You are on page 1of 9

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan

2.1.1. Definisi
. Pengetahuan adalah hasil ’tahu’, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia, yakni: indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmodjo, 2003).

2.1.2. Proses Pengetahuan


Suatu perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng
daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Hasil penelitian Rogers
(1974) dalam Notoatmodjo (2003), mengungkapkan bahwa sebelum orang
mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut menjadi
proses yang berurutan, yakni:
1. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
2. Interest (merasa tertarik), dimana orang merasa tertarik terhadap stimulus atau
objek tersebut. Di sini sikap subjek sudah mulai timbul.
3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut
bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
4. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh stimulus.
5. Adoption, di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Universitas Sumatera Utara


2.1.3. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat,
yakni (Notoatmodjo, 2003):
1. Tahu (Know)
tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari
atau rangsangan yan telah diterima. Oleh sebab itu, ‘tahu’ ini merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu
tentang apa yang dipelajari antara lain: menyebutkan, menguraikan,
mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya. Contoh: dapat menyebutkan tanda-
tanda kekurangan kalori dan protein pada anak balita.
2. Memahami (Comprehension)
memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari. Misalnya dapat menjelaskan mengapa harus
makan-makanan yang bergizi.
3. Aplikasi (Application)
aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat
diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan
rumus statistic dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian, dapat
menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle)
dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.
4. Analisis (Analysis)
analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi
tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis dapat

Universitas Sumatera Utara


dilihat dari pengunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan (membuat bagan),
membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
5. Sintesis (Synthesis)
sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru
dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya: dapat menyusun, dapat
merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya,
terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan
suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan criteria-kriteria yang
telah ada. Misalnya: dapat membandingkan antara anak-anak yang cukup gizi
dengan anak yang kekurangan gizi, dapat menanggapi terjadinya wabah diare di
suatu tempat, dapat menafsirkan sebab ibu-ibu tidak mau ikut KB, dan
sebagainya.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat
kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut.

2.2 Autopsi Forensik

2.2.1. Definisi
Autopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi
pemeriksaan terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan
proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-
penemuan tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan
sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian
(Mansjoer, 2000).

Universitas Sumatera Utara


2.2.2. Jenis autopsi berdasarkan tujuan
1. Autopsi Klinik
Dilakukan terhadapat mayat seseorang yan diduga terjadi akibat suatu
penyakit. Tujuannya untuk menentukan penyebab kematian yang pasti,
menganalisis kesesuaian antara diagnosis klinis dan diagnosis postmortem,
patogenesis penyakit, dan sebagainya. Untuk autopsi ini mutlak diperlukan
izin keluarga terdekat mayat tersebut. Sebaiknya autopsi klinik dilakukan
secara lengkap, namun dalam keadaan amat memaksa dapat juga
dilakukan autopsi parsial atau needle necropsy terhadap organ tertentu
meskipun pada kedua keadaan tersebut kesimpulannya sangat tidak akurat
(Mansjoer, 2000).
2. Autopsi Forensik/Medikolegal
Dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal akibat
suatu sebab tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan,
maupun bunuh diri. Tujuan pemeriksaan autopsi forensik adalah untuk:
1. Membantu penentuan identitas mayat
2. Menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan
saat kematian
3. Mengumpulkan dan memeriksa benda bukti untuk penentuan
identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan
4. Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta
dalam bentuk visum et repertum
Autopsi forensik harus dilakukan sedini mungkin, lengkap, oleh dokter
sendiri, dan seteliti mungkin (Mansjoer, 2000).
3. Autopsi anatomi
Dilakukan terhadap mayat korban meninggal akibat penyakit, oleh
mahasiswa kedokteran dalam rangka belajar mengenai anatomi manusia.
Untuk autopsi ini diperlukan izin dari korban (sebelum meninggal) atau
keluarganya. Dalam keadaan darurat, jika dalam 2 x 24 jam seorang
jenazah tidak ada keluarganya maka tubuhnya dapat dimanfaatkan untuk
autopsi anatomi (Mansjoer, 2000).

Universitas Sumatera Utara


2.2.3 Teknik Autopsi Forensik
1. Pemeriksaan Luar
2. Pemeriksaan dalam (Pembedahan mayat) (Mansjoer, 2000).

2.2.4. Faktor-faktor penghambat autopsi forensik


1. Masalah administratif
2. Hasil/laporan autopsi yang membutuhkan waktu
3. Keluarga yang takut akan mutilasi
4. Penundaan penguburan
5. Ketidaksetujuan pasien sebelum meninggal untuk di autopsi
6. Agama
7. Etnik
8. Tingkat pengetahuan (Oluwasola, 2009).

2.3. Visum Et Repertum

2.3.1. Definisi
Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter atas
permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik
terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian dari
tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk
kepentingan peradilan (Budiyanto, 1994).

2.3.2. Peranan dan fungsi visum et repertum


Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana
tertulis dalam pasal 184 KUHAP. Visum et repertum turut berperan dalam proses
pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et
repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang
tertuang di dalam bagian Pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai
pengganti benda bukti. Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat

Universitas Sumatera Utara


dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian
Kesimpulan (Budiyanto, 1994).
Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu
kedokteran dengan ilmu hukum, sehingga dengan membaca Visum et Repertum,
dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang dan para
praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang
menyangkut tubuh/jiwa manusia. Apabila visum et repertum belum dapat
menjernihkan duduknya persoalan di sidang Pengadilan, maka hakim dapat
meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum
dalam KUHAP, yang memberi kemungkinan dilakukannya pemeriksaan atau
penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari
terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan (ps 180
KUHAP) (Budiyanto, 1994).

2.3.3 Jenis dan bentuk visum et repertum


Dengan konsep visum et repertum di atas, dikenal beberapa jenis visum et
repertum, yaitu (Budiyanto, 1994):
1. visum et repertum perlukaan (termasuk keracunan)
2. visum et repertum kejahatan susila
3. visum et repertum jenasah
4. visum et repertum psikiatrik.

2.3.4. Dasar hukum


Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur pekerjaan dokter
dalam membantu peradilan (Budiyanto, 1994) :
Pasal-pasal KUHAP yang mengatur tentang produk dokter yang sepadan
dengan visum et repertum adalah pasal 186 dan 187, yang berbunyi :
1. Pasal 186
keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
pengadilan.

Universitas Sumatera Utara


2. Pasal 187
surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi dari padanya.

Keduanya termasuk ke dalam alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan
dalam KUHAP Pasal 184, Alat bukti yang sah adalah :
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa;
Dari pasal-pasal di atas tampak bahwa yang dimaksud dengan keterangan ahli
maupun surat (butir c) dalam KUHAP adalah visum et repertum.

1. Pasal 133 KUHAP


1.1 Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani
seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga
karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
1.2 Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan secara tertulis yang dalam surat itu disebutkan
dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat
dan atau pemeriksaan bedah mayat.
1.3 Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter pada rumah sakit harus diperlakukan baik dengan penuh
penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yg
memuat identitas mayat diberi cap jabatan yang dilekatkan pada
ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.

Universitas Sumatera Utara


2. Pasal 134 KUHAP
2.1 Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan
pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik
wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.
2.2 Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan
sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya
pembedahan tersebut.
2.3 Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari
keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan,
penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.

3. Pasal 179 KUHAP


3.1 Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan
ahli demi keadilan.
3.2 Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi
mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan
bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan
keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut
pengetahuan dalam bidang keahliannya.

Pasal KUHP 222:


yang menyatakan barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-
halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat forensik, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah (Budiyanto, 1994).

Universitas Sumatera Utara


Ciri Fatwa Kedokteran (Majelis Ulama Indonesia) :
Di samping soal teknis metodologi, terbukti pula bahwa Ulama Indonesia
dalam merumuskan dan menetapkan fatwa terikat oleh beberapa faktor.
Pada umumnya setiap fatwa atas satu isu terikat oleh beberapa faktor atau
ciri, salah satunya yaitu berkaitan dengan lebih mementingkan kebutuhan
orang hidup daripada kehormatan orang mati. Fatwa tentang bolehnya
donor organ, transplantasi organ manusia, bedah mayat untuk pendidikan
dan pengadilan, dan autopsi terkait dengan faktor ini (Zuhroni, 2008).

Universitas Sumatera Utara

You might also like