You are on page 1of 7

http://repository.usu.ac.

id/bitstream/123456789/19507/4/Chapter
%20II.pdf
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Mobilisasi Dini 1. Pengertian Mobilisasi Dini

Mobilisasi dini adalah pergerakan yang dilakukan sedini mungkin di tempat tidur dengan melatih
bagian–bagian tubuh untuk melakukan peregangan atau belajar berjalan (Soelaiman, 2000).
Mobilisasi dini adalah kebijaksanaan untuk selekas mungkin membimbing penderita keluar dari
tempat tidurnya dan membimbingnya selekas mungkin berjalan. Menurut Carpenito (2000),
mobilisasi dini merupakan suatu aspek yang terpenting pada fungsi fisiologis karena hal itu
esensial untuk mempertahankan kemandirian. Dari Kedua definisi tersebut dapat disimpulkan
bahwa mobilisasi dini adalah suatu upaya mempertahankan kemandirian sedini mungkin dengan
cara membimbing penderita untuk mempertahankan fungsi fisiologis.
Mobilisasi menyebabkan perbaikan sirkulasi, membuat napas dalam dan menstimulasi kembali
fungsi gastrointestinal normal, dorong untuk menggerakkan kaki dan tungkai bawah sesegera
mungkin, biasanya dalam waktu 12 jam.
2. Konsep mobilisasi

Universitas Sumatera Utara


Mula–mula berasal dari ambulasi dini yang merupakan pengembalian secara berangsur–angsur ke
tahap mobilisasi sebelumnya untuk mencegah komplikasi (Ancheta, 2005)
3. Rentang Gerak dalam mobilisasi

Dalam mobilisasi terdapat tiga rentang gerak yaitu :


a. Rentang gerak pasif

Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan
menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki
pasien.
b. Rentang gerak aktif

Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-
ototnya secara aktif misalnya berbaring pasien menggerakkan kakinya.
c. Rentang gerak fungsional

berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan aktifitas yang diperlukan
(Carpenito, 2000).
4. Manfaat mobilisasi

Manfaat mobilisasi bagi ibu pasca seksio sesarea adalah :


a. Penderita merasa lebih sehat dan kuat dengan early ambulation. Dengan bergerak, otot–otot
perut dan panggul akan kembali normal sehingga otot perutnya menjadi kuat kembali dan dapat
mengurangi rasa sakit dengan demikian ibu merasa sehat dan membantu memperoleh kekuatan,
mempercepat kesembuhan. Faal usus dan kandung kencing lebih baik.

Universitas Sumatera Utara


Dengan bergerak akan merangsang peristaltik usus kembali normal. Aktifitas ini juga membantu
mempercepat organ-organ tubuh bekerja seperti semula.

b. Mobilisasi dini memungkinkan kita mengajarkan segera untuk ibu merawat anaknya.
Perubahan yang terjadi pada ibu pasca operasi akan cepat pulih misalnya kontraksi uterus, dengan
demikian ibu akan cepat merasa sehat dan bisa merawat anaknya dengan cepat.

c. Mencegah terjadinya trombosis dan tromboemboli, dengan mobilisasi sirkulasi darah


normal/lancar sehingga resiko terjadinya trombosis dan tromboemboli dapat dihindarkan.

5. Kerugian Bila Tidak Melakukan Mobilisasi


a. Peningkatan suhu tubuh karena adanya involusi uterus yang tidak baik sehingga sisa darah
tidak dapat dikeluarkan dan menyebabkan infeksi dan salah satu dari tanda infeksi adalah
peningkatan suhu tubuh.

b. Perdarahan yang abnormal. Dengan mobilisasi dini kontraksi uterus akan baik sehingga fundus
uteri keras, maka resiko perdarahan yang abnormal dapat dihindarkan, karena kontraksi
membentuk penyempitan pembuluh darah yang terbuka.

c. Involusi uterus yang tidak baik, Tidak dilakukan mobilisasi secara dini akan menghambat
pengeluaran darah dan sisa plasenta sehingga menyebabkan terganggunya kontraksi uterus.

6. Tahap-tahap Mobilisasi Dini

Universitas Sumatera Utara


Mobilisasi dini dilakukan secara bertahap berikut ini akan dijelaskan tahap mobilisasi dini pada
ibu pasca seksio sesarea :
a. Setelah operasi, pada 6 jam pertama ibu pasca seksio sesarea harus tirah baring dulu.
Mobilisasi dini yang bisa dilakukan adalah menggerakkan lengan, tangan, menggerakkan ujung
jari kaki dan memutar pergelangan kaki, mengangkat tumit, menegangkan otot betis serta
menekuk dan menggeser kaki.

b. Setelah 6-10 jam, ibu diharuskan untuk dapat miring kekiri dan kekanan mencegah trombosis
dan trombo emboli.

c. Setelah 24 jam ibu dianjurkan untuk dapat mulai belajar untuk duduk.

d. Setelah ibu dapat duduk, dianjurkan ibu belajar berjalan (Kasdu, 2003).

7. Faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi dini


a. Faktor fisiologis

1) Demam puerperalis didefinisikan sebagai peningkatan suhu mencapai 38,5 oC pasca bedah.
Demam pasca bedah hanya merupakan sebuah gejala bukan sebuah diagnosis, yang menandakan
adanya suatu komplikasi serius (Cunningham dkk, 2005).

2) Perdarahan masa nifas pasca seksio sesarea didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih dari
1000 ml. Dalam hal ini perdarahan terjadi akibat kegagalan mencapai hemoestasis di tempat
insisi uterus maupun pada placental bed akibat atonia uteri. Atonia uteri merupakan sebagian
besar penyebab terjadinya perdarahan pasca bedah. Ada beberapa keadaan yang menjadi
predisposisi terjadinya atoni uteri, yaitu distensi

Universitas Sumatera Utara


dinding rahim yang berlebihan (kehamilan ganda, polihidramnion atau makrosomia janin),
pemanjangan masa persalinan dan grandemultiparitas.

3) Keberadaan nyeri

Nyeri merupakan sensasi yang rumit, universal dan bersifat individual. Dikatakan bersifat
individual karena respon individu terhadap sensasi nyeri beragam dan tidak bisa disamakan satu
dengan yang lainnya.
a) Pengukuran intensitas nyeri

Menurut Perry dan Potter (1993), nyeri tidak dapat diukur secara objektif misalnya dengan X-Ray
atau tes darah. Namun tipe nyeri yang muncul dapat diramalkan berdasarkan tanda dan gejalanya.
Kadang-kadang hanya bisa mengkaji nyeri dengan berpatokan pada ucapan dan prilaku klien.
Klien kadang-kadang diminta untuk menggambarkan nyeri yang dialaminya tersebut sebagai
nyeri ringan, nyeri sedang, atau berat. Bagaimanapun makna dari istilah tersebut berbeda. Tipe
nyeri tersebut berbeda pada setiap waktu. Gambaran skala nyeri merupakan makna yang lebih
objektif yang dapat diukur. Gambaran skala nyeri tidak hanya berguna dalam mengkaji beratnya
nyeri, tetapi juga dapat mengevaluasi perubahan kondisi klien.
Ada tiga cara mengkaji intensitas nyeri yang biasa digunakan antara lain :
1) skala intensitas nyeri deskriptif
Universitas Sumatera Utara
2) Skala identitas nyeri numerik
3) Skala analog visual
4) Skala nyeri menurut bourbanis
Intensitas nyeri mengacu kepada kehebatan nyeri itu sendiri, untuk menentukan derajat nyeri,
dapat menanyakan klien tentang nyeri
yang dirasakan dengan menggunakan skala numerik 0-10 atau skala yang serupa lainnya yang
membantu menerangkan bagaimana intensitas nyerinya. Cara mengkaji nyeri yang digunakan
adalah 0-10
Universitas Sumatera Utara
angka skala intensitas nyeri. Intensitas nyeri dibedakan menjadi empat dengan menggunakan
skala numerik yaitu :
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi
nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat terkontrol: secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi
masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat tidak terkontrol : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.

b. Faktor Emosional

Yang mempengaruhi mobilisasi adalah cemas (ansietas)


Ansietas merupakan gejolak emosi seseorang yang berhubungan dengan sesuatu diluar dirinya
dan mekanisme diri yang digunakan dalam mengatasi permasalahan (Asmadi, 2008)

You might also like