You are on page 1of 7

TUGAS FARMAKOLOGI II

PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA BALITA DAN MANULA

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Farmakologi II

Disusun oleh:

IMAN BUDIMAN

260110080145

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2011

A. PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA BAYI / BALITA

Bahan antibiotik pertama ditemukan Alexander Fleming pada 1928. Kemudian, pada 1940-an antibiotik mulai digunakan secara luas. Waktu itu para ilmuwan dunia memprediksi, dengan ditemukannya antibiotik dunia diprediksi bersih dari penyakit infeksi. Namun, bukannya penyakit infeksi teratasi justru jenis bakteri baru muncul akibat resistensi terhadap penggunaan antibiotik. Pada 1990 pernah terjadi post antibiotika era, suatu keadaan yang antibiotik tidak berfungsi lagi. Waktu itu di antara 20 jenis antibiotik yang ada hanya satu yang bisa mengobati penyakit infeksi. Pada 2001, World Health Organization (WHO) menyampaikan keprihatinan yang tinggi terhadap perkembangan bakteri resisten. WHO pun menyatakan global alert atau perang melawan bakteri resisten ( Siswoyo, 2010) Penggunaan obat antibiotik untuk mengobati infeksi tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Para ahli memperingatkan dokter dan perawat untuk lebih berhati-hati dalam memberikan antibiotik dosis tinggi terutama pada bayi karena penggunaan antibiotika irasional atau berlebihan pada anak tampaknya memang semakin meningkat dan semakin mengkawatirkan. Penggunaan berlebihan atau penggunaan irasional artinya penggunaan tidak benar, tidak tepat dan tidak sesuai dengan indikasi penyakitnya. Pemberian yang sangat hatihati ini berkaitan dengan masalah keselamatan dan kesehatan si bayi nantinya. Penggunaan obat antibiotik dengan tidak benar pada usia muda berisiko menyebabkan kerusakan ginjal atau kehilangan pendengaran. Pemberian antibiotik yang terlalu banyak atau terlalu sedikit juga dapat mempengaruhi efektivitas dan toksisitas dari obat itu sendiri ( Bararah, 2010). Menurut penelitian US National Ambulatory Medical Care Survey pada tahun 1989, setiap tahun sekitar 84% setiap tahun setiap anak mendapatkan antibiotika. Hasil lainnya didapatkan 47,9% resep pada anak usia 0-4 tahun terdapat antibiotika. Angka tersebut menurut perhitungan banyak ahli sebenarnya sudah cukup mencemaskan. Dalam tahun yang sama, juga ditemukan resistensi kuman yang cukup tinggi karena pemakaian antibiotika berlebihan tersebut. Di Indonesia belum ada data resmi tentang pengguanaan antibiotika ini. Sehingga banyak pihak saat ini tidak terlalu peduli dengan masalah ini. Berdasarkan tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat serta fakta yang ditemui sehari-hari, tampaknya penggunaan antibiotika di Indonesia baik jauh lebih banyak dan lebih mencemaskan ( Dewi, 2010). Sebenarnya penggunaan antibiotika secara benar dan sesuai indikasi memang harus diberikan. Meskipun terdapat pertimbangan bahaya efek samping dan mahalnya biaya. Tetapi menjadi masalah yang mengkawatirkan, bila penggunaannnya berlebihan. Banyak kerugian

yang terjadi bila pemberian antibiotika berlebihan tersebut tidak dikendalikan secara cepat dan tuntas. Kerugian yang dihadapi adalah meningkatnya resistensi terhadap bakteri. Belum lagi perilaku tersebut berpotensi untuk meningkatkan biaya berobat. Seperti diketahui bahwa harga obat antibiotika merupakan bagian terbesar dari biaya pengobatan. Antibiotik yang diberikan harus aman bagi bayi yang sedang sakit agar reaksi merugikan yang mungkin timbul dapat diminimalisir. Karenanya orangtua juga harus diberitahu mengenai kemungkinan risiko dari setiap perawatan yang diberikan pada bayinya. Karena daya tahan tubuh bayi belum terbentuk secara sempurna sehingga setiap tindakan yang diambil harus dipikirkan mengenai risikonya. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan antibiotika adalah gangguan beberapa organ tubuh. Apalagi bila diberikan kepada bayi dan anak-anak, karena sistem tubuh dan fungsi organ pada bayi dan anak-anak masih belum tumbuh sempurna. Apalagi anak beresiko paling sering mendapatkan antibiotika, karena lebih sering sakit akibat daya tahan tubuh lebih rentan. Bila dalam setahun anak mengalami 9 kali sakit, maka 9 dikali 7 hari atau 64 hari anak mendapatkan antibiotika. Gangguan organ tubuh yang bisa terjadi adalah gangguan saluran cerna, gangguan ginjal, gangguan fungsi hati, gangguan sumsum tulang, gangguan darah dan sebagainya. Akibat lainnya adalah reaksi alergi karena obat. Gangguan tersebut mulai dari yang ringan seperti ruam, gatal sampai dengan yang berat seperti pembengkakan bibir atau kelopak mata, sesak, hingga dapat mengancam jiwa (reaksi anafilaksis) ( Dewi, 2010) . Indikasi yang tepat dan benar dalam penggunaan antibiotika pada anak adalah bila penyebab infeksi tersebut adalah bakteri. Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) indikasi pemberian antibiotika adalah bila batuk dan pilek berkelanjutan selama lebih 10 14 hari.yang terjadi sepanjang hari (bukan hanya pada malam hari dan pagi hari). Batuk malam dan pagi hari biasanya berkaitan dengan alergi atau bukan lagi dalam fase infeksi dan tidak perlu antibiotika Indikasi lain bila terdapat gejala infeksi sinusitis akut yang berat seperti panas > 39 C dengan cairan hidung purulen, nyeri, pembengkakan sekitar mata dan wajah. Pilihan pertama pengobatan antibiotika untuk kasus ini cukup dengan pemberian Amoxicillin atau Clavulanate. Bila dalam 2 3 hari membaik pengobatan dapat dilanjutkan selama 7 hari setelah keluhan membaik atau biasanya selama 10 14 hari (Dewi, 2010). Sebagian besar kasus penyakit infeksi pada anak penyebabnya adalah virus. Dengan kata lain seharusnya kemungkinan penggunaan antibiotika yang benar tidak besar atau mungkin hanya sekitar 10 15% penderita anak. Penyakit virus adalah penyakit yang termasuk self limiting disease atau penyakit yang sembuh sendiri dalam waktu 5 7 hari.

Sebagian besar penyakit infeksi diare, batuk, pilek dan panas penyebabnya adalah virus. Secara umum setiap anak akan mengalami 2 hingga 9 kali penyakit saluran napas karena virus. Sebaiknya jangan terlalu mudah mendiagnosis (overdiagnosis) sinusitis pada anak. Bila tidak terdapat komplikasi lainnya secara alamiah pilek, batuk dan pengeluaran cairan hidung akan menetap paling lama sampai 14 hari setelah gejala lainnya membaik. Sebuah penelitian terhadap gejala pada 139 anak penderita pilek(flu) karena virus didapatkan bahwa pemberian antibiotik pada kelompok kontrol tidak memperbaiki cairan mucopurulent dari hidung. Antibiotika tidak efektif mengobati Infeksi saluran napas Atas dan tidak mencegah infeksi bakteri tumpangan. Sebagian besar infeksi Saluran napas Atas termasuk sinus paranasalis sangat jarang sekali terjadi komplikasi bakteri (Dewi, 2010). Dalam permasalahan penggunaan antibiotika yang berlebihan ini, pihak manakah yang bertanggung jawab untuk mengatasinya. Permasalahan ini tidak sesederhana seperti yang kita lihat. Banyak pihak yang berperanan dan terlibat dalam penggunaan antibiotika berlebihan ini. Pihak yang terlibat mulai dari penderita (orang tua penderita), dokter, rumah sakit, apotek, sales representatif, perusahaan farmasi dan pabrik obat. Bila penggunaan antibiotika berlebihan lebih dikarenakan faktor dokter, maka orang tua sebagai penerima jasa dokter dalam keadaan posisi yang sulit. Tetapi orang tua penderita sebagai pihak pasien mempunyai hak untuk mendapatkan informasi sejelas-jelasnya rencana pengobatan, tujuan pengobatan dan akibat efek samping pengobatan tersebut Kalau perlu orang tua sedikit berdiskusi dengan cara bukan menggurui untuk peluang apakah boleh tidak diberi antibiotika. Dilain pihak, orangtua juga sering sebagai faktor terjadinya penggunaan antibiotika yang berlebihan. Pendapat umum yang tidak benar terus berkembang, bahwa kalau tidak memakai antibiotika maka penyakitnya akan lama sembuhnya Tidak jarang penggunaan antibitika adalah permintaan dari orang tua. Yang lebih mengkawatirkan saat ini beberapa orang tua dengan tanpa beban membeli sendiri antibiotika tersebut tanpa pertimbangan dokter. Antibiotika yang merupakan golongan obat terbatas, obat yang harus diresepkan oleh dokter. Tetapi runyamnya ternyata obat antibiotika tersebut mudah didapatkan di apotek atau di toko obat meskipun tanpa resep dokter. Departemen Kesehatan (Depkes), Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Ikatan dokter Indonesia (IDI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) dan beberapa intitusi terkait lainnya harus bekerjasama dalam penanganannya. Pendidikan tentang bahaya dan indikasi pemakaian antibiotika yang benar terhadap masyarakat harus terus dilakukan melalui berbagai media yang ada. Penertiban

penjualan obat antibiotika oleh apotek dan lebih khusus lagi toko obat harus terus dilakukan tanpa henti. Organisasi profesi kedokteran harus terus berupaya mengevaluasi dan melakukan pemantauan lebih ketat tentang perilaku penggunaan antibitika yang berlebihan ini terhadap anggotanya. Kalau perlu secara berkala dilakukan penelitian secara menyeluruh terhadap penggunaan antibitioka yang berlebihan ini. Sebaiknya praktek dan strategi promosi obat antibiotika yang tidak sehat juga harus menjadi perhatian. Bukan malah dimanfaatkan untuk kepentingan dokter, meskipun hanya demi kepentingan kegiatan ilmiah. PERSI sebagai wadah organisasi rumah sakit, juga berwenang memberikan pengawasan kepada anggotanya untuk terus melakukan evaluasi yang ketat terhadap formularium obat yang digunakan.

B. PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA USIA LANJUT / MANULA

Salah satu kelompok umur yang sering luput dari pertimbangan-pertimbangan khusus dalam pemakaian obat adalahn kelompok usia lanjut. Hal ini dapat dimengerti mengingat usia lanjut secara fisiologis umumnya dianggap sama dengan kelompok umur dewasa. Namun sebenarnya, pada periode tertentu telah terjadi berbagai penurunan fungsi berbagai organ tubuh. Penurunan fungsi bisa disebabkan karena proses menua, maupun perubahanperubahan lain yang secara fisik kadang tidak terdeteksi. Terdapat perbedaan pendapat mengenai batasan usia lanjut, namun pada umumnya para peneliti mengambil batas 65 tahun. Yang perlu mendapat perhatian adalah, bahwa ternyata pada pasien usia lanjut, umumnya dijumpai lebih dari satu jenis penyakit, satu atau lebih di antaranya bersifat kronis, sementara penyakit lain yang akut, jika tidak ditangani dengan baik dapat memperburuk kondisi penderita. Dari aspek penderita, faktor-faktor seperti penurunan aktivitas/fungsi organ, derajat penyakit, penurunan kemampuan untuk mengurus diri sendiri, menurunnya masukan cairan dan makanan, serta kemungkinan menderita lebih dari satu macam penyakit, sering mempersulit proses pengobatan secara opitmal. Penguasaan dokter terhadap aspek-aspek klinis serta prinsip penggunaan obat untuk usia lanjut dengan demikian menjadi penting untuk meningkatkan kualitas pengobatan. Kebanyakan pengobatan penyakit pada usia lanjut atau manula dilakukan dengan pendekatan secara empiris yaitu dengan menggunakan antibiotik spektrum luas dengan tujuan agar antibiotik yang dipilih dapat melawan beberapa kemungkinan antibiotik penyebab infeksi. Padahal tanpa disadari penggunaan antibiotik spektrum luas secara tidak terkendali sangat memungkinkan timbulnya masalah yang tidak diinginkan seperti timbulnya efek

samping obat maupun potensi terjadinya resistensi. Alasan penggunaan antibiotik sprektrum luas ini disebabkan oleh penyakit penyerta yang banyak diderita oleh para lansia dan kondisi tertentu seperti diabetes melitus, payah jantung kronik, penyakit vaskuler, penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), peminum alkohol dan penyakitpenyakit lainnya. Penyakit-penyakit tersebut di atas umumnya terdapat pada usia lanjut. Faktor predesposisi lain antara lain berupa kebiasaan merokok, pasca infeksi virus, keadaan imunodefisiensi, kelainan atau kelemahan stuktur organ dada dan penurunan kesadaran. Juga ada tindakan invasive seperti infuse, trakeotomi, atau pemasangan ventilator. Perlu diteliti faktor lingkungan khususnya tempat kediaman misalnya di rumah jompo, penggunaan antibiotik dan obat suntik iv, serta alkoholik yang meningkatkan terjadinya kuman gram negative (Khairudin, 2009). Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dan berlebihan dapat membahayakan kesehatan. Misalnya, mengakibatkan gangguan saluran pencernaan (diare, mual, muntah). Khawatir masyarakat awam yang tidak paham, mempergunakan dosis antibiotik untuk segala jenis penyakit. Penderita dapat mengalami reaksi alergi8. Mulai yang ringan seperti ruam dan gatal hingga berat seperti pembengkakan bibir, kelopak mata, sampai gangguan napas. Sebab, bisa jadi penderita alergi dengan antibiotik tersebut. Efek yang terjadi dari ringan hingga berat. Pasien bisa mengalami anafilaktik shock atau shock karena penggunaan antibiotik tersebut. Lebih berbahaya lagi, antibiotik juga bisa mengakibatkan kelainan hati. Seperti diketahui, antibiotik memiliki bahan dasar kimia. Selain berfungsi membunuh kuman, bahan kimia tersebut harus dinetralkan tubuh supaya aman. Caranya adalah dengan memecah bahan kimia tersebut (Katzung, 1986). Pertimbangan pemberian obat terutama antibiotik pada usia lanjut, tidak saja diambil berdasarkan ketentuan dewasa, tetapi perlu beberapa penyesuaian seperti dosis dan perhatian lebih besar pada kemungkinan efek samping, karena adanya perbedaan fungsi organorgan tubuh, dan lebih rentannya usia lanjut terhadap efek samping/efek toksik obat. Prinsip-prinsip dasar pemakaian antibiotika pada usia lanjut tidak berbeda dengan kelompok usia lainnya. Yang perlu diwaspadai adalah pemakaian antibiotika golongan aminoglikosida dan laktam, yang ekskresi utamanya melalui ginjal. Penurunan fungsi ginjal karena usia lanjut akan mempengaruhi eliminasi antibiotika tersebut, di mana waktu paruh obat menjadi lebih panjang (waktu paruh gentasimin, kanamisin, dan netilmisin dapat meningkat sampai dua kali lipat) dan memberi efek toksik pada ginjal (nefrotoksik), maupun organ lain (misalnya ototoksisitas) ( Katzung, 1986).

DAFTAR PUSTAKA

Bahrarah, Vera Farah. 2010. Antibiotik untuk Bayi Harus Dipantau Ketat. Available online at http://health.detik.com/read/2010/02/16/165044/1300784/764/antibiotik-untuk-bayiharus-dipantau-ketat [ Diakses tanggal 15 Februari 2011]. Dewi. 2010. Penggunaan Antibiotika Irrasional pada Anak. Available online at http://dewimarthaindria.multiply.com/journal/item/22 [ Diakses tanggal 15 Februari 2011]. Katzung, B.G. 1986. Medical Book Khairudin. 2009. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Pneumonia Yang Dirawat Pada Bangsal Penyakit Dalam Di RSUP DR. Kariadi Semarang Tahun 2008. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro. Siswoyo. 2010. Waspadai Bahayanya Antibiotik. Available online at Basic and Clinical Pharmacology, 3rd edition. California: Lange

http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2082: waspadai-bahayanya-antibiotik&catid=69:kesehatan&Itemid=241 [ Diakses tanggal 15 Februari 2011].

You might also like