You are on page 1of 36

TELAAH SEKILAS TENTANG ASURANSI

Selain sektor riil (perdagangan dan jasa), dalam sistem ekonomi kapitalistik
berkembang pula sektor non-riil atau sektor keuangan. Dalam sektor ini, uang
tidak lagi dianggap sebagai alat tukar semata tapi juga sebagai komoditi yang
bisa diperdagangkan atau diambil ‘manfaatnya’. Salah satu bentuknya adalah
“jasa” asuransi. Mereka memang menganggap usaha ini, sebagaimana
perbankan, sebagai jasa. Padahal bila ditilik lebih jauh usaha tersebut adalah
memperlakukan uang sebagai komoditi seperti disebut diatas. Maka asuransi
adalah sebuah usaha yang mengambil keuntungan dari komoditas uang yang
berputar dalam jasa jaminan.

Pengertian Asuransi
Dr. H. Hamzah Ya’cub dalam buku Kode Etik Dagang Menurut Islam, menyebut
bahwa asuransi berasal dan kata dalam bahasa lnggris insurance atau assurance
yang berarti jaminan. Dalam pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang
(KUHD) dijelaskan bahwa asuransi adalah: “suatu perjanjian, dengan mana
seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan
suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan
dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.”
Pada awalnya asuransi dikenal di Eropa Barat pada Abad Pertengahan berupa
asuransi kebakaran. Lalu pada abad 13-14, seiring dengan meningkatnya lalu
lintas perhubungan laut antar pulau, berkembanglah asuransi pengangkutan
taut. Asuransi jiwa sendiri baru dikenal pada awal abad ke-19. Kodifikasi hukum
yang dibuat oleh Napoleon Bonaparte memuat pasal-pasal tentang asuransi
dalam KUHD. Kodifikasi ini kemudian mempengaruhi KUHD Belanda, yang
sebagiannya hingga sekarang masih dipakai di Indonesia.
Bentuk asuransi sekarang sudah sangat beragam. Disamping yang telah disebut,
juga ada asuransi kecelakaan, asuransi kerusakan, asuransi kesehatan, asuransi
pendidikan, asuransi kredit, bahkan juga asuransi organ tubuh (kaki pada
pemain bola, suara pada penyanyi dan sebagainya).
Tujuan asuransi pada pokoknya adalah mengalihkan risiko yang ditimbulkan oleh
peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan kepada orang lain yang bersedia
mengambil risiko itu dengan mengganti kerugian yang dideritanya. Pihak yang
bersedia menerima risiko itu disebut penanggung (insurer). Ia mau melakukan
hal itu tentu bukanlah semata-mata demi kemanusiaan saja (bahkan mungkin
alasan sosial ini memang tidak pernah ada), tapi karena Ia melihat dalam usaha
ini terdapat celah untuk mengambil keuntungan. Sebagai perusahaan. pihak
penanggung bagaimanapun Iebih dapat menilai besarnya risiko itu dan pada
pihak tertanggung (insured) seorang. Berdasarkan besar kecilnya risiko yang
dihadapi penanggung dan berapa besar persentase kemungkinan klaim yang
akan diterimanya. didukurig analisa statistik. perusahaan asuransi dapat
menghitung besarnya penggantian kerugian. Dan dari jumlah inilah perusahaan
memintakan premi kepada pihak tertanggung. Di luar itu, perusahaan asuransi
masih memasukkan biaya operasional dan margin keuntungan untuk perusahaa.
Ini merupakan teknik perusahaan asuransi untuk meraup untung. Bila biaya
operasiorial dan margin keuntungan dari satu nasabah tentanggung sudah
diperoleh, ditambah dengan perolehan bunga dan uang premi nasabah tiap
bulan yang disimpan di bank, maka perusahaan asuransi tentu saja akan meraup
untung berlipat-lipat dan semakin banyak nasabah yang berhasil digaet.

Memang diakui masih ada kemungkinan dalam prakteknya perhitungan teliti itu
meleset. Dalam arti, masih ada bahaya besar bagi perusahaan bila menanggung
sendiri. Tapi kemungkirian itu sangat kecil, kalau tidak bisa disebut tidak ada
sama sekali. Disamping itu, perusahaan bisa berupaya agar risiko itu ditanggung
pula oleh pihak lain. Inilah yang dinamakan reasuransi.

Bentuk Asuransi
Prof. KH. AIie Yafie dalam buku Mengga gas Fiqh Sosial, mengutip uraian Prof. Dr.
Wirjono Projodikoro, SH dalam buku Hukum Asuransi di Indonesia, dan Ny. Emmy
Pangaribu Simanjutak, SH dalam Hukum Pertanggungan, menyebut ada
beberapa bentuk asuransi.
Pertama, bila ditilik dan segi maksud dan tujuan yang hendak dicapai, asuransi
dapat dibagi menjadi tiga, yakni Asuransi Ganti Kerugian, Asuransi Sejumlah
Uang dan Asuransi Wajib. Asuransi Ganti Kerugian atau Asuransi Kerugian adalah
suatu bentuk asuransi dimana terdapat suatu perjanjian berupa kesediaan pihak
penanggung untuk mengganti kerugian yang diderita oleh pihak tertanggung.
Ada kalanya penggantian kerugian yang diberikan oleh penanggung sebenarnya
tidak dapat disebut ganti rugi yang sesungguhnya. Yang diterimanya itu
sebenarnya adalah hasil penentuan sejumlah uang tertentu yang telah
disepakati kedua belah pihak. Disebut kesepakatan, karena siapa yang mau
nyawanya diganti dengan sejumlah uang? Asuransi yang demikian ini disebut
Asuransi Sejumlah Uang atau Asuransi Orang, yang merupakan lawan (muqabil)
dari asuransi ganti kerugian yang dianggap sebagai asuransi yang
sesungguhnya. Yang termasuk golongan asuransi ganti kerugian ialah asuransi
kebakaran, asuransi laut, asuransi pengangkutan di darat dan sebagainya. Dan
yang termasuk golongan asuransi sejumlah uang ialah asuransi jiwa dan
asuransi kecelakaan. Di Barat istilah insurance digunakan untuk asuransi ganti
kerugian, sedang assurance untuk asuransi sejumlah uang.
Dalam Asuransi Wajib, dikatakan wajib karena ada salah satu pihak yang
mewajibkan kepada pihak lain dalam mengadakan perjanjian. Pihak yang
mewajibkan ini biasanya adalah pihak pemerintah. Pemerintah dalam hal ini
bertindak sebagai penanggung. Ia mewajibkan asuransi ini berdasarkan atas
pertimbangan untuk melindungi golongan lemah dari bahaya yang mungkin
akan menimpanya. Disamping itu juga ada tujuan lain, yakni mengumpulkan
sejumlah uang premi yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk keperluan
lain yang dianggap lebih penting.
Kedua, apabila ditilik dari sudut badan usaha yang menyelenggarakan asuransi,
maka dapat dibagi menjadi dua, yakni Asuransi Premi dan Asuransi Saling
Menanggung. Asuransi premi adalah bentuk asuransi biasa. Dalam asuransi ini
terdapat suatu perusahaan asuransi di satu pihak yang mengadakan persetujuan
asuransi dengan masing-masing pihak tertanggung secara sendiri-sendiri,
dimana diantara tertanggung tidak ada hubungan hukum satu sama lain.
Kebalikannya, di dalam asuransi saling menanggung ada suatu persetujuan dari
semua para pihak tertanggung selaku anggota. Mereka tidak membayar premi,
melainkan membayar semacam iuran kepada pengurus dan perkumpulan. Dan
juga selaku anggota perkumpulan, mereka akan menerima pembayaran apabila
memenuhi syarat, yang tergantung pada peristiwa yang semula belum dapat
ditentukan akan terjadi.

Hukum Asuransi
Taqiyyudin al-Nabhani dalam kitab al-Nidzamu al-Iqtishady fi al-Islam,
menyatakan bahwa asuransi adalah mu’amalah yang batil, oleh sebab dua
perkara. Pertama, karena tidak terpenuhinya aqad dalam asuransi sebagai aqad
yang sah menurut syara’. Kedua, karena aqad dalam asuransi tidak memenuhi
syarat bagi sahnya aqad jaminan (dhaman).

Menurut Taqiyyudin, sebuah aqad dinilai sah oleh Islam bila aqadnya itu sendiri
berlangsung secara sah, dan itu menyangkut barang atau jasa. Aqad terjadi
menyangkut barang, baik dengan imbalan seperti dalam aqad jual beli, atau
tanpa imbalan seperti dalam hibah atau hadiah. Aqad bisa pula terjadi pada jasa,
baik dengan imbalan seperti dalam ijarah (perburuhan) atau tanpa imbalan
seperti dalam aqad pinjaman (ariyah). Dilihat dan kategori ini, aqad asuransi
tidaklah termasuk aqad, baik menyangkut barang ataupun jasa. Karena
faktanya, aqad asuransi itu berkaitan dengan perjanjian atas jaminan
pertanggungan. Janji ini tidak dapat dianggap barang, karena dzatnya tidak bisa
dinikmati serta dimanfaatkan. Tidak bisa juga dianggap jasa, karena tidak ada
yang bisa memanfaatkan janji itu baik secara langsung maupun tidak. Adapun
didapatnya sejumlah uang berdasarkan janji kesediaan menanggung itu, tetap
tidak dapat merubah fakta bahwa janji itu bukanlah jasa, karena uang
pertanggungan itu hanyalah merupakan akibat dari kesepakatan yang telah
dilakukan sebelumnya. Dari itu jelaslah bahwa asuransi tidak memenuhi syarat
agar bisa disebut aqad yang sah. Pendapat ini didukung oleh Khalid Abd.
Rahman Ahmad dalam bukunya al-Tafkir al-Iqtishady fi al-Islam.

Masih menurut Syekh Taqiyyudin, jaminan (dhaman) adalah pemindahan harta


pihak penjamin kepada pihak yang dijamin dalam menunaikan suatu kewajiban.
Dalam pemindahan harta seseorang kepada pihak lain itu disyaratkan harus ada
penjamin (dhamin), yang dijamin (madhmun ‘anhu) dan yang menerima jaminan
(madhmun lahu). Lalu agar jaminan itu sah, disyaratkan terjadi dalam perkara
penunaian hak harta yang benar-benar wajib dipenuhi oleh yang dijamin, seperti
hutang, atau yang akan jatuh tempo pemenuhannya, seperti mahar atau garansi
terhadap barang dan sebagainya. Jika yang dijamin tidak mendapatkan apa-apa,
maka dalam hal ini tidak terjadi pemindahan harta. Yang tidak wajib ditunaikan
oleh pihak yang dijamin tentu lebih tidak wajib ditunaikan oleh pihak penjamin.

Dalilnya, Syekh Taqiyyudin menunjuk sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Darda’ dan Jawir. Dalam hadits ini diriwayatkan, “Rasulullah SAW pernah tidak
bersedia menshalatkan (mayat) seorang laki-laki yang mempunyai hutang
(semasa hidupnya). Rasulullah SAW. disodori jenasahnya (untuk dishalatkan),
kemudian beliau bersabda: “Apakah Ia mempunyai hutang?” Mereka menjawab:
“Benar, yaitu dua dinar.” Kemudian beliau bersabda: “Shalatkan sahabat kalian.”
Kemudian Abu Qathadah al-Anshari berkata: “Biarkan hutangnya menjadi
tanggunganku, ya Rasulullah. Maka beliau lalu mau menshalatkannya. Ketika
Allah telah menaklukkan berbagai negeri di bawah kekuasaan Rasulullah SAW,
beliau bersabda: “Aku lebih utama bagi setiap mukmin dan diri mereka sendiri.
Maka barang siapa yang meninggalkan hutang, akulah yang akan melunasinya,
dan barang siapa yang meninggalkan warisan maka harta warisan itu bagi
pewarisnya.

Kisah dalam hadits di atas menunjukkan adanya aqad jaminan, yakni dalam apa
yang telah dilakukan oleh Abu Qathadah dengan menjamin kewajiban pelunasan
hutang-hutang si mayat. Di situ Abu Qathadah memindahkan kepemilikan
sebagian hartanya kepada si mayat untuk menunaikan hak harta berupa hutang
yang tentu saja tetap harus dibayar oleh si mayit. Kisah ini juga menunjukkan
bahwa dalam masalah jaminan terdapat pihak penjamin, yakni Abu Qathadah;
yang dijamin, yakni si mayit; dan pihak yang mendapatkan jaminan (majhul).
Jelas pula bahwa jaminan adalah kewajiban penunaian hak harta tanpa suatu
imbalan apapun, karena Abu Qathadah yang bersedia menjamin pembayaran
hutang si mayit memang tidak memperoleh apa-apa. Sementara, dalam kisah di
atas, pihak yang dijamin, yakni si mayat, dan pihak yang mendapatkan jaminan,
yakni orang yang berpiutang adalah sama-sama majhul. Dengan demikian hadits
ini telah sangat jelas memuat syarat sahnya aqad jaminan (dhaman).

Berdasarkan ketentuan ini, aqad jaminan pada asuransi konvensional tidaklah


memenuhi keseluruhan syarat bagi sahnya sebuah aqad jaminan yang disahkan
syariat. Dalam asuransi memang seolah-olah terdapat pihak penjamin, yakni
perusahaan asuransi; pihak yang dijamin, yakni nasabah; dan yang menerima
jaminan yang tergantung pada jenis asuransi. Bila asuransi jiwa misalnya, berarti
penerirna jaminan adalah ahli waris. Bila asuransi kecelakaan, kebakaran dan
angkutan, yang menerima jaminan adalah nasabah itu sendiri. Tapi, bila ditilik
lebih jauh, dalam asuransi itu sesungguhnya tidak ada pemindahan hak
seseorang kepada orang lain. Perusahaan asuransi sendiri kenyataannya
tidaklah menjaminkan hartanya kepada seseorang dalam menunaikan kewajiban
pihak tertanggung (nasabah). Karenanya perusahaan asuransi tidak bisa disebut
pihak penjarnin (dhamin).

Di sini juga tidak ada jaminan, karena tidak ada hak harta yang harus ditunaikan
oleh seseorang yang dijamin. Tanggungan yang diberikan oleh perusahaan
asuransi berupa uang seharga barang atau sejumlah uang yang diserahkan oleh
perusahaaan asuransi tersebut ternyata tidak otomatis diterima oleh penerima
tanggungan ketika polis asuransi tersebut ditandatangani, baik secara tunai
maupun dibayarkan kemudian. Dengan demikian perusahaan asuransi menjamin
sesuatu yang tidak wajib dilaksanakan.

Dalam sistem asuransi juga tidak ada pihak yang dijamin (madhmun ‘anhu),
karena perusahaan asuransi tersebut tidak memberikan jaminan kepada
seseorang yang harus memenuhi suatu hak. Lagi pula ketika perusahaan
asuransi berjanji menyerahkan pertanggungan atau menyerahkan uang ganti
rugi pada saat terjadinya kerusakan, atau hilangnya barang atau terjadinya
kecelakaan, hal itu sebenarnya merupakan imbalan dari sejumlah premi yang
diserahkan oleh pemegang polis (pihak tertanggung). Dengan begitu jelaslah
bahwa sistem asuransi adalah jaminan dengan imbalan ini tentu tidak sah,
karena salah satu syarat sahnya jaminan adalah apabila pemberi jaminan
tersebut berlangsung tanpa imbalan apapun. Karena itulah secara keseluruhan
asuransi adalah batil. Bila aqad asuransi batil, maka harta yang diperoleh adalah
haram karena diperoleh dengan jalan haram.
Takaful: Sebagai Alternatif
Sebagai kritik terhadap sistem asuransi konvensional yang dinilai mengandung
riba, judi dan kedzaliman, di Indonesia telah berdiri perusahaan asuransi Islam
(Takaful). Perusahaan ini diyakini berjalan sesuai prinsip-prinsip syariah dalam
mua’amalah yang menyangkut prinsip jaminan, syirkah, bagi hasil dan ta’awun
atau takaful (saling rnenanggung). Berasal dan bahasa Arab, takaful berarti
saling menanggung atau menanggung bersama. Menilik pengertiannya, asuransi
takaful barangkali bisa digolongkan ke dalam bentuk Asuransi Saling
Menanggung.

Menurut para penggagas Takaful, setidaknya terdapat tiga keberatan dalam


praktek asuransi konvensional. Pertama, unsur gharar atau ketidakpastian.
Kedua, maysir atau untung-untungan, dan ketiga, riba. Ketidakpastian atau
gharar tercermin dalam bentuk akad dan sumber dana klaim serta keabsahan
syar’iy penerimaan uang klaim. Peserta asuransi tahu berapa yang akan diterima
tapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan karena hanya Allah saja yang
mengetahui kapan ia meninggal (dalam hal asuransi jiwa). Aqad yang terjadi
dalarn asuransi konvensional adalah ‘aqd tabadduIi, yakni pertukaran
pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Padahal dalam Islam, harus
jelas berapa yang akan kita bayar dan berapa yang akan kita terima. Dalam
takaful unsur gharar dihilangkan. Akad yang dipakai bukan akad pertukaran tapi
‘aqd takafuli, yakni akad tolong menolong dan saling menanggung. Artinya,
semua peserta asuransi Islam menjadi penjamin satu sama lainnya. Kalau salah
satu peserta meninggal yang lain menanggung, demikian sebaliknya.

Masih menyangkut gharar, dalam asuransi konvensional ada ketidakjelasan


menyangkut sumber dana pembayaran klaim. Peserta tidak mengetahui
darimana dana pertanggungan berasal manakala ia meninggal atau mendapat
musibah sebelum premi yang harus dibayarkannya terpenuhi. Luas diketahui
dana itu diperoleh dari sebagian bunga yang didapatkan dari penyimpanan uang
premi para nasabah oleh perusahaan asuransi di bank konvensional. Bahkan bisa
dikatakan bahwa dari bunga uang premi para nasabah itulah perusahaan
mendapat “keuntungan”, setetah dipotong untuk biaya operasional dan
kemungkinan pembayaran uang tanggungan.

Dalam takaful, sejak awal nasabah telah diberi tahu dari mana dana yang
diterimanya berasal, bila ia meninggal atau mendapat musibah. Ini
dimungkinkan sebab setiap pembayaran premi sejak awal telah dibagi menjadi
dua. Pertama masuk ke dalam rekening pemegang polis, dan kedua dimasukkan
ke rekening khusus peserta yang diniatkan tabarru’ (membantu) atau shadaqah
untuk membantu saudaranya yang lain, misalnya dua persen (bisa berubah-ubah
tergantung jumlah pemegang polis; semakin banyak semakin kecil) dan jumlah
premi. Jika ada peserta yang meninggal sebelum masa jatuh temponya habis,
kekurangan uang pertanggungan akan diambil dan rekening khusus atau
tabarru’ tadi.

Misalnya, seorang peserta mengambil waktu pertanggungan 10 tahun, dengan


premi Rp 1 juta pertahun. Dari jumlah itu, dua persen (Rp 20 ribu) dimasukkan
ke rekening khusus (tabarru’) sehingga rekening peserta menjadi Rp 980 ribu
setahun. Dalam 10 tahun terkumpul Rp 9,8 juta. Karena ia menitipkan uangnya
pada perusahaan, peserta berhak mendapat keuntungan bagi hasil, misalnya
70:30. Tujuh puluh persen untuk nasabah, sisanya untuk perusahaan takaful.

Bila peserta tesebut meninggal pada tahun kelima masa angsuran misalnya, ia
akan mendapat dana pertanggungan. Dana itu terdiri dan: rekening peserta
selama lima tahun (5 x Rp 980 ribu) ditambah dengan bagi hasil selama lima
tahun dan uang tersebut, misalnya Rp 400 ribu, dan sisa premi yang belum
dibayarkan 5 x Rp l juta= Rp 5 juta. Dari mana perusahaan takaful mendapat
uang Rp 5 juta ini ?. Bagian lima juta inilah yang diambil dari dana tabarru’ tadi.

Jika peserta tersebut mengundurkan diri pada tahun kelima, ia mendapatkan


kembali uang sebesar Rp 5,3 juta, yang terdiri dan Rp 4,9 juta dari rekening
peserta selama lima tahun dan Rp 400 ribu dari bagi hasil selama lima tahun.

Dalam praktek asuransi konvensional, peserta yang mengudurkan diri sebelum


jangka waktu pertanggungan habis biasanya tidak mendapat apa-apa. Karena
uang premi yang sudah dibayarkannya dianggap hangus. Kalaupun bisa diambil
itu hanya sebagian kecil saja. lnilah yang dimaksud unsur maysir (judi) dalam
asuransi konvensional. Dalam praktek seperti ini, ada pihak yang (selalu)
diuntungkan, yakni perusahaan asuransi, dan ada pihak yang dirugikan, yakni
peserta. Memang kini ada asuransi yang memungkinkan peserta mengundurkan
diri sebelum waktu pertanggungan habis. Tapi biasanya perusahaan asuransi
menentukan sendiri batas waktu boleh tidaknya uang yang sudah dibayarkan
peserta ditarik kembali. Misalnya tiga tahun. ini berarti sebelum tiga tahun
(sebelum reversing period) peserta tidak bisa mengambil uangnya jika karena
sesuatu hal mengundurkan diri. Selepas tiga tahun, peserta memang boleh
mengambil kembali uangnya, tapi biasanya dipotong biaya administrasi.

Dalam takaful, reversing period atau masa dibolehkannya peserta mengambil


uang yang telah dibayarkan (mengundurkan diri atau membatalkan kontrak)
adalah sepanjang waktu pertanggungan. Kendati peserta baru membayar satu
kali angsuran misalnya, ia berhak mendapatkan kembali uangnya jika
mengundurkan diri, kecuali sebagian kecil yang dipotong untuk dana tabarru’.
Asuransi konvensional biasanya menginvestasikan dananya atas dasar
perhitungan bunga. Begitu juga jika mereka harus meminjam uang dari bank.
Artinya, unsur riba di sini sangat dominan. Takaful menghilangkan praktek ini.
Kalaupun perusahaan takaful memutarkan uang nasabah ke pihak lain,
perhitungan keuntungannya atas dasar bagi hasil. Pendek kata mereka hanya
mau menempatkan dananya dalam investasi yang sesuai dengan prinsip
syari’ah. Selisih nisbah pembagian keuntungan antara perusahaan takaful
dengan bank syari’ah penyalur dana (BMI) —harus demikian karena menurut UU
yang berlaku, perusahaan asuransi hanya boleh menghimpun dana tapi tidak
boleh menyalurkan dana dengan pembagian keuntungan antara perusahaan
asuransi dengan nasabah itulah yang menjadi keuntungan perusahaan takaful.

Beberapa Pertanyaan
Kendati sekilas tampaknya semua mekanisme takaful Islam telah berjalan sesuai
syari’ah, tapi tak urung mengundang sejumlah pertanyaan. Pada pokoknya
pertanyaan tersebut berpangkal pada dua perkara yakni: Pertama, tentang
terpenuhi tidaknya syarat bagi sahnya aqad jaminan serta terpenuhi tidaknya
syarat dalam aqad jaminan yang disahkan syara’; dan Kedua, seputar
kedudukan perusahaan takaful itu sendiri: apakah ia berperan sebagai perus-
ahaan penjamin, ataukah sebagai perusahaan pengelola dana nasabah
(mudharib), atau hanya sekedar sebagai pialang (broker) yang mempertemukan
nasabah sebagai pemilik dana dengan pengusaha.
Menurut fiqh Islam, sebagaimana disebut oleh Syekh Taqiyyudin aI-Nabhani di
atas, terdapat lima rukun dhaman, yakni adanya pihak yang menjamin (dhamin),
yang dijamin (madhmun ‘arihu) dan yang menerima jaminan (madhmun lahu),
dan adanya barang atau beban (harta) yang harus ditunaikan, yakni
sebagaimana disebut oleh hadits di atas, berupa hak harta yang wajib dibayar
atau akan jatuh tempo pemenuhannya, serta adanya ikrar atau ijab qabul. Nah,
sudahkan kelima rukun ini lengkap ada dalam asuransi takaful?

Pada sisi lain ada kesamaran dalam mekanisme asuransi taka.ful. Bila dikaji lebih
jauh, di dalam mekanisme kerja asuransi takaful agaknya berlangsung dua aqad
sekaligus, yakni aqad saling menanggung diantara para nasabah (aqad takafuli)
dan aqad syarikat antara nasabah dan perusahaan takaful yang dibuktikan
dengan adanya bagi hasil uang nasabah yang disirnpan perusahaan asuransi
takaful. Dalam hal aqad saling menanggung, siapakah yang menjadi
penanggung dan yang ditanggung? Bila aqad dalam Takaful adalah aqad takafuli
antar peserta, pernahkan aqad itu berlangsung sebagaimana mestinya diantara
mereka sendiri? Bila diantara nasabah sudah bisa saling menanggung, lalu apa
fungsi perusahaan asuransi Takaful? Maksudnya, dalam hal ini kedudukan
perusahaan Takaful sebagai apa? Apakah sebagai pihak pengelola dana
nasabah? Bila sebagai pengelola dana nasabah, mengapa disebut perusahaan
Takaful, mengapa bukan perusahaan biasa sebagaimana yang lain?
Tapi, benarkah perusahaan asuransi Takaful bertindak sebagai pengelola dana
nasabah? Ternyata tidak, karena dana yang dikumpulkan tidak dikelola sendiri
(menurut UU yang berlaku Takaful termasuk lembaga keuangan non bank yang
hanya boleh menghimpun dana tapi tidak boleh menyalurkan apalagi
memutarnya sendiri) melainkan disalurkan ke BMI. ltupun oleh BMI, karena juga
tidak boleh berusaha (lembaga keuangan bank menurut UU hanya boleh
menghimpun dan menyalurkan dana, tapi tidak boleh berusaha), disalurkan lagi
kepada pengusaha. Karena bukan sebagai lembaga pengelola, maka semestinya
perusahaan Takaful hanya berfungsi sebagai pialang (perantara) antara nasabah
dan pengusaha (yang dalam faktanya itupun tidak pernah ada), ataupun wakil
nasabah dalam berhadapan dengan pengusaha. Sebagai perantara, Takaful
berhak mendapat komisi. Sedang sebagai wakil, Takaful bisa mendapat imbalan
(ujrah atau ‘iwad). Tapi dalam kenyataannya, mengapa perusahaan memungut
bagi hasil, dan karenanya juga menanggung kerugian?

Mencari Alternatif
Beberapa pertanyaan di atas tidak lain demi kesempurnaan mu’amalah secara
Islamiy. Sebab, penyimpangan atau ketidaksesuaian setiap bentuk mu’amalah
dari ajaran Islam hanya akan mengurangi atau bahkan menghilangkan kehalalan
harta yang diperoleh.

Alternatif penyelesaiannya adalah sebagai berikut: Akad saling menanggung bisa


dilakukan diantara para peserta. Jadi sejumlah nasabah membentuk
kesepakatan bersama untuk saling menanggung dengan cara mengumpulkan
sejumlah uang. Bisa pula disepakati dana yang dikumpulkan dipakai sebagai
modal usaha yang diputar oleh sebuah perusahaan, dimana sebagian atau
seluruh keuntungan itulah yang digunakan sebagai dana tanggungan. Bila
berlebih, bisa disepakati lebih jauh untuk menanggung orang lain yang bukan
anggota takaful. “Perusahaan Takaful” (bisa dicari nama lain yang lebih netral)
dalam hal ini bisa berperan sebagai wakil kedua belah pihak (pengusaha dan
para nasabah), yang mengurusi segala hal yang berkaitan dengan kegiatan
takaful. Lembaga ini memperoleh dana bisa dari pungutan biaya administrasi
dari para nasabah atau imbalan baik dari nasabah ataupun pengusaha. Dana
tersebut lebih banyak digunakan untuk biaya operasional atau mengembangkan
kegiatan takaful. Bukan untuk mencari keuntungan. Dengan demikian lembaga
itu didirikan memang untuk kegiatan nirlaba, yang berbeda sama sekali baik dan
falsafah pendirian, tujuan, maupun tata kenjanya dengan perusahaan asuransi
dalam sistem kapitalis.
JUAL BELI SAHAM DALAM PANDANGAN ISLAM

Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi

Pengantar

Ketika kaum muslimin hidup dalam naungan sistem Khilafah, berbagai muamalah mereka
selalu berada dalam timbangan syariah (halal-haram). Khalifah Umar bin Khaththab
misalnya, tidak mengizinkan pedagang manapun masuk ke pasar kaum muslimin kecuali jika
dia telah memahami hukum-hukum muamalah. Tujuannya tiada lain agar pedagang itu tidak
terjerumus ke dalam dosa riba. (As-Salus, Mausu’ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah,
h. 461).

Namun ketika Khilafah hancur tahun 1924, kondisi berubah total. Kaum muslimin makin
terjerumus dalam sistem ekonomi yang dipaksakan penjajah kafir, yakni sistem kapitalisme
yang memang tidak mengenal halal-haram. Ini karena akar sistem kapitalisme adalah paham
sekularisme yang menyingkirkan agama sebagai pengatur kehidupan publik, termasuk
kehidupan ekonomi. Walhasil, seperti kata As-Salus, kaum muslimin akhirnya hidup dalam
sistem ekonomi yang jauh dari Islam (ba’idan ‘an al-Islam), seperti sistem perbankan dan
pasar modal (burshah al-awraq al-maliyah) (ibid., h. 464). Tulisan ini bertujuan menjelaskan
fakta dan hukum seputar saham dan pasar modal dalam tinjauan fikih Islam.

Fakta Saham

Saham bukan fakta yang berdiri sendiri, namun terkait pasar modal sebagai tempat
perdagangannya dan juga terkait perusahaan publik (perseroan terbatas/PT) sebagai pihak
yang menerbitkannya. Saham merupakan salah satu instrumen pasar modal (stock market).

Dalam pasar modal, instrumen yang diperdagangkan adalah surat-surat berharga (securities)
seperti saham dan obligasi, serta berbagai instrumen turunannya (derivatif) yaitu opsi, right,
waran, dan reksa dana. Surat-surat berharga yang dapat diperdagangkan inilah yang disebut
“efek” (Hasan, 1996).

Saham adalah surat berharga yang merupakan tanda penyertaan modal pada perusahaan yang
menerbitkan saham tersebut. Dalam Keppres RI No. 60 tahun 1988 tentang Pasar Modal,
saham didefinisikan sebagai “surat berharga yang merupakan tanda penyertaan modal pada
perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
atau Staatbald No. 23 Tahun 1847).” (Junaedi, 1990). Sedangkan obligasi (bonds, as-
sanadat) adalah bukti pengakuan utang dari perusahaan (emiten) kepada para pemegang
obligasi yang bersangkutan (Siahaan & Manurung, 2006).

Selain terkait pasar modal, saham juga terkait PT (perseroan terbatas, limited company)
sebagai pihak yang menerbitkannya. Dalam UU No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
pasal 1 ayat 1, perseroan terbatas didefinisikan sebagai “badan hukum yang didirikan
berdasarkan perjanjian, yang melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya
terbagi dalam saham,” Modal dasar yang dimaksud, terdiri atas seluruh nilai nominal saham
(ibid., pasal 24 ayat 1).
Definisi lain menyebutkan, perseroan terbatas adalah badan usaha yang mempunyai
kekayaan, hak, serta kewajiban sendiri, yang terpisah dari kekayaan, hak, serta kewajiban
para pendiri maupun pemiliknya (M. Fuad, et.al., 2000). Jadi sesuai namanya, keterlibatan
dan tanggung jawab para pemilik PT hanya terbatas pada saham yang dimiliki.

Perseroan terbatas sendiri juga mempunyai kaitan dengan bursa efek. Kaitannya, jika sebuah
perseroan terbatas telah menerbitkan sahamnya untuk publik (go public) di bursa efek, maka
perseroan itu dikatakan telah menjadi “perseroan terbatas terbuka” (Tbk).

Fakta Pasar Modal

Pasar modal adalah sebuah tempat di mana modal diperdagangkan antara pihak yang
memiliki kelebihan modal (pihak investor) dengan orang yang membutuhkan modal (pihak
issuer/emiten) untuk mengembangkan investasi. Dalam UU Pasar Modal No. 8 tahun 1995,
pasar modal didefinisikan sebagai “kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum
dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya,
serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.” (Muttaqin, 2003).

Para pelaku pasar modal ini ada 6 (enam) pihak, yaitu :

(1). Emiten, yaitu badan usaha (perseroan terbatas) yang menerbitkan saham untuk
menambah modal, atau menerbitkan obligasi untuk mendapatkan utang dari para investor di
Bursa Efek.

(2). Perantara Emisi, yang meliputi 3 (tiga) pihak, yaitu : a. Penjamin Emisi (underwriter),
yaitu perusahaan perantara yang menjamin penjualan emisi, dalam arti jika saham atau
obligasi belum laku, penjamin emisi wajib membeli agar kebutuhan dana yang diperlukan
emiten terpenuhi sesuai rencana; b. Akuntan Publik, yaitu pihak yang berfungsi memeriksa
kondisi keuangan emiten dan memberikan pendapat apakah laporan keuangan yang telah
dikeluarkan oleh emiten wajar atau tidak.c. Perusahaan Penilai (appraisal), yaitu
perusahaan yang berfungsi untuk memberikan penilaian terhadap emiten, apakah nilai aktiva
emiten wajar atau tidak.

(3). Badan Pelaksana Pasar Modal, yaitu badan yang mengatur dan mengawasi jalannya
pasar modal, termasuk mencoret emiten (delisting) dari lantai bursa dan memberikan sanksi
kepada pihak-pihak yang melanggar peraturan pasar modal. Di Indonesia Badan Pelaksana
Pasar Modal adalah BAPEPAM (Badan Pengawas dan Pelaksana Pasar Modal) yang
merupakan lembaga pemerintah di bawah Menteri Keuangan.

(4). Bursa Efek, yakni tempat diselenggarakannya kegiatan perdagangan efek pasar modal
yang didirikan oleh suatu badan usaha. Di Indonesia terdapat dua Bursa Efek, yaitu Bursa
Efek Jakarta (BEJ) yang dikelola PT Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (BES)
yang dikelola oleh PT Bursa Efek Surabaya.

(5). Perantara Perdagangan Efek. Yaitu makelar (pialang/broker) dan komisioner yang
hanya lewat kedua lembaga itulah efek dalam bursa boleh ditransaksikan. Makelar adalah
perusahaan pialang (broker) yang melakukan pembelian dan penjualan efek untuk
kepentingan orang lain dengan memperoleh imbalan. Sedang komisioner adalah pihak yang
melakukan pembelian dan penjualan efek untuk kepentingan sendiri atau untuk orang lain
dengan memperoleh imbalan.
(6). Investor, adalah pihak yang menanamkan modalnya dalam bentuk efek di bursa efek
dengan membeli atau menjual kembali efek tersebut (Junaedi, 1990; Muttaqin, 2003;
Syahatah & Fayyadh, 2004).

Dalam pasar modal, proses perdagangan efek (saham dan obligasi) terjadi melalui tahapan
pasar perdana (primary market) kemudian pasar sekunder (secondary market). Pasar
perdana adalah penjualan perdana saham dan obligasi oleh emiten kepada para investor,
yang terjadi pada saat IPO (Initial Public Offering) atau penawaran umum pertama. Kedua
pihak yang saling memerlukan ini tidak bertemu secara dalam bursa tetapi melalui pihak
perantara seperti dijelaskan di atas. Dari penjualan saham dan efek di pasar perdana inilah,
pihak emiten memperoleh dana yang dibutuhkan untuk mengembangkan usahanya.

Sedangkan pasar sekunder adalah pasar yang terjadi sesaat atau setelah pasar perdana
berakhir. Maksudnya, setelah saham dan obligasi dibeli investor dari emiten, maka investor
tersebut menjual kembali saham dan obligasi kepada investor lainnya, baik dengan tujuan
mengambil untung dari kenaikan harga (capital gain) maupun untuk menghindari kerugian
(capital loss). Perdagangan di pasar sekunder inilah yang secara reguler terjadi di bursa efek
setiap harinya.

Jual Beli Saham dalam Pasar Modal Menurut Islam

Para ahli fikih kontemporer sepakat, bahwa haram hukumnya memperdagangkan saham di
pasar modal dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang haram. Misalnya,
perusahaan yang bergerak di bidang produksi minuman keras, bisnis babi dan apa saja yang
terkait dengan babi, jasa keuangan konvensional seperti bank dan asuransi, dan industri
hiburan, seperti kasino, perjudian, prostitusi, media porno, dan sebagainya. Dalil yang
mengharamkan jual beli saham perusahaan seperti ini adalah semua dalil yang
mengharamkan segala aktivitas tersebut. (Syahatah dan Fayyadh, Bursa Efek : Tuntunan
Islam dalam Transaksi di Pasar Modal, hal. 18; Yusuf As-Sabatin, Al-Buyu’ Al-Qadimah wa
al-Mu’ashirah wa Al-Burshat al-Mahalliyyah wa Ad-Duwaliyyah, hal. 109).

Namun mereka berbeda pendapat jika saham yang diperdagangkan di pasar modal itu adalah
dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha halal, misalnya di bidang transportasi,
telekomunikasi, produksi tekstil, dan sebagainya. Syahatah dan Fayyadh berkata,”Menanam
saham dalam perusahaan seperti ini adalah boleh secara syar’i…Dalil yang menunjukkan
kebolehannya adalah semua dalil yang menunjukkan bolehnya aktivitas tersebut.” (Syahatah
dan Fayyadh, ibid., hal. 17).

Tapi ada fukaha yang tetap mengharamkan jual beli saham walau dari perusahaan yang
bidang usahanya halal. Mereka ini misalnya Taqiyuddin an-Nabhani (2004), Yusuf as-
Sabatin (ibid., hal. 109) dan Ali As-Salus (Mausu’ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-
Mu’ashirah, hal. 465). Ketiganya sama-sama menyoroti bentuk badan usaha (PT) yang
sesungguhnya tidak Islami. Jadi sebelum melihat bidang usaha perusahaannya, seharusnya
yang dilihat lebih dulu adalah bentuk badan usahanya, apakah ia memenuhi syarat sebagai
perusahaan Islami (syirkah Islamiyah) atau tidak.
Aspek inilah yang nampaknya betul-betul diabaikan oleh sebagian besar ahli fikih dan pakar
ekonomi Islam saat ini, terbukti mereka tidak menyinggung sama sekali aspek krusial ini.
Perhatian mereka lebih banyak terfokus pada identifikasi bidang usaha (halal/haram), dan
berbagai mekanisme transaksi yang ada, seperti transaksi spot (kontan di tempat), transaksi
option, transaksi trading on margin, dan sebagainya (Junaedi, 1990; Zuhdi, 1993; Hasan,
1996; Az-Zuhaili, 1996; Al-Mushlih & Ash-Shawi, 2004; Syahatah & Fayyadh, 2004).

Taqiyuddin an-Nabhani dalam An-Nizham al-Iqtishadi (2004) menegaskan bahwa perseroan


terbatas (PT, syirkah musahamah) adalah bentuk syirkah yang batil (tidak sah), karena
bertentangan dengan hukum-hukum syirkah dalam Islam. Kebatilannya antara lain
dikarenakan dalam PT tidak terdapat ijab dan kabul sebagaimana dalam akad syirkah. Yang
ada hanyalah transaksi sepihak dari para investor yang menyertakan modalnya dengan cara
membeli saham dari perusahaan atau dari pihak lain di pasar modal, tanpa ada perundingan
atau negosiasi apa pun baik dengan pihak perusahaan maupun pesero (investor) lainnya.
Tidak adanya ijab kabul dalam PT ini sangatlah fatal, sama fatalnya dengan pasangan laki-
laki dan perempuan yang hanya mencatatkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil, tanpa
adanya ijab dan kabul secara syar’i. Sangat fatal, bukan?

Maka dari itu, pendapat kedua yang mengharamkan bisnis saham ini (walau bidang usahanya
halal) adalah lebih kuat (rajih), karena lebih teliti dan jeli dalam memahami fakta, khususnya
yang menyangkut bentuk badan usaha (PT). Apalagi, sandaran pihak pertama yang
membolehkan bisnis saham asalkan bidang usaha perusahaannya halal, adalah dalil al-
Mashalih Al-Mursalah, sebagaimana analisis Yusuf As-Sabatin (ibid., hal. 53). Padahal
menurut Taqiyuddin An-Nabhani, al-Mashalih Al-Mursalah adalah sumber hukum yang
lemah, karena kehujjahannya tidak dilandaskan pada dalil yang qath’i (Asy-Syakhshiyah Al-
Islamiyah, Juz III (Ushul Fiqih), hal. 437)

Kesimpulan

Menjual belikan saham dalam pasar modal hukumnya adalah haram, walau pun bidang usaha
perusahaan adalah halal. Maka dari itu, dengan sendirinya keberadaan pasar modal itu sendiri
hukumnya juga haram. Hal itu dikarenakan beberapa alasan, utamanya karena bentuk badan
usaha berupa PT adalah tidak sah dalam pandangan syariah, karena bertentangan dengan
hukum-hukum syirkah dalam Islam. Wallahu a’lam [ ] (www.konsultasi.wordpress.com)
DAFTAR PUSTAKA

Al-Mushlih, Abdullah & Ash-Shawi, Shalah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam (Maa Laa
Yasa’u Al-Taajir Jahlahu), Penerjemah Abu Umar Basyir, (Jakarta : Darul Haq), 2004

An-Nabhani, Taqiyuddin, an-Nizham al-Iqtishadi fi Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah),


Cetakan VI, 2004

As-Sabatin, Yusuf Ahmad Mahmud, Al-Buyu’ Al-Qadimah wa al-Mu’ashirah wa Al-Burshat


al-Mahalliyyah wa Ad-Duwaliyyah, (Beirut : Darul Bayariq), 2002

As-Salus, Ali Ahmad, Mausu’ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah wa al-Iqtishad al-


Islami, (Qatar : Daruts Tsaqafah), 2006

Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz IX (Al-Mustadrak), (Damaskus :


Darul Fikr), 1996

Fuad, M, et.al., Pengantar Bisnis, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama), 2000

Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah : Zakat, Pajak, Asuransi, dan Lembaga Keuangan, (Jakarta :
PT RajaGrafindo Persada), 1996

Junaedi, Pasar Modal Dalam Pandangan Hukum Islam, (Jakarta : Kalam Mulia), 1990

Muttaqin, Hidayatullah, Telaah Kritis Pasar Modal Syariah, http://www.e-


syariah.org/jurnal/?p=11, 20 des 2003

Siahaan, Hinsa Pardomuan & Manurung, Adler Haymans, Aktiva Derivatif : Pasar Uang,
Pasar Modal, Pasar Komoditi, dan Indeks (Jakarta : Elex Media Komputindo), 2006

Syahatah, Husein & Fayyadh, Athiyah, Bursa Efek : Tuntunan Islam dalam Transaksi di
Pasar Modal (Adh-Dhawabit Al-Syar’iyah li At-Ta’amul fii Suuq Al-Awraq Al-Maliyah),
Penerjemah A. Syakur, (Surabaya : Pustaka Progressif), 2004

Tarban, Khalid Muhammad, Bay’u Al-Dayn Ahkamuhu wa Tathbiquha Al-Mu’ashirah (Al-


Azhar : Dar al-Bayan Al-’Arabi; Beirut : Dar al-Kutub al-’Ilmiyah), 2003

Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta : CV Haji
Masagung), 1993
PERSEROAN DALAM SISTEM KAPITALIS

Perseroan dalam sistem kapitalis adalah transaksi antara dua orang atau lebih
masing-masing terikat untuk memberikan saham dalam sebuah proyek padat
modal, dengan memberikan investasi, baik berupa harta ataupun kerja agar bisa
mendapatkan pembagian hasil dari proyek tersebut, baik berupa keuntungan
(deviden) maupun kerugian.
Perseroan tersebut bisa diklasifikasikan menjadi dua: yaitu perseroan orang dan
perseroan modal. Perseroan orang adalah perseroan yang di dalamnya terdapat
unsur manusia, dimana manusia mempunyai pengaruh dalam perseroan
tersebut, berikut dalam memperkirakan pembagian hasil keuntungannya.
Perseroan ini seperti perseroan Firma dan perseroan Company Limited by
Guarantee. Sedangkan di dalam perseroan modal tidak terdapat unsur manusia
sama sekali, baik nilai maupun pengaruhnya. Bahkan perseroan ini menafikan
unsur manusia sama sekali, dimana dalam pembentukan dan perjalanannya,
hanya terdiri dari unsur modal saja. Perseroan ini adalah seperti perseroan
saham (corporation) dan perseroan Company Limited by Shares.

a. Perseroan "Firma"
Perseroan ini merupakan transaksi antara dua orang atau lebih yang sepakat
melakukan perdagangan bersama dengan nama tertentu. Semua anggotanya
kemudian terikat dengan hutang-hutang perseroan dengan jaminan seluruh
harta milik mereka tanpa batas. Oleh karena itu, tidak satu pun pesero bisa
melepaskan haknya dalam perseroan ini kepada orang lain, kecuali dengan
seizin pesero yang lain. Perseroan ini dapat dibubarkan karena salah seorang
peseronya (1) meninggal dunia, (2) di bawah kendali pihak lain, (3) pailit.
Semua anggota perseroan bertanggung jawab bersama-sama dalam rangka
melaksanakan semua isi perjanjian perseroan. Dalam hal ini, tanggung jawab
mereka tidak terbatas yaitu tiap pesero dituntut untuk melunasi semua hutang
perseroan, bukan hanya dengan harta perseroan saja, tetapi termasuk dengan
harta pribadi peseronya.
Perseroan ini tidak akan menolerir perluasan proyek. Adapun pembentukan
perseroan ini baru sempurna kalau ada beberapa orang, yang masing-masing
saling menaruh kepercayaan dan memahami dengan baik. Yang lebih penting
adalah memahami kepribadian para pesero, bukan hanya badannya saja, tetapi
juga dari segi pusat dan pengaruhnya di tengah masyarakat.
Perseroan Firma merupakan perseroan yang batil. Dalam pembentukannya,
syarat-syarat dalam perseroan ini bertentangan dengan syarat-syarat perseroan
dalam Islam.
Hukum syara' tidak pernah mensyaratkan kepada pesero, selain kebolehan
untuk mengelola saja. Perseroan dalam Islam juga membolehkan perluasan
proyek, apabila para peseronya telah sepakat untuk memperluas proyek
perseroan tersebut. Caranya bisa dengan menambah investasi atau dengan
menambah pesero (investor)-nya. Mereka secara mutlak berhak mengelola,
sehingga bisa melakukan apa saja yang mereka kehendaki. Disamping karena
pesero dalam Islam tidak mengenal tanggungjawab dalam perseroannya dengan
jaminan pribadinya, kecuali sebatas investasinya dalam perseroan. Juga karena
seorang pesero — dalam Islam — berhak keluar kapan saja, kalau dia ingin
keluar, tanpa harus disepakati oleh para pesero yang lain. Perseroan — dalam
Islam — tersebut juga tidak bisa dibubarkan karena meninggalnya salah seorang
pesero, atau karena pesero tersebut dikendalikan oleh orang lain, selain
rusaknya perseroan pesero yang bersangkutan, sedangkan pesero yang lain
masih tetap; apabila perseroan tersebut terdiri lebih dari dua orang. Inilah
syarat-syarat yang ditetapkan oleh syara'.
Karena persyaratan perseroan Firma di atas bertentangan dengan syarat-syarat
tersebut, bahkan bertolak belakang, maka perseroan firma tersebut menjadi
perseroan yang rusak, dan secara syar'i hukumnya haram bergabung dengan
perseroan tersebut.

b. Perseroan Saham
Perseroan saham adalah perseroan yang terbentuk dari para pesero yang tidak
dikenali oleh khalayak. Pendiri perseroan saham adalah tiap orang yang
melakukan transaksi perseroan yang pertama. Sebab, transaksi yang pertama
itulah yang menjadikan para pelakunya terikat dengan aktivitas tertentu dalam
rangka merealisasikan tujuan bersama, yaitu perseroan.
Sedangkan untuk mendaftarkan diri dalam perseroan tersebut, mengharuskan
seseorang untuk membeli satu lembar surat saham atau lebih, dari saham
proyek perseroan, sebagai kompensasi dari nilai nama perseroan tersebut.
Kompensasi tersebut merupakan salah satu bentuk keterlibatan untuk
mengelola "kehendak sendiri"- artinya untuk menjadi pesero seseorang cukup
dengan membeli beberapa lembar surat saham, baik pesero yang lain menerima
ataupun tidak.
Pendaftaran tersebut bisa diupayakan dengan dua cara. Pertama, para pendiri
perseroan tersebut menentukan saham-saham perseroan, lalu membagi saham-
saham tersebut kepada kalangan intern mereka, bukan untuk disebarkan kepada
khalayak. Hal itu ditempuh dengan cara membebaskan peraturan sistem
perseroan yang memuat tentang syarat-syarat yang akan dilaksanakan oleh
perseroannya, lalu mereka tanda-tangani, sehingga siapa sajayangikut
menandatangani peraturan tersebut dianggap sebagai pendiri sekaligus pesero.
Begitu penandatanganan tadi selesai, maka berdirilah perseroan tersebut. Cara
yang kedua, adalah dengan melakukan pendaftaran, dan cara inilah yang
tersebar di seluruh dunia, yaitu adanya beberapa orangyang melakukan
pendirian perseroan. Kemudian mereka membuat sistem perseroan, lalu
perseroan tersebut melempar sahamnya kepada khalayak agar bisa menjadi
anggotanya. Apabila waktu pendaftaran dalam perseroan tersebut berakhir,
maka diadakan rapat umum pemegang saham perseroan untuk memberikan
masukan tentang sistem perseroan serta menentukan dewan komisaris
perseroan. Dan tiap penanam saham, berapa punjumlah sahamnya, berhak
untuk hadir dalam rapat umum pemegang saham, meski yang bersangkutan
hanya mempunyai satu lembar surat saham. Kemudian perseroan tersebut bisa
memulai kegiatannya, pada saat berakhirnya batas waktu penutupan
pendaftaran. Kedua cara ini sebenarnya adalah sama, yaitu memberikan modal,
dimana perseroan tersebut tidak bisa dianggap berdiri, kecuali setelah
berakhirnya penandatanganan pendiri perseroan tersebut pada cara pertama,
dan berakhirnya batas waktu pendaftaran pada cara kedua. Sehingga transaksi
perseroan semacam ini hanya merupakan transaksi antarmodal, dan di
dalamnya sama sekali tidak ada unsur manusia.
Jadi, modal-modal itulah yang sebenarnya telah melakukan perseroan, bukan
orang-orangnya. Sebab, modal-modal inilah yang telah membentuk perseroan
dengan modal-modal pihak lain, tanpa adanya satu orang pun.
Oleh karena itu, tiap pesero sama sekali tidakberhak—berapa pun jumlah
sahamnya — untuk memimpin aktivitas perseroan tersebut, atas nama pesero.
Dia juga tidak berhak bekerja dalam perseroan tersebut, ataupun ikut
mengendalikan aktivitas perseroan, atas nama pesero. Sebab, yang berhak
memimpin aktivitas perseroan dan berhak bekerja di sana, dan ikut
mengendalikan serta mengarahkan setiap aktivitasnya adalah orang yang
disebut direktur, yang dipilih atau diangkat oleh dewan komisaris. Dewan
komisaris ini akan memilih dari kalangan pemegang saham, dimana tiap orang
yang ada di dalamnya memiliki hak suara, berdasarkan kadar pemilikan
modalnya, bukan berdasarkan manusianya. Sebab, peseronya adalah modal,
sehingga modallah yang menentukan jumlah suaranya; dengan ketentuan tiap
lembar surat saham satu suara, bukan tiap orang satu suara. Sehingga dalam
perseroan saham tersebut, seorang penanam saham tidak ada nilainya, sebab
yang dinilai hanya modalnya.
Perseroan saham ini bersifat tetap, dan tidak terikat dengan hidup dan matinya
seorang pesero. Sebab, kadang-kadang ada pesero meninggal dunia, sementara
perseroannya tidak mengalami likuidasi. Kadang seorang pesero karena
"ketololannya" sehingga harus dikendalikan oleh orang lain, namun masih bisa
terlibat di dalam perseroan tersebut.
Adapun modal perseroan tersebut, bisa dibagi menjadi sejumlah bagian yang
nilainya sama, dan biasanya disebut dengan sebutan saham. Adapun penanam
saham adalah seorang pesero yang tidak perlu diselidiki karakter pribadinya,
dimana tanggungjawabnya ditentukan berdasarkan kadar investasinya. Oleh
karena itu, para pesero tidak harus menanggungkerugian selain sesuai dengan
kadar saham mereka dalam perseroan tersebut. Bagian pesero tersebutjuga bisa
dipindahkan, dijual atau dimiliki oleh orang lain, tanpa harus mendapatkan izin
dari pesero yang lain. Dan saham-saham yang dimiliki oleh tiap pesero itu
berupa kertas (surat) yang bernilai nominal, yang mencerminkan jumlah modal,
dan kadang-kadang ‘berupa.saham atas nama’, dan kadang-kadang berupa
‘saham atas pengunjuk'. Sedangkan yang bisa dipindahkan, yaitu nilai nominal
yang tercatat di dalam surat-surat saham, tidak bisa mengikat selain dengan
membayar nilai saham yang tertera.
Saham adalah bagian dari kekuatan perseroan, yang tidak bisa dipecah. Sebab,
saham bukan merupakan bagian dari modal perseroan. Dan surat-surat saham
tersebut layaknya formulir pendaftaran dalam investasi ini. Sementara nilai surat
saham tersebut tidak tetap, tetapi berubah-ubah sesuai dengan untung dan
ruginya perseroan. Dimana keuntungan dan kerugian tiap tahunnya juga tidak
sama, kadang berbeda atau bahkan sangat tajam perbedaannya.
Dengan demikian, saham-saham tersebut tidak mencerminkan modal yang
diinvestasikan pada saat pendirian perseroan, selain hanya mencerminkan
modal perseroan pada saat dibeli, atau pada waktu tertentu saja. Maka, saham-
saham tersebut hampir sama dengan kertas uang yang harganya bisa turun,
apabila bursa saham mengalami penurunan dan harganya bisa naik, apabila
bursa saham mengalami kenaikan.
Apabila perseroan mengalami kerugian, maka nilai sahamnya akan mengalami
penurunan, dan nilai tersebut akan naik apabila perseroan mengalami
keuntungan. Setelah perseroan tersebut memulai aktivitasnya, maka saham
tersebut akan berubah dari wujudnya sebagai modal menjadi kertas nominal
yang mempunyai nilai tertentu, yang bisa mengalami fluktuasi sesuai dengan
kondisi pasar, yaitu sesuai dengan untung dan ruginya perseroan tersebut, atau
sesuai dengan penerimaan dan penolakan khalayak terhadap perseroan
tersebut. Sehingga saham tersebut merupakan barang yang tunduk kepada
demand and supply. Saham-saham tersebut juga bisa ditransfer dari satu tangan
ke tangan lain, seperti mentransfer kertas-kertas yang bernilai nominal antar
individu, tanpa harus mencatatkan diri di dalam daftar perseroan, apabila saham
tersebut berupa saham atas pengunjuk, dan harus dicatat dalam perseroan,
apabila saham tersebut berupa saham atas nama.
Perseroan saham dianggap untung, apabila nilai adanya perseroan tersebut
bertambah melebihi nilai yang dituntut pada laba tahunan. Apabila laba
tahunannya bertambah, berarti untung. Laba-laba tersebut kemudian dibagi tiap
tahun, setelah tahun anggaran perseroan tersebut berakhir. Apabila nilai adanya
perseroan tersebut naik karena adanya kondisi yang mendadak tanpa disertai
keuntungan, maka tidak ada yang bisa mencegah didistribusikannya
pertambahan ini. Apabila yang terjadi sebaliknya, maka nilai adanya perseroan
tersebut akan merosot, namun perseroan tetap untung. Kecuali, apabila
keuntungan-keuntungan perseroan tersebut dilebur dengan nilai adanya
perseroan, maka hal itu tidak akan menambah nilai yang dituntut, sehingga
keuntungan tersebut tidak mungkin dibagi. Ketika terjadi pembagian
keuntungan, maka bagian dari keuntungan-keuntungan tersebut dikhususkan
untuk pos cadangan, sedangkan yang lain dialokasikan untuk pos para penanam
saham.
Perseroan tersebut bisa disebut sebagai "orang absatrak" yang bisa
memperkarakan dan diperkarakan — karena namanya — di hadapan pengadilan,
sebagaimana perseroan tersebut mempunyai "tempat tinggal" dan
"kewarganegaraan" tertentu. Sehingga tidak ada seorang penanam saham pun
yang bisa membantunya, termasuk anggota komisaris dalam kapasitasnya
sebagai seorang pesero, atau pribadi. Namun hal itu hanya dimiliki oleh orang
yang diwakili, dengan sebutan perseroan. Jadi, yang mengendalikan adalah
perseroan atau "orang abstrak", bukan manusia yang secara langsung
menanganinya. Inilah perseroan saham.
Perseroan ini adalah perseroan yang batil menurut syara', termasuk muamalah
yang tidak boleh dilakukan oleh seorang Muslim. Sedangkan bentuk
kebatilannya serta keharaman untuk terlibat di dalamnya adalah sebagai
berikut:
Pertama, Definisi perseroan dalam Islam adalah transaksi antara dua orang atau
lebih yang telah sepakat untuk melakukan pekerjaan yang bersifat finansial
dengan tujuan mencari keuntungan (laba). Sehingga perseroan tersebut
merupakan transaksi antara dua orang atau lebih. Jadi tidak boleh terjadi
kesepakatan sepihak, tetapi kesepakatan harus terjadi antara kedua belah pihak
atau lebih. Transaksi dalam perseroan tersebut harus dilakukan dalam rangka
melakukan pekerjaan yang bersifat finansial, dengan tujuan mencari
keuntungan. Sehingga transaksi tersebut tidak bisa hanya dilakukan dalam
rangka memberikan modal. Begitu pula, tujuan transaksi tersebut tidak cukup
hanya sekadar bergabung saja. Oleh karena itu, pekerjaan yang bersifat finansial
tadi merupakan pijakan dalam mengadakan perseroan.
Untuk melakukan pekerjaan yang bersifat finansial tersebut, adakalanya dari
kedua belah pihakyang melakukan transaksi, atau dari satu pihak sedangkan
modal dari pihak lain. Tidak mungkin transaksi tersebut terjadi antarmereka,
sementara yang melakukan kegiatanyang bersifat finansial adalah orang lain.
Sebab cara semacam itu tidak menunjukkan adanya transaksi, bahkan tidak
seorang pun yang terikat. Padahal transaksi tersebut semestinya menjadikan
orang yang melakukannya menjadi terikat dan mengelolanya sendiri, bukan
orang lain. Sehingga kerja yang bersifat finansial tersebut seharusnya terbatas
dilaksanakan antara dua pihak yang melakukan transaksi; adakalanya dari
mereka — baik modal maupun tenaga — atau dari salah seorang di antara
mereka, sedangkan modal dari pihak lain.
Melakukan pekerjaan yang bersifat finansial dari salah seorang pelaku transaksi
tersebut adalah sesuatu yang pasti — hingga pendirian dan keberadaan
perseroan tadi menjadi sempurna — yang mengharuskan agar dalam perseroan
tersebut ada badanyangterikat dengan transaksinya. Sebab dalam perseroan di
dalam Islam, disyaratkan harus ada badan, karena badan itu merupakan unsur
utama dalam mengadakan perseroan. Apabila badan tersebut ada, maka
perseroan tersebut bisa dibentuk. Apabila badannya tidak ada di dalam
perseroan, maka perseroan tersebut belum terbentuk sebagai sebuah perseroan,
termasuk dari segi asasnya. Orang-orang Kapitalis mendefinisikan perseroan
saham tersebut sebagai transaksi, yang karenanya dua orang atau lebih terikat
untuk menanamkan saham dalam suatu proyekpadat modal, dengan
memberikan investasi berupa modal agar bisa mendapatkan pembagian
keuntungan (deviden) atau kerugian dari proyek tersebut. Dari definisi ini,
termasuk dari fakta pendirian perseroan, dengan kedua cara di atas, nampak
bahwa perseroan tersebut bukan merupakan transaksi antara dua orang atau
lebih yang sesuai dengan hukum-hukum syara'. Sebab, transaksi menurut syara'
adalah terjadinya ijab dan qabul antara dua pihak; baik dua orang ataupun lebih.
Dengan kata lain, di dalam transaksi tersebut harus ada dua pihak; salah satu di
antara mereka menyatakan, dengan memulai menyampaikan transaksinya
semisal: Saya menikahi Anda, atau saya menjual kepada Anda, atau saya
mengontrak Anda, atau saya mengadakan perseroan dengan Anda, atau saya
berikan kepada Anda, ataupun yang lain. Kemudian yang lain menyatakan qabul,
semisal: Saya menerima, atau saya rela, ataupun ungkapan yang lain. Apabila
transaksi tersebut tidak terdiri dari dua pihak atau tidak terdiri dari ijab dan
qabul, maka transaksi tersebut belum terbentuk, dan menurut syara' tidak bisa
disebut transaksi. Sedangkan dalam perseroan saham, para pendirinya sepakat
terhadap syarat-syarat perseroan, namun mereka saling mendelegasikan;
sementara mereka sendiri hanya melakukan kesepakatan terhadap syarat
tersebut. Kemudian mereka membuat akte yaitu corporation charter. Setelah itu,
akte tersebut ditandatangani oleh tiap orang yang ingin bergabung, dimana
penandatanganan akte itulah yang dianggap sebagai pernyataan qabul terhadap
transaksi tersebut, dimana ketika itu mereka dianggap sebagai pendiri sekaligus
pesero. Dengan kata lain perseroannya dianggap sempurna, apabila
penandatanganannya sempurna, atau ketika masa pendaftaran tersebut sudah
selesai. Makajelas sekali, bahwa dalam hal ini tidak ada dua pihak yang secara
bersama-sama melakukan transaksi dan di dalamnyajuga tidak ada ijab dan
qabul. Namun yang ada hanya satu pihak yang memenuhi syarat-syarat
tersebut, sehingga dengan terpenuhinya syarat tersebut, orang yang
bersangkutan menjadi pesero. Jadi, perseroan saham ini bukan merupakan
kesepakatan antara dua pihak, melainkan kesepakatan sepihak terhadap syarat
tertentu.
Oleh karena itu, para pakar ekonomi Kapitalis dan ahli hukum Barat mengatakan
bahwa keterikatan dalam perseroan tersebut merupakan salah satu
bentukpengelolaan terhadap "kehendak pribadi". "Kehendak pribadi" adalah
adanya tiap orang yang terikat dengan suatu urusan dari pihaknya kepada
khalayak atau orang lain, tanpa memperhatikan apakah khalayak atau orang lain
tersebut sepakat atau tidak, seperti janji memberi hadiah (prize).
Menurut mereka, dan pada kenyataannya, perseroan saham adalah keterikatan
penanam saham atau pendiri atau penandatangan akte dengan syarat-syarat
yang termuat di dalamnya, tanpa memperhatikan apakah orang lain sepakat
ataukah tidak. Mereka menganggapnya sebagai pengelolaan terhadap
"kehendak pribadi". Atas dasar inilah, maka transaksi perseroan saham dengan
"kehendak pribadi" itu merupakan transaksi yang secara syar'i batil. Sebab,
menurut syara', transaksi adalah keterikatan antara ijab yang muncul dari salah
seorang yang melakukan transaksi dengan qabul dari pihak lain dengan cara
yang hasilnya nampak pada masalah yang ditransaksikan. Sedangkan di dalam
transaksi perseroan saham tersebut tidak terjadi praktik semacam ini. Dimana
dalam hal ini tidak terjadi kesepakatan antara dua orang atau lcbih, namun
karena tuntutannya sescorang hanya terikat dengan saham dalam suatu
proyekpadat modal. Dan berapa pun jumlah orang dan pesero yang terikat,
tetap saja orang yang terikat tersebut dianggap satu, yang kadang pesero
tersebut melakukan kesepakatan antar mereka terhadap syarat-syarat
perseroan, sehingga kesepakatan mereka tersebut dianggap sebagai ijab
dmqablll. Adapun penandatanganan akte tersebut dimaksud untuk membukukan
transaksi yang mereka sepakati. Lalu mengapa praktik ini tidak bisa disebut
transaksi?
Jawabnya adalah, bahwa para pesero tadi telah sepakat terhadap syarat-syarat
perseroan. Namun berdasarkan kesepakatan, mereka tidak menganggap dirinya
melakukan perseroan secara riil dan mereka tidak terikat dengan kesepakatan
terhadap syarat-syarat tersebut. Dimana masing-masing boleh meninggalkan
dan tidak ikut terlibat, setelah sepakat terhadap syarat-syarat dan
penandatangan akte tersebut. Dimana mereka tidak terikat dengan kesepakatan
terhadap syarat-syarat tersebut sesuai dengan istilah dan kesepakatan mereka,
selain setelah akte tersebut ditandatangani. Apabila aktenya telah
ditandatangani, maka akte tersebut menjadi mengikat. Namun sebelum itu, akte
tersebut tidak mengikat dan tidak terikat dengan apa pun.
Oleh karena itu, kesepakatan mereka terhadap syarat-syarat tersebut, sebelum
aktenya ditandatangani, menurut mereka tetap tidak dianggap sebagai
transaksi. Padahal transaksi mereka menurut syara' juga tidak termasuk
transaksi, sebab kesepakatan terhadap syarat-syarat untuk bergabung, serta
kesepakatan untuk bergabung, belum bisa dianggap sebagai transaksi
perseroan. Sebab mereka, menurut kesepakatan mereka sendiri, tidak harus
terikat dengan transaksinya sebelum ditandatangani, padahal transaksi tersebut
merupakan sesuatu yang menjadikan dua orang yang melakukannya harus
terikat dengannya. Karenanya, kesepakatan mereka terhadap syarat-syarat
perseroan dan syarat-syarat untuk bergabung tersebut tidak dapat dianggap
sebagai ijab dan qabul. Sehingga, menurut hukum syara' tetap tidak bisa
dianggap sebagai transaksi, ditambah transaksi tersebut menurut mereka
sendiri, bukan merupakan transaksi.
Boleh jadi ada yang berkomentar, bahwa kesediaan pihak pesero dengan
menandatangani transaksi tersebut bisa dianggap sebagai pernyataan ijab dari
pihaknya sementara penandatanganan itu sendiri dianggap sebagai qabul.
Jawabnya adalah, bahwa tiap pesero yang ikut menandatangani, kadang hanya
menerima saja dan itulah qabul, sedangkan penawarannya tidak pernah
disampaikan dari satu orang pun, artinya fihaknya beleim pernah disampakan
oleh siapapun sehingga tidak ada pihak yang menawarkan, baik dan para pendiri
maupun penandatangan yang pertama, sementara yang ada hanyalah
pemyataan qabul dari tiap pesero. Dengan demikian, penandatangan tersebut
intinya hanya menerima syarat-syarat serta terikat dengan syarat-syarat
tersebut, tanpa ada penawaran untuk ikut mengelola dari siapa pun, dengan
kata lain tanpa ada seorang pun yang mengatakan kepadanya: "Aku melakukan
perseroan dengan Anda. " Adapun akte pendirian yang diberikan untuk
ditandatangani tersebut, tetap tidak bisa disebut sebagai penawaran untuk
mengelola.
Atas dasar inilah, maka fakta perseroan saham, bahwa tiap pesero yang ada di
dalamnya hanya menerima saja, dan pemyataan qabul dengan qabul yang lain,
menurut syara' tetap tidak dianggap sebagai suatu transaksi (akad) yangsah.
Bahkan, tetap wajib ada ijab dengan pernyataan yang menunjukkan ija bukan
qabul. Kemudian pernyataan qabul harus dinyatakan dengan pernyataan yang
menunjukkan qabul. Oleh karena itu, tidak seorang pun yang telah
menandatangani akte pendirian perseroan tersebut bisa disebut sebagai pihak
yang menyatakan ijab, namun semuanya hanya sebagai pihak yang menyatakan
qabul. Karena di dalam perseroan tersebut hanya terdapat qabul tanpa ada ijab,
maka perseroan tersebut belum bisa dianggap berdiri.
Orang-orang Kapitalis menyebut akte pendirian perseroan, atau corporation
charter' tersebut sebagai transaksi, dan mereka mengatakan bahwa transaksi
tersebut sah. Adapun menurut syara', corporation charter tersebut tidak
dianggap sebagai transaksi, sebab yang disebut transaksi itu adalah adanya ijab
dan qabul antara dua pihak. Dari sinilah, maka perseroan saham tersebut,
menurut syara' tetap tidak bisa dianggap sebagai transaksi yang sah. Disamping
di dalam transaksi tersebut tidak terjadi kesepakatan untuk melakukan
pekerjaan yang bersifat finansial dengan tujuan mencari keuntungan, namun
yang terjadi di dalamnya hanyalah kesepakatan pendiri atau pendaftar untuk
memberikan modal dalam sebuah proyek padat modal. Jadi, transaksi tersebut
tidak mengandung unsur kesepakatan untuk melakukan pekerjaan, sebab yang
ada hanyalah keterikatan yang bersifat personal dari seseorang dengan
memberikan modalnya, dimana dalam keterikatan tersebut tidak ada keharusan
untuk bekerja. Padahal, melaksanakan pekerjaan yang bersifat finansial tersebut
merupakan tujuan perseroan, bukan sekadar bergabung, sementara tidak
adanya transaksi tersebut dari unsur kesepakatan untuk melakukan pekerjaan
itu jelas telah membatalkan keabsahan suatu transaksi. Dengan demikian,
perseroan tersebut belum terwujud kalau hanya sekadar ada kesepakatan untuk
memberikan harta, sebab kesepakatan untuk melakukan pekerjaan yangbersifat
finansial tersebut belum ada. Dari sinilah, maka perseroan tersebut statusnya
batil.
Ada yang mengatakan, bahwa akte pendirian perseroan atau corporation charter
tersebut telah memuat bentuk pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh
perseroan, seperti pabrik gula, atau perdagangan ataupun yang lain, di mana di
dalamnya telah terjadi kesepakatan untuk melaksanakan pekerjaan yang
bersifat finansial. Jawabnya adalah, bahwa jenis pekerjaan yang disebutkan itu
hanyalah pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh perseroan, namun tidak
pernah terjadi kesepakatan dari pihak pesero untuk melaksanakan pekerjaan
tersebut. Yang terjadi di antara mereka hanya kesepakatan untuk bergabung
serta kesepakatan terhadap syarat-syarat perseroan saja. Kemudian
pekerjaannya diserahkan kepada "orang abstrak" yang dimiliki perseroan setelah
perseroan tersebut berdiri. Oleh karena itu, kesepakatan antarpesero untuk
melaksanakan pekerjaan yang bersifat finansial itu sebenarnya tidak pernah
terjadi.
Disamping itu, perseroan dalam Islam mengharuskan adanya badan yang
terlibat di dalamnya, atau mengharuskan adanya orang yang mengelola, bukan
tubuh atau tenaganya saja. Sehingga adanya badan merupakan unsur utama
dalam membentuk perseroan tersebut. Apabila ada badan, maka perseroan
tersebut telah terbentuk, dan bila badan tersebut tidak ada dalam perseroan
tersebut, maka perseroan tadi belum terbentuk, termasuk dari segi asasnya.
Sementara dalam perseroan saham, tidak terdapat unsur badan sama sekali,
bahkan unsur manusia sengaja dijauhkan dari perseroan tersebut, dan secara
mutlak tidak dianggap ada. Sebab transaksi perseroan saham adalah transaksi
antar modal, dan di dalamnya tidak terdapat unsur manusia sama sekali,
sehingga modallah yang melakukan perseroan antara modal satu dengan modal
pihak lain, bukan pemiliknya. Dimana modal-modal inilah yang melakukan
perseroan dengan modal-modal lain tanpa disertai keterlibatan badan pesero.
Tidak adanya badan pesero tersebut mengakibatkan perseroan ini belum bisa
terbentuk, sehingga nilainya batil, menurut syara'. Sebab, badan itulah yang
seharusnya mengelola modal, yang semestinya pengelolaan modal tadi
disandarkan kepada badan tersebut. Apabila badannya tidak ada, maka
pengelolaannya juga tidak ada.
Sedangkan keberadaan orang-orang yaitu para pemilik modal yang melakukan
kesepakatan untuk menanamkan saham berupa modal, serta merekalah yang
memilih dewan komisaris yang melaksanakan aktivitas dalam perseroan
tersebut, sama sekali tidak menunjukkan bahwa di dalam perseroan tersebut
terdapat satu badan pun, sebab kesepakatan mereka adalah menjadikan modal
sebagai pesero, bukan mereka sendiri yang menjadi pesero. Jadi, modal itulah
yang merupakan pesero, bukan pemiliknya.
Adapun keberadaan mereka sebagai pihak yang memilih dewan komisaris juga
tidak bisa diartikan bahwa mereka telah mewakilkan, melainkan modal
merekalah yang menyebabkan terjadinya pewakilan dari pihak mereka kepada
dewan tersebut, dan bukannya pewakilan kepada mereka. Terbukti, penanam
saham memiliki suara sesuai dengan jumlah pemilikan surat sahamnya. Maka,
siapa saja yang memiliki satu lembar surat saham, dia hanya memiliki satu
suara, atau satu wakil. Dan siapa saja yang memiliki seribu lembar surat saham,
maka dia akan memiliki seribu wakil, sehingga pewakilan tersebut berlaku untuk
harta dan bukan untuk manusianya. Ini membuktikan bahwa unsur manusia
telah dihilangkan dari sana, dan perseroan tersebut hanya terdiri dari unsur
harta saja.

Dengan demikian, definisi perseroan saham tersebut menunjukkan bahwa dalam


perseroan tersebut belum terpenuhi syarat-syarat yang semestinya harus ada,
sehingga perseroan dalam Islam tersebut bisa terbentuk. Sebab, ternyata di
dalamnya tidak terdapat kesepakatan antara dua pihak atau lebih, melainkan
hanya ada keterikatan dengan kehendak pribadi" dari satu pihak. Dan di
dalamnya belum terdapat kesepakatan untuk melakukan suatu pekerjaan, selain
keterikatan seseorang untuk memberikan modalnya. Di dalamnya juga tidak
terdapat badan yang melakukan pengelolaan, dalam kapasitas badan tersebut
sebagai manusia yang terdapat dalam perseroan, namun yang ada hanyalah
modal, tanpa disertai badannya sama sekali. Dengan demikian, transaksi
perseroan saham dari aspek ini, menurut syara', joins batil. Sehingga perseroan
saham tersebut merupakan perseroan yang batil, sebab ternyata tidak pernah
berdiri perseroan apa pun, termasuk tidak layak definisi perseroan dalam Islam
diberlakukan untuk perseroan saham ini.

Kedua, Perseroan adalah sebuah transaksi untuk mengelola modal. Sedangkan


pengembangan modal dengan perseroan tersebut merupakan pengembangan
kepemilikan. Dan pengembangan kepemilikan tersebut merupakan salah satu
bentuk tindakan yang sah menurut syara'. Sementara tindakan-tindakan yang
sah menurut syara' itu semuanya hanyalah tindakan lisan (tasharriifqauli, seperti
ljclb-qabul, pent.), dimana tindakan tersebut hanya lahir dari aktivitas seseorang,
bukan dari aktivitas modal. Sehingga pengembangan kepemilikan tersebut harus
dari pemilik tindakan, yaitu dari manusia, bukan dari modalnya. Dimana
perseroan saham justru telah menjadikan modal berkembang dengan sendirinya
tanpa ada badan pesero serta tanpa ada pengelola yang memiliki hak untuk
mengelola, malah menyerahkan pengelolaannya kepada modal. Sebab
perseroan saham tersebut hanyalah modal yang terkumpul, dimana modalnya
memiliki kekuatan untuk mengelola.
Oleh karena itu, perseroan tersebut dianggap sebagai "orang abstrak", dimana
hanya dialah yang berhak melakukan tindakan yang syar'i, seperti penjualan,
pembelian, produksi, pengaduan dan sebagainya. Padahal para pesero tersebut
tidak mempunyai hak mengelola sama sekali, sebab pengelolaannya hanya
menjadi hak milikpribadi perseroan.
Sementara, pengelolaan dalam perseroan Islam hanya dilakukan oleh para
pesero sehingga salah satu pihak akan melakukan tindakan karena ada izin dari
pihak lain. Sedangkan modal-modal perseroan — dalam Islam tersebut — secara
keseluruhan sama sekali tidak pernah melahirkan tindakan apa pun, sebab
tindakan tersebut hanya lahir dari diri pesero, bukan dari diri perseroan. Dengan
demikian, tindakan-tindakan yang terjadi dari perseroan dalam wujudnya
sebagai "orang abstrak" itu adalah batil, menurut syara'. Sebab, tindakan-
tindakan tersebut seharusnya lahir dari orang tertentu, atau dari manusia.
Dimana orang yang bersangkutan harus memiliki tindakan tersebut. Padahal,
praktik semacam itu tidak pernah ada di dalam perseroan saham. Tidak bisa
dikatakan, bahwa orang yang melakukan kerja dalam perseroan tersebut adalah
para pekerja, dimana mereka adalah orang-orang yang dibayar oleh pemilik
modal yang menanamkan sahamnya, sementara yang mengelola dan
mengambil tindakan-tindakan tersebut adalah direksi dan dewan komisaris,
dimana mereka adalah para wakil penanam saham. Tidak bisa dikatakan
demikian. Sebab seorang pesero, dirinya harus nampak dalam perseroan
tersebut, dimana transaksi perseroan tersebut mengikat dirinya. Sehingga dia
tidak mungkin mewakilkan dan mengontrak orang lain untuk melakukan
aktivitas perseroannya. Namun, dialah yang harus melakukan aktivitas
perseroannya sendiri. Sehingga para pesero tidak boleh mengontrak para
pekerja untuk menggantikannya, termasuk tidak boleh mewakilkannya kepada
dewan komisaris. Lebih-lebih, faktanya dewan komisaris nyatanya bukan wakil
orang yang menanam saham, melainkan hanya wakil modal mereka. Sebab yang
dipergunakan untuk mengambil tindakan tersebut adalah suara yang
diperolehnya dalam pemilihan, dimana perolehan suara tersebut mengikuti
berapa jumlah saham yang diinvestasikan dalam perseroan tersebut, bukan
mengikuti pribadi peseronya. Disamping, karena direksi dan dewan komisaris
pada dasarnya tidak memiliki hak untuk melakukan tindakan tersebut, karena
tiga sebab:
1. Karena mereka mengelola hal-hal yang diwakilkan kepada mereka dari para
penanam saham, atau dari para pesero dengan cara pesero memilih mereka.
Pesero juga tidak boleh diwakili, sebab perseroan tersebut mengikat dirinya,
sebagaimana seseorang tidak boleh diwakili untuk menikah (menjadi
pengantinnya) — namun boleh diwakili oleh orang lain sekadar melakukan akad
nikah — maka begitu pula tidak diperbolehkan untuk mewakilkan kepada orang
lain agar sama-sama menjadi pesero, namun dia boleh mewakilkan kepada
orang lain untuk melakukan transaksi perseroan, bukan menjadi peseronya.
2. Karena para penanam saham, atau para pesero telah mewakilkan modal
mereka, bukan mewakilkan diri mereka. Buktinya, suara dalam pemilihan, yaitu
suara yang dianggap sebagai pewakilan, adalah suara yang dinyatakan
berdasarkan berapajumlah modalnya, bukan berdasarkan individu-individunya.
Sehingga pewakilan tersebut pada dasarnya merupakan pewakilan modal
mereka, bukan pewakilan diri mereka.
3. Karena, para penanam saham adalah para pesero modal saja, bukan pesero
badan. Sementara itu pesero modal sama sekali tidak memiliki hak untuk
mengelola perseroan, sehingga dia tidak boleh diwakili oleh orang yang
mengelola dalam perseroan tersebut sebagai wakilnya.
Oleh karena itu, tindakan yang dilakukan direksi dan dewan komisaris adalah
tindakan yang batil, menurut syara'.

Ketiga, bahwa keberadaan perseroan saham yang bersifat tetap itu


bertentangan dengan ketentuan syara'. Sebab, perseroan itu merupakan salah
satu bentuktransaksi, yang diperbolehkan menurut syara', dimana bisa bubar
karena meninggalnya salah seorang pesero, atau gila, atau karena
"ketololannya" sehingga harus dikendalikan orang lain, atau karena pembubaran
dari salah satu pesero, apabila perseroan tersebut terdiri dari dua pesero.
Apabila terdiri dari beberapa pesero, maka yang rusak hanya perseroan orang
yang meninggal, atau gila, atau orang yang dikendalikan orang lain. Apabila
salah seorang pesero tersebut meninggal dunia sementara dia mempunyai ahli
waris, maka harus diteliti terlebih dahulu: Jika ahli warisnya belum akil baligh,
maka dia tidak boleh melanjutkan perseroannya, namun bila dia sudah akil
baligh, maka boleh melanjutkan perseroannya, dan dia berhak mendapat izin
pesero untuk ikut mengelola serta berhak untuk menuntut pembagian hasil.
Apabila pesero harus dikendalikan orang lain, maka perseroan tersebut bubar,
sebab seorang pesero seharusnya adalah orang yang bisa mengelola. Karena
perseroan saham tersebut bersifat tetap, dan terus berlanjut meski salah
seorang peseronya meninggal dunia, atau dikendalikan orang lain, maka inilah
yang mengakibatkan perseroan tersebut menjadi rusak (fasid), sebab perseroan
tersebut mengandung syarat yang rusak (fasid), berkaitan dengan keberadaan
perseroan serta praktik transaksinya.
Ringkasnya, perseroan saham tersebut pada dasamya tidak pemah berdiri
sebagai suatu perseroan, sebab yang menjadi pesero hanya modal, dimana tidak
ada sama sekali unsur pesero badan, padahal pesero badan merupakan syarat
utama, karena dengan adanya pesero badan, maka perseroan tersebut bisa
didirikan sebagai sebuah perseroan, sementara tanpa adanya pesero badan,
perseroan bentuk apa pun tidak pernah berdiri, sehingga perseroan tersebut
sama sekali tidak pernah ada. Mengenai perseroan saham, menurut mereka,
bisa sempurna karena adanya pesero modal yang melakukan perseroan, bukan
karena yang lain. Perseroan tersebut sibuk dan melakukan aktivitasnya tanpa
harus ada pesero badan, bahkan pesero badan — di dalam perseroan saham ini
— tidak memiliki nilai sedikit pun. Dari sinilah, maka perseroan saham tersebut
merupakan perseroan yang batil, sebab perseroan tersebut, menurut syara'
belum dinilai sebagai sebuah perseroan.
Sementara itu orang-orang yang mengelola dalam perseroan tersebut adalah
direksi dan dewan komisaris, dimana mereka adalah wakil dari penanam saham,
artinya wakil dari pesero modal. Padahal menurut syara', seorang pesero tidak
boleh diwakilkan kepada seorang wakil pun untuk mengelola perseroannya
sebagai wakil pesero, baik pesero tersebut berupa pesero modal maupun pesero
badan. Sebab, transaksi perseroan tersebut mengikat dirinya, sehingga diayang
secara langsung harus mengelolanya. Sehingga, mewakilkan atau mengontrak
orang untuk mengelola dan menjalankan aktivitas berdasarkan perseroan
tersebut, hukumnya tidak boleh. Disamping itu pesero modal, menurut syara'
tidak memiliki hak untuk melakukan pengelolaan dan aktivitas dalam perseroan
secara mutlak. Sebab untuk melakukan pengelolaan dan aktivitas dalam
perseroan tersebut hanya menjadi milik pesero badan, bukan pesero lain. Begitu
pula perseroan saham tersebut telah menjadikan "orang abstrak", dimana
"orang abstrak" tersebut berhak untuk mengelolanya. Padahal pengelolaannya,
secara syar'i mestinya tidak sah kecuali dilakukan oleh manusia yang memiliki
kemampuan untuk mengelola, misalnya dia harus sudah akil baligh atau akil
muma-yyiz. Maka, tiap pengelolaan yang bukan dari manusia, menurut syara',
hukumnya batil.
Jadi, menyandarkan pengelolaan kepada "orang abstrak" tersebut hukumnya
haram. Oleh karena itu, ia harus disanidarkan kepada orang yang memiliki
kemampuan untuk mengelola, yaitu manusia. Dengan demikian, perseroan
saham adalah perseroan yang batil, sehingga semua transaksinya juga dinilai
batil. Semua harta yang diperoleh melalui perseroan tersebut, juga termasuk
harta yang batil, sebab semua yang diperoleh melalui transaksi yang batil,
hukumnya adalah batil. Jadi, tidak halal untuk memilikinya.

Koperasi
Koperasi adalah salah satu jenis perseroan Kapitalis. Koperasi tetap merupakan
bentuk perseroan, meskipun namanya adalah koperasi.
Koperasi adalah bentuk penanaman saham antara sekelompok orang yang
melakukan kesepakatan antarsesama mereka, untuk mengadakan kerjasama
(perseroan) sesuai dengan kondisi tertentu mereka, Koperasi dalam model
perdagangan umum, biasanya didirikan dengan tujuan untuk membantu
anggota-anggotanya, atau menjamin kepentingan-kepentingan ekonomi mereka
yang serba terbatas. Koperasi tersebut biasanya merekrut "orang abstrak" untuk
melakukan perseroan. Oleh karena itu, koperasi berbeda dengan organisasi-
organisasi lain, sebab pada dasarnya organisasi-organisasi tersebut terlepas dan
tujuan-tujuan ekonomi. Koperasi biasanya berusaha meningkatkan keuntungan
anggota-anggotanya, bukan keuntungan pihak lain. Inilah yang menimbulkan
adanya ikatan yang kuat antara aktivitas perekonomian koperasi dengan
perekonomian anggota-anggotanya.
Koperasi biasanya beranggotakan sejumlah orang, bisa berjumlah tujuh, atau
lebih sedikit, ataupun lebih banyak. Namun, tidak mungkin hanya beranggotakan
dua orang. Koperasi ini ada dua macam: Pertama, berbentuk perseroan yang
mempunyai founder shares, yang memungkinkan tiap orang untuk menjadi
pesero (anggota koperasi) karena ikut andil dalam founder shares tersebut.
Kedua, berbentuk perseroan yang tidak mempunyai founder shares, dimana
untuk menjadi anggotanya adalah dengan membayar iuran tahunan yang
ditetapkan oleh koperasi secara umum, tiap satu tahun.
Adapun koperasi tersebut harus memenuhi lima syarat:
1. Kebebasan untuk.bergabung dengan koperasi, sehingga pintu pendaftaran
tetap terbuka, bagi siapa saja dengan syarat-syarat yang berlaku untuk anggota-
anggota sebelumnya. Aturan-aturan (AD/ART) koperasi serta ketentuan-
ketentuan yang ada harus berlaku bagi siapa saja; baik ketentuan-ketentuan ini
memuat tentang sifat kedaerahan, semisal penduduk satu desa, atau memuat
tentang sifat keprofesian, semisal tukang cukur.
2. Anggota koperasi mempunyai hak yang sama. Diantara hak yang paling
penting adalah hak bersuara, sehingga tiap anggota diberi satu suara.
3. Membatasi bagian tertentu untuk founder shares: Bebarapa koperasi biasanya
memberikan bagian tertentu untuk para penanam saham tetap, apabila
keuntungan koperasi tersebut tidak bisa diberikan.
4. Mengembalikan kelebihan laba produktif: Sisa hasil usaha (SHU) biasanya
dibagikan kepada para anggota, berkaitan dengan aktivitas yang mereka
"kontrakkan" kepada koperasi tersebut, baik dari pembelian, maupun dari
pemanfaatanjasa atau peralatan koperasi.
5. Harus mengumpulkan kekayaan koperasi, dengan cara membuat cadangan.
Sedangkan yang memimpin pengelolaan perseroan — model koperasi —
tersebut, yaitu untuk mengelola dan menjalankan aktivitasnya adalah pengurus
yang dipilih dari anggota koperasi yang terdiri dari para penanam saham,
dengan ketentuan tiap penanam saham memiliki satu suara, tanpa
memperhatikanjumlah sahamnya. Orang yang mempunyai seratus saham,
dengan orangyang hanya mempunyai satu saham, sama-sama mempunyai satu
suara dalam pemilihan pengurus.
Sedangkan koperasi-koperasi tersebut ada beberapa macam, diantaranya adalah
koperasi simpan pinjam, koperasi konsumsi, koperasi pertanian dan koperasi
produksi. Secara keseluruhan, koperasi tersebut adakalanya berupa koperasi
konsumsi, dimana keuntungannya dibagi berdasarkan laba pembelian, atau
adakalanya koperasi produksi, dimana keuntungannya dibagi berdasarkan laba
produksinya.
Inilah koperasi. Koperasi ini merupakan organisasi yang batil dan bertentangan
dengan hukum-hukum Islam. Hal itu adalah karena sebab-sebab sebagai berikut:
1. Koperasi adalah perseroan. Oleh karena itu, syarat-syarat perseroan yang
dinyatakan oleh syara' hingga perseroan tersebut sah menurut syara' harus
dipenuhi. Perseroan dalam Islam adalah transaksi antara dua orang atau lebih,
yang sama-sama sepakat untuk melakukan kegiatan yang bersifat finansial,
dengan tujuan mencari keuntungan. Oleh karena itu, dalam perseroan tersebut
harus ada suatu badan hingga para pesero—yang menjadi anggota koperasi—
tersebut bisa melaksanakan kegiatan. Dengan kata lain, dalam perseroan
tersebut harus ada badan yang mempunyai andil, sehingga perseroan tersebut
menurut syara' bisa disebut sebagai sebuah perseroan. Apabila di dalam
perseroan tersebut tidak ada orang yang memiliki dan mengelola, maka
kegiatan yang dilakukan sesuai dengan tujuan diadakanya perseroan
tersebutjustru tidak pernah terwujud. Apabila hal ini kita aplikasikan ke dalam
koperasi, maka kita akan menemukan bahwajustru dengan adanya koperasi
tersebut perseroan menurut syara' tadi tidak pernah terwujud sama sekali.
Sebab koperasi adalah perseroan yang didirikan berdasarkan modal saja, dimana
di dalamnya tidak terdapat satu badan pesero (anggota koperasi) pun.
Sebaliknya, modallah yang telah melakukan perseroan. Sehingga di dalamnya
tidak pernah terjadi kesepakatan untuk melakukan kegiatan sama sekali. Yang
terjadi hanyalah kesepakatan untuk menyerahkan modal tertentu dengan tujuan
agar mereka bisa membentuk kepengurusan yang membahas siapa yang akan
melakukan kegiatan tersebut.

Sedangkan orang-orang yang menanamkan sahamnya dalam perseroan tersebut


sebenarnya hanya menggabungkan modal-modalnya saja. Dengan cara
semacam ini, perseroan tersebut tidak ada unsur badannya. Oleh karena itu,
koperasi tidak bisa mewujudkan perseroan yang sah menurut syara', karena
koperasi tersebut tidak memiliki unsur badan. Sehingga koperasi, dari segi
asasnya, tidak pernah dianggap terbentuk. Karena perseroan adalah transaksi
untuk mengelola modal, sementara pengelolaan tersebut tidak akan sempurna
kecuali dengan adanya badan. Apabila koperasi tersebut tidak ada unsur
badannya, maka menurut syara' perseroan tersebut tidak dianggap sebagai
sebuah perseroan, sehingga tetap dinilai sebagai perseroan yang batil.
2. Pembagian laba menurut hasil pembelian atau produksi, bukan menurut
modal, atau kerja, tidak diperbolehkan. Sebab perseroan tersebut terjadi pada
modal, maka labanya harus mengikuti modal. Apabila perseroan tersebut terjadi
pada pekerjaan, maka labanya harus mengikuti pekerjaannya. Oleb karena itu,
pembagian laba adakalanya mengikuti modal atau pekerjaaan, atau mengikuti
kedua-duanya sekaligus. Sedangkan syarat pembagian laba menurut hasil
penjualan atau produksi, itu tidak diperbolehkan. Sebab bertentangan dengan
transaksi yang sah menurut syara'. Oleh karena itu, tiap persyaratan yang
bertentangan dengan keadaan transaksi, atau tidak termasuk kepentingan
transaksi, juga tidak seiring dengan transaksi, maka persyaratan tersebut adalah
persyaratan yang rusak. Adapun pembagian laba menurut hasil pembelian dan
produksi itu jelas bertentangan dengan kondisi transaksi tersebut. Sebab,
transaksi tersebut terjadi pada modal atau pekerjaan, sehingga labanya harus
mengikuti modal atau pekerjaannya. Apabila laba tersebut ditetapkan menurut
hasil pembelian dan produksinya, maka ketetapan (syarat) tersebut adalah fasid
(rusak).
SAHAM DAN BURSA SAHAM
Saham-saham perseroan saham adalah surat-surat yang bernilai nominal, yang
mencerminkan harga perseroan pada saat saham tersebut diperkirakan.
Sementara surat-surat tersebut tidak mencerminkan modal perseroan, pada saat
pendiriannya. Jadi, saham tersebut inerupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan
dari keberadaan perseroan, dimana ia juga bukan merupakan bagian dari modal
perseroan, sebab itu hanya merupakan sandaran nilai keberadaan perseroan.
Nilai saham mi tidak tetap, akan tetapi berubah-ubah mengikuti untungdan
ruginya perseroan. Nilai tersebutjuga tidak tetap setiap tahunnya, tetapi nilai
tersebut akan selalu mengalami perbedaan dan perubahan. Oleh karena itu,
saham tidak mencerminkan modal yang diinvestasikan pada saat perseroan
didirikan, selain hanya mencerminkan modal perseroan, ketika dijual atau
padawaktu tertentu, sehingga saham-saham tersebut sama seperti kertas uang,
yangbisa turun harganya, apabila bursa saham mengalami penurunan, dan naik,
apabila bursa saham mengalami kenaikan. Maka, setelah perseroan tersebut
mulai beroperasi, saham akan lepas dari keberadaannya sebagai modal,
sehingga tinggal menjadi surat bernilai nominal yang mempunyai nilai tertentu.
Hukum syara' tentang kertas-kertas bernilai nominal tersebut harus dibedakan:
Apabila sandaran-sandaran yang menjadi jaminan alat pembayarnya berupa
harta yang halal, seperti uang kertas yang mempunyai penjamin berupa emas
dan perak, atau yang serupa, dan setara nilainya, maka memperjual-belikannya
adalah halal. Sebab, harta yang menjadi penjaminnya halal. Apabila sandaran-
sandaran yang menjadi jaminan alat pembayarnya berupa harta yang haram,
seperti hutang yang dibungakan dengan sistem riba, seperti saham-saham bank,
ataupun yang sejenis, maka memperjual-belikannya adalah haram. Sebab, harta
yang menjadi penjaminnya hukumnya haram.
Saham-saham perseroan saham tadi adalah surat-surat yang memuat alat tukar,
yang bercampur antara modal yang halal dengan bunga yang haram, dalam
sebuah transaksi dan muamalah yang batil, tanpa bisa dipilah-pilah lagi antara
modal murni dengan bunganya. Tiap surat saham dengan nilai investasi tertentu
dari keberadaan perseroan yang batil, dimana adanya perseroan tadi diusahakan
melalui muamalah yang batil dan dilarang oleh syara', maka surat tersebut
termasuk harta yang haram. Sehingga, saham-saham perseroan saham yang
memuat alat tukar tadi merupakan harta yang haram. Dengan demikian, kertas-
kertas bernilai nominal, yang merupakan saham tersebut adalah harta yang
haram, yang tidak boleh diperjual-belikan, sertatidakboleh dipergunakan dalam
melakukan transaksi apa pun.
Tinggal satu masalah, yaitu mas'alah yang dialami oleh kaum Muslimin, yang
terkait dengan pembelian mereka atas saham-saham perseroan dan keterlibatan
mereka dalam pendiriannya, serta status saham-saham yang mereka miliki,
dimana — dengan dominasi investasi mereka di dalam perseroan ini — mereka
memiliki perseroan tersebut. Apakah aktivitas mereka hukumnya haram,
padahal mereka tidak memahami hukum syara' ketika menginvestasikan saham
mereka, atau bolehjadi mereka mendapat fatwa dari para
ulamayangtidakmemahami fakta perseroan saham tersebut. Bagaimana ini? Dan
apakah saham-saham yang mereka kelola itu tetap menjadi milik mereka, serta
harta-harta yang halal bagi mereka, meskipun sebelumnya diperoleh melalui
muamalah yang secara syar'i batil? Ataukah haram bagi mereka? Padahal
mereka tidak memilikinya? Dan apakah mereka boleh menjual saham-saham
tersebut kepada orang lain, ataukah tidak?
Jawabnya adalah, bahwa ketidaktahuan tentang hukum syara' bukan merupakan
udzur. Sebab, tiap Muslim hukumnya fardlu 'ain untuk belajar hukum-hukum
syara' yang lazim dalam hidupnya. Sehingga dia bisa melaksanakan perbuatan
sesuai dengan hukum syara' tersebut. Hanya saja, bila hukum tadi merupakan
hukum yang tidak diketahui oleh yang lain, sebagaimana orang tersebut, maka
hukum tadi tidak berlaku dalam perbuatan tersebut, sehingga perbuatannya
tetap benar, meskipun hukum syara'nya menyatakan bahwa perbuatan tersebut
sebenarnya batil. Sebab Rasulullah saw. pernah mendengarkan Mu'awiyah bin
AI-Hakam mendoakannya dengan: "Semoga engkau (Muhammad) dirahmati
Allah, " padahal dia sedang salat. Setelah mereka selesai salat, dia diberitahu
oleh Rasul, bahwa berbicara itu membatalkan salat.
Mendoakan dengan kata-kata: "Semoga engkau (Muhammad) dirahmati Allah,"
itu sebenarnya membatalkan salat, namun beliau tidak menyuruh Mu'awiyah
agar mengulangi salatnya. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim danAn-
Nasa'i dari Atha' binYasar. Karena hukum tadi, yaitu hukum berbicara bisa
membatalkan salat, adalah hukum yang tidak diketahui oleh yang bersangkutan,
serta sahabat yang lain, maka Rasul menganggapnya udzur dan menganggap
salat Mu'awiyah tetap sah.
Perseroan saham hukumnya haram, adalah termasuk hukum yang tidak
diketahui oleh kebanyakan kaum Muslimin, karena itu dalam hal ini
ketidaktahuan akan hal tersebut bisa menjadi udzur. Sehingga aktivitas orang-
orang yang melakukan perseroan tersebut tetap sah, meskipun perseroannya
statusnya batil. Sebagaimana salat Mu'awiyah bin AI-Hakam, dimana salatnya
tetap sah, sekalipun di dalam salat tersebut dia melakukan sesuatu yang
membatalkan, namun dia tidak tabu, bahwa berbicara itu bisa membatalkan
salat. Fatwa para ulama juga termasuk dalam katagori hukum tidaktahu,
berkaitan dengan orang yang meminta fatwa. Adapun bagi orang yang memberi
fatwa, tidak bisa dimasukkan dalam katagori orang yang mendapat udzur.
Sebab, dia tidak berusaha mencurahkan kemampuannya untuk memahami fakta
perseroan saham tersebut sebelum memberikan hukumnya. Sedangkan status
pemilikan saham para penanam saham tersebut termasuk pemilikan yang sah,
dimana saham-saham tersebut mempakan harta yang halal bagi mereka, selama
hukum syara' tentang aktivitas mereka masih dinyatakan sebagai aktivitas yang
sah, bukan batil. Sebab, mereka tidak tahu tentang kebatilannya, sehingga
mereka mendapatkan udzur dalam melakukannya. Adapun menjual saham-
saham kepada kaum Muslimin, hukumnya tetap tidak diperbolehkan. Sebab
saham-saham tersebut merupakan surat bernilai nominal yang batil, menurut
pandangan syara'. Hanya saja memilikinya diperbolehkan karena
ketidaktahuannya, dimana ketidaktahuan tersebut menjadi udzur untuk
memilikinya. Apabila hukum syara' tentang pemilikan saham tersebut telah
diketahui, atau telah menjadi sesuatu yang diketahui oleh khalayak, maka pada
saat itu, ia telah menjadi harta yang haram, yang tidak boleh dijual-belikan,
termasuk dipergunakan oleh orang lain untuk membeli kepadanya.
Cara membebaskan diri dari saham-saham yang dimiliki karena tidak tahu
hukum syara'nya adalah dengan membubarkan perseroan, atau merubah
perseroan tersebut menjadi perseroan Islam, atau mencari orang non-Islam,
yaitu orangyangmenghalalkan saham-saham perseroan saham, kemudian
mempercayakan kepada orang tersebut agar menjualkan sahamnya, lalu
harganya bisa mereka ambil. Dari Suwaid bin Ghafalah: "Bahwa Bilal telah
berkata kepada Umar bin Khaththab: 'Sesungguhnya para 'amilmu mengambil
minuman keras dan babi dalam kharaj.' Umar berkata: 'Janganlah kalian ambil
dari mereka (minuman keras dan kharaj), tetapi kalian percayakan kepada
mereka agar menjualnya, lalu kalian ambil dari harganya. " (HR. Abu Ubaid,
dalam kitib Al-Amwal). Dan tidak ada seorang pun yang mengingkari tindakan
Umar tersebut. Padahaijika menyimpang dari hukum syara', mestinya tindakan
tersebut harus diingkari. Oleh karena itu, ini merupakan ljma' Sahabat. Minuman
keras dan babi adalah harta orang Kafir dzimmi, bukan harta orang Islam. Ketika
mereka ingin memberikannya kepada kaum Muslimin untuk membayar jizyah,
maka mereka (kaum Muslimin) diperintahkan oleh Umar agar tidak bersedia
menerimanya, lalu mereka (orang Kafir dzimmi) diminta menjualnya dan
harganya bisa mereka ambil. Ketika saham-saham tersebut merupakan salah
satu bentukharta orang-orangKapitalis Barat, bukan harta kaum Muslimin,
sementara saham-saham tersebut telah diberikan kepada kaum Muslimin, maka
tidak sah mereka mengambilnya dan hendaknya mereka mempercayakan
kepada orang-orang Kapitalis tersebut agar menjualnya. Sebagaimana kaum
Muslimin berhak xtisjizyah dan kharaj, yang berlaku terhadap minuman keras
dan babi, sehingga Umar membolehkan mereka untuk menyerahkan kepada
Kafir dzimmi agar mereka menjualnya kemudian harganya diserahkan kepada
kaum Muslimin, maka kaum Muslimin juga berhak atas saham-saham ini, yaitu
mereka diperbolehkan untuk menyerahkan kepada Kafir dzimmi agar mereka
menjualnya kemudian harganya diberikan kepada kaum Muslimin.
ASURANSI
Asuransi jiwa atau barang atau hak milik atau yang lain adalah salah satu bentuk
transaksi yang ada. Asuransi ini merupakan transaksi antara RT. Asuransi
dengan tertanggung (insured)". Dimana pihak tertanggung meminta kepada P.T.
Asuransi agar memberikan janji untuk ganti (pertanggungan) kepada yang
bersangkutan. Bisa jadi berupa barang — sebagai ganti rugi barang—yang hilang
atau berupa harganya, apabila terkait dengan barang atau hak milik. Atau dapat
berupa uang, apabila terkait dengan jiwa dan sejenisnya, termasuk bila ada
kejadian yang menimpa pihak tertanggung dalamjangkawaktu tertentu, sebagai
ganti rugi dalam bentuk uang tertentu. Karenanya, P.T. Asuransi — sebagai
pihak penanggung (insurer) — tersebut menerimanya.
Disamping masalah ijab dan qabul, PT. Asuransi tersebut berjanji memberikan
ganti rugi kepada pihak tertanggung sesuai dengan syarat-syarat tertentu yang
telah disepakati oleh kedua belah pihak. Bisa berupa barang yang dihilangkan,
atau harga pada saat terjadinya suatu peristiwa atau uang yang telah
disepakatinya. Contoh, apabila barang atau mobil seseorang rusak, atau
rumahnya terbakar, atau hak nliliknya dicuri orang, atau meninggal dunia
ataupun yang lain, dalamjangka waktu tertentu, maka pihak tertanggung akan
mendapatkan ganti rugi sebagai ganti uang tertentu yang telah dibayarkan oleh
pihak tertanggung, dalam jangka waktu tertentu.
Dari sini nampaklah, bahwa asuransi yakni kesepakatan antara PT. Asuransi
dengan pihak tertanggung terhadapjenis asuransi dan syarat-syaratnya adalah
suatu transaksi. Disamping transaksi yang dilakukan antara kedua belah pihak,
P.T. Asuransi juga memberikan janji untuk mengganti, atau membayar uang
tertentu sesuai dengan syarat-syarat yang telah disepakati. Apabila pihak
tertanggung tersebut mengalami suatu kejadian yang sesuai dengan polis
asuransi, maka PT. Asuransi — sebagai pihak penanggung — harus mengganti
barang yang rusak, atau harganya sesuai dengan harga pasar, pada saat
peristiwa tersebut terjadi. Dan ET. Asuransi inilah yang berhak memilih, antara
membayar harganya atau mengganti barang kepada pihak tertanggung, atau
kepada orang lain. Sehingga ganti rugi ini merupakan salah satu hak pihak
tertanggung terkait dengan jaminan ET. Asuransi ketika point-point yang
disebutkan dalam polis asuransi tersebut terjadi, yaitu bila PT. Asuransi tersebut
mengakui haknya atau apabila mahkamah memutuskan hak tersebut.
Perseroan ini disebut dengan asuransi. Kadang-kadang asuransi tersebut untuk
kepentingan pihak tertanggung itu sendiri, atau untuk kepentingan orang lain,
seperti anak-anaknya, istri dan ahli warisnya yang lain, atau untuk kepentingan
seseorang atau kelompokyang telah ditentukan oleh pihak tertanggung. Asuransi
juga dipergunakan untuk jiwa, barang, atau suara ataupun yang lain, adalah
untuk menimbulkan interest orang agar ikut terlibat dalam asuransi tersebut.
Padahal, sebenarnya asuransi tersebut tidak menjamin jiwa, namun hanya
menjamin resiko yang terjadi, dengan uang — sebagai pertanggungan tertentu
yang diberikan — kepada anak-anak, istri atau ahli warisnya, atau orang ataupun
kelompok yang telah ditentukan oleh pihak tertanggung, apabila ia meninggal.
Jadi, asuransi tersebut tidak pernah menjamin barang, mobil, hak milik serta
yang lain, selain menjamin risiko dengan mengganti kerugian barang atau
harganya, apabila barangnya, mobil atau hak miliknya atau apa saja yang
menjadi miliknya mengalami kerusakan atau hilang. Oleh karena itu, asuransi
tersebut hakikatnya merupakan jaminan atas terjadinya suatu risiko dengan
uang yang diberikan kepada orang yang bersangkutan atau yang lain, atau
dengan ganti rugi, apabila kejadiannya berupa barangyang dia hilangkan sendiri,
atau rusak, dan bukannya jaminan bagijiwanya ataupun hak miliknya. Inilah
fakta tentang asuransi.
Dengan meneliti secara mendalam, sebenarnya nampak bahwa asuransi
tersebut batil dari dua segi:
Pertama, asuransi adalah transaksi, dimana asuransi tersebut merupakan
kesepakatan antara dua pihak yang di dalamnya terdapat ijab dan qabul. ljab
dari pihak tertanggung (insured), sedangkan qabul dari PT. Asuransi, atau pihak
penanggung (insurer). Agar transaksi tersebut sah menurut syara', maka syarat
transaksi menurut syara' harus dipenuhi. Apabila syarat transaksi tersebut
dipenuhi, maka transaksi tersebut sah. Apabila tidak, maka transaksi tersebut
tidak sah. Sedangkan syarat transaksi menurut syara' harus terjadi pada barang
atau jasa. Apabila tidak terjadi pada barang, atau jasa, maka transaksi tersebut
statusnya batil, sebab transaksi tersebut tidak terjadi pada sesuatu yang bisa
menjadikan transaksi tersebut sah menurut syara'. Sebab, transaksi menurut
syara' bisa saja terjadi pada barang dengan suatu kompensasi, sepertijual-beli,
saham, pembuatan perseroan dan sebagainya. Transaksi juga bisa terjadi pada
barang dengan tanpa kompensasi apa pun, seperti hadiah, atau bisa terjadi pada
jasa dengan suatu kompensasi, seperti transaksi ijarah, atau terjadi padajasa
dengan tanpa kompensasi, seperti transaksi pinjaman (ariyah).
Oleh karena itu, transaksi yang syar'i itu harus terjadi pada sesuatu (barang atau
jasa). Sementara transaksi asuransi tersebut tidak termasuk dalam katagori
transaksi yang terjadi pada barang dan jasa, namun transaksi tersebut terjadi
pada suatu janji, atau jaminan pertanggungan (probabilitas). Janji atau jaminan
pertanggungan tersebut tidak bisa dianggap sebagai barang, sebab zatnya tidak
bisa dipakai dan tidak bisa diambil manfaatnya. Janji tersebutjuga tidak bisa
dianggap sebagai jasa, karena seseorang tidak memanfaatkan janji tersebut
secara langsung, baik untuk disewakan maupun dipinjamkan. Adapun
didapatkannya sejumlah uang berdasarkan janji tersebut, tetap tidak bisa
menjadikan janji tersebut sebagaijasa, namun hanya merupakan salah satu
akibat dari muamalah. Dari sinilah, maka transaksi asuransi tersebut tidak bisa
dianggap telah terjadi pada suatu barang dan jasa. Oleh karena itu, transaksi
tersebut batil. Sebab, tidak memenuhi syarat-syarat yangwajib dipenuhi dalam
sebuah transaksi syar'i, agar transaksi tersebut bisa disebut sebagai sebuah
transaksi.
Kedua, PT. Asuransi — sebagai pihak penanggung (insurer) — telah memberikan
janji kepada pihak tertanggung (insured) sesuai dengan syarat-syarat tertentu.
Bila ditinjau dari segi jaminan, tentu jaminan tersebut harus memenuhi syarat-
syarat yang dituntut oleh syara' berkaitan dengan masalah dhaman agar
jaminan tersebut menjadi jaminan yang sah menurut syara'. Jika jaminan
tersebut memenuhi syarat-syarat tersebut, maka jaminan tersebut sah. Jika
tidak, maka jaminan tersebut tidak sah.
Dengan mempelajari masalah jaminan yang bersifat syar'i tersebut, akan
nampak hal-hal sebagai berikut: Jaminan (dhaman) adalah pemindahan harta
pihak penjamin kepada pihak yang dijamin dalam menunaikan suatu hak. Dalam
pemindahan harta seseorang kepada pihak lain, harus ada penjamin (dhamin),
yang dijamin (madhinun 'anhu) dan yang menerimajaminan (madhmunlahu).
Jaminan itu sendiri sebenarnya merupakan penunaian hak harta tanpa
kompensasi apa pun. Agarjaminan tersebut sah, makajaminan tersebut
disyaratkan harus terjadi dalam perkara penunaian hak harta yangwajib dipenuhi
atau akanjatuh tempo pemenuhannya.Jika yang dijamin tidak mendapatkan apa-
apa, maka dalam hal ini tidak terjadi pemindahan harta.
Adapun dalam hak yang yang akan jatuh tempo pemenuhannya, seperti seorang
laki-laki berkata kepada seorangwanita: "Nikahlah dengan si Fulan, aku yang
akan. menanggung mahamu," maka pihak penjamin di sini telah memindahkan
tanggungannya (hartanya) kepada pihak yang dijamin, dimana sesuatu yang
menjadi tanggungan pihak yang dijamin tersebut kemudian menjadi
tanggungannya. Sementarajika tidak terdapat hak wajib atau, hak wajib yang
akan Jatuh tempo pemenuhannya, yang harus ditunaikan oleh seseorang, maka
makna jaminan tersebut ti~k bisa diberlakukan pada orang tersebut. Sebab,
tidak terjadi pemisahan hak seseorang kepada pihak lain. Akibatnya,jaminan
semacam ini tidak sah. Atas dasar inilah, apabila tidak terdapat hak wajib yang
diterima oleh pihak yang mendapat jaminan atas pihak yang dijamin, maka
jaminan tersebut tidak sah. Sebab, disyaratkan bagi pihak penjamin agar
menjamin barang, apabila barang tersebut hilang atau rusak, atau menjamin
hutang baik ia menjamin secara praktis, apabila pada saat itu hak tersebut
berupa hakwajib dan jatuh temponya, ataupun menjamin dengan kemampuan
(kekayaannya), apabila hak tersebut belum jatuh tempo pemenuhannya. Apabila
yang dijamin tersebut tidak harus mendapatkanjaminan, baik pada saat itu juga,
ataupun dengan kekayaan pihakpenjamin, makajaminan tersebut tidak sah.
Sebab, yang tidak wajib ditunaikan oleh pihakyang dijamin tentu lebih tidak
wajib ditunaikan oleh pihak penjamin. Sebagai contoh, ada seseorang menerima
pakaian dari orang lain, lalu orang tersebut berkata kepada pemberi pakaian
tadi: "Berikanlah pakaianmu kepadanya, aku yang ukan menjaminnya. " Lalu
pakain tersebut hilang, maka apakah pihak penjamin tersebut harus membayar
harga pakaian tersebut kepada pemilik pakaian tadi? Jawabnya adalah, apabila
pakaian tersebut hilang bukan karena perbuatan pihak yang mendapat jaminan,
juga bukan karena kecerobohannya, maka dalam hal ini penjamin tadi tidak
mempunyai kewajiban apa pun, sebab madhmun 'anhu tidak mempunyai
kewajiban apa-apa.Jika pihak penerima pakaian tersebut tidak mempunyai
kewajiban apa-apa, maka pihak penjamin tentu lebih tidakmempunyai kewajiban
apa-apa. Atas dasar inilah, maka hak tersebut haruslah berupa hak wajib atas
yang lain, yang harus diterima oleh pihakyang dijamin atau suatu kewajiban
yang akan jatuh tempo pemenuhannya, sehingga jaminan tersebut layakdisebut
sebagai sebuah jaminan.
Hanya saja, yang dijamin dan pihak yang mendapatkan jaminan tersebut tidak
disyaratkan harus sudah jelas, sebab bila pihak yang dijamin tersebut belum
diketahui pun tetap sah jaminannya. Jika seseorang berkata: "Berikanlah
pakaianmu pada tukang cud itu. " Kemudian dia menjawab: 'Aku khawatir, dia
akan menghilangkannya." Lalu orang tadi berkata lagi: "Berikanlah pakaianmu
kepada tukang cuci itu, akulah yang akan menjaminnyajika hilang." Sementara
orang tadi tidak menentukan tukang cuci yang mana. Maka, jaminan semacam
ini tetap dinilai sah. Apabila orang tadi memberikan pakaian tersebut kepada
tukang cuci, lalu pakaian tersebut hilang, maka orang tadi harus menjaminnya,
meskipun orang yang dijamin tadi masih belum jelas (majhul). Demikian halnya,
kalau dia mengatakan: "Fulan itu adalah tukang cuci yang mahir, setiap orang
mencudkan kepadanya, akulah yang akan menjamin. para tukang cuci itu."
Maka, transaksi semacam ini juga sah, meskipun pihakyang dijamin tersebut
masih majhul.
Dalil-dalil tentangjaminan menjelaskan, bahwajaminan itu merupakan
pemindahan hak seseorang kepada orang lain, dan bahwa jaminan tersebut
merupakan jaminan atas suatu hakwajib, dan tegas. Adalahjelas, bahwa di
dalamjaminan tersebut terdapat pihak penjamin, pihakyang dijamin dan
pihakyang mendapatkan jaminan. Adalah juga jelas, bahwa jaminan tersebut
tanpa disertai kompensasi (imbalan). Dan pihakyang dijamin serta penjamin
bisajadi sama-sama masih majhul. Dalilnya adalah sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Darda' dari Jabir, ia berkata:
"Rasulullah saw. pemah tidak bersedia menyalatkan (mayat) seorang laki-laki
yang mempunyai hutang (semasa hidupnya). Rasulullah disodori jenazahnya
(untuk disalatkan), kemudian beliau bersabda: 'Apakah ia mempunyai
hutang'!"Mereka menjawab: 'Benar, yaitu dua Dinar. ' Kemudian beliau
bersabda: 'Salatkan sahabat kalian. ' Kemudian Abu Qathadah Al- Anshary
berkata: 'Biarlah hutangnya menjadi tanggunganku, ya Rasulullah. ' Maka, beliau
lalu mau menyalatkannya. Ketika Allah telah menaklukkan berbagai negeri di
bawah kekuasaan Rasulullah, beliau bersabda: 'Aku lebih utama bagi setiap
Mukmm dari dm mereka sendiri. Maka, barangsiapa yang meninggalkan hutang,
akulah yangakan melunasinya, dan barangsiapa yang meninggalkan warisan
maka, harta warisan itu bagi pewarisnya'. "

Dalam hadis ini, Abu Qathadah jelas telah memindahkan pemilikan hartanya
kepada si mayat dalam menunaikan hak harta yang harus ditunaikan oleh si
mayat. Jelas pula, bahwa dalam transaksi jaminan tersebut ada pihakpenjamin,
yang dijamin dan pihakyang mendapatkan jaminan. Bahwa jaminan adalah
menunaikan hak harta tanpa suatu kompensasi (imbalan) apa pun. Jelas pula,
bahwa pihakyang dijamin, yaitu si mayat dan pihakyang mendapatkan jaminan,
yaitu orang yang berpiutang adalah sama-sama majhul, tidak jelas. Hadis ini
memuat tentang syarat-syarat sah dan tidaknya jaminan serta syarat terwujud
dan tidaknya transaksi jaminan tersebut.
Inilah jaminan yang sah menurut syara'. Maka, denganmencocokkan perjanjian
asuransi pada jaminan — dimana perjanjian asuransi hanya sekadar janji — kita
temukan, bahwa asuransi tersebut tidak memenuhi seluruh syarat yang
dinyatakan oleh syara' hingga asuransi tersebut sah, dan transaksinya diakui
oleh syara'.
Dalam asuransi tidak ada pemindahan hak seseorang kepada orang lain secara
mutlak. PT. Asuransi tidak menjaminkan hartanya kepada seseorang dalam
menunaikan kewajiban pihaktertanggung. Di sini juga tidak ada jaminan,
sehingga asuransi tersebut menjadi batil. Dalam asuransi juga tidak terdapat hak
penerima tanggungan pada seorang pun yang harus ditanggung oleh
perusahaan asuransi. Karena tidak ada hak harta bagi penerima tanggungan
pada seorang pun, yang kemudian ditanggung oleh ET. Asuransi. Di sinijuga
tidak ada hak harta, maka P.T. Asuransi juga tidak menanggung hak harta apa
pun, hingga jaminannya bisa disebut jaminan menurut syara'.
Tanggungan yang diberikan oleh PT. Asuransi, atau harga barang, atau uang
yang diserahkan oleh P.T. Asuransi tersebut ternyata tidak diterima oleh
penerima tanggungan ketika polis asuransi tersebut ditandatangani, baik secara
tunai maupun dibayarkan kemudian, sehingga jaminan tersebut sah menurut
syara'. Dengan demikian, PT. Asuransi menjamin sesuatu yang tidak wajib
dilaksanakan—baik tunai, maupun kredit — sehingga jaminannya tidak sah, dan
mengakibatkan asuransi tersebut batil. Lebih dari itu, dalam asuransi tersebut
tidak ada pihakyang dijamin (inadhmun 'anhu), karena ET. Asuransi tersebut
tidak memberikan jaminan kepada seseorang yang harus memenuhi suatu hak,
sehingga bisa disebut sebagai sebuah jaminan.
Oleh karena itu, transaksi asuransi tersebut tidak mempunyai unsur-unsur dasar
dari jaminan yang wajib ditunaikan secara syar'i, yaitu adanya pihak yang
dijamin. Hal itu karena di dalam sistem jaminan tersebut harus ada
pihakpenjamin, yang dijamin, sertayangmendapatkan jaminan. Karena di dalam
transaksi tersebut tidak ada madhmun 'anhu, maka transaksi, menurut syara'
adalah batal. Lagi pula ketika PT. Asuransi tersebut berjanji menyerahkan
pertanggungannya atau menyerahkan uang ganti rugi pada saat terjadinya
kerusakan, atau hilangnya barang maupun terjadinya kecelakaan, maka hal itu
sebenamya merupakan imbalan dari sejumlahpremi yang diserahkan oleh
pemegang polis (pihak tertanggung).Jadi, asuransi tersebut adalabjaminan
dengan imbalan. Ini tentu tidak sah, karena salah satu syarat sah dan tidaknya
jaminan adalah apabila pemberian jaminan tersebut tanpa imbalan apa pun. Dari
keberadaan asuransi yang mempraktikkan jaminan dengan imbalan, maka
iajelas merupakan bentukjaminan yang batil.

Jelaslah, bahwa sejauh mana kekurangan polis asuransi untuk memenuhi syarat
jaminan yangtelah dinyatakan oleh syara', ditambah bahwa asuransi tersebut
tidak memenuhi syarat terlaksananya suatu jaminan, berikut syarat sah dan
tidaknya, dengan demikian, pertanggungan yang diberikan oleh asuransi untuk
menjamin penyerahan sejumlah uang atau menjamin harta adalah batil dari segi
asasnya. Oleh karena itu, secara keseluruhan asuransi itu statusnya batil,
menurut syara'. Atas dasar inilah, maka hukum asuransi secara keseluruhan,
menurut syara' adalah hararn. Hukum ini mencakup semuajenis asuransi, baik
asuransi jiwa, asuransi barang, atau asuransi harta benda dan lain-lain.
Keharamannya, terletak pada transaksinya yang batil. Selain itu, janji yang
diberikan oleh P.T. Asuransi pada saat penandatanganan polis asuransi tersebut
adalah janji yang batil. Sehingga perolehan harta melalui transaksi yang sejenis,
atau perjanjian semacam ini adalah haram, yang dikatagorikan memakan harta
dengan J'alan batil, dan termasuk dalam katagori harta-harta yang kotor.

You might also like