You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Geofisika adalah Ilmu yang mempelajari bawah permukaan bumi dengan


menerapkan ilmu fisika. Metode geolistrik merupakan salah satu metode geofisika
yang mempelajari sifat kelistrikkan di dalam bumi dan bagaimana cara
mendeteksinya di permukaan bumi.

Metode Self Potensial (SP) merupakan metode Geofisika yang paling


sederhana dilakukan, karena hanya memerlukan alat ukur tegangan (miliVoltmeter)
yang peka dengan dua elektroda khusus (porouspoode electrode). Dimana dalam
melakukan eksplorasi tidak memerlukan biaya yang besar. Metoda potensial diri pada
dasarnya merupakan metoda yang menggunakan sifat tegangan alami suatu massa
(endapan) di alam. Hanya saja perlu diingat bahwa anomali yang diberikan oleh
metoda potensial diri ini tidak dapat langsung dapat dikatakan sebagai badan bijih
tanpa ada pemastian dari metoda lain atau pemastian dari kegiatan geologi
dilapangan. Karena pengukuran dalam metoda potensial diri diperoleh langsung dari
hubungan elektrik dengan bawah permukaan, maka metoda ini tidak baik digunakan
pada lapisan-lapisan yang mempunyai sifat pengantar listrik yang tidak baik
(isolator), seperti batuan kristalin yang kering. Metode Self Potensial (SP) merupakan
metode yang paling tua diantara metode – metode Geofisika yang lain, metode ini
merupakan metode pasif dalam bidang Geofisika. Metode Self Potensial (SP)
digunakan untuk mengetahui informasi dibawah permukaan bumi melalui
penghitungan yang tanpa menginjeksikan arus listrik lewat permukaan tanah.
Mengenali sumber yang menyebabkan terjadinya perbedaan potensial adalah
sangat penting untuk mengurangi (eliminate) noise. Pengolahan data biasanya
dilakukan dengan membuat peta potensial antara base/reference elektroda dan
potensial elektroda berjalan. Aliran gas dan fluida di dalam pipa, bocoran dari suatu
reservoir didalam suatu pondasi DAM akan menyebabkan suatu perbedaan potensial
juga.Sehinnga dikenali terlebih dahulu target apa yang akan diukur menggunakan
metode SP (Self Potensial) ini.

I.2. Maksud dan Tujuan

Maksud penggunaan metode self potensial pada praktikum geolistrik yaitu


untuk mengetahui potensial bawah permukaan daerah penelitian.

Tujuan menggunakan metode self potansial pada praktikum geolistrik adalah


Mengetahui anomali Self Potensial pada daerah penelitian dan
mengintepretasikannya.

I.3. Batasan Masalah

Metode self potensial merupakan metode pasif dalam geolistrik. Dimana self
potensial merupakan survei awal penelitian. Menyatakan bahwa daerah tersebut
terdapat anomali.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Geologi regional

II.1.1 Geomorfologi

Berdasarkan geomorfologi regional, kondisi geomorfologi daerah penelitian


berada di zona pegunungan selatan Jawa Tengah-Jawa Timur (Van Bemmellen,
1949). Pegunungan ini menurut Van Bemmellan dibagi menjadi tiga sub zona, yaitu:
Zona Utara, disebut Zona Baturagung dengan ketinggian 200-700 m diatas
permukaan laut, meliputi Kecamatan Patuk, Nglipar, Gendangsari, Ngawen, Semin,
dan Pojong bagian utara. Zona Tengah, disebut Zona Ledoksari dengan ketinggian
150-200 m diatas permukaan laut meliputi Kecamatan Playen, Wonosari,
Karangmojo, Pojong bagian tengah dan Semanu bagian utara. Zona Selatan, disebut
Zona Gunung Seribu dengan ketinggian 100-300 m diatas permukaan laut, meliputi
Kecamatan Pangang, Paliyan, Tepus Saptosari, Rongkop, Semanu bagian selatan dan
Pojong bagian selatan.

Sub zona Gunungsewu merupakan perbukitan karst berporos relatif barat-


timur, dengan beda ketinggian 10-100 m. Bukit-bukit kapur yang berjajar di
dalamnya berdiameter 50-300 m. Meskipun luas keseluruhannya lebih kurang 1.485
km2, area Gunungkidul yang berada di daerah karst hanya kurang lebih 800 km2
(sisi selatan), terdiri dari kurang lebih 45.000 bukit besar dan kecil (jumlah ini
ditaksir dari foto udara).

II.1.2.Stratigrafi

Stratigrafi Regional daerah penelitian berada pada daerah pegunungan selatan


yang berumur diperkirakan berumur Tersier. Batuan tertua yang tersingkap di
Kabupaten Gunungkidul yang berumur Eosen akhir hingga miosen awal. Batuan
penyusun dari batuan dasar ini adalah Formasi Gamping Wungkal, Formasi
Kebobutak, Formasi Mandalika, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran, Formasi
Sambipitu, Formasi Wuni, Formasi Oyo. Kemudian diatasnya diendapkan Formasi
Wonosari, dan Formasi Kepek.

1. Formasi Gamping Wungkal

Menempati bagian terkecil sebarannya dibagian Timur Laut dan daerah


Inventarisasi. Batuan penyusunnya dibagian bawah napal pasiran dengan lensa
batugamping, sedangkan bagian atasnya perselingan batupasir, batulanau, dan lensa
batugamping.

2. Formasi Mandalika

Dijumpai setempat dengan sebaran terbatas dibagian Timur Laut daerah


Inventerisasi. Batuan pembentuknya umumnya leleran piroklastik yang diendapkan
dilingkungan darat, dicirikan oleh lava andesit dan tuff dasit dengan retas diorit.
Umur batuan tersebut diperkirakan Oligosen Akhir (Sartono, 1964) atau mungkin
hingga Miosen Awal. Formasi Mandalika tersebut tertindih oleh satuan batuan yang
berumur Miosen yang termasuk dalam formasi Wuni, Formasi Semilir dan Formasi
Wonosari. Nama lain satuan ini adalah “Old Andesite Formation” (Bemmellen,
1949).

3. Formasi Nglanggran

Terdiri dari breksi gunung api, angglomerat dan lava andesit-basalt dan tuff.
Batuan ini menempati bagian utara daerah Inventarisasi tersingkap di Sungai
Dengkeng, Kecamatan Nglipar. Batuan pembentuk utamanya breksi gunung api,
tidak berlapis, dengan komponen dari batuan andesit hingga basal, berukuran 2
hingga 50 sentimeter. Lensa batugamping koral terdapat di bagian tengah dari
satuan ini. Batupasir gunung api epiklastika dan tuff berlapis baik terdapat sebagai
sisipan dan sebarannya setempat. Struktur sedimen perairan sejajar, perlapisan
bersusun, dan cetakan beban memberikan indikasi adanya aliran longsoran (debris
flow). Pada lapisan bagian atas permukaannya ererosi yang menunjukan adanya arus
kuat. Hadirnya batugamping koral menunjukkan lingkungan laut. Lingkungan
pengendapan batuan ini adalah laut yang disertai dengan longsoran bawah laut.

Formasi semilir ditindih selaras oleh satuan batuan gunung api yang dikenal
sebagai Formasi nglanggaran. Satuan ini tidak mengandung fosil, dan umurnya
diduga akhir Miosen Awal hingga permulan Miosen Tengah (Samosusastro, 1956).
Formasi Nglanggaran berlokasi tipa di Gunung Nglanggran, di Pematnag Baturagung
Utara Wonosari. Formasi Nglanggran berumur Miosen Awal hingga Miosen Tengah,
ketebalannya sekitar 530 meter, Formasi ini menjemari dengan Formasi semilir,
tertindih selaras dengan formasi Sambipitu, selanjutnya tertindih tidak selaras dengan
Formasi Oyo dan Formasi Wonosari.

4. Formasi Semilir

Tediri dari tuff, breksi batuapung dasitan, batupasir tuffaan dan serpih batuan
ini menempati bagian utara dari bagian daerah inventarisasi. Formasi ini di bagian
bawahnya mempunyai struktur sedimen berlapis baik, perairan, silangsiur berskala
menengah dan permukaan erosi. Lignit yang berasosiasi dengan batupasir tufa
gampingan dan kepingan koral pada breksi gunung api mewarnai satuan ini pada
bagian tengan. Bagian atas satuan ini terdapat batulempung dan serpih, ketebalannya
sekitar 15 sentimeter, mempunyai struktur longsoran bawah laut. Secara keseluruhan
ketebalan satuan ini diperkirakan 460 meter.

Formasi Semilir menindih selaras Formasi Kebobutak, secara setempat tidak


selaras, kemudian menjemari dengan Formasi Nglanggran dan Formasi Oyo
menindih secara tidak selaras. Formasi Semilir menindih selaras satuan di bawahnya.
Runtutannya terdiri dari tuff, serpih, tuff batuapung dasitik, breksi dasitik, breksi
batuapung, batupasir, dan batulempung. Bothe (1928) menyebutkan jika satuan ini
jarang mengandung fosil dan beberapa jenis foraminifera yang ditemukannya
menunjukkan lingkungannya adalah laut. Ismoyowati & Sumarno (1975) menemukan
satuan yang berlokasi tipe di gunung semilir (Pematang Baturagung) ini merupakan
endapan turbidit yang terbentuk di lingkungan Bathial (Ismoyowati & Sumarno,
1975 ; Rahardjo 1995).

5. Formasi Sambipitu

Terdiri dari batupasir dan batulempung. Satuan ini menempati bagian utara.
Satuan ini bagian bawahnya disusun oleh batupasir kasar tidak berlapis dan batupasir
halus, secara setempat diselingi serpih, batulanau gampingan, lensa breksi andesit,
klstika lempung dan fragmen karbon.

Arus turbidit telah membentuk struktur sedimen perlapisan bersusun, perairan


sejajar, dan gelembur gelombang. Bagian atas dari satuan ini terdapat struktur
sedimen perlapisan bersusun, perairan sejajar, silang siur dan gelembur gelombang
yang memberikan indikasi adanya endapan longsoran bawah laut kemudian
berkembang menjadi arus turbidit. Runtutan sedimen klasik Formasi Sambipitu
menindih selaras satuan gunung api di bawahnya. Formasi Sambipitu mempunyai
lokasi tipe di Desa Sambipitu, Utara Wonosari. Umur satuan ini diperkirakan Miosen
Tengah dengan ketebalan sekitar 230 meter.

6. Formasi Wuni

Terdiri dari agglomerat bersisipan batupasir tuffan dan batupasir kasar. Satuan
ini menempati secaraterisolasi di bagian selatan. Bagian bawah satuan ini disusun
oleh breksi agglomerat, kayu dan bongkah terkersikan. Komponen agglomerat terdiri
dari andesit dan basal berukuran 10 hingga 15 sentimeter, setempat bisa mencapai 2
meter. Bagian tengah satuan ini terdapat sisipan batupasir tuffan, batulanau dan
konglomerat. Sisipan batugamping koral menempati bagian atas satuan ini.Ketebalan
satuan ini diperkirakan 150 meter. Satuan ini ke arah barat berubah menjadi formasi
Nglanggran, namun sulit dibedakan. Formasi ini menjemari dengan Formasi
Wonosari.

7. Formasi Oyo
Disusun oleh sedimen klasik gampingan terdiri dari batupasir gampingan,
batugamping tuffaan, batugamping berlapis bersisipan napal dan tuff. Pengendapan
batugamping ini berbarengan dengan aktifitas gunung api sehingga tuff mewarnai
endapan ini. Semakin ke arah atas unsur material gunung api berkurang. Kemiringan
lapisan ke selatan dengan derjat kemiringan 20o – 25o. Lapisan ini mudah dikenali di
lapangan sepanjang singkapan di Kali Oyo. Pada batupasir gampingan, batugamping
berlapis dan napal banyak dijumpai kandungan fosil.

Formasi Oyo yang manindih tidak selaras dengan satuan klasik dibawahnya
terdiri dari batupasir tuffaan, napal tuffaan, batugamping dan konglomerat, bersisipan
tuff, konglomerat batugamping dan breksi gampingan. Satuan ini berlokasi tipe di
Sungai Oyo di Gunung Tugu dan Gunung Temas (perbukitan Bayat), Rahardjo
(1995) menjumpai batugamping tuffaan berlapis bersisipan nepal ; sedang di Gunung
kampak ia mengamati adanya perubahan fasies batugamping menjadi batugamping
algae dan batugamping oral, sehingga lingkungannya berhimpun dengan terumbu.

8. Formasi Wonosari

Disusun oleh batugamping baik batugamping berlapis maupun batugamping


terumbu, batugamping napalan dan batugamping konglomeratan. Satuan ini juga
terdapat batupasir tuffaan dan lanau. Foermasi wonosari di bagian Selatan menempati
perbukitan Karst dominannya disusun oleh batugamping terumbu yang bersifat pejal
(bioherm) menunjukkan lingkungnpengerndapannya relatif stabil sehingga terumbu
batugamping tumbuh secara sempurna. Pada bagian lereng-lereng bukit terjal
biasanya disusun oleh batugamping konglomeratan sebagai endapan hancuran berupa
talus yang mengelilingi bukit tubuh terumbu tersebut.
9. Formasi Kepek

Penyusun utama Formasi Kepek adalah selang-seling antara lempung, napal


pasiran dan batugamping berlapis .Formasi ini diendapkan dalam lingkungan laut
dangkal terisolasi.

II.1.3.Struktur Geologi

Pola struktur geologi yang terdapat di daerah penyelidikan sebagian besar


berkaitan dengan gejala-gejala tektonik yang pernah berlangsung pada “Java
Trench” dan pembentukan sistem pegunungan di selatan jawa. 

Bentuk struktur yang terdapat didaerah penyelidikan dan sekitarnya selain


diperkuat oleh kenampakan permukaan juga di dukung oleh karakteristik anomali
geofisika (geomagnet, gayaberat dan head-on). Struktur yang ada didaerah
penyelidikan adalah berupa Sesar, normal ( Bantul, Bambang Lipuro dan Mudal),
sesar medatar ( Parangkusumo, Soka Nambangngan dan Siluk); ketidak selarasan,
kekar dan Kelarasan (fracturing).

Pada umumnya orientasi sesar SE-NW berkisar antara N 275°W hingga N


310° W dan NE-SW berkisar antara N20°E hingga 50°E. Diantara sesar-sesar
tsb diatas Sesar Parangkusumo dengan  arah   N 300°W, menunjam 80° ke
baratdaya, merupakan sesar yang penting karena mengontrol pemunculan mata air
panas Parangtritis. Sudut penunjam sesar menyebabkan pembukaan zona kekaran
(“fracturing zones”).

Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh Dataran Yogyakarta-Surakarta di


sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah timur oleh Waduk Gajahmungkur,
Wonogiri dan di sebelah selatan oleh Lautan India. Di sebelah barat, antara
Pegunungan Selatan dan Dataran Yogyakarta dibatasi oleh aliran K. Opak, sedangkan
di bagian utara berupa gawir Baturagung. Bentuk Pegunungan Selatan ini hampir
membujur barat-timur sepanjang lk. 50 km dan ke arah utara-selatan mempunyai
lebar lk. 40 km (Bronto dan Hartono, 2001).
Gambar II.1. Geologi regional DIY (Salman Padmanagara, 1983)

II.2.Geologi lokal

II.2.1. Letak Wilayah

Secara geografis wilayah Kabupaten Sleman terbentang mulai 107°15’03”


sampai dengan 100°29’30” Bujur Timur dan 7°34’51” sampai dengan 7°47’03”
Lintang Selatan. Di sebelah utara, wilayah Kabupaten Sleman berbatasan
dengan Kabupaten Magelang dan Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa Tengah, di
sebelah timur berbatasan dengan KabupatenKlaten, Propinsi Jawa Tengah, di
sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah,dan di sebelah
selatan berbatasan dengan Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten
Gunung Kidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

II.2.2. Kondisi Geologi

Daerah Kabupaten Sleman merupakan daerah dataran, perbukitan dan kaki


gunung api. Daerah dataran dengan kemiringan lereng < 5%, terletak pada ketinggian
< 5,00 m di atas permukaan laut, dibentuk oleh endapan alluvial dan satuan batuan
gunung api Merapi (Qvm) yang berupa lempung, lanau dan pasir. Daerah perbukitan
membentuk deretan perbukitan memanjang dari barat ke timur dengan kemiringan
lereng agak terjal hingga terjal (15 - >50%), terletak pada ketinggian 200 - 400 m di
atas permukaan laut, dibentuk oleh satuan batuan dari Formasi Sentolo (Tmps),
Formasi Nanggulan (Teon), Formasi Wonosari (Tmw), Formasi Oyo (Tmo), Formasi
Sambipitu (Tms), Formasi Nglanggran (Tmn), dan Formasi Semilir (Tmse). Daerah
kaki gunung api dengan kemiringan lereng 15 - 30%, terletak pada ketinggian 500 -
1000 m dpl dan dibentuk oleh endapan volkanik gunung Merapi (Qvm).

Sungai - sungai yang mengalir umumnya bersifat permanen (mengalir


sepanjang tahun), antara lain S. Opak, S. Oyo, S. Bedog, S. Dengkeng, S. Gondang
bersama-sama anak sungainya membentuk pola aliran subdendritik - trellis dan
subparalel. Air tanah di daerah penyelidikan berupa air permukaan dan air tanah
bebas. Air permukaan berupa air sungai dan air genangan (air rawa), sedang air tanah
bebas merupakan air yang tersimpan dalam suatu lapisan pembawa air tanpa lapisan
kedap air di bagian atasnya.

Gambar II.2. Kolom stratigrafi regional daerah Pegunungan Selatan (Rahardjo drr.,
1977; Surono drr., 1992). Litologi di daerah penelitian termasuk ke
dalam Formasi Semilir.
II.3.Penelitian Terdahulu Metode Self Potensial

Dari hasil pengolahan data pada inverse Model Resistivity Section yang
mempunyai iteration 3 RMS error 6.0 % didapatkan pada kedalaman 3-6.8 m dengan
bentangan sepanjang 7-34 m dan nilai resistivitas 593-2755 ohm m, berdasarkan
kondisi geologi di lapangan dapat disimpulkan sebagai endapan pasir, pada
kedalaman 0.684-3 m dengan bentangan sepanjang 6-34 m dan nilai resistivity 2755-
21375 berdasarkan kondisi geologi di lapangan dapat disimpulkan sebagai semen cor
(Rahardjo drr., 1977; Surono drr., 1992).

Pada inverse Model Chargeability Section mempunyai iteration 3 RMS error


6.6 pada kedalaman 0.6-3 m dengan bentangan sepanjang 21-27 m dan 29-34m nilai
chargeability 1-4.79 ohm m,Sedangkan pada kedalaman 0.6-6.8 pada bentangan
sejauh 6-33 m mempunyai harga chargeability senilai 4.79-20.9.Dari nilai
Chargeability tersebut maka batuan pada daerah pengamblian data mempunyai
kemampuan menyimpan arus listrik yang rendah sehingga tidak ditemukan mineral-
mineral logam (mineral sulfida).

Berdasarkan gambar penampang resistivitas dan chargeability menggunakan


Res2dinV pada praktikum IP konfigurasi dipole-dipole maka kita dapat
menyimpulkan
 pada kedalaman 3-6.8 m dengan bentangan sepanjang 7-34 m dan nilai
resistivitas 593-2755 ohm m merupakan endapan pasir
 pada kedalaman 0.684-3 m dengan bentangan sepanjang 6-34 m dan nilai
resistivity 2755-21375 ohm m merupakan semen cor.
 Pada lokasi pengambilan data tidak ditemukan mineral sulfida logam
BAB III
DASAR TEORI

Metoda potensial diri pada dasarnya merupakan metoda yang menggunakan


sifat tegangan alami suatu massa (endapan) di alam. Hanya saja perlu diingat bahwa
anomali yang diberikan oleh metoda potensial diri ini tidak dapat langsung dapat
dikatakan sebagai badan bijih tanpa ada pemastian dari metoda lain atau pemastian
dari kegiatan geologi lapangan.
Karena pengukuran dalam metoda potensial diri diperoleh langsung dari
hubungan elektrik dengan bawah permukaan, maka metoda ini tidak baik digunakan
pada lapisan-lapisan yang mempunyai sifat pengantar listrik yang tidak baik
(isolator), seperti batuan kristalin yang kering.

Potensial diri yang ada di alam dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
 The small background potenstials, yang mempunyai interval (fraksi) sampai
dengan puluhan mV. Potensial alami ini juga dapat bernilai minus.
 Potensial mineralisasi, yang mempunyai orde dari ratusan mV sampai dengan
ribuan mV.

Secara umum, peralatan yang digunakan pada metoda potensial diri ini terdiri dari
elektroda, kabel, dan voltmeter. Elektroda yang digunakan terbuat seperti tabung
panjang yang diisi dengan larutan CuSO4 dengan porosnya terbuat dari dari tembaga.
Tipe lainnya dikenal dengan elektroda Calomel yang diisi oleh KCl-HgCl2 (lihat
Gambar 9). Voltmeter digunakan sebagai penghubung elektroda-elektroda.
Gambar III.1 Elektroda yang digunakan dalam metoda potensial diri

Ada dua alternatif dalam melakukan pengukuran metoda potensial diri ini :

 Cara yang pertama, salah satu elektroda tetap, sedangkan yang satu lagi
bergerak pada lintasannya.
 Cara yang kedua, kedua elektroda bergerak bersamaan secara simultan,
katakanlah dengan interval 50 m.

Hasil pengukuran digrafikkan antara jarak (m) dengan hasil pengukuran (mV). Jika
gradien hasil pengukuran memperlihatkan gradien yang tinggi (negatif ke positif yang
tinggi) terhadap zero level dapat dijadikan sebagai indikator anomali (titik infleksi),
lihat Gambar 10.
Gambar III.2 Potensial diri dan gradien potensial diri sepanjang penampang
melintang tubuh bijih.

Hasil dari survei potensial ini disajikan dalam bentuk peta isopotensial, dan
interpretasi dilakukan terhadap daerah anomali dengan menggunakan penampang
melintang yang memotong daerah anomali.

BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

IV.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Design Survey

Praktikum Geolistrik metode Self Potensial, dilakukan pada hari Sabtu, 16


Oktober 2010. Pada pukul 06.30 WIB. Berlokasi di UPN Veteran Yogyakarta,
Condong Catur, Sleman.
Secara Geografis letak penelitian berbatasan dengan :
Sebelah Utara : Jalan Raya Ring Road
Sebelah Selatan : Geung Pertanian
Sebelah Timur : Halaman Pertanian
Sebelah Barat : Gedung Pertanian

IV.2. Peralatan yang digunakan

Pada Praktikum Geolistrik metode Self Potensial ini menggunakan alat-alat


sebagai berikut :

1. Multimeter
2. 2 buah porouspot larutan CuSO4
3. 1 kabel
4. Meteran
5. Stopwatch

IV.3 Pengambilan Data Lapangan

Langkah Kerja :

1. Membentang meteran sejauh 50 meter.


2. Mencari dan mencatat Azimuth lintasan dan koordinat daerah penelitian
3. Mengatur (mensetting alat)
4. Base???
5. Menghubungkan alat multimeter rover dengan porouspot Setelah semua
dipasang, rangkaian dicek.
6. Setelah yakin rangkaian alat tidak ada yang salah maka pengukuran sudah
bisa dimulai. Pertama tekan tombol on, tentukan skla yang digunakan.
7. Setelah di peroleh harga potensial (V), catat nilainya pada table yang telah
disiapkan.
8. Lanjutkan pengukuran dengan spasi elektroda yang telah ditentukan dengan
langkah-langkah yang sama dengan langkah 3 sampai 6

IV.4 Pengolahan Data Lapangan

Pengolahan data lapangan dari survey metode seft potensial adalah sebagai
berikut:

1. Dari nilai V base dan rover maka dapat menghitung nilai SP terkoreksi
2. Kemudian menghitung nilai MA SP
3. Membuat grafik MA SP dan SP terkoreksi
4. Mengolah data surfer
Pengolahan data menggunakan Software Surfer 8
1. Masuk ke dalam software Surfer 8 pilih File, New, WorkSheet copy data
x,y dan MA SP
2. Save dengan type *dat.
3. File ,New, Work Plot.
4. Pilih data yang telah disimpan dengan format *dat
5. Grid, Data. Pilih data yang dengan format *dat
6. Map, contour layer.
7. Klik kanan properties,
8. Map, post layer untuk membuat lintasannya.

IV.5. Diagran Alir Penelitian

Mulai

Orientasi Lapangan Studi Literatur

Mempersiapkan Alat

Pengambilan data lapangan (V)

Pengolahan Data

Surfer

Peta isopotensial

Pembahasan Hasil
Kesimpulan

Selesai

Gambar IV.5. Diagram alir penelitian.

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

V.1. Hasil

SP Terkoreksi VS MA SP
0.06
0.05
0.04
MA dan SP

0.03
SP terkoreksi
0.02 Ma SP
0.01
0
435080 435085 435090 435095 435100 435105
-0.01
-0.02
X

SP terkoreksi VS Offset Gambar

0.07 V.1 grafik


0.06 SP MA Vs
0.05
SP
0.04
0.03 SP terkoreksi VS Offset
0.02
0.01
0
435080
-0.01 435085 435090 435095 435100 435105
-0.02
-0.03
Gambar V.2 Grafik SP terkoreksi Vs Offset

MA SP Vs Offset
0.06

0.05

0.04

0.03 MA SP Vs Offset
0.02

0.01

0
435080 435085 435090 435095 435100 435105
-0.01

-0.02

Gambar V.3 Grafik MA SP Vs Offset

9142000
PETA ISOPOTENSIAL

9141900 100
90
80
70
60
9141800 50
40
30
20
10
9141700 0
-10
-20
-30
-40
-50
9141600
-60
-70
-80
-90
-100
9141500 -110
-120
-130

9141400

434800 434900 435000 435100

0 50 100 150 200 250


Gambar.V.1 Peta Isopotensial

IV.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil yang didapat dari penelitian dapat memberi pembahasan.


Pada grafik Sp terkoreksi Vs oofset dan Ma.Sp Vs Offset dapat dijelaskan bahwa
penyebaran atau keberadaan anomaly self potensial batuan bawah permukaan.
Dimana pada grafik Sp terkoreksi Vs Offset menunjukan anomaly secara dominan
berada di bawah water table dari pada diatas water table. Dapat dillihat bahwa grafik
lebih dominan berada dibawah angka nol atau bernilai negatif . Nilainya berkisar
antara 0 sampai -0.03. Tetapi grafik juga membelok di atas nilai nol samapi titik 0.05
tetapi tidak dominan. Jadi dapat dijelaskan bahwa anomaly potensial diri berada di
bawah water table.

Pada grafik Ma.Sp Vs offset Matching dengan grafik Sp terkoreksi Vs offset


dimana bentuk grafik tidak menunjukan perbedaan yang signifikan dan rentang harga
yang tidak terlalu jauh. Pada grafik Ma.Sp Vs offset nilai kisaran grafik secara
dominan berada di bawah nol atau benilai negatif. Hal ini juga menjelaskan bahwa
anomaly berada dibawah water table.

Berdasarkan Peta isopotensial daerah tersebut mendapatkan hasil dari


beberapa lintasan-lintasan pada daerah tersebut. Dimana penyebaran Potensial diri
tinggi berada pada koordinat X ( 434900) sampai ( 4345000 ) dan Y ( 9141900 )
sampai ( 9142000) yang ditunjukan dengan warna oranye sampai merah dengan
kisaran harga 40 – 100 mV. Sedangkan potensial diri sedang mendominasi daerah ini
deitunjukan dengan warna hijau dan kuning dengan kisaran harga -60 sampai 40 mV.
Sedangkan Potensial diri rendah terdapat pada koordinat X (434800) dan Y
( 9141200) yang ditunjukan dengan waran biru sampai ungu.
Pada Lintasan 9 terdapat kesalahan pada koordinat X yang tidak sesuai
dengan hasil yang diharapkan. Hal tersebut disebabkan kurangnya ketelitian saat
melakukan praktikum.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan
Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa anomaly terdapat pada koordinat
X (434800) dan Y ( 9141200) yang ditunjukan dengan waran biru sampai ungu
dengan nilai (-130) – (-60 ) mV. Dimana penyebaran Potensial diri tinggi berada pada
koordinat X ( 434900) sampai ( 4345000 ) dan Y ( 9141900 ) sampai ( 9142000)
yang ditunjukan dengan warna oranye sampai merah dengan kisaran harga 40 – 100
mV. Sedangkan potensial diri sedang mendominasi daerah ini deitunjukan dengan
warna hijau dan kuning dengan kisaran harga -60 sampai 40 mV. Pada Lintasan 9
terdapat kesalahan pada nilai koordinat X, sehingga pada peta isopotensial terdapat
perbedaan garis kontur. Pada lintasan tersebut

V.2. Saran
Pada saat praktikum ketelitian pengambilan koordinat X dan Y harus tepat,
sehingga tidak menyebabkan kesalahan pada peta isopotensial.
DAFTAR PUSTAKA

Laboratorium Geofisika Eksplorasi, Buku Panduan Praktikum geolistrik Fakultas


Teknologi mineral, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
2010.
Habberjam, G.M. (1979) Apparent Resistivity and the Use of Square Array
Techniques. Gebruder Borntraeger, Berlin.
Kearey, P. dan Brooks, M. (1984) An Introduction to Geophysical Exploration. Palo
Alto, California.
http://www.docstoc.com/docs/27545457/PENGUKURAN-RESISTIVITAS-PADA-
DAERAH-DUGAAN-SUMBER-PENYEBAB-ANOMALI.

You might also like