You are on page 1of 13

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Abses Paru merupakan infeksi dekstruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru

yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih. Abses paru harus dibedakan dengan kavitas pada pasien tuberculosis paru. Abses paru lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dan umumnya terjadi pada umur tua karena terdapat peningkatan insidens penyakit periodontal dan peningkatan prevalensi aspirasi. Kemajuan ilmu kedokteran saat ini menyebabkan kejadian abses paru menurun/jarang ditemukan karena adanya perbaikan risiko terjadinya abses paru seperti teknik operasi dan anastesi yang lebih baik dan penggunaan antibiotic yang lebih dini, kecuali pada kondisi-kondisi yang memudahkan untuk terjadinya aspirasi dan pada populasi dengan immunocompromised. Penyebab penyakit abses paru dapat bermacam-macam. Berikut ini urutan penyebab abses paru di Indonesia adalah : - Infeksi yang timbul melalui saluran napas (aspirasi) - Sebagai penyulit dari beberapa tipe pneumonia tertentu - Perluasan abses subdiafragmatika - Berasal dari luka traumatic paru - Infark paru yang terinfeksi Prevalensi tertinggi berasal dari infeksi saluran pernapasan, mikroorganisme penyebab umumnya berupa campuran dari bermacam-macam kuman yang berasal dari flora mulut, hidung, tenggorokan, termasuk kuman aerob dan anaerob seperti Streptokok, Basil fusiform, Spirokaeta, Proteus, dan lain-lain.1 Melihat begitu banyaknya prevalensi penyakit Abses Paru di Indonesia termasuk di RSUP H. Adam Malik Medan, maka laporan kasus ini akan membahas bagiamana abses paru itu secara keseluruhan mulai dari segala hal teoritis sampai ke kasus yang memang benar terjadi pada pasien. Selain itu, dengan laporan kasus ini maka penting juga untuk menjadi bahan pembelajaran kita semua dalam menanggulangi dan menurunkan angka kejadian abses paru dengan cara mendiagnosis cepat dan meberikan terapi yang tepat pada pasien dengan penyakit abses paru.

1.2.

Rumusan Masalah Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam laporan kasus ini adalah: Bagaimana definisi, etiologi, patofisiologi, gambaran klinis, diagnosis, dan

penatalaksanaan serta perjalanan penyakit pasien yang mengalami abses paru?

1.3.

Tujuan Penulisan Tujuan penulisan laporan kasus ini diantaranya:

a. Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis tentang penyakit Abses Paru. b. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran terhadap kasus Abses Paru pada pasien secara langsung c. Untuk memahami perjalanan penyakit Abses Paru

1.4.

Manfaat Penulisan Beberapa manfaat yang diharapkan dari penulisan laporan kasus ini diantaranya:

a. Memperkokoh landasan teoritis ilmu kedokteran di bidang ilmu penyakit dalam, khususnya mengenai Abses Paru. b. Sebagai bahan informasi bagi pembaca yang ingin mendalami lebih lanjut topik topik yang berkaitan dengan Abses Paru.

BAB II PEMBAHASAN

2.1

Defenisi Abses paru adalah infeksi dekstruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru

yang

terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam

parenkim paru pada satu lobus atau lebih.2 Defenisi lain menyebutkan bahwa abses paru adalah infeksi paru dengan karakteristik akumulasi pus yang terlokalisasi disertai dekstruksi jaringan sekeliling.7 Etiologi2 Abses paru dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme yaitu: Kelompok bakteri anaerob, biasanya diakibatkan oleh pneumonia aspirasi Bacteriodes melaninogenus Bacteriodes fragilis Peptostreptococcus species Bacillus intermedius Fusobacterium nucleatum Microaerophilic streptococcus Bakteri anaerobic meliputi 89% penyebab abses paru dan 85%-100% dari specimen yang didapat melalui aspirasi transtrakeal. Kelompok bakteri aerob: Gram positif: sekunder oleh sebab selain aspirasi Staphylococcus aureus Streptococcus microaerophilic Streptococcus pyogenes Streptococcus pneumonia Gram negatif: biasanya merupakan sebab nosokomial Klebsiella pneumoniae Pseudomonas aeruginosa Escherichia coli Haemophilus influenza Actinomyces species 3

2.2

Nocardia species Gram negatif bacilli Kelompok: Jamur: mucoraceae, aspergilus species Parasit, amuba mikobakterium

Penyebab abses paru dapat bermacam-macam. Berikut ini urutan penyebab abses paru: 1) Infeksi yang timbul melalui saluran nafas (aspirasi) 2) Sebagai penyulit dari beberapa tipe pneumonia tertentu 3) Perluasan abses subdiafragmatika 4) Berasal dari luka traumatic paru 5) Infark paru yang terinfeksi1

Beberapa faktor predisposisi: 1) Ada sumber infeksi di saluran pernafasan 2) Daya tahan saluran pernafasan yang terganggu 3) Obstruksi mekanik saluran pernafasan karena aspirasi bekuan darah, pus, bagian gigi yang menyumbatn makanan dan tumor bronkus. Lokalisasi abses tergantung pada posisi saat terjadi aspirasi. Dalam keadaan posisi tegak, bahan aspirasi akan mengalir menuju ke lobus medius atau segmen posterior lobus inferior paru kanan, tetapi dalam keadaan berbaring aspirat akan menuju ke segmen apical lobus superior atau segmen superior lobus inferior paru kanan, hanya kadangkadang saja aspirat dapat mengalir ke paru kiri.

Abses paru baru akan timbul bila mikroorganisme yang masuk ke paru bersamasama dengan material yang terhirup. Material yang terhirup akan menyumbat saluran pernafasan dengan akibat timbul atelektasis yang disertai dengan infeksi. Bila yang masuk kuman saja, maka akan timbul pneumonia.1

2.3

Patofisiologi Bermacam-macam factor yang berinteraksi dalam terjadinya abses paru seperti

daya tahan tubuh dan tipe dari mikroorganisme patogen yang menjadi penyebab. Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cara yaitu aspirasi dan hematogen. Yang paling sering diujumpai adalah kelompok abses paru bronkogenik yang termasuk akibat aspirasi, stasis sekresi, benda asing, tumor dan striktur bronkil. Keadaan ini menyebabkan obstruksi bronkus dan terbawanya organism virulen yang akan menyebakan terjadinya infeksi pada daerah distal obstruksi tersebut. Abses jenis ini banyak terjadi pada pasien bronchitis kronik karena banyaknya mukus pada saluran napas bawah yang merupakan media yang sangat baik bagi organisme yang teraspirasi. Pada perokok usia lanjut keganasan bronkogenik bisa merupakan dasar untuk terjadinya abses paru. Secara hematogen yang paling sering terjadi adalah akibat septikemi atau sebagai fenomena septic emboli sekunder dari fokus infeksi dari bagian lain tubunya seperti trikuspid valve endokarditis.2 Penyebaran hematogen ini umumnya akan berbentuk abses multiple dan biasanya disebabkan oleh staphylococcus. Penanganan abses multiple dan kecil-kecil adalah lebih sulit dari abses single walaupun ukurannya besar. Secara umum diameter abses paru bervariasi dari beberapa mm sampai dengan 5 cm atau lebih. Disebut abses primer bila infeksi diakibatkan aspirasi atau pneumonia yang menyebabkan terjadi pada orang normal, sedangkan abses sekunder bila infeksi terjadi pada orang yang sebelumnya sudah mempunyai kondisi seperti obstruksi, bronkiektasis, dan gangguan imunitas. Selain itu abses paru dapat terjadi akibat necrotizing pneumonia yang menyebabakan terjadinya nekrosis dan pencairan pada daerah yang mengalami konsolidasi, dengan organisme penyebabnya paling sering ialah Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumonia dan grup pseudomonas, abses yang terjadi biasanya multiple dan berukuran kecil (<2cm). Bulla atau kista yang sudah ada bisa berkembang menjadi abses paru. Kista bronkogenik yang berisi cairan dan elemen sekresi epitel merupakan media kultur untuk tumbuhnya mikroorganisme. Bila kista tersebut mengalami infeksi oleh mikroorganisme yang virulens maka akan terjadi abses paru. Abses hepar bacterial atau amubik bisa mengalami rupture dan menembus diafragma yang akan menyebabkan abses paru pada lobus bawah paru kanan dan rongga pleura. Abses paru biasanya unilateral pada satu paru, yang terjadi pada pasien dengan keadaan umum yang jelek atau pasien yang mengalami penyakit menahun seperti malnutrisi, sirosis hati, gangguan immunologis yang menyebabkan daya tahan 5

tubuh menurun, atau penggunaan sitostatika. Abses akibat aspirasi paling sering terjadi pada segmen posterior lobus atas dan segmen apiikal lobus bawah, dan sering terjadi pada paru kanan, karena bronkus utama kanan lebih lurus dibanding kiri. Abses mengalami rupture ke dalam bronkus, dengan isinya diekspektroasikan keluar dengan meninggalkan cavitas yang berisi air dan udara. Kadang-kadang abses rupture ke rongga pleura sehingga terjadi empiema yang bisa diikuti dengan terjadinya fistula bronkopleura.2

Faktor Predisposisi terjadinya abses paru : Kondisi-kondisi yang memudahkan terjadinya aspirasi : Gangguan kesadaran : alkoholisme, epilepsy/kejang sebab lain, gangguan serebrovaskular, anestesi umum, penyalahgunaan obat intravena, koma, trauma, sepsis Gangguan esophagus dan sealuran cerna lainnya : gangguan motilitas Fistula trakeoesopageal Sebab-sebab latrogenik Penyakit-penyakit periodeontal Kebersihan mulut yang buruk Pencabutan gigi Pneumonia kaut Immunosupresi Bronkiektasis Kanker paru

Infeksi saluran napas atas atau bawah yang belum teratasi. Pasien HIV yang terkena abses paru pada umumnya mempunyai status immunokompromised yang sangat jelek (kadar CD4<50/mm3), dan kebanyakan didahului oleh infeksi terutama infeksi paru.2

2.4

Gejala Klinis Pada infeksi oleh mikroorganisme anaerob, gejalanya menunjukkan infeksi subakut

yang lambat perjalanannya, mulai dari beberapa minggu sampai beberapa bulan. Penyakit paru dengan supurasi akan memberikan gejala berupa jari tabuh.6

Akut maupun Kronik2 o Prodmoral Demam Sesak napas Malaise Anoreksia BB Batuk (+) Sputum kental berbau busuk

o Batuk darah o Nyeri dada o Sianosis Diagnosis2 Untuk membuat diagnosis perlu dicari faktor predisposisi yang biasanya dapat ditelusuru. Letak proses dan macam kelainan fisik mudah diketahui dengan pemeriksaan fisik, disokong oleh pemeriksaan radiologi, gambaran dahak makroskopis dan mikroskopis.2 Faktor-faktor predisposisi tersebut antara lain: 1. Ada sumber infeksi di saluran pernafasan. Bisa berupa infeksi mulut, tumor laring yang terinfeksi, bronkitis, bronkiektasis dan kanker paru yang terinfeksi. 2. Daya tahan saluran pernafasan yang terganggu. Pada paralise laring, aspirasi cairan lambung karena tidak sadar, akalasia, kanker esofagus, gangguan ekspektorasi dan gangguan pergerakan silia. 3. Obstruksi mekanik saluran pernafasan karena aspirasi bekuan darah, pus, bagian gigi yang menyumbat, makanan dan tumor bronkus.lokalisasi abses tergantung pada posisi pada saat terjadi aspirasi. Dalam keadaan posisi tegak, bahan aspirasi akan mengalir menuju lobus medius atau segmen posterior lobvus inferior paru kanan, tetapi dalam keadaan berbaring aspirat akan menuju ke segmen apikal lobus superior atau segmen superior lobus inferior paru kanan, hanya kadang-kadang saja aspirat dapat mengalir ke paru kiri. Gejala penyakit timbul satu sampai tiga hari setelah aspirasi, berupa malaise dengan demam tinggi disertai mengigil, bahkan rigor, kemudian disusul dengan batuk dan nyeri pleuritik atau rasa nyeri yang dirasakan di dalam dada, dan gejala akn terus meningkat sampai menimbulkan sesak nafas dan sianosis. Bila tidak diobati, amak gejala akan terus meningkat sampai kurang lebvih hari ke sepuluh. Penderita mendadak batuk dengan mengeluarkan pus 7

2.5

bercampur darah dalam jumlah banyak, munkin berbau bususk jika terinfeksi oleh kuman anaerob. Gejala yang khas ini tidak selalu ada. Gejala yang kurang khas dapat bervariasi, dari ringan sampai sedang, seperti flu saja yang timbul perlahan-lahan. Dari pemeriksaan fisik fitemukan tanda-tanda konsolidasi seperti redup pada perkusi, suara bronkhial dengan ronkhi basah atau krepitasi ditempat abses, mungkin ditambah dengan tanda-tanda efusi pleura. Jari tabuh dapat timbul dalam beberapa minggu terutama bila drainase tidak baik.

Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium Hitung leukosit umumnya tinggi berkisar 10.000-30.000/mm3 dengan hitung jenis bergeser ke kiri dan sel polimorfonuklear yang banyak terutama netrofil yang imatur. Bila abses berlangsung lama sering ditemukan adanya anemia. Pemeriksaan dahak dapat memabntu dalam menemukan mikroorganisme penyebab abses, namun dahak tersebut hendaknya diperoleh dari aspirasi transtrakheal, transtorakal atau bilasan atau sikatan bronkus, karena dahak yang dibatukkan akan terkontaminasi dengan organisme anaerobik normal pada rongga mulut dan saluran nafas atas. Prosedur invasif ini tidak biasa dilakukan, kecuali bila respons antibiotik tidak adekuat. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dari dahak adalah pewarnaan langsung dengan teknik gram, biakan mikroorganisme aerob, anaerob, jamur, Nokardia, basil mikobacterium tuberkulosi dan mikobacterium lain. Dahak bisa mengandung Spirochaeta, fusiform bacilli atau sejumlah besar bakteri baik yang patogen maupun flora manusia seperti Streptococus viridans. Klostridium dapat ditemukan dari aspirasi transtracheal. Kultur darah dapat membantu menemukan etiologi, sedangakan pemeriksaan serologi dapat dilakukan untuk jamur dan parasit.2

2. Bronkoskopi Bronkoskopi dengan biopsi sikatan yang terlindung dan bilasan bronkus merupakan cara diagnositik yang paling baik dengan akurasi diagnostik bakteriologi melebihi 80%. Cara ini hendaknya dilakukan pada pasien AIDS sebelum dimulai pengobatan karena banyaknya kuman yang terlibat dan sulit diprediksi secara klinis. Selain itu 10-25% penyebab abese paru pada orang dewasa adalah karsinoma bronkogenik, dan 60% diantaranya dapat didiagnosa dengan bronkoskopi.2

3. Aspirasi jarum per kutan Cara ini mempunyai akurasi tinggi untuk diagnosis bakteriologis, dengan spesifisitas melebihi aspirasi transtarkeal.2

4. Radiologis Foto dada PA dan lateral sangat membantu utnuk melihat lokasi lesi dan bentu abses paru. Pada hari-hari pertama penyakit, foto dada hanya menunjukkan gambaran opak dari satu atau lebih segemen, atau hanya berupa gambaran densitas homogen yang berbentuk bulat. Kemudian kana ditemukan gambaran radiolused dalam bayangan infiltrat yang padat. Selanjutnya bila abses tersebut mengalami ruptur sehingga mengalami drainase abses yang tidak sempurna ke dalam bronkus, maka akan tampak kavitas ireguler dengan batas cairan dan permukaan udara (air fluid level) didalamnya. Gambaran spesifik ini tampak dengan mudah bila kita melakuakn foto dada PA dengan posisi berdiri. Khas pada abses paruanaerobik, kavitasnya single (soliter) yang biasanya ditemukan pada infeksi paru primer, sedangkan abses paru sekunder (aerobik, nosokomial atau hematogen) lesinya bisa multipel.2 CT scan bisa menunjukkan tempat lesi yang menyebabkan obstruksi endobronkial, dan gambaran abses tampak seperti massa bulat dalam paru dengan kavitas sentral. CT scan juga bisa manunjukkan lokasi abses berada dalam parenkim paru yang membedakannya dari empiema.2 Pada foto PA dan lateral abses paru biasanya ditemukan satu kavitas, tetapi dapat juga multikavitas berdinding tebal, dapat pula ditemukan permukaan udara dan cairan didalamnya.8

2.6

Diagnosis Banding

1. Karsinoma bronkogenik yang mengalami kavitasi, biasanya dinding kavitas tebal dan tidak rata. Diagnsosis pasti dengan pemeriksaan sitologi/patologi. 2. Tuberkulosis paru atau infeksi jamur Gejala klinisnya hampir sama atau lebih menahun daripada abses paru. Pada tuberkulosis ditemukan BTA dan pada infeksi jamur ditemukan jamur. 3. Bula yang terinfeksi, tampak air fluid level. Disekitar bula tidak ada atau hanya sedikit konsolidasi. 4. Kista paru yang terinfeksi. Dindingnya tipis dan tidak ada reaksi disekitarnya. 5. Hematom paru. Ada riwayat trauma. Batuk hanya sedikit.

6. Pneumokoniosis yang mengalami kavitasi. Pekerjaan penderita jelas didaerah berdebu dan didapatkan simple pneumocoinosis pada penderita. 7. Hiatus hernia. Tidak ada gejala paru. Nyeri retrosternal dan heart burn bertambah berat pada waktu membungkuk. Diagnosis pasti dengan pemeriksaan barium foto. 8. Sekuester paru. Letak di basal kiri belakang. Diagnosis pasti dengan bronkografi atau aortografi retrogard.2

2.7

Penatalaksanaan

Terapi antibiotik Penanganan dari abses paru mencakup terapi antibiotik jangka panjang. Karena tersedianya antibiotik spektrum luas yang efektif, abses primer atau nonspesifik dapat ditangani pada fase awal dari pneumonitis suppuratif. Penisilin selama ini menjadi pilihan utama, tetapi penelitian terakhir menunjukkan klindamisin lebih superior. Alternatif lain dapat dengan tetrasiklin, metronidazole. Pemberian secara intravena dapat dilakukan pada orang dewasa hingga tercapai respon klinis untuk selanjutnya diganti dengan oral. Pemilihan antibiotik terbaik ialah sesuai dengan hasil kultur mikrobiologi. Durasi yang tepat dari pemberian antibiotik tergantung pada respon klinis dan laboratorium. pasien harus diobati setidaknya hingga demam, sputum, dan cairan abses teratasi, dan kavitas abses teratasi atau tidak berubah selama 2-3 minggu. Pemberian antibiotik minimum 2-3 minggu direkomendasikan. Setelah terapi antibiotik inisial, respon klinis dan radiologi meningkat gradual. Demam mungkin menghilang dalam waktu 4-7 hari. Tetapi normalisasi dari radiografi mungkin membutuhkan waktu hingga 2 bulan.

Organisme anerobik Pilihan utama Klindamisin (600mg/hari dibagi dalam 4x/hari iv selama 8 hari) Alternatif Penicilin G (dosis tinggi 12-18 juta unit perhari iv) kombinasi dengan metronidazole (2g/hari iv dibagi dalam 4 dosis) Terapi oral Klindamisin (300mg/hari 4x/hari), metronidazole (400mg/hari 3x/hari), amoksisilin (4x500mg) Organisme gram negatif Pilihan utama Sefalosporin, aminoglikosida, kuinolon Alternatif Penisilin dan sefaleksin Terapi oral Trimetoprim/sulfametoksazole

10

Organisme pseudomonas Pilihan utama aminoglikosida, kuinolon, sefalosporin Organisme gram positif Pilihan utama oksasiklin, klindamisin, sefaleksin, nafsilin, dan amoksisilin Alternatif sefuroksim dan klindamisin Terapi oral klindamisin Organisme Nokardia Pilihan utama trimetoprim/sulfometoksazole dan tetrasiklin

Jika pengobatan dilakukan pada fase akut, dilanjutkan selama 4-6 minggu, sekitar 8595% pasien respon terhadap terapi medikal saja. Keberhasilan terapi medikal tergantung dari gejala dan ukuran dari kavitas sebelum terapi dimulai. Terapi antibiotik jarang berhasil apabila terapi dimulai setelah gejala timbul lebih dari 12 minggu atau lesi awal berukuran lebih dari 4 cm. 3 Bronskoskopi juga mempunyai peranan penting dalam penanganan abses paru seperti pada kasus yang dicurigai karsinoma bronkus atau lesi obstruksi, pengeluaran benda asing dan untuk melebarkan striktur. Di samping itu, dengan bronkoskopi dapat dilakukan aspirasi dan pengosongan abses yang tidak mengalami drainase yang adekuat, serta dapat diberikannya larutan antibiotik melewati bronkus langsung ke lokasi abses.2. Drainase bronkoskopi mungkin paling berguna pada abses tanpa air-fluid level, yang menunjukkan kemungkinan hubungan yang persisten dengan bronkus.5 Drainase perkutaneus pada abses yang mengalami komplikasi (contohnya yang terkait demam dan tanda sepsis) berguna pada pasien yang tidak respon terhadap terapi medikal yang adekuat. Indikasi lain dari drainase adalah sepsis yang berlanjut meskipun terapi antimikroba telah adekuat, pembesaran abses yang progresif denga resiko rupture, gagal untuk lepas dari ventilasi mekanik, kontaminasi dari paru yang berlawanan, dan tidak dapat menjalani prosedur operasi.3 Operasi reseksi dari segmen paru yang nekrosis sangat membantu jika respon terhadap antibiotik buruk, untuk abses yang besar, atau penilaian ventilasi-perfusi menunjukkan fungsi paru yang tersisa pada daerah yang nekrotik terbatas. Paru yang infark atau infeksi yang progresif sangat cepat mungkin memaksa dilakukannya reseksi pada jaringan yang terkena. Operasi juga diindikasikan jika terjadi obstruksi jalan napas menghalangi drainase. Presentasi demikian dapat terjadi pada tumor atau benda asing.5 11

2.8

Komplikasi Komplikasi lokal meliputi penyebaran infeksi melalui aspirasi lewat bronkus atau

penyebaran langsung melalui jaringan sekitarnya. Abses paru yang drainasenya kurang baik, bisa mengalami rupture ke segmen lain dengan kecendrungan penyebaran infeksi staphylococcus, sedang yang rupture ke rongga pleura menjadi piotoraks (empiema). Komplikasi sering lainnya berupa abses otak, hemoptisis massif, rupture pleura viseralis sehingga terjadi piopneumotoraks dan fistula bronkopleura.2 Abses paru yang resisten (kronik), yaitu yang resisten dengan pengobatan selama 6 minggu, akan menyebabkan kerusakan paru yang permanen dan mungkin akan menyisakan suatu bronkiektasis, kor pulmonal dan amiloidosis. Abses paru kronik bisa menyebabkan anemia, malnutrisi, kakeksia, gangguan cairan dan elektrolit serta gagal jantung terutama pada manula.2

2.9

Prognosis Prognosis abses paru simple terutama tergantung dari keadaan umum pasien, letak

abses serta luasnya kerusakan paru yang terjadi, dan respons pengobatan yang kita berikan.2 Angka mortalitas pasien abses paru anaerob pada era antibiotik kurang dari 10%, dan kira-kira 10-15% memerlukan operasi. Di zaman era antibiotic sekarang angka penyembuhan mencapai 90-95%. Bila pengobatan diberikan dalam jangka waktu cukup lama angka kekambuhannya rendah.2 Factor-faktor yang membuat prognosis menjadi jelek adalah kavitas yang besar (lebih dari 6cm), penyakit dasar yang berat, status immunocompromised, umur yang sangat tua, empiema, nekrosis paru yang progesif, lesi obstruktif, abses yang disebabkan bakteri aerobic (termasuk Staphylococcus aereus dan basil gram negatif) dan abses paru yang belum mendapat pengobatan dalam jangka waktu yang lama. Angka mortalitas pada pasien-pasien ini bisa mencapai 75% dan bila sembuh maka angka kekambuhannya tinggi.2

12

DAFTAR PUSTAKA

1. Alsagaff, H. Dr, Prof,. 1995. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 135-136. 2. Halim, H. Penyakit-penyakit Pleura. Dalam: Sudoyo, A. W,. dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hal. 1056. 3. Bhimji, Shabir. 2010. Lung Abscess, Surgical Perspective. Emedicine. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/428135-overview#showall. Diakses pada 30 Juni 2011. 4. Rasyid, Ahmad. Abses Paru. 2006. Sudoyo,A.W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FK UI. 1052-1056. 5. Fishman, J.A. Aspiration, Empyema, Lung Abscesses, and Anaerobic Infections. 2008. Dalam: Fishman,A.P., dkk. Fishmans Pulmonary Disease and Disorders 4th Ed. Philadelpia: McGraw-Hill. 1441-1460. 6. Djojodibroto, R. D. Dr, SpP, FCCP,. 2009. Respirologi, Respiratory Medicine. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Hal. 143-144. 7. Bahar, A. 2001. Abses Paru. Dalam: Simadibrata, M,. dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 203-204. 8. Rasad, S. 2005. Radiologi Diagnostik, edisi kedua. Jakarta: Departemen Radiologi, RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal.101.

13

You might also like