Professional Documents
Culture Documents
2
John Hick, Religious Pluralism, dalaml Eliadae Mireea (ed), The Encyclopedia of Religion, New
York: Macmilian Publishing Company, 1987, Vol.12. h. 331
3
M.Syafi’i Anwar, Pluralisme bukan Sekadar Toleran, dalam www. Tokoh Indonesia.com.,
Minggu, 13 Juni 2010
Untuk mencari pemecahan atas segala sikap destruktif ini, Alwi Shihab4
berpendapat sudah saatnya umat beragama meninggalkan era monolog untuk
beranjak kepada era dialog. Dengan dialog, umat beragama mempersiapkan diri
untuk melakukan diskusi dengan umat agama lain yang berbeda pandangan
tentang kenyataan hidup, untuk saling mengenal dan menimba pengetahuan baru
tentang agama mitra dialog. Selanjutnya, ada dua komitmen penting yang harus
dipegang oleh pelaku dialog: Pertama adalah toleransi, dan kedua adalah
pluralisme. Dialog yang dilengkapi dengan sikap toleransi tetapi tanpa sikap
pluralistik tidak akan menjamin tercapainya kerukunan antarumat beragama yang
langgeng.
Dalam kaitan itu, secara garis besar pengertian konsep pluralisme dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya
kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif
terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain,
pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama
dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi
terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna
tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan.
Kedua, Pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme.
Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita di mana aneka
ragam agama, ras, dan bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi.
Ambil misal kota New York terdapat di dalamnya orang-orang
Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Budha, bahkan Atheis. Seakan
seluruh penduduk dunia berada di kota ini, namun interaksi positif
antar penduduk ini, khususnya di bidang agama sangat minimal
kalaupun ada.
Ketiga, Konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme.
Seorang relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut
“kebenaran” atau “nilai” ditentukan oleh pandangan hidup serta
kerangka berfikir seseorang atau masyarakatnya.
Keempat, Pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu
agama atau kepercayaan baru dengan memadukan unsur tertentu
atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk
dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut. Mani, pencetus
agama Manichaieisme pada abad ke tiga, dengan cermat
mempersatukan unsur-unsur tertentu dari ajaran Zoroaster, Budha,
dan Kristen. Bahkan apa yang di kenal sebagai New Age Religion
(Agama Masa Kini) adalah wujud nyata dari perpaduan antara
praktik Yoga Hindu, Meditasi Budha, Tasawuf Islam dan Mistik
Kristen.
Dari uraian pengertian plurlisme itu dapatlah digaris bawahi di sini, bahwa
apabila konsep pluralisme agama hendak diterapkan di Indonesia maka ia harus
4
Alwi Shihab, Isalm Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama,Bandung:Mizan, 1998, h.
40-43
bersyaratkan satu hal yaitu Komitmen yang kokoh terhadap agama masing-
masing. Seorang pluralis dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama, tidak
saja dituntut untuk membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya. Tapi
yang tepenting ia harus committed terhadap agama yang dianutnya. Hanya dengan
sikap demikian kita dapat menghindari relativisme agama yang tidak sejalan
dengan semangat Bhineka Tunggal Ika.
Pengertian pluralisme agama yang bersyarat ini, sesuai dengan isyarat Al-
Qur’an yang tercantum dalam Qs.Saba’/34:24-26 berikut :
“Katakanlah wahai Muhammad: siapakah yang memberi rezki kepadamu dari
langit dan bumi? Katakanlah: Allah, dan sesungguhnya kami atau kamu (non
Muslim) pasti berada dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata. Katakanlah
kami (non Muslim) tidak akan bertanggung jawab tentang dosa yang kami
perbuat, dan kami tidak akan ditanya pula tentang apa yang kamu perbuat.
Katakanlah Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi
keputusan antara kita dengan benar dan Dialah Maha Pemberi keputusan lagi
Maha Mengetahui”. (Qs.Saba’/34:24-26)
8
Max I Dimont, The Indestructible Jews, New York: New American Library, 1973, h.203
sebagimana dikutip dalam Uluml Qur’an No.3, Vol. VI, 1995 h. 63
keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya
Allah menyaksikan segala sesuatu.(Qs.al-Hajj/22:17)
9
Muhammad Husein Az-Dzabahi, At-Tafsir wa al-Mufassirun, Al-Qahirah: Maktabah Wahbah,
1995, Juz.I, h. 13
10
Manna Khalil al-Qattan, Mabahits fi Ulum Alqur’an, Mansyurat al-‘asyr al-Hadits, 1973, h. 324
Muhammad SAW, serta menyimpulkan kandungan-kandungan
hukum dan hikmahnya.”
Berbagai penafsiran Al-Qur’an dalam lintasan sejarah telah
dilakukan, dibuktikan dengan banyaknya kitab tafsir Al-Qur’an
karya para ulama baik klasik maupun kontemporer.Sebagian
orang meyakini dan mengimani penafsiran cukup secara harfiah,
sebagian lainnya menganggap tidak cukup, melainkan perlu
penafsiran secara hermeneutic
Ayat-ayat Al-Qur’an terbuka untuk sepanjang waktu dan
zaman. Makna ayat-ayat bagi ulama zaman pertangahan bisa
sangat berbeda dari makna yang diterima ulama yang hidup
dalam kondisi modern. Asumsi bahwa Al-Qur’an shalih li kulli
Zaman wa Makan juga diakui oleh dalam tradisi penafsiran
klasik.Namun dalam paradigma tafsir klasik, asumsi tersebut
dipahami dengan cara “memaksakan” konteks apa pun ke dalam
teks Al-Qur’an, sehingga cenderung melahirkan pemahaman
tekstualis dan literalis. Ini berbeda dengan paradigma tasfsir
kontemporer yang cenderung kontektual bahkan liberal.
Paradigma tafsir kontemporer cenderung
mengkontekstualisasikan makna ayat tertentu dengan
mengambil prinsip-prinsip dan ide universalnya. Sehingga jika
ada ayat-ayat yang secara tekstual dianggap sudah tidak relevan
dengan perkembangan zaman karena bersifat partikular dan
kasuistik, maka para penafsir kontemporer berusaha
menafsirkan Al-Qur’an dengan semangat zamannya. Sebagai
contoh adalah ayat-ayat tentang pluralisme, perbudakan,
poligami, dan ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah sosial
kemasyarakatan. Penafsiran mereka terhadap masalah-masalah
tersebut cenderung kontekstual.11
Paradigma tafsir kontemporer menurut istilah Abul
Mustaqim, dalam perkembangan ilmu tafsir dikenal dengan corak
penafsiran adabi ijtima’i yaitu corak sastra budaya
kemasyarakatan. 12
B. Pembahasan
Pluralisme agama telah menjadi salah satu wacana kontemporer yang sering
dibicarakan akhir-akhir abad 20, khususnya di Indonesia. Wacana ini sebenarnya
ingin menjembatani hubungan antaragama yang seringkali terjadi disharmonis
dengan mengatas namakan agama, diantaranya kekerasan sesama umat beragama,
maupun kekerasan antar umat beragama.
Di kalangan media saat ini terdapat pandangan umum bahwa Islam tidak
mendukung pluralisme. Lebih menyedihkan lagi, kerap kali kita mendengar
bagaimana susahnya minoritas non-Muslim untuk bisa hidup secara damai dan
harmonis di negara-negara Muslim. Tindakan kekerasan orang-orang ekstrimis
yang menyalah gunakan teologi Islam untuk membenarkan serangan jahatnya
semakin mengentalkan prasangka buruk terhadap Muslim, dan saat ini banyak
orang mengira bahwa orang-orang Muslim tidak percaya akan pluralisme dan
keragaman. Padahal, sebaliknya, sejarah menunjukkan bahwa Islam, sebagaimana
diajarkan oleh al-Qur’an serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad beserta para
sahabatnya benar-benar menerima, merayakan, dan bahkan mendorong
kemajemukan.
Islam adalah agama universal yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya pluralisme agama. Islam
sangat menghargai pluralisme karena Islam adalah agama yang dengan tegas
mengakui hak-hak penganut agama lain untuk hidup bersama dan menjalankan
ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan.
Kalau Allah menghendaki untuk menjadikan kamu satu umat saja dengan
satu syari’at dan satu jalan yang kamu tempuh dan amalkan, yakni dengan
menciptakan kalian berwatak sama dan berakhlak sama, dan penghidupanmupun
satu taraf, sehingga kamu bisa diatur dengan satu syari’at saja dalalm berbagai
masa. Namun Allah tidak menghendaki itu bahkan, Dia berkehendak menjadikan
kalian suatu jenis yang berakal, berpikir dan mempunyai watak dapat memahami
dan siap menerima ilmu, berkembang melewati tahapan-tahapan hidup sedikit
demi sedikit, tunduk pada undang-undang perkembangan18.
Dari penjelasan ayat di atas Pluralisme adalah merupakan perwujudan dari
kehendak Allah SWT. Allah tidak menginginkan hanya ada satu agama walaupun
sebenarnya Allah punya kemampuan untuk hal itu bila Ia kehendaki. “Jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu.” (QS.
Hud: 11/118)19.
Islam adalah agama damai yang sangat menghargai, toleran dan membuka
diri terhadap pluralisme agama. Isyarat-isyarat tentang pluralisme agama sangat
banyak ditemukan di dalam Al-qur’an antara lain Firman Allah “Untukmu
agamamu dan untukku agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 109/6).
Dalam Al-Qur’an berulang-ulang Allah menyatakan bahwa perbedaan di
antara umat manusia, baik dalam warna kulit, bentuk rupa, kekayaan, ras, budaya
dan bahasa adalah wajar. Allah bahkan melukiskan pluralisme ideologi dan agama
sebagai rahmat. Allah menganugrahkan nikmat akal kepada manusia, kemudian
dengan akal tersebut Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk
memilih agama yang ia yakini kebenarannya tanpa ada paksaan dan intervensi
17
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-maraghi, h. 239
18
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, h. 240
19
Lihat pula Qs.al-Baqaarah/2:213, Qs. Yunus/10 :19, Qs.al-Maidah/6 :48,
Qs.an-Nahl/16 93
dari Allah. Sebagaimana Firmannya “Tidak ada paksaan dalam agama”. (QS. Al
Baqarah: 2/256). Manusia adalah makhluk yang punya kebebasan untuk memilih
dan inilah salah satu keistimewaan manusia dari makhluk lainnya, namun
tentunya kebebasa itu adalah kebebasan yang harus dipertanggungjawabkan kelak
di hadapan Allah SWT.
Kitab suci Al-Qur’an diturunkan dalam konteks kesejarahan dan situasi
keagamaan yang pluralistik (plural-religius). Setidaknya terdapat empat bentuk
keyakinan agama yang berkembang dalam masyarakat Arab tempat Muhammad
SAW. menjalankan misi profetiknya sebelum kehadiran Islam, yaitu Yudaisme
(Yahudi); Kristen, Zoroastrianisme dan agama Makkah sendiri. Tiga di antaranya
yang sangat berpengaruh dan senantiasa disinggung oleh Al-Qur’an dalam
berbagai levelnya adalah Yahudi, Kristen dan agama Makkah.
Persyaratan beriman kepada Allah dan hari Kemudian seperti bunyi ayat di
atas, bukan berarti hanya kedua rukun itu yang dituntut dari mereka, tetapi
keduanya adalah istilah yang biasa digunakan oleh Al-Qur’an dan sunnah untuk
makna iman yang benar dan mencakup semua rukunnya.22
Ada sementara orang yang perhatiannya tertuju kepada penciptaan toleransi
antar umat beragama yang berpendapat bahwa ayat ini dapat menjadi pijakan
untuk menyatakan bahwa penganut agama-agama yang disebut oleh ayat ini,
selama beriman kepada Tuhan dan hari Kemudian, maka mereka semua akan
memperoleh keselamatan, tidak akan diliputi oleh rasa takut di akhirat kelak, tidak
pula akan bersedih. Pendapat semacam ini nyaris menjadikan semua agama sama,
padahal, agama-agama itu pada hakikatnya berbeda-beda dalam akidah serta
ibadah yang diajarkannya.23
20
Lihat Qs. Al-Maidah/5:69 dan Qs al-Hajj/22: 17
21
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-maraghi, h.236-238
22
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Bandung: Mizan, 2002, h.156
23
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 157
Kedatangan Al-Qur’an ditengah-tengah pluralitas agama tidak serta-merta
mendeskreditkan agama-agama yang berkembang pada saat itu, tapi Alquran
sangat bersifat asfiratif, akomodatif, mengakui keberadaan agama-agama yang
datang sebelum Al-Qur’an diturunkan. Pengahrgaan dan penghormatan Islam
terhadap keberadaan agama lain ditunjukan Qs. Al-An’am ayat 108 ;
Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap
baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu
dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”(Qs.al-
An’am/6:108)
Allah melarang Nabi SAW juga kaum muslimin untuk mencaci dan memaki
tuhan-tuhan mereka seperti berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah,
karena jika kamu memakinya, maka akibatnya mereka akan memaki Allah,
dengan melampaui batas atau secara tergesa-gesa tanpa berpikir dan tanpa
pengetahuan.24
Sementara itu menurut M. Quraish Shihab25 bahwa ayat ini merupakan
bimbingan khusus ditujukan kepada kaum muslimin karena tidak mungkin akan
terjadi dari nabi Muhammad SAW yang sangat luhur budi pekertinya sebagai
seorang pemaki juga pencerca. Larangan memaki tuhan-tuhan dan kepercayaan
pihak lain merupakan tuntunan agama, guna memelihara kesucian agama-agama
dan guna menciptakan rasa aman serta hubungan harmonis antar umat beragama.
Manusia sangat mudah terpancing emosinya bila agama dan kepercayaannya
disinggung. Ini merupakan tabiat manusia, apapun kedudukan sosial atau tingkat
pengetahuannya, karena agama bersemi di dalam hati penganutnya, sedang hati
adalah sumber emosi yang berbeda dengan pengetahuan yang mengandalkan akal
dan fikiran.
Bahkan lebih jauh dari itu Al-Qur’an juga mengakui akan keutamaan umat-
umat terdahulu sebagaimana terdapat dalam ayat. “Wahai Bani Israil! Ingatlah
nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepadamu, dan Aku telah melebihkan kamu
dari semua umat yang lain di alam ini (pada masa itu)”. (QS. Al-Baqarah: 2/47).
Dalam ayat ini, tergambar suatu sikap pengakuan Al-Qur’an akan
keunggulan dan keutamaan umat-umat terdahulu sebelum umat Islam.
Al-Qur’an sebagai sumber normatif bagi satu teologi inklusif-pluralis. Bagi
kaum muslimin, tidak ada teks lain yang mempunyai posisi otoritas mutlak dan
24
Abu al-Fida' Ismail Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Adhim, Jeddah: al-Haramain, h.163-164
25
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 242-244
tak terbantahkan selain Al-Qur’an. Maka, Al-Qur’an merupakan kunci untuk
menemukan dan memahami konsep pluralisme agama dalam Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA