You are on page 1of 18

askep CKR (cedera kepala ringan) Erfansyah H.R | Selasa, 19 Januari 2010 | 0 komentar BAB IITINJAUAN TEORITIS A.

Konsep Dasar Penyakit 1. Definisi Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Cedera kepala adalah setiap trauma pada kepala yang menyebabkan cedera pada kulit kepala, tulang tengkorak maupun otak (www.medicastore.com ) Klasifikasi cedera kepala Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan morfologi cedera. 1. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi duramater Trauma tumpul : kecepatan tinggi ( tabrakan otomobil ) dan kecepatan rendah ( terjatuh, dipukul ) Trauma tembus ( luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya ) 2. Keparahan cedera Ringan : GCS 14-15 Sedang : GCS 9-13 Berat : GCS 3-8 3. Morfologi Fraktur tengkorak : kranium: linear / stelatum; depresi/non depresi; terbuka / tertutup Basis : dengan / tanpa kebocoran cairan serebrospinal dengan / tanpa kelumpuhan nervus VII Lesi intrakranial : Fokal : epidural; subdural; intraserebral Difus: konkusi ringan; konkusi klasik, cedera aksonal difus Trauma kepala adalah tipe trauma yang mengenai kulit kepala, skull, wajah, struktur intra cranial termasuk meningien, otak dan batang otak. 2. Anatomi Fisiologi Sistem syaraf pusat terdiri dari sekumpulan neuron dan bergabung menjadi otak dan medula spinalis, daerah-daerah otak dan tulang belakang ditandai badan-badan sel yang dikonsentrasikan kepada nukleus dan kelompok akson berjalan pada jalur yang saling berhubungan deengan bagian masing-masing. a. Tengkorak Yang mengelilingi otak itu ialah tengkorak, sturktur tulang yang menutup dan melindunginya. Tengkorak dibagi dalam 2 bagian utama yaitu cranium dan tulang muka. a. Otak Otak beratnya kira-kira 3 pound (satu setengah kilo) dan dibagi secara kasar : 1) Cerebrum Hemisperium cerebri kiri dan kanan terdiri dari 4 lobus utama yaitu : frontal, parietal, temporal, dan occipital. Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak, dibungkus dari sebelah luar dengan cerebra korteks yang tebalnya kira-kira seperempat inci dan terdiri dari 14 milyar neuron. Menerima dan menganalisa impluls, mengendalikan gerakan volunter dan menyimpan semua pengetahuan dari impuls yang diterima. Tiap lobus otak mengikuti nama tulang tengkorak yang diisinya, mengerjakan fungsi spesifik, seperti sensasi, persepsei, penglihatan, rasa khusus dan pembicaraan. Broca terletak pada lobus fraontalis yang berhubungan dengan korteks motorik dan mengendalikan bicara, ekspresive verbal. Area wernicke berada pada bagian posterior dari lobus temporal dan membentang sampai bagian yang menyambung dengan lobus parietalis. Wernicke bertanggungjawab untuk menerima dan mengartikan bahasa. Daerah pada lobus frontalis memiliki kemampuan menuliskan kata-kata, dan daerah pada lobus occipital mengendalikan kemampuan mengartikan tulisan. 2) Batang Otak

Batang otak membuat semua serabut syaraf lewat diantara hemisfer otak dan tulang belakang ; dari sini semua syaraf kranial berasal berasal kecuali syaraf I. Berbagai struktur berada dalan batang otak. Batang otak terdiri dari diencephalons, otak tengah, pons dan medulla oblongata. 3) Cerebellum Cerebellum (otak kecil) terletak dibawah cerebrum (otak besar) posterior besarnya seperlima cerebrum. Mengendalikan otot kerangka yang mengatur koordinasi gerakan, keseimbangan dan menegakkan tubuh. Bekerja bersama-sama dengan cerebrum untuk koordinasi aktifitas otot dan menghasilkan gerakan-gerakan trampil. b. Sirkulasi Otak dan Medula Spinalis Pembuluh-pembuluh yang kecil membawa nutrien kepada neuron-neuron. Arteri-arteri besar mengirimkan darah kedaerah-daerah : 1) Arteri carotis interna 80 % dari suplai darah. 2) Arteri vertebralis 20 % dari suplai darah. 3) Arteri cerebral posterior c. Meningens Selaput jaringan syaraf pada otak dan medula spinalis disebut meningens. Selaput ini menunjang, melindungi, memberi makan jaringan vital ini. Pembungkus yang paling luar disebut durameter. 4 buah tonjolan yang masuk sangat dalam, kedalam otak. Arachnoid merupakan membran yang halus yang terletak dibawah durameter dan menutup otak sepenuhnya. Meningens yang terdalam disebut piameter, penuh dengan pembuluh darah dengan pleksus-pleksus pembuluh darah yang unik. Ada 3 ruang penting yang berhubungan dengan meningens : 1) Extra dural (externa dari dura). 2) Subdura (diantara dura dan arachnoid). 3) Subarachnoid (diantara arachnoid dan piameter) 3. Etiologi a. Kecelakaan lalu lintas b. Benturan pada kepala c. Jatuh dari ketinggian dengan dua kaki d. Menyelam ditempat yang dangkal e. Olah raga keras Manifestasi Klinis a. Berdasarkan Derajat / Tingkatan 1) Tingkat I Bila dijumpai riwayat kehilangan kesadaran / pingsan yang sesaat setelah mengalami trauma,dan kemudian sadar. Pada waktu diperiksa dalam keadaan sadar penuh, orientasi baik dan tidak ada defisit neurologis. 2) Tingkat II Kesadaran menurun namun masih dapat mengikuti perintah-perintah yang sederhana, dan dijumpai adanya defisit neurologis fokal. 3) Tingkat III Kesadaran yang sangat menurun dan tidak bisa mengikuti perintah (walaupun sederhana ) sama sekali. Penderita masih bisa bersuara, namun susunan kata-kata dan orientasinya kacau, gaduh gelisah. Respon motorik bervariasi dari keadaan yang masih mampu melokalisir rasa sikit sampai tidak ada respon sama sekali-deserebrasi. 4) Tingkat IV Tidak ada fungsi neurologis sama sekali.

b. Berdasarkan Lokasi 1) Hematoma epidural (extra dural) Ditandai oleh adanya penurunan kesadaran yang mulai bukan pada detik trauma tetapi lebih lambat (kecuali tertutup koma kontusio), defisit neurologik lambat, anisokoria (penekanan pada batang otak dari jarak jauh oleh masa hemisferik sesisi), bradikardi, tensi naik, maka kecurigaan akan hematoma epidural makin jelas, dan deteksi dini harus segera dimulai dengan CT, arteriografi cito, ekhoencegalografi (yang terakhir tidak dilakukan lagi). Begitu ditegakkan HED terapi (bedah, burrhole, trepanasi). 2) Hematoma Subdural Lebih lambat dari HED, dan bedanya adalah timbulnya edema papil, yang pada HED tak sempat timbul walau TIK meninggi. Nyeri kepala juga menonjol, sedang interval lusid lebih sulit ditemukan. Perdarahan yang disebabkan pecahnya berpuluh-puluh vena jembatan yang berjalam radial ditepi dura dan pia, atau pecahnya sinus sagitalis superior yang lebih hebat dan menyebabkan hematoma subdural akut. Operasi kraniotomi perlu dilakukan, mungkin disertai duraplasty yang lebih sulit. Kadang-kadang HSD tipis tidak memerlukan operasi. 3) Hematoma Intra Cerebral Pasti terjadi bersama kontusio, sehingga secara umum lebih buruk, baik dioperasi maupun tidak. Dorongan yang mengancam terjadinya herniasi oleh bekuan darah ditengah otak disertai edema lokal yang hebat biasanya berprognosis buruk daripada hematom intra serebral yang dioperasi. 4) Hematoma Cerebri Traumatik Apabila dalam pengamatan lanjut terdapat tanda-tanda penurunan keadaan, misalnya kesadaran yang turun lambat atau tidak membaik dalam waktu antara 3-7 hari, disertai tanda-tanda yang mungkin ada, yaitu tanda-tanda tekanan intrakranial meninggi berupa edema papil, nyeri kepala makin berat dan muntah. Otak dapat menjadi sembab tanpa disertai perdarahan pada trauma kapitis terutama pada anak-anak. Pada keadaan ini pingsan berlangsung lebih dari 10 menit dan pada pemeriksaan neurologik juga tidak dijunpai tanda-tanda kerusakan jaringan otak. Pasien mengeluh sakit kepala, vertigo, mungkin muntah. Pada pemeriksaan cairan otak mungkin hanya dijumpai tekanan yang agak meningkat. Pemeriksaan tambahan yang diperlukan sama dengan pada komosio serebri, bila mungkin ditambah CT. kepala. 5. Penatalaksanaan a. Penanganan kasus-kasus cedera kepada diunit gawat darurat / emergensi didasarkan pada patokan pemantauan dan penanganan terhadap 5 B yakni: 1) Breathing Perlu diperhatikan mengenai frekwensi dan jenis pernafasan penderita. Adanya obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan dengan tindakan-tindakan suction, intubasi, tracheostomi. Oksigenisasi yang cukup atau hiperventilasi bila perlu, merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edema cerebri yang terjadi. 2) Blood Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah (Hb, leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi menandakan adanya syok hipovolemik akibat perdarahan (yang kebanyakan bukan dari kepala / otak) dan memerlukan tindakan tranfusi. 3) Brain Langkah awal penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata, motorik, dan ferbal (GCS). Perubahan respon ini merupakan implikasi perbaikan / perburukan cedera kepala tersebut, dan bila pada pemantauan menunjukkan adanya perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebih mendalam pupil (ukuran, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata (refleks, okulosefalik, okulo vestibuler, deviasi konjugat, nistagmus). 4) Bladder Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter) mengingat bahwa kandungan kemih yang penuh merupakan suatu rangsangan untuk mengedan sehingga tekanan intra cranial cenderung lebih meningkat. 5) Bowel Usus yang penuh juga cenderung untuk meninggikan tekanan intra cranial. Pada prakteknya dengan memperhatikan hal-hal di atas, cedera kepala ditangani sesuai dengan tingkat-tingkat gradisi klasifikasi klinisnya. b. Pemeriksaan Klinis Cedera Kepala

Pemeriksaan klinis tetap merupakan pemeriksaan yang paling komprehensif dalam evaluasi diagnostik penderitapenderita cedera kepala, dimana dengan pemeriksaan-pemeriksaan serial yang cepat, tepat, dan noninvasive diharapkan dapat menunjukkan progresifitas atau kemunduran dari proses penyakit atau gangguan tersebut. Sehubungan dengan tingginya insidensi kelainan / cedera sistemik penyerta pada kasus-kasus cedera kepala berat, maka dalam evaluasi klinis perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1) Cedera daerah kepala dan leher : laserasi, perdarahan, otore, rinore, ekimosis periorbital, atau ekimosis retrourikuler. 2) Cedera daerah thoraks : fraktur iga, pneumothoraks, hematothoraks, tamponade jantung, (bunyi jantung melemah, distensi vena jugularis dan hipotensi), aspirasi atau ARDS. 3) Cedera daerah abdomen : khususnya laserasi hepar, limpa atau gatal-gatal. Adanya perdarahan biasanya ditandai dengan gejala-gajela akut dari abdomen yang tegang dan distensif. Disamping itu sering kali gejala ini belum menunjukkan manifestasi pada saat dini atau tidak begitu jelas pada penderita yang koma. 4) Cedera daerah pelvis : cedera pada penderita yang nonkomatus. Biasanya klinisnya tidak begitu jelas dan membutuhkan konfirmasi radiologis. Cedera pelvis ini sering kali berkaitan dengan kejadian kehilangan darah yang akut. 5) Cedera daerah spinal. Trauma kepala dan spinal khususnya daerah servikal dapat terjadi secara bersamaan dan cedera kombinasi ini harus selalu difikirkan. 6) Cedera ekstremitas yang dapat melibatkan jaringan tulang atau jaringan lunak (otot, saraf, pembuluh darah). Terapi definitife cedera-cedera yang melibatkan ekstrimitas kebanyakan dapat ditunda sampai setelah masalah-masalah yang mengancam jiwa dapat teratasi. c. Pemeriksaan Neurologis Cedera Kepala 1) Tingkat Kesadaran Dinilai dengan GCS. Skala ini merupakan gradasi sederhana dari aurosal dan kapasitas fungsional korteks cerebral berdasarkan respon verbal, motorik dan mata penderita. Penilaian Glasgow Coma Scale (GCS) a) Respon (membuka) mata (1) Spontan 4 (2) Berdasarkan perintah verbal 3 (3) Berdasarkan rangsang nyeri 2 (4) Tidak memberi respon 1 b) Respon motorik (1) Menurut perintah 6 (2) Melokasir rangsang nyeri 5 (3) Menarik / berlawanan rangsang nyeri 4 (4) Fleksi abnormal 3 (5) Ekstensi 2 (6) Tidak memberikan respon 1 c) Respon verbal (1) Orientasi baik 5 (2) Konversasi kacau 4 (3) Kata-kata kacau 3 (4) Bersuara inkomprehensif 2 (5) Tidak memberikan respon 1 d) Skala nyeri

Sangat nyeri dan tidak terkontrol _______ 10 Sangat nyeri tetapi masih dapat _______ 9 dikontrol oleh pasien dengan _______ 8 aktifitas yang bisa dilakukan _______ 7 _______ 6Nyeri sedang _______ 5_______ 4 _______ 3Nyeri ringan _______ 2_______ 1 Tidak nyeri _______ 0 2) Kekuatan Fungsi Motorik Biasanya hanya merupakan pelengkap saja mengingat kadang sulit mendapatkan penilaian akurat dari penderita-penderita dengan kesadaran yang menurun. Masing-masing. Ekstremitas di gradisi kekuatannya. a) Skala fungsi motorik : (1) Normal 5 (2) Menurun moderat 4 (3) Menurun berat (dapat melawan grafitasi) 3 (4) (tidak dapat melawan grafitasi) 2 (5) tidak ada gerakan 1 a) Skala tingkat kemampuan mobilisasi : (1) Pasien tidak tergantung pada orang lain 0 (2) Pasien butuh sedikit bantuan. 1 (3) Pasien butuh bantuan / pengawasan/ bimbingan 2 sederhana. (4) Pasien butuh bantuan / peralatan yang banyak. 3 (5) Pasien sangat tergantung pada pemberi pelayanan. 4 3) Ukuran Pupil dan Responnya Terhadap Cahaya Penilaian ukuran pupil dan responnya terhadap cahaya adalah pemeriksaan awal terpenting dalam menangani cedera kepala. a) Dilatasi dan perlambatan respon cahaya pupil : gejala dini dari herniasi lobus temporal. b) Miosis pupil bilateral : tampil pada saat dini herniasi sefalik central akibat kedua jaras simpatik pupilomotor yang berasal dari hipotalamus terganggu sehingga tonus parasimpatisnya menjadi lebih dominan dan menimbulkan kontriksi pupil. c) Miosis : timbul pada kasus dengan lesi pons. d) Pupil horner unilateral : tampak pada kasus dengan lesi di batang otak. e) Pupil dilatasi bilateral dan fixed : akibat dari perfusi cerebral yang tidak adekuat seperti : hipotensi akibat kehilangan darah, atau gangguan aliran darah cerebral karena peningkatan tekanan intracranial. 4) Gerakan Bola Mata Merupakan indeks penting untuk penilaian aktifitas fungsional batang otak. Penderita yang sadar penuh dan mempunyai gerakan bola mata yang baik menandakan intaknya sistem motorik okuler di batang otak. Pada keadaan kesadaran yang menurun, gerakan bola mata volunter menghilang, sehingga untuk menilai gerakannya ditentukan dari refleks okulosefalik dan okulovestibuler. d. Penanganan cedera kepala sesuai dengan tingkat gradasi klasifikasi klinis, meliputi : 1) Cedera Kepala Tingkat I

Cedera kepala tingkat I ini merupakan kelompok kasus yang jumlahnya tebanyak dibanding dengan cedera kepala tingkat lainnya dan dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai cedera kepala ringan. Penanganannya mencakup anamnesa yang berkaitan dengan jenis dan waktu kecelakaan, riwayat penurunan kesadaran atau pingsan, riwayat adanya amnesia (retrograde) serta keluhan-keluhan lain yang berkaitan dengan peninggian tekanan intracranial seperti : nyeri kepala, pusing, dan muntah. Amnesia retrograde cenderung merupakan tanda ada-tidaknya pada kepala, sedangkan amnesia antegrade (pasca trauma) lebih berkonotasi akan berat ringannya konkusi cedera kepala yang terjadi. Kepentingan pemeriksaan radiologis berupa foto polos kepala dimaksudkan untuk mengetahui adanya : fraktur tengkorak (linier/depresi), posisi kelenjar spinal, pneumocepalus. Korpus alineum dan lainnya ; sedangkan foto servikal atau bagian tubuh lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi. Pemeriksaan scan tomografi otak (CT Scan) memang secara ideal perlu dilakukan bagi semua kasus cedera kepala terutama bagi yang memenuhi 7 kriteria indikasi rawat inap. a) Anamnesa antegrade / pasca traumatic yang memanjang (> 1 jam). b) Adanya riwayat penurunan kesadaran c) Tingkat kesadaran yang menurun adanya keluhan nyeri kepala mulai dari derajat yang moderat sampai berat. d) Intoksikasi alkohol atau obat-obatan e) Adanya fraktur tulang tengkorak f) Adanya kebocoran likuor serebro spinalis (otorre inore) g) Cedera bagian tubuh lain yang berat h) Indikasi sosial (tidak ada keluarga/pendamping dirumah) i) Gambaran CT Scan otak yang abnormal Penderita tingkat I yang tidak mempunyai atau memenuhi indikasi rawat diatas, setelah beberapa saat menjalani pemantauan dirumah sakit diperkenakan untuk pulang dan berobat jalan dengan catatan bila ada gejalagejala seperti yang tercantum di bawah ini harus segera kembali ke rumah sakit : a) Mengantuk dan sukar dibangunkan b) Mual dan muntah c) Kejang d) Salah satu pupil melebar atau adanya tampilan gerakan mata yang tidak biasa e) Kelumpuhan anggota gerak salah satu sisi f) Nyeri kepala yang hebat atau bertambah hebat g) Kacau / bingung (confuse), tidak mampu berkonsentrasi terjadi perubahan personalitas. h) Gaduh, gelisah i) Perubahan denyut nadi atau pola pernafasan j) Pusing hebat 2) Cedera Kepala Tingkat II Penderita-penderita yang termasuk tingkat ini dikategorikan sebagai kasus cedera kepala yang menengah / moderat, mengingat walau mereka masih dapat mengikuti segala perintah sederhana, namun dapat secara tiba-tiba berubah cepat ke tingkat III. Dengan kata lain, penanganannya di tekankan sesuai dengan penanganan cedera kepala tingkat III (tetapi aspek kedaruratannya tidak begitu akut). Penanganan pertama selain menacakup anamnesa dan pemeriksaan fisik serta foto polos tengkorak, juga mencakup pemeriksaan CT Scan otak. Pada tingkat ini semua kasus mempunyai indikasi dirumah sakit perlu dilakukan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam sekali, sedengkan follw up Scan tomografi otak pada hari ke tiga atau bila ada perburukan neurologis. 3) Cedera Kepala Tingkat III Penderita kelompok ini tidak mengikuti segala perintah sederhana sekalipun setelah stabilisasi kardiopulmoner. Walaupun definisi ini masih belum mencakup keseluruhan spektrum cedera otak, kelompok kasusnya adalah dikatagorikan sebagai yang mempunyai resiko terbesar berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas, dimana tindakan menunggu disini dapat berakibat sangat fatal. Penanganan kasus-kasus yang termasuk kelompok ini mencakup tujuh tahap yaitu :

a) Stabilisasi kardio pulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC. Semua penderita cedera kepala tingkat III memerlukan intubasi. b) Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau gangguan-gangguan dibagian tubuh lainnya. c) Pemeriksaan neurologis mencakup respon mata, motorik, verbal, pemeriksaan pupil, reflek okulo-sefalik dan refleks okulovestibuler. Penilaian neurologis kurang bernilai bila tekanan darah penderita masih rendah (syok). d) Penanganan cedera-cedera dibagian lainnya. e) Pemberian pengobatan seperti : anti edema serebri, anti kejang dan natrium bikarbonat. f) Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : CT Scan otak, angiografi cerebral dan lainnya. g) Pemilihan tindakan operasi versus konservatif. Kriteria sederhana sebagai patokan indikasi tindakan operasi adalah : a) Lesi massa intra atau ekstra-aksial yang menyebabkan pergeseran garis tengah (pembuluh darah cerebral anterior) yang melebihi 5 mm. b) Lesi massa ekstra-aksial yang tebalnya melebihi 5 mm dari tabula interna tengkorak dan berkaitan dengan pergeseran arteri cerebri anterior atau media. c) Lesi massa ekstra-aksial bilateral dengan tebal melebihi 5 mm dari tabula eksterna. d) Lesi massa intra-aksial lobus temporalis yang menyebabkan elevasi hebat dari arteri cerebri media atau menyebabkan pergeseran garis tengah. e. Terapi Operasi Pada Cedera Kepala Kriteria paling sederhana yang dipakai sebagai indikasi tindakan operatif adalah adanya lesi massa inra cranial dengan pergeseran garis tengah > 5 mm (kecuali penderita sudah mati otak). Prinsip konsiderasi oleh pemakaian obat yang tidak meningkatkan tekanan intracranial. Kombinasi yang kerap ditetapkan adalah N2O (50-70 % dengan O2), relakson otot I.V dan tiopental. f. Terapi Medikamentosa pada Cedera Kepala 1) Yang lazim adalah deksamethasone (dengan dosis awal 10 mg dan kemudian dilanjutkan 4 mg setiap 6 jam). 2) Mannitol 20 % (dosis 1 3 / kg BB / hari yang bertujuan untuk mengatasi edema cerebri. 3) Fenition juga masih diperdebatkan sehubungan dengan variasi insiden epilepsi pasca trauma. 4) Akhir-akhir ini ada beberapa obat yang penggunaannya mulai populer seperti THAM dan barbiturat, THAM (This-hidroksimetil-aminometana) merupakan suatu buffer yang dapat masuk ke dalam susunan saraf pusat dan secara teoritis lebih superior daripada natrium bikarbonat; dalam hal ini diharapkan dapat mengurangi tekanan intracranial. Disamping untuk mengatasi tekanan intra cranial yang meninggi, berbiturat mempunyai efek proteksi anoksia dan iskhemia. 5) Oksigen hiperbarik, merupakan beberapa obat yang tampaknya merupakan harapan yang menggembirakan untuk terapi cedera kepala. Namun penerapanannya secara luas masih dalam penelitian. 6. Komplikasi dan Pencegahan a. Higroma Subdural Merupakan pengumpulan cairan likuor yang terbungkus oleh kapsul dibawah durameter. b. Pneumatokel Traumatika Pneumatokel ekstracanial adalah pengumpulan udara dibawah periosteum akibat adanya fraktur tulang tengkorak. c. Meningokel Traumatika Spuriosa Keadaan ini ditimbulkan oleh fraktur tengkorak dan robeknya durameter sehingga likuor bebas mengalir keluar serta berkumpul dijaringan lemak ekstracranial. d. Prolap Serebri Prolaps serebri terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak yang terbuka sehingga korteks serebri keluar dari tengkorak. e. Ostitis Osteomielitis

Ostitis osteomielitis merupakan infeksi tulang sebagai kejadian komplikasi sekunder dari hidung atau sinus paranasal (frontal). f. Meningitis Encefalitis Umumnya terjadi pada trauma kapitis dengan luka yang terbuka disamping komplikasi sekunder dari focus : hidung, mastoid, atau sinus paranasal. g. Abses Subdural Abses Otak Abses subdural abses otak sering merupakan komplikasi lanjut dari cedera kapala yang terbuka. h. Epilepsi Pasca Traumatika Mekanisme secara pasti masih belum jelas. Diduga kajadian ini disebabkan oleh perdarahan korteks serebri yang kemudian meninggalkan perlekatan, jaringan parut, atrofi, nekrosis, dan sisa lainnya. i. Sindrom Pasca Concusi Sindrom pasca concusi merupakan kumpulan gejala yang timbul setelah 2 3 minggu pasca trauma kapitis. Mengingat tidak adanya kelainan organik yang tampak pada kasus-kasusnya maka sindrom ini sering dikenal dengan istilah neurosa pasca trauma atau neurosa renten. B. Konsep Dasar Keperawatan Ilmu keperawatan didasarkan pada suatu teori bisa disebut sebagai suatu pendekatan problem solving yang memerlukan ilmu ; teknik, dan keterampilan interpersonal dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien / keluarga. Proses keperawatan terbagi lima tahap yang saling berhubungan yaitu : pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (iyer et al, 1996). Standard praktek keperawatan profesional Indonesia telah dijabarkan oleh PPNI (2000). Standard tersebut juga mengacu pada tahapan dalam proses keperawatan, terdiri dari 5 standard : 1. Pengkajian Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasikan status kesehatan klien (iyer et al, 1996). a. Tipe Data Ada 2 tipe data pada pengkajian : 1) Data Subyektif. Data subyektif adalah data yang didapatkan dari klien sebagai suatu pendapat terhadap suatu situasi atau keadaan. 2) Data Obyektif. Data obyektif adalah data yang dapat diobservasi atau diukur. Fokus pengumpulan data meliputi : a) Status kesehatan sebelumnya dan sekarang. b) Pola koping sebelumnya dan sekarang. c) Fungsi status sebelumnya dan sekarang. d) Respon terhadap terapi medis dan tindakan keperawatan. e) Resiko untuk masalah potensial. f) Hal-hal yang menjadi dorongan atau kekuatan klien. b. Sumber Data 1) Klien Klien adalah sumber utama data ( primer ) dan perawat dapat menggali informasi yang sebenarnya mengenai masalah klien. 2) Orang terdekat Informasi dapat diperoleh dari orang tua, suami atau istri, anak atau teman klien, jika klien mengalami gangguan keterbatasan dalam berkomunikasi ataupun kesadaran yang menurun. Hal ini terjadi pada klien anak-anak, dimana informasi diperoleh dari ibu atau yang menjaga anak selama di rumah sakit.

3) Catatan klien Catatan klien yang ditulis oleh anggota tim kesehatan dapat dipergunakan sebagai sumber informasi didalam riwayat keperawatan. 4) Riwayat penyakit Riwayat penyakit yang diperoleh adalah hal-hal tyang difokuskan pada indentifikasi patologi dan untuk menentukan rencara tindakan medis. 5) Konsultasi Kadang-kadang terapi memerlukan konsultasi dengan anggota tim kesehatan specialis, khususnya delam menentukan diagnosa medis atau dalam merencanakan dan melakukan tindakan keperawatan. 6) Hasil pemeriksaan diagnostik Bagi perawat dapat membantu mengevaluasi keberhasilan dari tindakan keperawatan. 7) Catatan medis dan anggota tim kesehatan lainnya Anggota tim kesehatan lain adalah para personal yang berhubungan dengan klien, dan memberikan tindakan, mengevaluasi dan mencatat hasil dari status klien. Jika klien adalah rujukan dari pelayanan kesehatan yang lain, maka perawat harus meminta informasi kepada perawat yang telah merawat klien sebelumnya. 8) Kepustakaan Memperoleh literature sangat membantu perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yang benar dan tepat. c. Metode atau Teknik P.E (Phisical Examination) Ada 4 teknik dalam pemeriksaan fisik : 1) Inspeksi 2) Palpasi 3) Perkusi 4) Auskultasi d. Aspek Pendekatan P.E Pendekatan pengkajian fisik dapat menggunakan : 1) Head To Toe (kepala ke kaki) Pemeriksaan yang dilakukan mulai dari kepala secara berurutan sampai ke kaki. 2) ROS (Review Of System) sistem tubuh Pada pendekatan ini perawat melakukan pengkajian sistem tubuh secara keseluruhan. Adapun lingkup mayor body sistem meliputi : keadaan umum, tanda-tanda vital, sistem pernafasan, sistem cardiovaskuler, sistem pernafasan, sistem perkemihan, sistem muskuloskeletal, sistem integrumen dan sistem reproduksi. 3) Pola fungsi kesehatan Pola fungsi kesehatan meliputi (persepsi kesehatan, penatalaksanaan kesehatan, nutrisi pola metabolisme, peran pola perhubungan, aktifitas pola latihan, seksualitas pola reproduksi, koping pola toleransi stress, dan nilai pola keyakinan). e. Pengkajian Dasar Pada Trauma Kepala 1) Dapatkan riwayat terjadinya cedera kepala. 2) Lakukan pengkajian neurologis cepat 3) Amati kepala dan belakang kepala bila terjadi luka atau edema 4) Periksa telinga dan hidung kalau kemungkinan ada darah atau cairan bening yang keluar. 5) Pemeriksaan diagnostik :

a) Sinar X kepala dan servikal untuk mendeteksi lokasi dan parahnya fraktur. CT Scan untuk mengenali adanya hematoma intracranial. b) Fungsi lumbal untuk memastikan adanya meningitis bila pasien memperlihatkan tanda-tanda iritasi meningeal (demam, rigiditas nukal, kejang), kecuali bila ada tanda PTIK. 6) Bila pasien sadar dan orientasinya penuh, kaji respon terhadap kondisi dan pemahamannya tentang kondisinya serta rencana penangannya. 2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan tentang masalah ketidaktahuan dan / atau ketidakmauan dan / atau ketidakmampuan pasien atau klien baik dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari maupun dalam penanggulangan masalah kesehatan tersebut berhubungan dengan penyebab (etiologi) dan / atau gejala. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada trauma kepala antara lain : a. Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan penghentian aliran darah ke SOL ( hemoragi, hematoma ) ; edema cerebral (respon lokal atau umum pada cedeera, perubahan metabolik) ; penurunan sistematik / hipoksia (hipovolemi, disritmis jantung). b. Resiko atau aktual tidak efektifnya pola pernafasan berhubungan dengan obstruksi trakiobronkial, gangguan / kerusakan pusat pernafasan di medula oblongata. c. Resiko terjadinya peningkatan tekanan intra kranial berhubungan dengan adanya proses desak ruang akibat penumpukan cairan darah di dalam otak. d. Aktual atau resiko terjadinya gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan dengan hipermetabolik, perubahan kemampuan untuk mencerna makanan. e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan imobilisasi atau terapi tirah baring. f. Gangguan rasa nyaman nyeri kepala, pusing dan vertigo berhubungan dengan kerusakan jaringan otak dan perdarahanotak / peningkatan tekanan intrakranial. g. Kurang pengetahun keluarga berhubungan dengan kurang mengenal kondisi dan kebutuhan perawatan klien. 4. Implementasi Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang specifik ( iyer et al , 1996). Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping. 5. Evaluasi Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses perawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Meskipun evaluasi diletakkan pada akhir proses keperawatan, evaluasi merupakan bagian integral pada setiap tahap proses keperawatan. Pengumpulan data perlu direfisi untuk menentukan apakah informasi yang telah dikumpulkan sudah mencukupi dan apakah perilaku yang diobservasi sudah sesuai. Diagnosa juga perlu di evaluasi dalam hal ; keakuratan dan kelengkapannya. Tujuan diintervensi dan evaluasi adalah untuk menentukan apakah tujuan tersebut dapat dicapai secara efektif. a. Penentuan Keputusan pada Tahap Evalausi Setelah data terkumpul tentang status keadaan klien, maka perawat membandingkan data dengan outcomes. Tahap berikutnya adalah membuat keputusan tentang pencapauan klien terhadap outcomes. Ada tiga kemungkinan pada tahap ini : 1) Klien telah mencapai hasil yang ditentukan dalam tujuan. Pada keadaan ini, perawat akan mengkaji masalah klien lebih lanjut atau mengevaluasi outcomes yang lain. 2) Klien masih dalam proses mencapai hasil yang ditentukan. Perawat mengetahui keadaan klien pada tahap perubahan kearah pemecahan masalah. Penambahan waktu, resources, dan intervensi mungkin diperlukan sebelum tujuan tercapai. 3) Klian dapat mencapai hasil yang ditentukan. Pada situasi ini, perawat harus mencoba untuk mengidentifikasi alasan mengapa keadaan atau masalah ini timbul. a) Mengkaji ulang masalah atau respon bahwa secara akurat telah diidentifikasi b) Membuat outcomes yang baru. Mungkin outcomes pertama tidak realistik dalam hal sarana, perawat, dan waktu. Kemungkinan yang lain adalah klien tidak menghendaki terhadap tujuan yang disusun perawat.

c) Intervensi keperawatan harus dievaluasi dalam hal ketetapan untuk mencapai tujuan sebelumnya. b. Komponen Evaluasi Tindakan Keperawatan Ada dua komponen mengevaluasi tindakan keperawatan yaitu : 1) Proses ( formatif) Fokus tipe evaluasi ini adalah aktifitas dari proses keperawatan dan hasil kualitas pelayanan tindakan keperawatan. Evaluasi proses harus dilaksanaakan untuk membantu ke efektifan terhadap tindakan. Evaluasi formatif terus-menerus dilaksanakan sampai tujuan yang telah ditentukan tercapai. Metode pengumpulan data dalam evaluasi formatif terdiri dari analisa rencana tindakan keperawatan, open chard audit, pertemuan kelompok, inteview dan observasi dengan klien, dan menggunakan form evaluasi. Sistem penulisan pada tahap evaluasi ini bisa menggunakan sistem SOAP atau model dokumetasi lainnya. 2) Hasil (sumatif) Fokus evaluasi adalah peruabahan perilaku atau status kesehatan klien pada akhir tindakan keperawatan klien. Tipe evaluasi ini dilaksanakan pada akhir tindakan keperawatan secara paripurna. Sumatif evalusi adalah obyektif, fleksibel dan efisien. Adapun metode pelaksanaan evaluasi sumatif terdiri dari close-chart audit, interview akhir pelayanan, pertemuan akhir pelayanan, dan pertanyaan pada klien atau keluarga. Meskipun informasi pada tahap ini tidak secara langsung berpengaruh terhadap klien yang dievaluasi, sumati evaluasi bisa menjadi suatu metode dalam memonitor kualitas dan efisiensi tindakan yang telah diberikan. c. Dokumentasi Perawat mendokumentasikan hasil yang telah atau belum dicapai pada medical record penggunaaan istilah yang tepat perlu ditekankan pada penulisnya, untuk menghindari salah persepsi dan kejelasan dalam menyusun tindakan perawatan lebih lanjut. d. Evaluasi pada Klien Cedera Kepala Diharapkan 1) Rasa nyaman terpenuhi 2) Perubahan perfusi cerebral teratasi 3) Jalan nafas berfungsi dengan baik 4) Kebutuhan sehari-hari terpenuhi 5) Infeksi tidak terjadi 6) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi 7) Pengetahuan keluarga meningkat mengenai kondisi pasien dan pengobatan. Minggu, 18 Juli 2010ASKEP CKR ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. K DENGAN GANGGUAN SISTEM PERSYARAFAN: CIDERA KEPALA RINGAN DI BANGSAL RAWAT INAP UPT PUSKESMAS KALIGESING KAB. PURWOREJO Laporan Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah KMB Program Studi S1 Keperawatan Disusun oleh: Siti Halimah NIM A2 0900280 SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG PRODI S1 KEPERAWATAN 2010 LEMBAR PENGESAHAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. K DENGAN GANGGUAN SISTEM PERSYARAFAN: CIDERA KEPALA RINGAN DI BANGSAL RAWAT INAP UPT PUSKESMAS KALIGESING KAB. PURWOREJO Dengan mengucapkan Bismillahirrohmanirrohim Askep ini telah diterima dan disyahkan pada Hari, tanggal : Tempat : Mengetahui, Clinical Instruktur Pembimbing Akademik BAB ITINJAUAN TEORIPENGERTIAN Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. PATOFISIOLOGI Cidera kepala TIK - oedem - hematom Respon biologi Hypoxemia Kelainan metabolisme Cidera otak primer Cidera otak sekunder

Kontusio Laserasi Kerusakan Sel otak Gangguan autoregulasi rangsangan simpatis Stress Aliran darah keotak tahanan vaskuler katekolamin Sistemik & TD sekresi asam lambung O2 ggan metabolisme tek. Pemb.darah Mual, muntah Pulmonal Asam laktat tek. Hidrostatik Asupan nutrisi kurang Oedem otak kebocoran cairan kapiler Gangguan perfusi jaringan oedema paru cardiac out put Cerebral Difusi O2 terhambat Gangguan perfusi jaringan Gangguan pola napas hipoksemia, hiperkapnea Cidera otak primer: Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari trauma. Pada cidera primer dapat terjadi: memar otak, laserasi. Cidera otak sekunder: Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma. Proses-proses fisiologi yang abnormal: Kejang-kejang Gangguan saluran nafas Tekanan intrakranial meningkat yang dapat disebabkan oleh karena: edema fokal atau difusi hematoma epidural hematoma subdural hematoma intraserebral over hidrasi Sepsis/septik syok Anemia Shock Proses fisiologis yang abnormal ini lebih memperberat kerusakan cidera otak dan sangat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas. Perdarahan yang sering ditemukan: Epidural hematom: Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis. Tanda dan gejala: penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu. Subdural hematoma Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan. Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil. Perdarahan intraserebral Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena. Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital. Perdarahan subarachnoid: Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat. Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk. Penatalaksanaan: Konservatif Bedrest total Pemberian obat-obatan Observasi tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran. Pengkajian BREATHING Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas. BLOOD: Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia). BRAIN Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi : Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori). Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan. BLADER Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi. BOWEL Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi. BONE

Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot. Pemeriksaan Diagnostik: CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial. Prioritas perawatan: Memaksimalkan perfusi/fungsi otak Mencegah komplikasi Pengaturan fungsi secara optimal/mengembalikan ke fungsi normal. Mendukung proses pemulihan koping klien/keluarga Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi. DIAGNOSA KEPERAWATAN: Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung) Resiko tinggi pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial. Perubahan persepsi sensori b. d perubahan transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neurologis). Perubahan proses pikir b. d perubahan fisiologis; konflik psikologis. Kerusakan mobilitas fisik b. d kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring, imobilisasi. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS) Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan. Status hipermetabolik. Perubahan proses keluarga b. d transisi dan krisis situasional. Ketidak pastian tentang hasil/harapan. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b. d kurang pemajanan, tidak mengenal informasi. Kurang mengingat/keterbatasan kognitif. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung) Tujuan: Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik. Kriteria hasil: Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK Intervensi Rasional Tentukan faktor-faktor yang menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK. Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS. Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya. Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu. Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa. Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang. Bantu pasien untuk menghindari /membatasi batuk, muntah, mengejan. Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi. Batasi pemberian cairan sesuai indikasi. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi. Berikan obat sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik, sedatif, antipiretik. Penurunan tanda/gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal, menunjukkan perlunya pasien dirawat di perawatan intensif. Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP. Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III) berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkombinasi dari saraf kranial optikus (II) dan okulomotor (III). Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan TD diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat mengakibatkan kerusakan/iskhemia cerebral. Demam dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil) yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK. Bermanfaat sebagai ndikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi dengan perfusi jaringan. Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan diabetes insipidus. Gangguan ini dapat mengarahkan pada masalah hipotermia atau pelebaran pembuluh darah yang akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap tekanan serebral. Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan TIK. Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK. Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga akan mengurangi kongesti dan oedema atau resiko terjadinya peningkatan TIK. Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK. Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK. Diuretik digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK,. Steroid menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan edema jaringan. Antikonvulsan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktifitas kejang. Analgesik untuk menghilangkan nyeri . Sedatif digunakan untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi. Antipiretik menurunkan atau mengendalikan demam yang mempunyai pengaruh meningkatkan metabolisme serebral atau peningkatan kebutuhan terhadap oksigen. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial. Tujuan: mempertahankan pola pernapasan efektif. Kriteria evaluasi: bebas sianosis, GDA dalam batas normal Intervensi Rasional Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan. Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.

Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai indikasi. Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien sadar. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret. Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel. Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri Lakukan ronsen thoraks ulang. Berikan oksigen. Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi. Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis. Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi penting untuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan refleks menelan atau batuk menandakan perlunaya jalan napas buatan atau intubasi. Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas. Mencegah/menurunkan atelektasis. Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri. Penghisapan pada trakhea yang lebih dalam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati karena hal tersebut dapat menyebabkan atau meningkatkan hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh cukup besar pada perfusi jaringan. Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru. Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan terapi. Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tandakomplikasi yang berkembang misal: atelektasi atau bronkopneumoni. Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat pernapasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi mekanik. Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini seringkali berguna pada fase akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan menurunkan resiko atelektasis/komplikasi paru lainnya. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS) Tujuan: Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi. Kriteria evaluasi: Mencapai penyembuhan luka tepat waktu. Intervensi Rasional Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi. Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran). Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum. Berikan antibiotik sesuai indikasi Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial. Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya. Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera. Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan resiko terjadinya pneumonia, atelektasis. Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial. BAB IITINJAUAN KASUSPENGKAJIAN Hari : Senin Tanggal : 12 April 2010 Tempat : Bangsal Rawat Inap Puskesmas Kaligesing Jam : 08.00 WIB Metode : Anamnese, Observasi, Pemeriksaan Fisik, Studi Dokumentasi Sumber : Pasien, Keluarga Pasien, Tim Kesehatan dan Status Pasien Oleh : Siti halimah Identitas pasien Nama : Ny. K Umur : 45 tahun Jenis kelamin : Perempuan Agama : Islam Pendidikan : SD Status : Menikah Pekerjaan : Ibu rumah tangga Alamat : Kaligono, Kaligesing,Purworejo Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia Diagmosa : CKR No. RM : 02/IV/2010 Tgl. Masuk : 12 April 2010 (Jam 06.00 WIB) Penanggung jawab Nama : Tn. M Umur : 50 tahun Alamat : Kaligono, Kaligesing, Purworejo Hubungan dengan pasien : Suami Riwayat Kesehatan Keluhan Utama Pasien mengatakan nyeri Riwayat Penyakit Sekarang Pasien masuk UGD Puskesmas Kaligesing pukul 06.00 WIB dengan keluhan pusing karena baru saja mengalami kecelakan dijalan raya. Pasien juga mengatakan nyeri pada pundak sebelah kanan. Pengkajian nyeri: P : nyeri bertambah saat digunakan untuk bergerak Q : nyeri seperti tertusuk-tusuk R : nyeri pada pundak sebelah kanan S : skala nyeri 7 T : nyeri hilang timbul TTV: tensi 110/80 mmHg, suhu 360C, nadi 100 x/menit, RR 22x/menit. Di UGD pasien diberikan therapy Ciprofloksasin 2 x 1 tab (500mg), Asam mefenamat 2 x 1 tab (500mg), Na Diklofenat 3 x 1 tab, Dexametason 4 x 1 tab, Ranitidin 2 x 1 tab, Infus RL 20 tpm.

Riwayat Dahulu Pasien mengatakan belum pernah mengalami hal serupa. Belum pernah mondok baik di puskesmas maupun rumah sakit. Riwayat Penyakit Keluarga Keluarga pasien belum pernah mondok karena penyakit tertentu, penyakit DM belum terdeteksi. Riwayat alergi obat atau makanan belum terdeteksi. Genogram : laki-laki : perempuan : pasien : menikah : keturunan : tinggal satu rumah Pola Fungsional Kebutuhan Bernafas dengan Normal Sebelum sakit: pasien tidak mengalami kesulitan bernafas. Saat dikaji: pasien tidak mengalami kesulitan bernafas, RR normal 22x/menit Kebutuhan Nutrisi Sebelum sakit pasien makan dengan nasi dan lauk pauk 3 x sehari, minum 5-8 gelas per hari. Selama sakit pasien belum makan karena baru saja masuk puskesmas Kebutuhan Eliminasi Pasien BAB 1 x sehari, konsistensi lunak, BAK 4-5 kali sehari Saat dikaji pasien belum BAB dan BAK Kebutuhan Gerak Dan Kesetimbangan Tubuh Sebelum sakit pasien dalam melakukan aktivitas perawatan diri tidak memerlukan bantuan dari keluarga. Saat dikaji pasien merasa pusing saat berjalan Kebutuhan Istirahat dan Tidur Sebelum sakit pasien mengatakan bisa tidur 5-8 jam tiap malam, tidur nyenyak. Kebutuhan Berpakaian Sebelum sakit dalam berganti pakaian pasien dapat melakukannya sendiri. Saat dikaji pasien masih mengenakan pakaian saat terjadi kecelakaan dan belum ganti pakaian. Kebutuhan Mempertahankan Suhu Tubuh dan Temperature Pasien tidak mengalami kenaikan suhu tubuh: 360C (normal), saat dikaji pasien bisa mengenakan pakaian dengan sedikit bantuan. Kebutuhan Personal Hygine Sebelum sakit pasien dapat mandi dan gosok gigi sendiri. Selama sakit pasien belum mandi dan gosok gigi karena baru saja masuk puskesmas. Kebutuhan Rasa Aman dan Nyaman Pasien merasa kurang nyaman karena terpasang infus, namun pasien merasa aman karena selalu ditemani keluarga dan perawat jaga selalu siap siaga 24 jam. Kebutuhan Komunikasi dengan Orang Lain Pasien dapat berkomunikasi dengan baik, baik berkomunikasi dengan keluarga, perawat atau pasien lain. Kebutuhan Spiritual Sebelum sakit pasien taat melaksanakan sholat fardhu 5 waktu, saat dikaji pasien belum sholat karena memang belum waktu sholat. Kebutuhan Bekerja Pasien hanya sebagai ibu rumah tangga dan tidak bekerja. Kebutuhan Rekreasi Sebelum sakit pasien tidak pernah berekreasi, hanya kadang kala berlibur/ berkunjung ke rumah saudara Kebutuhan Belajar Selama sakit pasien terus bertanya apakah bisa pulang, kapan bisa pulang. Keadaan umum Suhu : 360C Nadi : 100 x/menit TD : 110/80 mmHg RR : 22x/menit BB : 50 Kg TB : 170 cm Pemeriksaan fisik KU : baik, Kesadaran : composmentis Kepala : bentuk mesosepal, rambut hitam, pendek bersih, sukar untuk dicabut, ketombe tidak ada, terdapat luka lecet pada pipi sebelah kanan. Mata : tidak ada luka, konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, kebersihan mata cukup, pupil reflek cahaya baik, fungsi penglihatan baik dalam jarak 20 cm, pasien masih dapat membaca buku. Mulut : tidak ada luka baik lecet maupun robek, mukosa bibir kering dan lecet, warna lidah merah keputih-putihan, gigi tersusun rapi, tidak ada gigi yang tanggal, kebersihan mulut baik, tidak ada nyeri tekan, tidak ada perdarahan gusi Telinga : tidak keluar cairan, maupun darah, fungsi pendengaran baik, pasien dapat mendengarkan detikan suara arloji, pada saat didekatkan ditelingga. Leher : bentuk simetris, tidak ada peningkatan JVP, tidak ada luka, tidak ada pembesaran tonsil atau kelenjar tiroid dan kelenjar getah bening, gerakan leher bebas Dada Inspeksi : bentuk dada normochest, simetris, ictus cordis tidak tampak, gerakan dada simetris, tidak ada ketertingalan gerak, frekuensi pernafasan 22 x /mnt, tidak ada luka Palpasi : tidak terasa massa, tidak ada kripitasi, tidak ada nyeri tekan Perkusi : jantung dan paru-paru berbatas tegas. Auskultasi : suara nafas bersih, vesikuler, tidak ada suara tambahan seperti ronchi maupun wheezing, suara paru-paru sonor, suara jantung S1 dan S2 murni. Abdomen Inspeksi : bentuk datar simetris, tidak ada pembengkakan atau acites. Tidak ditemukan adanya kelainan seperti benjolan atau pembesaran pada perut, tidak ada hiperpigmentasi Auskultasi : frekuensi suara peristaltic usus 4 x /menit Perkusi : tidak ada penumpukan cairan atau udara, suara tympani Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembengkakan atau massa pada abdomen, hepar tidak teraba. Punggung : dapat diobservasi bentuk tulang punggung simetris, tidak ada kelainan seperti lordosis, kiposis atau skoliosis, tidak ada krepitasi, tidak ada luka Ekstremitas

Anggota gerak atas : lengkap, tidak terdapat luka, tidak ada krepitasi, dapat digerakkan, terpasang infuse RL pada tangan kanan Anggota gerak bawah : lengkap, tidak terdapat luka, tidak ada krepitasi, dapat digerakkan. Pengkajian Persyarafan Kesadaran : Compos mentis GCS : Membuka mata 4 (Spontan) Verbal 5 (Orientasi baik) Motorik 6 (Menurut Perintah) Total 15 Syaraf Otak Nervus I (Olfaktorius) Fungsi pembauan kanan dan kiri baik, ditandai pasien mampu mengenal bau-bau disekitar kita Nervus II (Optikus) Daya penglihatan pasien masih baik, pasien mampu membedakan warna, pasien tidak menggunakan kaca mata Nervus III (Okulomotorius) Pasien dapat memejamkan mata, dapat menggerakkan bola mata keatas dan kebawah, reflek terhadap cahaya baik. Nervus IV(Trachealis) Pasien mampu menggerakkan mata kesamping kanan dan kiri Nervus V (Trigeminus) Pasien mampu menggigit dan membuka mulut Nervus VI (Abdusen) Pasien mampu menggerakkan mata kearah samping, tidak terdapat stabismus Nervus VII (Fasialis) Pasien mampu mengerutkan dahi, tersenyum dan menutup mata Nervus VIII (Akustikus) Pasien mampu mendengarkan bisikan Nervus IX (Glosofaringeus) Suara tidak sengau, reflek muntah baik Nervus X (Vagus) Denyut nadi 100 x/manit, pasien mampu bersuara dan menelan Nervus XI (Aksesorius) Pasien mampu memalingkan kepala, pasien mampu mengangkat bahu Nervus XII (hipoglosus) Sikap lidah lurus dan tidak tremor Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan laboratorium tanggal 12 April 2010 Hematologi Hasil Nilai Normal Satuan Hb Gol Darah 10,40 A 14-18 Gr/% TherapiOral Ciprofloksasin 2 x 1 tab (500mg) Asam Mefenamat 3 x 500mg Na Diklofenat 3 x 1 tab Dexametason 4 x 1 tab Ranidin 2 x 1 tab Infuse RL 20 tetes/menit ANALISA DATA No Hari/Tgl/Jam Data Masalah Etiologi 1 Senin 12 April 2010 DS : nyeri pada pundak sebelah kanan, nyeri berkurang saat tiduran, nyeri dating saat bergerak, nyeri seperti ditusuk-tusuk, skala nyeri 7, nyeri hilang timbul DO : pasien kelihatan meringis, mengeluh nyeri, S : 360C, TD 110 / 80 mmHg, N : 100 x/mnt, RR : 22x/mnt Nyeri akut Terputusnya kontinuitas jaringan 2 Senin 12 April 2010 DS : DO : terdapat luka lecet pada pipi kanan dan bibir Resiko infeksi Pintu masuknya mikro organism sekunder: luka lecet pada pipi kanan dan bibir. RUMUSAN DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan 2. Resiko infeksi berhubungan dengan pintu masuknya mikroorganisme sekunder. INTERVENSI KEPERAWATAN No Dx Tujuan Intervensi 1 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan nyeri berkurang dengan criteria hasil: 1 Skala nyeri dari 7 menjadi 3 2 Pasien tampak rileks 3 Pasien bisa beristirahat dengan tenang 4 Kaji karakteristik nyeri 5 Berikan posisi yang nyaman 6 Ciptakan lingkungan yang nyaman 7 Ajarkan tehnik relaksasi 8 Berikan asam mefenamat 2 x 1 tab (500mg) 9 Berikan Na Diklofenat 3 x 1 tab 2 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan infeksi tidak terjadi dengan criteria haasil : 10 Tidak terdapat tanda-tanda infeksi (rubor, tumor, dolor, kalor, fungsio lessi) 11 Suhu 360C-370C 12 Lekosit dalam batas normal (4.000-10.000 mm3) 13 Kaji tanda-tanda vital 14 Kaji adanya tanda-tanda infeksi 15 Gunakan tehnik septic dan antiseptic 16 Lakukan medikasi secara rutin Berikan Ciprofloksasin 2 x 1 (500mg) IMPLEMENTASI KEPERAWATAN NoDx Tanggal/jam Implementasi Evaluasi(09.00) 1 12 April 2010/ 08.00 17 Memonitor fungsi neurologis

18 Mencatat status neurologis bandingkan dengan keadaan normalnya standar. 19 Memonitor vital sign tiap 15 menit mulai jam 08.00 WIB 20 Mencatat reflek-reflek tertentu seperti reflek menelan, batuk, dan babinski. S : pasien mengatakan masih merasa pusing, dan mual, pasien tahu keberadaannya di puskesmas, O: kesadaran composmetis, GCS 15, fungsi nervus 1-12 normal,masih terpasang oksigen 3ltr/mnt. A: masalah belum teratasi. P: lanjutkan intervensi, observasi ku 2 jam, bila kondisi pasien tidak membaik, rujuk ke RSUD Purworejo 2 12 April 2010/ 08.15 21 Memonitor karakteristik nyeri 22 Memberikan posisi yang nyaman 23 Menciptakan lingkungan yang nyaman, dengan membatasi pengunjung 24 Mengajarkan tehnik relaksasi, dengan nafas dalam saat nyeri datang 25 Memberikan Asam mefenamat 500 mg, Na Diklofenat 50mg. S : pasien mengatakan skala nyeri 5 O: pasien masih tampak menahan nyeri A: masalah teratasi sebagian P: lanjutkan intervensi semuanya 3 12 April 2010/ 08.30 26 Memonitor tanda-tanda vital 27 Memonitor adanya tanda-tanda infeksi 28 Menggunakan tehnik septic dan antiseptic saat medikasi luka 29 Melakukan medikasi sehari sekali 30 Memberikan Ciprofloksasin 500 mg via oral S : O: luka bersih, tanda-tanda infeksi tidak ada A: masalah teratasi sementara P: lanjutkan semua intervensi BAB IIIPEMBAHASAN Pada BAB pembahasan ini penulis mencoba membahas mengenai pengertian diagnose, mengapa diagnosa tersebut ditegkkan, bagaimana mempriorotaskan diagnosa tersebut dan rasionalisasi rencana tindakan keperawatan yang dilakukan. Penulis juga berusaha membahas kekuatan dan kelemahan rencana keperawatan yang dilakukan, hasil evaluasi dari masalah keperawatan, juga mengenai diagnosa yang ada dalam konsep dasar tetapi tidak diangkat. Pada asuhan keperawatan ini diagnose yang muncul antara lain: Nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler Nyeri menurut Wilkinson (2007) adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti kerusakan (Inernational Association for the Study of Pain); awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan. Batasan karakteristik: data subyektif mengungkapkan secara verbal atau melaporkan dengan isyarat. Data obyektif gerakan menghindari nyeri, posisi menghindari nyeri, perubahan autonomic dari tonus otot (dapat dalam rentang atau berenergi sampai kaku), perubahan nafsu makan perilaku menjaga atau melindungi, gangguan tidur (mata terlihat kuyu, gerakan tidak teratur atau tidak menentu dan menyeringai). Nyeri akut pada cedera kepala ringan terjadi karena mengenai kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala merupakan peristiwa yang sering terjadi dan mengakibatkan kelainan neurologis yang serius serta telah mencapai proporsi epidemic sebagai akibat dari kecelakaan kendaraan. Kadar alcohol darah yang melebihi kadar aman telah ditemukan pada lebih dari 50% pasien cedera kepala yang ditangani dibagian kedaruratan (Boughman, 2000). Dari faktor yang berhubungan dengan nyeri akut, maka diagnose yang tepat adalah nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik. Berdasarkan data-data yang penulis dokumentasikan yaitu pasien mengatakan nyeri pada pundak sebelah kanan dengan pengkajian nyeri meliputi paliatif/ provokatif yaitu nyeri datang saat bergerak, nyeri hilang waktu tiduran, qualitative yaitu nyeri seperti tertusuk-tusuk, senut-senut, region nyeri pada pundak sebelah kanan, skala nyeri 7, time yaitu nyeri hilang timbul, dengan TD 110/80mmHg, nadi 80x/ menit, suhu 360C. Diagnose ini diperioritaskan nomor satu karena bila nyeri tidak segera diatasi maka akan menganggu aktivitas, pasien merasa tidak nyaman, mengakibatkan gangguan tidur, dapat menyebabkan komplikasi diantara nyeri akut dan nyeri berat dan dapat timbul syok kardiogenik. Tindakan yang penulis lakukan untuk mengatasi diagnosa keperawatan yang pertama adalah Memonitor karakteristik nyeri Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan pasien dan menentukan intervensi yang dilakukan (Doengoes, 2000). Kekuatan dalam rencana tindakan yang direncanakan adalah ketepatan ntervensi. Memonitor tanda-tanda vital Penulis melakukan tindakan ini agar penulis mengetahui perubahan yang terjadi pada pasien yaitu respon autonomic meliputi perubahan tekanan darah, nadi, respirasi, dan suhu yang berhubungan dengan keluhan atau penghilang nyeri lanjut, karena nyeri berpengaruh pada system tubuh (Wilkinson, 2007). Kekuatan dari tindakan ini adalah pemriksaan tanda-tanda vital yang dilakukan tiga kali perhari dapat memantau keadaan pasien secara terus-menerus, jika terjadi perbaikan atau keadaan pasien memburuk dapat diketahui dengan cepat dan segera dilakukan yang tepat dan kelemahan tindakan ini adalah membutuhkan kedisiplinan perawat untuk selalu memonitor keadaan umum dan tanda-tand vital pasien. Mengajarkan tehnik distraksi relaksasi Hal ini penulis lakukan agar pasien bias mengalihkan perhatiannya dari rasa nyeri. Hal ini didukung dari pernyataan bahwa nafas dalam meningkatkan upaya pernafasan, menurunkan regangan dan ketegangan arean insisi, mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan berkenaan dengan gerakan (Wilkinson, 2007). Kekuatan tindakan ini yaitu tindakan ini sangat mudak dilakukan sehingga pasien tidak kesulitan dalam melakukan tehnik nafas dalam. Kelemahannya penulis tidak bias memonitor secara terus-menerus sehingga tidak dapat menilai keefektifan nafas dalam yang dilakukan pasien. Memberikan analgetik Analgetik diberikan dalam bentuk oral. Pasien mendapatkan Asam Mefenamat 3 x 500mg, selain itu analgetik juga dapat menghilangkan nyeri sehubungan dengan ketegangan atau spasme (Wilkinson, 2007). Kelemahan tindakan ini adalah pemberian analgetik per oral kurang efisien dibanding lewat intravena. Hal ini dikarenakan keterbatasan obat intravena dipuskesmas. Hasil evaluasi selama penulis melakukan asuhan keperawatan pada tanggal 12 April 2010 pukul 09.00 WIB klien mengatakan nyeri berkurang, skala nyeri 5. Pasien masih tampak menahan nyeri, berarti masalah teratasi sebagian, sehingga intervensi dilanjutkan dengan menganjurkan tehnik relaksasi distraksi jika nyeri dating, memberikan lingkungan yang tenang dan nyaman, memberikan analgetik asam mefenamat 500 mg. Hal ini sesuai dengan kriteria hasil nyeri dapat berkurang, mengidentifikasi aktivitas yang meningkatan dan menurunkan nyeri (Carpenito, 2000). Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan pintu masuknya mikroorganisme sekunder terhadap luka lecet. Resiko tinggi infeksi adalah suatu kondisi ndividu yang mengalami peningkatan resiko terserang organism pathogen (Wilkinson, 2007). Batasan karakteristik: data subyektif: penyakit kronis imunosupresi, imunitas yang tidak adekuat, data obyektif: pengerahuan yang kurang untuk pejanan pathogen, mal nutrisi, trauma. Masalah ini muncul karena pertahanan tubuh yang tidak adekuat yang merupakan sumber dari kerusakan jaringan pada luka.kekuatan dari tindakan ini adalah membersihkan luka dan menganti balutan setiap hari dengan tehnik septic dan aseptic. Kelemahannya adalah

membersihkan luka dan menganti balutan jika dalam melakukannya tidak hati-hati atau sampai tidak steril akan mempunyai resiko infeksi lebih berat. Tindakan yang penulis lakukan antara lain: Mengobservasi tanda-tanda vital Penulis melakukan tindakan ini karena peningkatan suhu menandakan adanya proses infeksi. Hal ini sesuai Wilkinson (2007), yaitu hipotermi lanjut, demam dan takikardi menunjukkan adanya proses infeksi yang membutuhkan evaluasi/ pengobatan. Kekuatan dari tindakan ini adalah pemeriksaan tanda-tanda vital dilakukan untuk memantau keadaan pasien secara terus menerus, jika terjadi perbaikan atau keadaan pasien memburuk dapat diketahui dengan cepat dan segera dilakukan tindakan yang tepat. Kelemahan tindakan ini adalah membutuhkan kedisipinan perawat untuk selalu memonitor keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien. Mempertahankan tehnik septic dan aseptic Penulis melakukan tindakan ini karena untuk menghindari masuknya mikroorganisme kedalam tubuh. Hal ini sesuai Doengoes (2000). Dengan hasil perawat melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan. Kekuatan tindakan ini adalah pasien dapat terjaga dari masuknya mikroorganisme dan terhindar dri infeksi dan kelemahan tindakan ini adalah jika tidak dilakukan maka resiko lebig berat terhadap infeksi. Pantau tanda dan gejala infeksi Penulis melakukan tindakan ini karena dapat menjaga kebersihan sekitar daerah luka sehingga dapat menurunkan resiko infeksi. Hal ini sesuai dengan Wilkinson (2007), yaitu menurunkan resiko kerusakan jaringan dan infeksi. Dengan hasil balutan bersih dan luka bersih. Kekuatan tindakan ini adalah untuk mengerahui kondisi luka pasien dan tindakan yang tepat untuk dilakukan. Kelemahan tindakan ini adalah tidak dapat mengetahui ringan beratnya infeksi yang terjadi pada luka. Menjaga kebersihan pasien dan lingkungannya Penulis melakukan tindakan ini sesuai dengan Doengoes (2000), yaitu meningkatkan kebersihan akan membuat kenyamanan pada pasien, menurunkan resiko infeksi, serta meningkatkan sirkulasi dan penyembuhan. Dengan hasil pasien dan lingkungan dalam keadaan bersih dan rapi, pasien mengatakan senang. Kekuatan tindakan ini adalah pasien merasa nyaman dan merupakan proses untuk penyembuhan. Kelemahan tindakan ini adalah ketidaknyamanan pasien akan membuat tambah buruknya keadaan. Memberikan antibiotik Penulis melakukan tindakan ini karena untuk menghindari terjadinya infeksi. Hal ini sesuai dengan Wilkinson (2007). Yaitu antibiotic digunakan untuk menurunkan kolonisasi atau untuk pengobatan proses infeksi. Dengan hasil Cefotaxim 1000mg masuk dan tidak ada reaksi alergi. Hasil evaluasi untuk masalah resiko infeksi yaitu pasien dan keluarga mampu menciptakan lingkungan yang bersih, tidak ada tanda-tanda infeksi sehingga mempercepat proses penyembuhan. TD 110/80 mmHg, respirasi 20 x/ menit, suhu 360C, luka terlihat bersih. Sehingga dapat disimpulkan masalah teratasi sementara dan intervensi dilanjutkan Diagnosa yang terdapat dalam konsep dasar tetapi tidak penulis tegakkan dalam asuhan keperawatan ini adalah: Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung) Menurut Wilkinson (2007) perubahan perfusi jaringan serebral didefinisikan sebagai penurunan pemberian oksigen dalam kegagalan member makan jaringan pada tingkat kapiler. Dengan batasan karakteristik abnormalitas bicara, kelemahan ekstremitas atau paralisis, perubahan status mental, perubahan pada respon motorik, perubahan reaksi pupil, kesulitan untuk menelan, perubahan kebiasaan Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial. Menurut Wilkinson (2007) Resiko tinggi pola napas tidak efektif definiskan sebagai pertukaran udara inspirasi dan atau ekspirasi tidak adekuat. Dengan batasan karakteristik penurunan tekanan insirasi dan ekspirasi, penurunan tekanan udara permenit, menggunakan otot pernafasan tambahan, nasal faring, dispneu, orthopnue, perubahan penyimpanan dada, nafas pendek, tahap ekspirasi berlangsung lebih lama, peningkatan diameter anterior posterior. Diagnosa keperawatan ini tidak ditegakkan karena saat pengkajian tidak ditemukan data-data tersebut. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neurologis). Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis; konflik psikologis. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring, imobilisasi. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan. Status hipermetabolik. Adalah intake nutrisi tidak cukup untuk keperluan metabolism tubuh (Wilkinson, 2007). Batasan karakteristik antara lain: BB kurang dari 20% atau lebih dari ideal terhadap TB, asupan makanan kurang dari kebutuhan metabolic baik kalori total atau nutrisi spesifik, kehilangan BB dengan asupan makan adekuat, melaporkan asupan makan tidak adekuat kurang dari anjuran kecukupan gizi harian. Data subyektif antara lain: kram abdomen, nyeri abdomen dan atau tanpa penyakit, melaporkan perubahan sensari rasa, melaporkan kurangnya makanan, merasa kenyang segera setelah mengingesti makanan. Data obyektif: tidak tertarik untuk makan, kerapuhan kapiler, diare, adanya bukti kekurangan makanan, bising usus hiperaktif, kurang informasi, kurangnya minat pada makanan, miskonsepsi, konjungtiva dan membrane mukosa pucat, tonus otot buruk. Diagnose ini tidak penulis angkat karena tidak ada tanda-tanda yang telah disebutkan diatas saat pengkajian. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional. Ketidak pastian tentang hasil/harapan. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi. Kurang mengingat/keterbatasan kognitif. Menurut Carpenito (1998) pengertian kurang pengetahuan yaitu suatu kondisi dimana individu atau kelompok mengalami kekurangan pengetahuan kognitif atau keterampilan psikomotor mengenai suatu keadaan dan rencana tindakan pengobatan. Batasan karakteristik yang mendukung masalah keperawatan tersebut adalah meminta informasi dan mengekspresikan presepsi yang tidak akurat terhadap kondisi kesehatannya dan penampilan yang tidak tepat untuk perilaku sehat yang diinginkan dan adanya ekspresi yang menunjukkan adanya kesalahan informasi atau kurang informasi bagi pasien atau salah konsep (Carpenito, 1999). Diagnosa ini tidak penulis angkat karena tidak ada tanda-tanda yang telah disebutkan diatas saat pengkajian. Daftar pustaka Abdul Hafid (1989), Strategi Dasar Penanganan Cidera Otak. PKB Ilmu Bedah XI Traumatologi , Surabaya. Doengoes M.E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 . EGC. Jakarta. Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta.

You might also like