You are on page 1of 21

LAPORAN PENDAHULUAN PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK UI

Nama NPM Tanggal

: Ika Puspitasari, S.Kep : 0706270711 : 31 Oktober 2011 HIV/AIDS

A. DEFINISI Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan sekumpulan gejala penyakit yang menyebabkan kekebalan tubuh menurun, oleh karena adanya Human Immunodeficiency Virus (HIV) di dalam darah. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sel darah putih manusia dan menyebabkan menurunnya kekebalan/daya tahan tubuh. Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis retrovirus RNA. HIV, yang dahulu disebut virus limfotropik sel T manusia tipe III (HTLV-III) atau virus limfadenopati (LAV), adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari famili lentivirus. Retrovirus mengubah asam ribonukleat (RNA) menjadi asam deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk ke dalam sel pejamu. HIV-1 dan HIV-2 adalah lentivirus sitopatik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS di seluruh dunia. Dalam bentuknya yang asli, virus ini merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel limfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Di dalam sel limfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut. Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid), enzim reverse transcriptase dan beberapa jenis protein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan

Profesi FIK UI_Keperawatan Medikal Bedah_Teratai 5 Selatan

seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet. Virus HIV hidup dalam darah, saliva, cairan semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrofag dan sel glia jaringan otak. B. MORFOLOGI Virus HIV-1 berbentuk bulat, berdiameter 80-100 nm dan berisi electron yang padat, inti berbentuk kerucut yang dikelilingi oleh suatu selaput lipid yang berasal dari membrane sel inang. Dinding HIV merupakan membrane yang terdiri dari dua lapis lipid (lipid bilayer). Pada membrane bagian luar atau dinding HIV terdapat glikoprotein (gp) yaitu gp120 dan gp41. Gp120 terdapat pada permukaan HIV yang dapat berikatan dengan sel yang memiliki reseptor permukaan CD4, sedangkan gp41 adalah glikoprotein transmembrane yang mengikat gp120. Pada membrane bagian dalam terdapat protein (p) yaitu p17 yang merupakan kerangka atau matriks HIV.

Inti virus berisi: Kapsin protein p24 yang terbesar Nukleokapsid protein p7/p9 Dua salinan genom RNA Ketiga enzim virus (protease, reverse transcriptase dan integrase)

Protein p24 paling cepat mendeteksi antigen virus dan karena itu digunakan untuk diagnosis infeksi HIV pada tes ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay).

Profesi FIK UI_Keperawatan Medikal Bedah_Teratai 5 Selatan

C. PATOFISIOLOGI Mekanisme masuknya HIV ke sel T penolong melalui perlekatan gp120 ke reseptor sel T CD4+ bersama dengan salah satu koreseptor kemokin (CCR5 atau CXCR4), kemudian mengambil alih metabolisme sel untuk mensintesis virus baru. Sebelum masuk ke sel sasaran, terjadi fusi HIV dengan membran sel dengan bantuan gp41. Setelah berada di dalam sel, virus membuat salinan DNA dari RNA-nya sendiri melalui HIV reverse transcriptase, dan DNA salinan (cDNA) tersebut digabungkan ke dalam bahan genetik sel sasaran, suatu proses yang dibantu oleh enzim lain, HIV integrase. Tahap akhir produksi virus memerlukan bantuan HIV protease, yang memotong-motong dan menata virus menjadi segmen-segmen kecil yang mengelilingi RNA. Virus HIV baru kemudian keluar (melalui pembentukan tonjolan tunas) dari sel sasaran yang terinfeksi tersebut. Kemungkinan lainnya yang terjadi adalah limfosit CD4+ yang terinfeksi HIV tetap laten tidak mengalami lisis dan virus masih dalam keadaan provirus yang terus mengalami replikasi. Limfosit CD4+ yang terinfeksi akan melalui sistem limfoid dan akan menginfeksi sel lain seperti, makrofag, monosit, sel NK, serta limfosit B.

Profesi FIK UI_Keperawatan Medikal Bedah_Teratai 5 Selatan

Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang terinfeksi diaktifkan. Aktivasi sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen, mitogen, sitokin (TNF alfa atau interleukin 1) atau produk gen virus seperti sitomegalovirus (CMV), virus Eipstein-Barr, herpes simpeks, dan hepatitis. Sebagai akibatnya, pada saat sel T4 yang terinfeksi diaktifkan, replikasi serta pembentukan tunas HIV akan terjadi dan sel T4 akan dihancurkan. HIV yang baru dibentuk, kemudian dilepas ke dalam plasma darah dan menginfeksi sel-sel CD4+ lainnya. Infeksi monosit dan makrofag berlangsung secara persisten dan tidak mengakibatkan kematian sel, tetapi sel-sel ini menjadi reservoir bagi HIV. Virus tersebut dapat tersembunyi dari sistem imun dan terangkut ke seluruh tubuh sehingga menginfeksi berbagai jaringan tubuh. Sebagian besar jaringan ini mengandung molekul CD4+ atau memiliki kemampuan untuk memproduksinya, sehingga setelah infeksi inisial, sel-sel kelenjar limfe akan terinfeksi oleh HIV pula. Replikasi virus akan berlangsung terus sepanjang perjalanan infeksi HIV, terutama pada jaringan limfoid. Ketika sistem imun terstimulasi, replikasi virus akan terjadi dan virus tersebut menyebar ke dalam plasma darah yang mengakibatkan infeksi berikutnya pada sel-sel CD4+ yang lain. Kecepatan produksi HIV berkaitan dengan status kesehatan orang yang terjangkit infeksi tersebut. Apabila penderita tidak sedang terinfeksi oleh virus lain, maka reproduksi HIV berjalan dengan lambat, sedangkan pada penderita yang sedang terinfeksi oleh virus lain atau sistem imunnya sedang terstimulasi, maka reproduksi HIV akan dipercepat. Dalam respon imun, Limfosit T4 memainkan beberapa peranan yang penting. Apabila fungsi limfosit T4 terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius. Infeksi dan malignasi yang timbul sebagai akibat dari gangguan sistem imun dinamakan infeksi oportunistik dan merupakan penyebab semakin parahnya patologi yang terjadi.

Profesi FIK UI_Keperawatan Medikal Bedah_Teratai 5 Selatan

Secara singkat, mekanisme HIV menyerang ke dalam limfosit T CD4 dan replikasinya dapat dilihat pada bagan berikut: Perlekatan HIV ke limfosit T CD4 Fusi dan masuknya virus ke dalam sel Terbukanya selubung nukleokapsid Bekerjanya reverse transcriptase pada RNA untuk menghasilkan DNA salinan (cDNA)

DNA untai ganda bermigrasi ke dalam inti sel

Integrasi ke dalam DNA pejamu menghasilkan suatu provirus dan memicu transkripsi membentuk mRNA

mRNA virus ditranslasikan menjadi enzim-enzim dan protein struktural virus di sitopalsma RNA genom virus dibebaskan ke dalam sitoplasma RNA virus bergabung dengan protein-protein inti dan membentuk tunas virus melalui membran sel

Virion HIV baru dibebaskan dari limfosit T CD4+ yang terinfeksi

Profesi FIK UI_Keperawatan Medikal Bedah_Teratai 5 Selatan

D. KLASIFIKASI TAHAPAN INFEKSI Stadium perkembangan dari infeksi HIV menjadi AIDS terbagi menjadi empat stadium. 1. Stadium satu Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya perubahan serologis ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah dari negatif menjadi positif, rentan waktu sejak HIV masuk kedalam tubuh sampai tes antibodi terhadap HIV menjadi positif yang disebut window period yang lamanya antara satu sampai tiga bulan, bahkan ada yang dapat berlangsung sampai enam bulan. 2. Stadium dua (asimptomatik/tanpa gejala) Di dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi tubuh tidak menunjukkan gejala-gejala, keadaan ini dapat berlangsung selama 5 sampai 10 tahun. Cairan tubuh pasien HIV/AIDS yang tampak sehat ini sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain. 3. Stadium tiga Terjadi pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata, tidak hanya muncul pada tempat saja dan gejala berlangsung lebih dari satu bulan. 4. Stadium empat (AIDS) Individu mengalami bermacam-macam penyakit (infeksi oportunistik).

Profesi FIK UI_Keperawatan Medikal Bedah_Teratai 5 Selatan

Berkurangnya jumlah sel limfosit T CD4+ merupakan salah satu cara mengidentifikasi perjalanan klinik infeksi HIV. Klasifikasi tahapan infeksi HIV menurut Centers for Disease Control (CDC) USA 1986 sebagai berikut: 1. Kelompok infeksi akut: (CD4: 700- 1000) Gejala infeksi akut biasanya timbul sesudah masa inkubasi selama 1-3 bulan. Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, artralgia, malaise, anoreksia, gejala pada kulit seperti urtikaria dan bercak-bercak merah, gejala syaraf (sakit kepala, radikulopati, gangguan kognitif dan efektif), gangguan GI (nausea, vomit, diare, kandidiasis orofaringis) pada vase ini virus sangat menular karena terjadi viremia. 2. Kelompok infeksi kronis asimtomatik: (CD4 >500/ml) Terjadi setelah infeksi akut, sekitar 5 tahun setelah terinfeksi, keadan pasien tampak baik padahal sebenarnya terjadi replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Penderita ditandai dengan limfadenopati generalisata persisten (LPG). Terjadi penurunan jumlah CD4+ sebagai petunjuk menurunnya kekebalan tubuh penderita, namun jumlahnya masih dalam batas 500/ml. Pada fase ini secara sporadis muncul penyakit autoimun, misalnya idiopathic thrombocytopenia. 3. Kelompok infeksi kronik simptomatik Fase ini dimulai setelah 5 tahun terkena HIV. Dibedakan menjadi: a. Penurunan imunitas sedang : CD4 200-500 Pada fase ini terjadi reaktivasi penyakit ringan seperti, reaktivasi herpes zooster/ herpes simpleks. Adanya penyakit kulit, kandidiasis oral, timbulnya ARC (AIDS Related Complex) yang ditandai dengan paling sedikit 2 gejala berikut : Demam yang berlangsung > 3 bulan Penurunan berat badan > 10% Limfadenopati selama > 3 bulan Diare Kelelahan dan keringat malam dengan ditambah paling sedikit ada 2 kelainan lab, yaitu: - T4 < 200, ratio T4/T8 <1,0 - Leukotrombositopenia dan anemi - Peningkatan serum imunoglobulin - Penurunan blastogenesis sel limfosit

Profesi FIK UI_Keperawatan Medikal Bedah_Teratai 5 Selatan

b. Penurunan imunitas berat: CD4 < 200 Pada fase ini terjadi infeksi opportunistik berat yang mengancam jiwa, pneumocystitis carinii, toxoplasma, Cryptococcus, tuberkulosa, Cytomegalo virus, dan keganasan ( sarkoma kaposi, limfoma, ensefalopati dll), merupakan fase viremia yang kedua, dan tubuh sudah kehilangan kekebalan tubuhnya. E. MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis AIDS menyebar luas dan pada dasarnya mengenai setiap sistem organ. Tanda gejala secara klinis pada penderita AIDS sulit untuk diidentifikasi. Hal ini disebabkan karena simptomasi yang ditujukan pada umumnya adalah bermula dari gejalagejala umum yang lazim didapati pada berbagai penderita penyakit lain, namun secara umum tanda dan gejala yang dapat diamati antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Rasa lelah dan lesu yang berkepanjangan Berat badan menurun secara drastis lebih dari 10% tanpa alasan yang jelas Demam yang sering dan berkeringat diwaktu malam Diare terus menerus dan kurang nafsu makan Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut Pembengkakan leher dan lipatan paha Radang paru-paru Kanker kulit Sakit kepala Sakit tenggorokan dengan faringitis Eritema

dalam 1 bulan.

F. FAKTOR RISIKO Faktor Resiko: 1. Pria dengan homoseksual 2. Pria dengan biseksual 3. Pengguna IV drug 4. Transfuse darah 5. Pasangan heteroseksual dengan pasien infeksi HIV 6. Anak yang lahir dengan ibu yang terinfeksi

Profesi FIK UI_Keperawatan Medikal Bedah_Teratai 5 Selatan

7. Diketahui bahwa virus dibawa dalam limfosit yang terdapat pada sperma memasuki tubuh melalui mukosa yang rusak, melalui ASI, kerusakan permukaan kulit 8. Ditularkan dari orang ke orang melalui pertukaran cairan tubuh, termasuk darah, semen, cairan vagina dan air susu ibu Dalam kebanyakan kasus, HIV telah ditransmisikan melalui satu atau lebih dari empat rute, yaitu kontak seksual, administrasi narkoba suntikan dengan jarum yang terkontaminasi, administrasi darah dan produk darah, dan bagian dari virus dari ibu yang terinfeksi kepada bayi yang belum lahir. G. PEMERIKSAAN LABORATORIUM Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk menegakkan diagnosa infeksi HIV/AIDS berdasarkan tes yang dapat mendeteksi adanya antigen dan antibodi HIV. Ketika HIV memasuki tubuh seseorang, maka tubuh akan membentuk antibodi sebagai respon tubuh terhadap infeksi. Sehingga apabila pada darah seseorang terdapat antibodi HIV, maka seseorang tersebut adalah terinfeksi. Kebanyakan orang membentuk antibodi HIV antara 6-2 minggu dari waktu infeksi. Dan pada kasus yang jarang dapat mencapai waktu 6 bulan. Melakukan tes HIV dalam waktu kurang dari 3 bulan sejak terinfeksi dapat menghasilkan hasil yang meragukan karena pada waktu tersebut kemungkinan orang yang terinfeksi belum membentuk antibodi terhadap HIV. Waktu antara seseorang terinfeksi dan pembentukan antibodi HIV disebut window period. Pada masa ini tidak ditemukan antibodi HIV pada tubuh mereka. Tetapi pada window period dapat menularkan virus HIV pada orang lain walaupun hasil tes HIV negatif karena orang tersebut memiliki HIV dengan level yang tinggi pada darah, cairan-cairan seksual ataupun ASI. Di Amerika Serikat dilakukan kombinasi dua tes antibodi HIV. Apabila antibodi HIV dideteksi pada tes awal (ELISA), lalu dilakukan tes kedua yaitu Western Blot untuk mengukur antigen yang berikatan dengan antibodi.
1. Test ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)

ELISA merupakan komponen integral dari laboratorium klinik. Tingkat sensitifitas yang tinggi dan minimnya pengunaan radioisotop menyebabkan tes ini luas digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi secara kualitatif dan kuantitatif. Jika digunakan dengan baik, tes ini mempunyai sensitifitas > 98%. Dasar pemeriksaan ini adalah mereaksikan antigen HIV dengan serum. Apabila di dalam serum terdapat antibodi HIV, akan terjadi ikatan antigen-antibodi. Serum

Profesi FIK UI_Keperawatan Medikal Bedah_Teratai 5 Selatan

ditambahkan anti IgG yang bertanda peroksidase. Terjadi ikatan antigen-antibodi dengan anti IgG peroksidase. Peroksidase yang terikat akan memecah substrat yang ditambah sehingga menghasilkan perubahan warna yang akan dibaca dengan spektrofotometer. Jika terdeteksi antibodi virus di dalam jumlah besar akan memperlihatkan warna yang lebih tua. Bila tes antibodi berdasrkan ELISA digunakan untuk skrining populasi dengan prevalensi infeksi HIV yang rendah (misalnya donor darah), hasil yang positif dalam sampel serum harus dikonfirmasi dengan tes ulang. Hal ini untuk mencegah hasil pemeriksaan yang positif palsu atau negatif palsu. Oleh karena itu, pemeriksaan ELISA diulang dua kali, dan jika menunjukkan hasil positif, dilakukan pemeriksaan yang lebih spesifik untuk konfirmasi.
2. Tes Western Blot

Tes Western Blot merupakan cara pemeriksaan yang lebih spesifik, dimana antibodi terhadap protein HIV dari berat molekul tertentu dapat terdeteksi. Tes ini menggunakan kombinasi dari elektroforesis dan tes ELISA sehingga dapat menentukan respon terhadap berbagi protein spesifik. Cara pemeriksaan, HIV yang telah dimurnikan kemudian dielektroforesis dengan poliakrilamid. Hasil pemisahan berabagi antigen HIV dipindahkan ke kertas nitoroselulosa yang kemudian dipotong menjadi potongan-potongan kecil dan diinkubasi dengan serum yang diperiksa. Adanya antigen HIV akan menghasilkan pita-pita pada berat molekul yang sesuai. Tes Western Blot paling sering digunakan untuk konfirmasi dari tes skrining serologi reaktif untuk antibodi HIV. Tes ini dianggap positif untuk HIV-1 bila mengandung pada pita-pita pada berta molekul yang sesuai untuk protein inti virus (p24) atau glikoprotein selubung gp41, gp120 atau gp160. kemampuan untuk mengenali reaktifitas spesifik terhadap protein tertentu menyebabkan tes ini mempunyai tingkat spesifitas yang tinggi.
3. PCR (Polymerase Chain Reaction)

Tes ini digunakan untuk mendeteksi materi genetic virus pada darah. Pemeriksaan ini sangat akurat dan dapat mendeteksi infeksi virus HIV secara dini. Tes PCR dapat mendeteksi virus 14 hari setelah infeksi. Dalam penelitian infeksi HIV digunakan 2 bentuk PCR, yaitu PCR DNA dan PCR RNA. PCR RNA telah

Profesi FIK UI_Keperawatan Medikal Bedah_Teratai 5 Selatan

10

digunakan, terutama untuk memantau perubahan kadar genom HIV yang terdapat dalam plasma. Pengujian PCR ini menggunakan metode enzimatik untuk mengaplifikasi RNA HIV sehingga dengan cara hibridisasi dapat dideteksi. Tes berbasis molekuler ini merupakan cara yang sangat sensitif. Pengujian PCR DNA dikerjakan dengan mengadakan campuran reaksi dalam tabung mikro yang kemudian diletakkan pada blok pemanas yang telah diprogram pada temperature yang diinginkan. Pada dasarnya target DNA diekstraksi dari spesimen dan secara spesifik membelah dalam tabung sampai diperoleh jumlah yang cukup yang akan digunakan untuk deteksi hibridisasi. Diagnosis awal infeksi HIV pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV sulit dilakukan karena adanya antibodi maternal membuat tes-tes serologik tidak bersifat informatif. Pengujian PCR dapat memperkuat adanya genom HIV dalam serum atau sel sehingga bermanfaat dalam diagnosis. Uji ini mempunyai sensitifitas 93,2% dan spesifitas 94,9%. H. PENCEGAHAN Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan pencegahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpajannya Human Immunodeficiency Virus (HIV), bisa dilakukan dengan: 1. Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan pasangan yang tidak terinfeksi. 2. Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir yang tidak terlindungi. 3. Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas status Human Immunodeficiency Virus (HIV) nya. 4. Tidak bertukar jarum suntik, jarum tato, dan sebagainya. 5. Mencegah infeksi ke janin / bayi baru lahir.

Profesi FIK UI_Keperawatan Medikal Bedah_Teratai 5 Selatan

11

I. PENATALAKSANAAN Pengobatan HIV/ AIDS yang sudah ada kini adalah dengan pengobatan ARV (antiretroviral) dan obat-obat baru lainnya masih dalam tahap penelitian. Jenis obat-obat antiretroviral :

Attachment inhibitors (mencegah perlekatan virus pada sel host) dan fusion inhibitors (mencegah fusi membran luar virus dengan membran sel hos). Obat ini adalah obat baru yang sedang diteliti pada manusia.

Reverse transcriptase inhibitors atau RTI, mencegah salinan RNA virus ke dalam DNA sel hos. Beberapa obat-obatan yang dipergunakan saat ini adalah golongan Nukes dan Non-Nukes.

Integrase inhibitors, menghalangi kerja enzim integrase yang berfungsi menyambung potongan-potongan DNA untuk membentuk virus. Penelitian obat ini pada manusia dimulai tahun 2001 (S-1360).

Protease inhibitors (PIs), menghalangi enzim protease yang berfungsi memotong DNA menjadi potongan-potongan yang tepat. Golongan obat ini sekarang telah beredar di pasaran (Saquinavir, Ritonavir, Lopinavir, dll.).

Immune stimulators (perangsang imunitas) tubuh melalui kurir (messenger) kimia, termasuk interleukin-2 (IL-2), Reticulose, HRG214. Obat ini masih dalam penelitian tahap lanjut pada manusia. Obat-obatan yang telah ditemukan pada saat ini menghambat pengubahan RNA

menjadi DNA dan menghambat pembentukan protein-protein aktif. Enzim yang membantu pengubahan RNA menjadi DNA disebut reverse transcriptase, sedangkan yang membantu pembentukan protein-protein aktif disebut protease. Untuk dapat membentuk protein yang aktif, informasi genetik yang tersimpan pada RNA virus harus diubah terlebih dahulu menjadi DNA. Reverse transcriptase membantu proses pengubahan RNA menjadi DNA. Jika proses pembentukan DNA dihambat, maka proses pembentukan protein juga menjadi terhambat. Oleh karena itu, pembentukan virusvirus yang baru menjadi berjalan dengan lambat. Jadi, penggunaan obat-obatan penghambat enzim reverse transcriptase tidak secara tuntas menghancurkan virus yang terdapat di dalam tubuh. Penggunaan obat-obatan jenis ini hanya menghambat proses pembentukan virus baru, dan proses penghambatan ini pun tidak dapat menghentikan proses pembentukan virus baru secara total. Obat-obatan lain yang sekarang ini juga banyak berkembang adalah penggunaan penghambat enzim protease. Dari DNA yang berasal dari RNA virus, akan dibentuk protein-protein

Profesi FIK UI_Keperawatan Medikal Bedah_Teratai 5 Selatan

12

yang nantinya akan berperan dalam proses pembentukan partikel virus yang baru. Pada mulanya, protein-protein yang dibentuk berada dalam bentuk yang tidak aktif. Untuk mengaktifkannya, maka protein-protein yang dihasilkan harus dipotong pada tempat-tempat tertentu. Di sinilah peranan protease. Protease akan memotong protein pada tempat tertentu dari suatu protein yang terbentuk dari DNA, dan akhirnya akan menghasilkan protein yang nantinya akan dapat membentuk protein penyusun matriks virus (protein struktural) ataupun protein fungsional yang berperan sebagai enzim. Selain penanganan terhadap HIV, diperlukan juga penanganan terhadap tanda dan gejala yang timbul pada klien. Penanganan yang juga perlu dilakukan antara lain: 1. Penanganan infeksi yang berhubungan dengan HIV serta malignasi, penghentian replikasi virus lewat preparat antivirus dan penguatan serta pemulihan system immune melalui penggunaan preparat immunomodulator. Misalnya : a. Untuk infeksi umum biasanya digunakan trimetopirin-sulfametoksasol (preparat antibakteri) untuk mengatasi berbagai organism yang menyebabkan infeksi b. Untuk diare digunakan terapi oktreotid asetat yaitu analog sintetik somastostatin. c. Penggunaan pentamidin suatu obat anti protozoa untuk melawan PCP. Kombinasi trimetoprin oral dan dapson terbukti juga sangat afektif untuk PCP yang ringan hingga sedang.
d. Refabutin ternyata efektif untuk mencegah MAC (Mycobacterium Avium

Complex) pada penderita infeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ sebesar 200 sel/mL atau kurang. e. Terapi primer yang mutakhir untuk meningitis triptokokus adalam amfoterisin B IV dengan atau tanpa flusitosin .
f. Penggunaan gansiklovir untuk mengobati retinitis CMV

(cytomegalovirus). Tapi karena gansiklofir tidak mematikan virus hanya mengendalikan pertumbuhannya, maka obat ini harus diberikan sepanjang sisa usia pasien. Selain itu ada juga yang menggunakan foskarnet, sebuah preparat yang bisa digunakan untuk mengobat CMV. Ini digunakan dengan cara disuntikkan intravena setiap 8 jam sekali selama 2 hingga 3 minggu. Reaksi merugikan yang biasanya timbul akibat penggunaan foskarnet adalah agagl ginjal, dan gangguan keseimbangan elektrolit.

Profesi FIK UI_Keperawatan Medikal Bedah_Teratai 5 Selatan

13

g. Asiklofir dan foskarnat kini juga digunakan untuk mengobati ensefalitis

yang disebabkan oleh Herpes simplex atau Herpes zooster.


h. Pirimetamin dan sulfadiazine atau klindamisin digunakan untuk

pengobatan maupun terapi supresif seumur hidup bagi infeksi Toxoplasma gondii.
2. Penatalaksanaan Diare Kronik

Terapi dengan oktreotid asetat (sandostatin) yaitu suatu analog sintetik somastostatin ternyata efektif untuk mengatasi diare yang berat dan kronik. Konsentrasi receptor somastostatin yang tinggi ditemukan dalam trakstus gastrointestinal maupun jaringan lainnya. Somastatin akan menghambat banyak fungsi fisiologi yang mencakup motilitas gastrointestinal dan sekresi intestinal air serta elektrolit.
3. Penatalaksanaan Syndrome Pelisutan

Mencakup penanganan penyebab yang mendasari infeksi opurtunis sistemik maupun gastrointestinal. Malnutrisi sendiri akan memperbesar risiko infesi dan dapat pula meningkatkan insiden infeksi opurtunis. Terapi nutrisi harus disatukan dalam keseluruhan rencana penatalaksanaan dan harus disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien. Terapi utrisi bisa dilakukan mulai dari diet oral dan pemberian makanan lewat sonde hingga dukungan nutrisi parental bila diperlukan. Jumlah kalori yang butuhkan harus dihitung bagi semua penderita AIDS yang mengalami penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya. Penghitungan ini dilakukan untuk mengevaluasi status nutrisi pasien dan memulai terapi nutrisi yang tepat. 4. Pengendalian Infeksi Opurtunistik Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien di lingkungan perawatan kritis.

Profesi FIK UI_Keperawatan Medikal Bedah_Teratai 5 Selatan

14

J. PENGKAJIAN 1. Pengkajian Umum a. Biodata: nama, usia, jenis kelamin b. Keluhan Utama c. Riwayat kesehatan sekarang d. Riwayat kesehatan dahulu e. Riwayat penyakit keluarga (perlu pengkajian lebih lanjut) f. Pola aktivitas 2. Pengkajian Fisik Pengkajian klien meliputi evaluasi faktor-faktor fisik dan psikologis secara luas. Banyak parameter dipertimbangkan dalam pengkajian menyeluruh terhadap klien, dan berbagai masalah klien atau diagnosis keperawatan dapat diantisipasi atau diidentifikasi dengan dibandingkan pada data dasar. a. Status Nutrisi dan Penggunaan Bahan Kimia Mengukur tinggi dan berat badan Mengukur lipat kulit trisep Mengukur lingkar lengan atas Mengkaji kadar protein darah dan keseimbangan nitrogen Kadar elektrolit darah Asupan makanan Keadaan khusus : Obesitas : jaringan lemak rentan terhadap infeksi, peningkatan masalah teknik dan mekanik (resiko dehisens), dan nafas tidak optimal. Penggunaan obat dan alkohol : rentan terhadap cedera, malnutrisi, dan tremens delirium. Klien pernah mengonsumsi narkotika. Gejala : Tidak napsu makan, mual/muntah, perubahan kemampuan mengenali makanan, disfagia, nyeri retrosternal saat menelan dan penurunan BB yang progresif Tanda : bising usus dapat hiperaktif, kurus, menurunnya lemak subkutan/masa otot, turgor kulit buruk, lesi pada rongga mulut, adanya selaput putih dan perubahan warna pada mulut. Kesehatan gigi/gusi yang buruk, adanya gigi yang tanggal, dan edema (umum, dependen)

Profesi FIK UI_Keperawatan Medikal Bedah_Teratai 5 Selatan

15

b. Status Pernapasan Kaji adanya dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot bantu pernapasan, batuk produktif atau non produktif, distres pernapasan, perubahan bunyi napas/bunyi napas adventisius, sputum kuning (pada pneumonia yang menghasilkan sputum) Latihan nafas dan penggunaan spirometer intensif Pemeriksaan fungsi paru dan analisa gas darah (AGD) Riwayat sesak nafas atau penyakit saluran pernafasan yang lain. c. Status Kardiovaskuler Kaji adanya takikardi, sianosis, hipotensi, hipoksia, edem perifer, dizziness. Penyakit kardiovaskuler Riwayat immobilisasi berkepanjangan Kelebihan cairan/darah Riwayat perdarahan. d. Status Neurosensori Kaji adanya angguan refleks pupil, nystagmus, vertigo, ketidakseimbangan , kaku kuduk, kejang, paraplegia. Gejala : pusing, sakit kepala, perubahan status mental, berkurangnya kemampuan diri untuk mengatasi masalah, tidak mampu mengingat dan konsentrasi menurun. Kerusakan sensasi atau indera posisi dan getaran, kelemahan otot, tremor, perubahan ketajaman penglihatan, kebas, kesemutan pada ekstrimitas (paling awal pada kaki). Tanda : perubahan status mental kacau mental sampai dimensia, lupa konsentrasi buruk, kesadaran menurun, apatis, respon melambat, ide paranoid, ansietas, harapan yang tidak realistis, timbul reflak tidak normal, menurunnya kekuatan otot, gaya berjalan ataksia, tremor, hemoragi retina dan eksudat, hemiparesis, dan kejang. e. Muskuloskletal Kaji adanya focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL. f. Fungsi Lambung, Hepatik, Ginjal, dan Intestin Kelainan hepar Riwayat penyakit hepar

Profesi FIK UI_Keperawatan Medikal Bedah_Teratai 5 Selatan

16

Status asam basa dan metabolisme Riwayat nefritis akut, insufisiensi renal akut. GI : intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare, inkontinensia, perut kram, hepatosplenomegali, kuning. GU : lesi atau eksudat pada genital, g. Fungsi Endokrin Riwayat penyakit diabetes Kadar gula darah Riwayat penggunaan kortikosteroid atau steroid (resiko insufisiensi adrenal) h. Fungsi Imunologi Kaji adanya alergi Riwayat transfusi darah Riwayat asthma bronchial Terapi kortikosteroid Riwayat transplantasi ginjal Terapi radiasi Kemoterapi Penyakit gangguan imunitas (aids, leukemia) Suhu tubuh. i. Sistem Integumen Riwayat cara pemakaian dan jenis narkotik Keluhan kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif, terbakar, gatal, nyeri, tidak nyaman, paresthesia Warna, kelembaban, tekstur, suhu, turgor kulit Alergi obat dan plesterriwayat puasa lama, malnutrisi, dehidrasi, fraktur mandibula, radiasi pada kepala, terapi obat, trauma mekanik. Perawatan mulut oleh pasien. j. Eliminasi Gejala : diare yang intermiten, terus menerus, disertai / tanpa kram abdominal. Nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi.

Profesi FIK UI_Keperawatan Medikal Bedah_Teratai 5 Selatan

17

Tanda : feses encer disertai/tanpa mukus atau darah, diare pekat yang sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rektal, perianal, dan perubahan dalam jumlah, warna, dan karakteristik urin.

Profesi FIK UI_Keperawatan Medikal Bedah_Teratai 5 Selatan

18

k. Terapi Medikasi yang Dikonsumsi Obat Anti Retroviral (ARV) Obat-obatan yang dijual bebas dan frekuensinya Kortikosteroid adrenal : kolaps kardiovaskuler Diuretik : depresi pernafasan berlebihan selama anesthesia Fenotiasin : meningkatkan kerja hipotensif dari anesthesia Antidepresan : inhibitor monoamine oksidase (mao) meningkatkan efek hipotensif anesthesia Tranquilizer : ansietas, ketegangan dan bahkan kejang Insulin : interaksi insulin dan anestetik harus dipertimbangkan Antibiotik : paralysis system pernafasan. 3. Wawancara Gejala : faktor stres berhubungan dengan kehilangan, mis. dukungan keluarga/orang lain, penghasilan, gaya hidup, distres spiritual, mengkhawatirkan penampilan ; alopesia, lesi cacat, menurunnya berat bedan (BB). Mengingkari diagnosa, merasa tidak berdaya, putus asa, tidak berguna, rasa bersalah, kehilangan kontrol diri, dan depresi. Tanda : Mengingkari, cemas, depesi, takut, menarik diri, perilaku marah, postur tubuh mengelak, menangis, dan kontak mata yang kurang. Gagal menepati janji atau banyak janji untuk periksa dengan gejala yang sama. b. Psikososial Kehilangan pekerjaan/dikeluarkan dari sekolah, perubahan pola hidup, ungkapkan perasaan takut, cemas, meringis. c. Status mental : marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apati, withdrawl, tidak tertarik pada lingkungan sekitar, gangguan prooses piker, hilang memori, gangguan atensi dan konsentrasi, halusinasi dan delusi.

a. Integritas Ego

Profesi FIK UI_Keperawatan Medikal Bedah_Teratai 5 Selatan

19

K. DIAGNOSA KEPERAWATAN Rencana keperawatan didasarkan kepada diagnosa yang tegakkan pada masingmasing klien. Berikut adalah beberapa diagnosa yang mungkin terjadi pada klien HIVAIDS (Doenges, 2000): 1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan infeksi HIV, ekskoriasi dan diare. 2. Diare yang berhubungan dengan kuman patogen usus dan atau infeksi HIV 3. Risiko terhadap infeksi yang berhubungan dengan imunodefisiensi 4. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan keadaan mudah letih, kelemahan, malnutrisi, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, dan hipoksia yang menyertai infeksi paru 5. Perubahan proses pikir yang berhubungan dengan penyempitan rentang perhatian, gangguan daya ingat, kebingungan dan disorientasi yang menyertai ensefalopati HIV 6. Bersihan saluran napas tidak efektif yang berhubungan dengan peumonia, peningkatan sekresi bronkus dan penurunan kemampuan untuk batuk yang menyertai kelemahan dan keadaan mudah letih 7. Nyeri yang berhubungan dengan gangguan integritas kulit perianal akibat diare 8. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan asupan oral 9. Isolasi sosial yang berhubungan dengan stigma penyakit, penarikan diri dari sistem pendukung, prosedur isolasi dan ketakutan bila dirinya menulari orang lain 10. Berduka diantisipasi yang berhubungan dengan perubahan gaya hidup serta peranannya, dan dengan prognosis yang tidak menyenangkan 11. Ineffective denial 12. Kecemasan 13. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara mencegah penularan HIV dan perawatan mandiri

Profesi FIK UI_Keperawatan Medikal Bedah_Teratai 5 Selatan

20

Referensi: Black, Joyce M., Jane Hokanson Hawks. (2009). MedicalSurgical Nursing: Clinical Management for Positive Outcome Eight Edition. Missouri: Saunders Elsevier. Ignatavicius, D. D., Workman, M. L., & Mishler, M. A. (1995). Medical-surgical nursing: A nursing process approach. United States: WB Saunders. Marilyn, E. Doenges. (2000). Rencana asuhan keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. (edisi ketiga). Jakarta : EGC. Price, Sylvia A & Wilson, Lorraine M. (2003). Pathophysiology. 6th ed. Philadelphia: Elsevier Science. Smeltzer, Suzanne C., et all. (2008)Brunner Suddarths Textbook of Medical-Surgical Nursing. 11th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Profesi FIK UI_Keperawatan Medikal Bedah_Teratai 5 Selatan

21

You might also like