2) Beratnya infeksi (kepadatan parasit).
3) Jenis dan strain Plasmodium (spesies, resisten obat antimalaria atau Chesson
strain).
4) Status gizi.
5) Sudah minum obat antimalaria.
6) Keadaan lain penderita (bayi, hamil, orang tua, menderita sakit lain dan lain-
lain.
7) Faktor genetik (HbF, defisiensi G6PD, ovalositosis dan lain-lain)
Secara umum, bila kepadatan parasit tinggi, biasanya risiko menjadi
malaria berat lebih besar. Walaupun demikian tidak jarang didapatkan penderita
malaria berat dengan kepadatan parasit rendah dan sebaliknya(10,11). Hal ini
dapat terjadi karena manifestasi klinis malaria dipengaruhi oleh banyak faktor.
Malaria berat umumnya disebabkan oleh P. falciparum. Di samping itu malaria
falsiparum merupakan jenis malaria yang telah dilaporkan resisten terhadap
klorokuin maupun multidrug(2,3). Di Irian dikenal P. vivax Chesson strain yang
lebih sulit dapat disembuhkan. Status gizi sangat mempengaruhi kekebalan tubuh
terhadap infeksi terutama pada anak-anak, sehingga tak mengherankan malaria
pada anak kurang gizi sering berkembangmenjadi berat.3
8
c. Periode berkeringat
Penderita berkeringat mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh,
sampai basah temperatur turun, penderita merasa capek dan sering tertidur.
Bila penderita bangun akan merasa sehat dan dapat melakukan pekerjaan
biasa.
Trias malaria secara keseluruhan dapat berlangsung antara 6-10 jam, lebih
sering terjadi pada infeksi P.vivax. Pada infeksi P.falciparum menggigil dapat
berlangsung berat atau pun tidak ada. Periode tidak panas berlangsung 12 jam
pada P.falsiparum, 36 jam pada P.vivax dan ovale, 60 jam pada P.malariae.6
Manifestasi klinis penderita yang sudah minum obat antimalaria atau
minum profilaksis biasanya dapat lebih ringan atau menjadi tidak jelas. Pada
penderita dengan defisiensi G6PD dapat disertai dengan hemoglobinuria. Anak-
anak, ibu hamil dan orang tua, biasanya lebih rentan terhadap infeksi. Malaria
pada kehamilan dapat menyebabkan abortus, kematian janin, bayi lahir mati, berat
badan lahir rendah, malaria kongenital, partus sulit, anemia, gangguan fungsi
ginjal dan hipoglikemia.3
Periodisitas serangan berhubungan dengan berakhirnya skizogoni,
bilamana skizon matang kemudian pecah, merozoit bersama dengan pigmen dan
benda residu keluar dari sel darah merah memasuki aliran darah. Ini sebenarnya
merupakan suatu infeksi protein asing. Pada infeksi akut terdapat leukositosis
sedang dangan granulositosis, tetapi dengan turunnya suhu badan maka timbul
leukopenia dengan monositosis relatif dan limfositosis. Jumlah sel darah putih
sebesar 3000 sampai 45.000 pernah dilaporkan. Pada permulaan infeksi dapat
terjadi trombositopenia jelas, tetapi hal ini bersifat sementara.5
Diagnosis malaria sering memerlukan anamnesa yang tepat dari penderita
tentang asal penderita apakah dari daerah endemik malaria, riwayat bepergian ke
daerah malaria, riawayat pengobatan kuratif maupun preventif. Beberapa
10
Bila tidak terdapat demam tinggi atau parasitemia yang menyertai manifestasi
neurologis, maka kemungkinan penyebabnya adalah obat antimalaria.
- Hipoglikemia, pada infeksi malaria berat , dapat terjadi hipoglikemia.
Kejadian hipoglikemia lebih sering terjadi pada ibu hamil. Perlu adanya
pertimbangan pemberian infus dextrose 25-50% untuk mengatasi hal ini.
- Hiponatremia, hampir selalu terjadi pada kasus yang dialami orang tua dan
seringkali akibat muntah berlebih.
- Anemia berat dan hipoksemia dapat menyebabkan disfungsi serebral pada
pasien dengan malaria.
Patofisiologi malaria serebral yang terkait dengan infeksiusitas parasit
masih belum diketahui secara pasti. Meskipun dasar kelainan adalah adanya
sumbatan mikrosirkulasi serebral yang disebabkan parasit, namun mekanisme
pastinya masih merupakan hipotesis.8
Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi
merozoit ke dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung
parasit mengalami perubahan struktur dan biomolekuler sel untuk
mempertahankan kehidupan parasit. Perubahan tersebut meliputi mekanisme
transpor membran sel, penurunan deformabilitas, pembentukan knob, ekspresi
varian non antigen di permukaan sel, sitoadherensi, sekuestrasi dan rosetting,
peranan sitokin dan NO (Nitrik Oksida).6
Menurut pendapat ahli lain patogenesis malaria berat atau malaria
falciparum dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor penjamu (host). Yang
termasuk ke dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit dan
virulensi parasit. Sedangkan yang termasuk ke dalam faktor penjamu adalah
tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, usia, status nutrisi, dan status
imunologi. Parasit dalam eritrosit (EP) secara garis besar mengalami 2 stadium,
yaitu stadium cincin pada 24 jam pertama dan stadium matur pada 24 jam kedua.
Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan antigen RESA (Ring Erytrocite
Suirgace Antigen) yang menghilang setelah parasit masuk stadium matur.
Permukaan membran EP stadium matur akan mengalami penonjolan dan
13
sangat menarik. Pada anak yang mengalami malaria serebral ternyata telah
memiliki kadar antibodi antimalaria yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa
telah terjadi infeksi malaria sebelumnya. Fenomena ini memunculkan suatu
hipotesis bahwa pada anak-anak, saat infeksi pertama malaria mereka tidak
memiliki risiko tinggi untuk terkena malaria serebral. Tetapi, pada saat infeksi
kedua dan infeksi berulang berikutnya, mereka memiliki risiko tinggi untuk
terkena malaria serebral. Ada satu penjelasan yang paling mungkin mengenai hal
ini bahwa malaria serebral adalah penyakit imunologis, di mana pada infeksi
pertama terbentuk pertahanan imun yang protektif yang nantinya menyebabkan
imunopatologi pada reinfeksi berikutnya.2
Dalam mempelajari patofisiologi malaria, para peneliti menemukan
sebuah mediator yang dianggap mempunyai peran sentral dalam terjadinya gejala
klinik. Tumor Necrosis Factor (TNF) merupakan sitokin yang mayoritas
diproduksi oleh makrofag, dianggap dapat memperantarai timbulnya demam,
anemia, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, edema paru (ARDS = adult
respiratory distress syndrome), penurunan tensi sampai syok, serta malaria
serebral.10
Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah mendapat
stimulasi dari toksin malaria. Sitokin ini antara lain TNF alfa (TNF α),
interleukin-1 IL-1), IL-6, IL3, lymphotoxin (LT) dan interferon gamma (INF γ).
Dari beberapa penelitian dibuktikan bahwa penderita malaria serebral yang
meninggal atau dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai kadar
TNFα yang tinggi. Demikian juga malaria tanpa komplikasi kadar TNFα, IL-1,
IL-6 lebih rendah dari malaria serebral. Walaupun demikian hasil ini tidak
konsisten karena juga dijumpai penderita malaria yang mati dengan TNF normal
atau rendah atau pada malaria serebral yang hidup dengan sitokin yang tinggi.
Oleh karenanya diduga adanya peran dari neurotransmiter yang lain sebagai free
radical dalam kaskade ini seperti NO sebagai faktor yang penting dalam
patogenesis malaria berat 6
15
Keseimbangan antara sitokin yang dikeluarkan oleh Th1 seperti Tumor Necrosis
Factor-α (TNF-α) dan Interferon Gamma (IFN-γ) serta sitokin yang dikeluarkan
oleh Th2 seperti Interleukin 4 (IL-4) dan Interleukin 10 (IL-10) dapat menentukan
berat ringannya malaria falciparum.
Sebagai contoh, rasio IL-10 : TNF-α sangat rendah pada penderita anak-
anak dengan hiperparasitemia yang disertai anemia. Hal ini menunjukkan bahwa
produksi IL-10 yang tinggi dapat mengurangi anemia dengan mengurangi efek
dari TNF-α. Percobaan in vitro menggunakan sel pasien malaria menunjukkan
bahwa IL-10 dapat menghambat produksi TNF-α dan IL-1. Dalam percobaan
tersebut, pada penyakit malaria akibat Plasmodium falciparum akan terjadi
peningkatan IL-12 dan IL-1014,15. IL-12 dapat meningkatkan clearence parasit
sehingga dapat meningkatkan imunitas, akan tetapi IL-12 juga mempunyai efek
yang merugikan pada beberapa tipe infeksi malaria.2
Pada malaria serebral umumnya ditemukan kadar TNF-α yang sangat
tinggi dalam serum penderita. Hal ini terjadi karena adanya sel T spesifik terhadap
antigen malaria mengadakan proliferasi berlebihan. Sel T ini biasanya diperankan
oleh Th1. Respons Th1 tergantung pada IL-12. Akan tetapi, respons ini bisa
dihambat oleh IL-10 yang disekresi oleh Th2. Selain itu, juga antibodi yang sudah
terbentuk bisa menghambat aktivasi terhadap sel T dan memblok induksi
pengeluaran TNF-α dari makrofag. Berdasarkan konsep ini, IL-10 dan IL-12
sangat berperan dalam patogenesis penyakit malaria.2
1. Anamnesis
Pada anamnesis sangat penting diperhatikan:
- Keluhan utama: Demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit
kepala, mual, muntah, diare, nyeri otot dan pegal-pegal.
- Riwayat berkunjung dan bermalam 1-4 minggu yang lalu ke daerah
endemik malaria.
- Riwayat tinggal di daerah endemik malaria.
- Riwayat sakit malaria.
- Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir.
- Riwayat mendapat transfusi darah.
2. Pemeriksaaan Fisik:
- Demam (T ≥ 37,5°C).
- Konjunctiva atau telapak tangan pucat.
- Pembesaran limpa (splenomegali).
- Pembesaran hati (hepatomegali).
Pada tersangka malaria berat ditemukan tanda-tanda klinis sebagai
berikut:
- Temperatur rektal ≥ 40°C.
- Nadi cepat dan lemah/kecil.
- Tekanan darah sistolik <70mmHg.
- Frekuensi nafas > 35 kali per manit pada orang dewasa atau >40 kali per
menit pada balita, anak dibawah 1 tahun >50 kali per menit.
- Penurunan derajat kesadaran dengan GCS <11.
- Manifestasi perdarahan: ptekie, purpura, hematom.
- Tanda dehidrasi: mata cekung, turgor dan elastisitas kulit berkurang, bibir
kerins, produksi air seni berkurang.
- Tanda-tanda anemia berat: konjunktiva pucat, telapak tangan pucat, lidah
pucat.
- Terlihat mata kuning atau ikterik.
- Adanya ronkhi pada kedua paru.
18
2.5. Penatalaksanaan
Manajemen terapi atau penanggulangan malaria serebral meliputi: 2
1. Penanganan Umum
a. Penderita harus dirawat di ruang perawatan intensif (ICU).
b. Untuk di daerah endemis, terapi diberikan sesegera mungkin, kadang-
kadang sebelum konfirmasi parasitologik.
c. Penderita harus ditimbang untuk menghitung dosis obat antimalaria.
d. Pemberian cairan infus untuk pemeliharaan cairan dan kebutuhan kalori,
jika perlu dipasang kateter CVP, khususnya untuk penderita lanjut usia.
Semua intake harus direkam secara hati-hati.
e. Pasang kateter urin untuk mengukur pengeluaran urin seperti halnya
mengukur pengeluaran yang lain.
f. Penderita harus diawasi dari muntah dan pencegahan jatuhnya penderita
dari tempat tidur.
g. Penderita harus dibolak-balik untuk menghindari decubitus.
h. Hindari penggunaan NGT (nasogastric tube) untuk mencegah aspirasi.
2. Terapi Antimalaria
a. Obat-obat terpilih:
- Kinin dihidroklorida 10 mg/kg BB i.v. dalam NaCl 0,9% (10 cc/kg
BB) diberi dalam 4 jam, diulang setiap 12 jam sampai sadar.
- Hidrokortison 2 X 100 mg/hari i.v.
21
b. Obat-obat pengganti:
- Khlorokuin sulfat 250 mg i.v. perlahan-lahan disusul dengan 250 mg
dalam 500 cc NaCl 0,9% dalam 12 jam (2 kali).
- Dexametason 10 mg i.v. (dosis inisial), dilanjutkan dengan 4 mg i.v.
tiap 1 jam.
3. Penangaan pasien tidak sadar: 11
- Buat grafik suhu, nadi, dan pernafasan secara akurat.
- Pasang IVFD. Untuk mencegah terjadinya trombophlebitis dan infeksi
yang sering terjadi melalui IV-line maka IV-line sebaiknya diganti setiap
2-3 hari.
- Pasang kateter urethra dengan drainase / kantong tertutup. Pemasangan
kateter dengan memperhatikan kaidah antisepsis.
- Pasang nasogastric tube (maag slang) dan sedot isi lambung untuk
mencegah aspirasi pneumonia.
- Mata dilindungi dengan pelindung mata untuk menghindari ulkus kornea
yang dapat terjadi karena tidak adanya refleks mengedip pada pasien tidak
sadar.
- Menjaga kebersihan mulut untuk mencegah infeksi kelenjar parotis karena
kebersihan rongga mulut yang rendah pada pasien tidak sadar.
- Ubah/balik posisi lateral secara teratur untuk mencegah luka dekubitus dan
hypostatic pneumonia.
4. Monitoring
Hal-hal yang perlu dimonitor: 11
- Tensi, nadi, suhu, dan pernafasan setiap 30 menit.
- Pemeriksaan derajat kesadaran dengan modifikasi Glasgow coma scale
(GCS) setiap 6 jam.
- Hitung parasit setiap 12-24 jam.
- Hb & Ht setiap hari.
- Gula darah setiap 4 jam.
22
- Parameter lain sesuai indikasi (misal : ureum, creatinin & kalium darah
pada komplikasi gagal ginjal).
- Pemeriksaan derajat kesadaran (modifikasi Glasgow coma score).
Obat yang dipakai untuk tujuan ini pada umumnya bekerja terutama pada
tingkat eritrositer, hanya sedikit yang berefek pada tingkat eksoeritrositer (hati).
Obat harus digunakan terus-menerus mulai minimal 1 – 2 minggu sebelum
berangkat sampai 4 ? 6 minggu setelah keluar dari daerah endemis malaria. OAM
yang dipakai dalam kebijakan pengobatan di Indonesia adalah Klorokuin, banyak
digunakan karena murah, tersedia secara luas, dan relatif aman untuk anak-anak,
ibu hamil maupun ibu menyusui. Pada dosis pencegahan obat ini aman digunakan
untuk jangka waktu 2-3 tahun. Efek samping berupa gangguan GI Tract seperti
mual, muntah, sakit perut dan diare. Efek samping ini dapat dikurangi dengan
meminum obat sesudah makan. 11
Pencegahan pada anak, OAM yang paling aman untuk anak kecil adalah
klorokuin. Dosis : 5 mg/KgBB/minggu. Dalam bentuk sediaan tablet rasanya
pahit sehingga sebaiknya dicampur dengan makanan atau minuman, dapat juga
dipilih yang berbentuk suspensi. 11
Untuk mencegah gigitan nyamuk sebaiknya memakai kelambu pada waktu
tidur. Obat pengusir nyamuk bentuk repellant yang mengandung DEET sebaiknya
tidak digunakan untuk anak berumur < 2 tahun. Pencegahan perorangan
Dipakai oleh masing-masing individu yang memerlukan pencegahan terhadap
penyakit malaria. Obat yang dipakai : Klorokuin. Cara pengobatannya:11
24
BAB III
PENUTUP
3. 1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penulisan makalah tinjauan kepustakaan ini, antara
lain:
1. Malaria adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh parasit dari
genus Plasmodium.
2. Malaria dapat menimbulkan berbagai komplikasi berat, yang disebut sebagai
malaria berat. Salah satu komplikasi tersebut adalah malaria serebral.
3. Malaria serebral ditandai demam yang sangat tinggi, gangguan kesadaran,
kejang yang terutama terjadi pada anak, hemiplegi dan berakhir pada kematian
jika tidak secepatnya mendapatkan perawatan yang tepat.
4. Dasar patogenesis malaria serebral adalah abnormalitas eritrosir terinfeksi,
yang mencakup berbagai proses patologi penting, yaitu sekuestrasi,
sitoadherensi, dan rosetting eritrosit, dengan konsekuensi blokade
mikrosirkulasi serebral.
5. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang, dimana sebelumnya pasien terbukti menderita
malaria dan terdapat lebih dari satu manifestasi neurologis.
6. Penatalaksanaan terbagi menjadi penanganan umum, penanganan malaria,
penanganan pasien tidak sadar, dan monitoring.
7. Pencegahan malaria serebral sesuai dengan pencegahan malaria secara umum,
yaitu dengan menghindari gigitan nyamuk dan memutus daur hidup nyamuk.
Prognosis umumnya buruk bila telah terjadi kegagalan lebih dari 2 organ.
3.2 Saran
Berbagai penelitian mengenai berbagai efektivitas antimalaria
merupakan hal yang perlu digiatkan. Dasar pertimbangannya adalah insidensi
25
26
DAFTAR PUSTAKA
10. Santoso, Baju SH. Peran tumor necrosis factor (YNF) dan faktor
penghambat produksi TNF pada gejala klinik malaria falciparum dan
malaria vivax di daerah hipoendemik Lombok. 2007 (available at
lib.unair.ac.id, diakses tanggal 5 Agustus 2008)
DAFTAR ISI
ii
29