You are on page 1of 9

Pengertian Konstipasi merupakan suatu keluhan, bukan panyakit.

Konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat vairasi yang berlainan antara individu. Konstipasi sering diartikan sebagi kurangnya frekuensi buang iar besar (BAB), biasanya kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil kecil dan keras, serta kadangkala disertai kesulitan sampai rasa sakit saat BAB. Batasan dari konstipasi klinis yang sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah besar feses memenuhi ampula rektum pada colok dubur, dan atau timbunan feses pada kolon, rektum, atau keduanya yang tampak pada foto polos perut. DIAGNOSIS Konstipasi menurut Holson, meliputi paling sedikit 2 dari keluhan dibawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan: a. Konsistensi feses yang keras b. Mengejan dengan keras saat BAB c. Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB d. Frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang. Konsistensi menurut Internasional Workshop on Constipation dapat dilihat pada tabel berikut. Definisi Konstipasi Menurut International Workshop on constipation Tipe 1. Konstipasi fungsional (akibat waktu perjalanan yang lambat dari feses): Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12 bulan: mengejan keras 25% dari BAB feses yang keras 25% dari BAB rasa tidak tuntas 25% dari BAB BAB kurang dari 2 kali per minggu.

Tipe 2. Penundaan pada muara rektum (terdapat disfungsi ano-rektal) hambatan pada anus lebih dari 25% BAB waktu untuk BAB lebih lama perlu bantuan jari jari untuk mengeluarkan feses .

PEMERIKSAAN PENUNJANG:

Darah perifer lengkap Glukosa dan elektrolit (terutama kalium dan kalsium) darah Fungsi tiroid CA Anuskopi (dianjurkan dilakukan secara rutin pada semua pasien dengan konstipasi untuk menemukan adalah fisura,ulkus, hemoroid, dan keganasan). Foto polos perut harus dikerjakan pada pasien konsitipasi, terutama yang terjadinya akut untuk menditeksi adanya implaksi feses yang dapat menyebabkan sumbatan dan perforasi kolon. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon, dapat dilanjutkan dengan barium enema untuk memastikan tempat dan sifat sumbatan. Pemeriksaan yang intensif dikerjakan secara selektif setelah 3 6 bulan pengobatan konstopasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusat pusat pengelolaan konstipasi tertentu. Ujian yang dikerjakan dapat bersifat anatomis (enema, proktosigmoidoskopi, kolonskopi) atau fisiologi (waktu singgah di kolon, sinedefekografi, manometri, dan elektromiografi). Proktosigmoidoskopi biasanya dikerjakan pada konstipasi yang baru terjadi sebagai prosedur penapisan adanya keganasan kolon-rektum. Bila ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah dari rektum atau adanya riwayat dengan kanker kolon perlu dikerjakan kolonoskopi. Waktu persinggahan suatu bahan radio-opak di kolon dapat diikuti dengan melakukan pemeriksaan radiologis setelah menelan bahan tersebut. Bila timbunan zat ini terutama ditemukan di rektum menunjukan kegagalan fungsi ekspulsi, sedangkan bila di kolon menunjukan kelemahan yang menyeluruh. Sinedefecgrafi adalah pemeriksaan radiologios daerah anorektal untuk menilai evakuasi feses secara tuntas, mengidentifikasi kelainan anorektal dan mengevaluasi kontraksi serta relaksasi otot rektum. Uji ini memakai semacam pasta yang konsistensinya mirip feses, dimasukan ke dalam rektum. Kemudian pendirita duduk pada toilet yang diletakkan dalam pesawat sinar X. penderita diminta mengenjan untuk mengeluarkan pasta tersebut. Dinilai kelainan anorektal saat proses berlangsung.

Uji manometri dikerjakan untuk mengukur tekanan pada rektum dan saluran anus saat istirahat dan pada berbagai rangsangan untuk menilai fungsi anorektal. Pemeriksaan elektromiografi dapat mengukur misalnya tekanan sfingter dan fungsi saraf pudendus, adkah atrofi saraf yangdibuktiikan dengan respons sfingter yang terhambat. Pada kebanyakan kasus tidak didapatkan kelainan anatomis maupun fungsional, sehingga penyebab dari konstipasi diseut sebagai non-spesifik. Factor-faktor yang Mempengaruhi Eliminasi Fekal Banyak factor yang mempengaruhi proses eliminasi fekal. Pengetahuan tenang factor ini memungkinkan perawwat melakukan tindakan antisipasi yang diperlukan untuk

mempertahankan pola eliminasi normal. 1. Usia Perubahan dalam tahap perkebangan yang mempeengaruhi ststus eliminasi di sepanjang kehidupan. Dalam kasus yang terjadi pada Mrs.Inem kemungkinan besar ada kaitanya dengan faktor usia. Karena sistem gastrointestinal pada lansia sering mengalami perubahan sehingga merusak proses pencernaan dan eliminasi. Beberapa lansia mungkin tidak lagi memiliki gigi sehingga mereka tidak mampu mengunyah makanan dengan baik. Makanan yang memasuki saluran GI, hanya dikunyah sebagian dan tidak dapat dicerna karena jumlah enzim pencernaan di dalam saliva dan volume asam lambung menurun seiring dengan proses penuaaan. 2. Diet Asupan makanan setiap harri membantu secara teratur membantu mempertahankan pola peristaltik yang teratur di dalam kolon. Mengkonsumsi makanan tinggi serat meningkatkan kemungkinan normalnya pola eliminasi jika faktor lain juga normal. Dalam kasus Mrs. Inem diatas konstipasi yang dialami dapat juga disebabkan oleh asupan makanan yang tidak benar (komposisinya tidak seimbang) atau bisa jadi Mrs.Inem mempunyai penyakit DM sehingga ia membatasi asupan makanan. Namun, pembatasan itu tidak teat sehingga akhirnya terjadi konstipasi.

3. Asupan Cairan Asupan cairan yang tidak adekuat atau gangguan yang menyebabkan kehilangan cairan seperti muntah mempengaruhi karakter feses. Cairan mengencerkan isi usus, memudahkannya bergerak melalui kolon. Asupan cairan yang menurun memperlambat pergerakan makanan yang melalui usus. Dalam kasus diatas diketahui bahwa Mrs.Inem memiliki inkontinensia urin, kemungkinan dalam hal ini Mrs. Inem membatasi asuan cairan untuk mengurangi pengeluaran urin, namun hal ini dapat berakibat feses menjadi keras dan pelambatan gerak makanan dalam usus. 4. Aktifitas fisik Aktivitas fisik meningkatkan peristaltik, sementara imobilisasi menekan motilitas kolon. Upaya mempertahankan tonus otot rangka, yang digunakan selama proses defekasi, merupakan hal yang penting. Melemahnya otot-otot dasar panggul dan abdomen merusak kemampuan individu untuk meningkatkan tekanan intraabdomendan untuk mengontrol spingter interna. Pada Mrs.Inem,sudah sebulan ia mengalami kelemahan otot pada ekstremitas selam 1 bulan, sehingga aktivitas fisik yang dilakukan sangat terbatas. Hal ini dapat mempengaruhi terjadinya konstipasi pada Mrs.Inem. 5. Fakor psikologis Fungsi dari hampir semua sistem tubuh dapat mengalami gangguan akibat stres emosional yang lama. Apabila individu mengalami kecemasan, ketakutan, atau marah, munsul respon stres, yang memungkinkan tubuh membuat pertahanan. Pada kasus ini mungkin faktor psikologis tidak terlalu berpengaruh, namun tetap perawat harus mengkaji hal tersebut jangan sampai klien yang tadinya tidak mengalami stres malah menjadi stres setelah dirawat di rumah sakit. 6. Kebiasaan Pribadi Kebiasaan eliminasi pribadi mempengaruhi fungsi usus. Kebanyakan individu merasa lebih mudah melakukan defekasi di kamar mandi mereka sendiri pada waktu yang paling

efektif dan paling nyaman bagi mereka. Penyakit yang diderita oleh klien di rumah sakit sering membatasi aktivitas fisiknya sehingga ia memerlukan pispot atau commode yang ditempatkan disamping tempat tidurnya. Kemungkinan hal ini yang membuat klien pada kasus diatas mengalami masalah pada eliminasi fekal. Karena klien mengalami keterbatasan ruang gerak yang membuat klien akkhiya BAB ditempat tidur. 7. Posisi selama Defekasi Posisi jongkok merupakan posisi yang normal saat melakukan defekasi. Klien lansia atau individu yang memiliki penyakit sendi seperti atritis, mungkin tidak mampu bangkit dari tempat duduk yang rendah. Untuk klien imobilisasi di tempat tidur, defekasi seringkali dirasakan sulit. Posisi telentang tidak memungkinkan klien mengkontrkasi otot-otot yang digunakan selama defekasi. Membantu klien ke posisi duduk yang lebih normal pada pispot akan meninggikan kemampuan defekasi. 8. Nyeri Dalam keadaan normal defekasi tidak menimbulkan nyeri. Namun, pada sejumlah kondisi, termasuk heoroid, bedah rektum, fistula rektum, bedah abdomen dan pasca melahirkan dapat menimbulkan rasa tidak nyaman ketika defekasi. Pada kondisi-kondisi seperti ini klien sering kali mensupresi keinginannya untuk berdefekasi guna menghidari rasa nyeri yang mungkin akan timbul. 9. Kehamilan Obstruksi sementara akibat keberadaaan fetus mengganggu pengeluaran feses. Konstipasi adalah masalah yang sering muncul pada trimester terakhir. Wanita hamil yang sering mengedan selama defekasi dapat menyebabkan terbentuknya hemoroid yang permanen. Dalam kasus Mrs.Inem faktor ini tidak memengauhi karena Mrs.Inem tidak sedang mengandung lagipula klien sudah lanjut usia. 10. Pembedahan dan Anestesi

Agens anestesi, yang digunakan selama proses pembedahan, membuat gerakan peristaltik berhenti untuk sementara waktu. Keerja anestesi tersebut memperlambat atau menghentikan gerak peristaltik. Dalam kasus ini , faktor pemebedahan tidak temasuk salah satu yang mempengaruhi, karen klien tidak mengalami pembedahan sebelumnya. 11. Obat-obatan Obat-obatan seperti disiklomin HCL menekan gerakan peristaltik dan mengobati diare. Beberapa obat memilliki efek mengganggu eliminasi. Obat analgesik narkotik menekan gerakan peristaltik. Opium umumnya menyebbkan konstipasi. 12. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan diagnostik, yang melibatkan visualisasi struktur saluran GI, sering memerlukan dikkosongkannya isi di bagian usus. Pengosongan usus dapat mengganggu eliminasi sampai klien dapat makan dengan normal.

Cara menaggulangi Konstipasi Makanan yang masuk ke dalam tubuh akan melalui lambung, usus halus, dan akhirnya menuju usus besar/kolon. Di dalam kolon inilah terjadi penyerapan cairan dan pembentukan massa feses. Bila massa feses berada terlalu lama dalam kolon, jumlah cairan yang diserap juga banyak, akibatnya konsistensi feses menjadi keras dan kering sehingga dapat menyulitkan pada saat pengeluaran feses. Konstipasi merupakan suatu kondisi di mana seseorang mengalami kesulitan defekasi akibat tinja yang mengeras, otot polos usus yang lumpuh maupun gangguan refleks defekasi (Arif & Sjamsudin, 1995) yang mengakibatkan frekuensi maupun proses pengeluaran feses terganggu. Frekuensi defekasi/buang air besar (BAB) yang normal adalah 3 sampai 12 kali dalam seminggu. Namun, seseorang baru dapat dikatakan konstipasi jika ia mengalami frekuensi BAB kurang dari 3 kali dalam seminggu, disertai konsistensi feses yang keras, kesulitan mengeluarkan feses (akibat ukuran feses besar-besar maupun akibat terjadinya gangguan refleks defekasi), serta mengalami sensasi rasa tidak puas pada saat BAB (McQuaid, 2006). Orang yang frekuensi defekasi/BAB-nya kurang dari normal belum tentu menderita

konstipasi jika ukuran maupun konsistensi fesesnya masih normal. Konstipasi juga dapat disertai rasa tidak nyaman pada bagian perut dan hilangnya nafsu makan. Konstipasi sendiri sebenarnya bukanlah suatu penyakit, tetapi lebih tepat disebut gejala yang dapat menandai adanya suatu penyakit atau masalah dalam tubuh (Dipiro, et al, 2005), misalnya terjadi gangguan pada saluran pencernaan (irritable bowel syndrome), gangguan metabolisme (diabetes), maupun gangguan pada sistem endokrin (hipertiroidisme). TREATMENT KONSTIPASI Sasaran Terapi Konstipasi yaitu: (1) massa feses, (2) refleks peristaltik dinding kolon. Tujuan Terapinya adalah menghilangkan gejala, artinya pasien tidak lagi mengalami konstipasi atau proses defekasi/BAB (meliputi frekuensi dan konsistensi feses) kembali normal. Strategi Terapi dapat menggunakan terapi farmakologis maupun non-farmakologis. Terapi nonfarmakologis digunakan untuk meningkatkan frekuensi BAB pada pasien konstipasi, yaitu dengan menambah asupan serat sebanyak 10-12 gram per hari dan meningkatkan volume cairan yang diminum, serta meningkatkan aktivitas fisik/olah raga. Sumber makanan yang kaya akan serat, antara lain: sayuran, buah, dan gandum. Serat dapat menambah volume feses (karena dalam saluran pencernaan manusia ia tidak dicerna), mengurangi penyerapan air dari feses, dan membantu mempercepat feses melewati usus sehingga frekuensi defekasi/BAB meningkat. Latihan usus besar; penderita dianjurkan mengadakan waktu secara teratur tiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus besarnya. Dianjurkan waktu ini adalah 5 10 menit setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan refleks gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda tanda dan rangsangan untuk BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini. Sedangkan terapi farmakologis dengan obat laksatif/pencahar digunakan untuk meningkatkan frekuensi BAB dan untuk mengurangi konsistensi feses yang kering dan keras. Secara umum, mekanisme kerja obat pencahar meliputi pengurangan absorpsi air dan elektrolit,

meningkatkan osmolalitas dalam lumen, dan meningkatkan tekanan hidrostatik dalam usus. Obat pencahar ini mengubah kolon, yang normalnya merupakan organ tempat terjadinya penyerapan cairan menjadi organ yang mensekresikan air dan elektrolit. Obat pencahar sendiri dapat dibedakan menjadi 4 golongan, yaitu: Memperbesar dan melunakan massa fesef anatara lain: - cereal - methy selulose - psilium Melunakan dan melincinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air.contohnya antara lain: - Minyak kastor - golongan docusate Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan, misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain: - sorbitol - lactulose - glycerin Merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bila dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak pleksus mesenterikus dan berakibat dismotilitas kolon. Contohnya - bisakodil Pencahar yang melunakkan feses secara umum merupakan senyawa yang tidak diabsorpsi dalam saluran pencernaan dan beraksi dengan meningkatkan volume padatan feses dan melunakkan feses supaya lebih mudah dikeluarkan. Pencahar bulk-forming meningkatkan volume feses dengan menarik air dan membentuk suatu hidrogel sehingga terjadi peregangan dinding saluran cerna dan merangsang gerak peristaltik. Penggunaan obat pencahar ini perlu memperhatikan asupan cairan kedalam tubuh harus mencukupi, jika tidah bahaya terjadi dehidrasi.

Derivat difenilmetan yang biasa digunakan adalah bisakodil dan fenolptalein. Senyawasenyawa ini merangsang sekresi cairan dan saraf pada mukosa kolon yang mengakibatkan kontraksi kolon sehingga terjadi pergerakan usus (peristaltik) dalam waktu 6-12 jam setelah diminum, atau 15-60 menit setelah diberikan melalui rektal. Namun penggunaan fenilptalein sudah dilarang karena bersifat karsinogen. Senyawa ini tidak direkomendasikan untuk digunakan tiap hari. Jarak antara setiap kali penggunaan harus cukup lama, sekitar beberapa minggu, untuk mengobati konstipasi ataupun untuk mempersiapkan pengosongan kolon jika diperlukan untuk pembedahan. Saline cathartics merupakan garam anorganik yang mengandung ion-ion seperti Mg, S, P, dan sitrat, yang bekerja dengan mempertahankan air tetap dalam saluran cerna sehingga terjadi peregangan pada dinding usus, yang kemudian merangsang pergerakan usus (peristaltik). Selain itu, Mg juga merangsang sekresi kolesitokinin, suatu hormon yang merangsang pergerakan usus besar dan sekresi cairan. Senyawa ini dapat diminum ataupun diberikan secara rektal. Pencahar saline ini juga dapat digunakan untuk mengosongkan kolon dengan cepat sebagai persiapan sebelum pemeriksaan radiologi, endoskopi, dan pembedahan pada bagian perut (Gangarosa & Seibertin, 2003). Secara umum, penggunaan pencahar untuk mengatasi konstipasi sebaiknya dihindari. Namun, jika konstipasi yang terjadi dapat menimbulkan keparahan kondisi pasien, misalnya pada pasien wasir atau pasien yang baru menjalani pembedahan perut, penggunaan obat pencahar sangat diperlukan. Dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara cara tersebut diatas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan. Pada umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau adanya volvulus, tidak dilakukan tindakan pembedahan.

You might also like