You are on page 1of 39

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Gangguan pendengaran pada anak perlu dideteksi seawal mungkin mengingat pentingnya peranan fungsi pendengaran dalam proses perkembangan bicara. Fungsi pendengaran dan perkembangan bicara serta bahasa sudah termasuk dalam program evaluasi perkembangan anak secara umum yang dilakukan oleh profesi di bidang kesehatan mulai dari tingkatan Posyandu.1 Identifikasi gangguan pendengaran pada anak secara awal dengan cara pengamatan reaksi anak terhadap suara atau tes fungsi pendengaran dengan metode dan peralatan yang sederhana, perlu dipahami oleh semua profesi di bidang kesehatan yang banyak menghadapi bayi dan anak. Dokter Puskesmas, petugas Posyandu atau bidan di klinik Ibu dan Anak perlu mengetahui cara identifikasi gangguan fungsi pendengaran secara awal dan kondisi klinis yang dicurigai dapat mengakibatkan gangguan pendengaran. Untuk membantu program penanganan awal, identifikasi awal gangguan pendengaran dan bagaimana proses perkembangan bicara pada anak perlu ditingkatkan dengan penyuluhan atau seminar kepada para orang tua.1 Saat ini sudah banyak metode untuk menilai fungsi pendengaran anak. Tes pendengaran pada anak tidak bisa ditunda hanya dengan satu alasan usia anak belum memungkinkan untuk dilakukan tes pendengaran.1 Tes pendengaran secara obyektif di bidang audiologi dengan peralatan elektrofisiologik saat ini sudah banyak dikembangkan di beberapa Rumah Sakit

dan klinik

seperti ABR, ASSR, elektroakustik imitans, OAE yang sangat

berharga dalam diagnostik fungsi pendengaran secara dini tidak tergantung usia. Akan tetapi masalahnya adalah tidak semua Rumah Sakit memiliki peralatan tersebut dan biaya pemeriksaan yang relatif mahal. Sekalipun sudah ada tes elektrofisiologik yang canggih, tes pendengaran dengan pengamatan tingkah laku anak terhadap rangsang suara (Behaviour Observation Audiometry) tetap harus dilakukan di bidang audiologi pediatrik.1 Hal ini tentu saja memerlukan kerjasama dengan disiplin ilmu lain dan masyarakat sebagai tenaga kesehatan. Untuk mendeteksi apakah seorang anak (terutama bayi) itu tuli atau normal merupakan hal yang cukup sulit. Biasanya orang tua baru menyadari adanya gangguan pendengaran pada anak bila tak ada respon terhadap suara keras atau keterlambatan berbicara. Untuk itu perlu mengetahui adanya gangguan pendengaran secara dini dan mengintervensinya secara tepat. 2,3

1.2 Batasan Masalah Pembahasan makalah ini dibatasi pada deteksi dini gangguan pendengaran pada anak serta berbagai jenis pemeriksaan yang dilakukan.

1.3 Tujuan Penulisan Penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca tentang deteksi dini gangguan pendengaran pada anak dan pemeriksaan yang dilakukan.

1.4 Metode Penulisan Makalah ini disusun berdasarkan studi kepustakaan dengan merujuk ke berbagai literatur.

1.5 Manfaat Penulisan Penulisan makalah ini diharapkan akan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai berbagai pemeriksaan dalam mendeteksi gangguan pendengaran pada anak.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian: telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam.4

Gambar 2.1 Anatomi Telinga10

1. Telinga luar Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terrdiri dari

tulang. Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasi kelenjar keringat = kelenjar serumen) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada duapertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen. 2. Telinga tengah Telinga tengah berbentuk kubus dengan: Batas luar: membran timpani Batas depan: tuba eustachius Batas bawah: vena jugularis (bulbus jugularis) Batas belakang: aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis Batas atas: tegmen timpani (meningen atau otak) y Batas dalam: berturut-turut dari atas ke bawah kanalis

semisirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong, tingkap bulat dan promontorium. Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga, bagian ini disebut pars flaksida sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propria). Pars flaksida hanya berlapis dua yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler pada bagian dalam. Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut umbo. Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light) yang merupakan cahaya dari luar yang

dipantulkan oleh membran timpani. Di membran timpani terdapat 2 macam serabut yaitu sirkuler dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan adanya refleks cahaya yang kita nilai. Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran dengan menarik garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan, serta bawah-belakang. Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tesusun dari luar ke dalam yaitu maleus, inkus dan stapes.

Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat aditus ad antrum yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah. 3. Telinga dalam Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema yang menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.

Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea

tampak skala vestibuli di sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis di antaranya). Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Reissners membrane) sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terdapat organ Corti. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada membran basalis melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ Corti.4

Fisiologi Pendengaran Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani, diteruskan ke telinga tengah melaui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong, sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reisner yang mendorong endolimfa sehingga akan menimbulkan gerakan relatif antara membran basalis dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut sehingga kanal

ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.4

2.2 Perkembangan Pendengaran Anak Perkembangan auditorik pada manusia sangat erat hubungannya dengan perkembangan otak. Neuron di bagian korteks mengalami proses pematangan dalam waktu 3 tahun pertama kehidupan, dan masa 12 bulan pertama kehidupan terjadi perkembangan otak yang sangat cepat.5 Telah diteliti bahwa koklea mencapai fungsi normal seperti orang dewasa setelah usia gestasi 20 minggu. Pada masa tersebut janin dalam kandungan telah dapat memberikan respons terhadap suara yang ada disekitarnya, namun reaksi janin masih bersifat refleks seperti refleks moro, terhentinya aktifitas dan auro palpebral.5 Bersamaan dengan proses maturasi fungsi auditorik, berlangsung pula perkembangan kemampuan bicara. Kemahiran wicara dan berbahasa pada seseorang hanya dapat tercapai bila input sensorik (auditorik) dan motorik dalam keadaan normal. Perkembangan oleh bicara erat kaitannya dengan dengan tahap tahap

perkembangan

mendengar,

karenanya

memahami

perkembangan bicara dapat diperkirakan adanya gangguan pendengaran.5

Tahap perkembangan bicara:5 1. Neonatus, menangis (refleks vocalization), mengeluarkan suara

mendengkur suara mendengkur seperti suara burung (cooing), suara seperti berkumur (gargles). 2. 2-3 bulan, tertawa dan mengoceh tanpa arti (babbling) 3. 4-6 bulan, mengeluarkan suara yang merupakan kombinasi huruf hidup (vowel) dan huruf mati, suara berupa ocehan yang bermakna (true babbling atau lalling), seperti pa..pa..ba..ba.. 4. 7-11 bulan, dapat menggabung kata atau suku kata yang tidak mengandung arti yang terdengar seperti bahasa asing (jargon), usia 10 bulan mampu meniru suara sendiri (echolalia), memahami arti tidak dan mengucapkan salam, mulai memberi perhatian terhadap nyanyian atau musik. 5. 12-18 bulan, mampu menggabungkan kata atau kalimat pendek, mulai megucapkan kata pertama yang mempunyai arti (true speech), usia 12-14 bulan mengerti instruksi sederhana dan menunjukkan bagian tubuh serta nama mainannya, usia 18 bulan mampu mengucapkan 6-10 kata.

2.3 Gangguan Pendengaran pada Anak Pada anak terdapat dua kategori primer gangguan pendengaran yaitu kongenital (telah ada sejak lahir) serta didapat (muncul setelah lahir). Berikut adalah berbagai kondisi yang memungkinkan anak mendapatkan gangguan pendengaran.6

Gangguan pendengaran kongenital:6 1. Infeksi pada masa kehamilan (campak Jerman,

toksoplasmosis dan sitomegalovirus). 2. Konsumsi obat-obatan yang ototoksik selama kehamilan. 3. Komplikasi saat kelahiran (contoh: infeksi akibat infeksi jalan lahir). 4. Kelainan pada otak atau sistem saraf khususnya saraf yang berperan untuk mendengar. 5. Sindrom genetic, seperti Ushers syndrome, Downs syndrome, dan Waardenburgs syndrome. 6. Adanya riwayat keluarga yang mengalami gangguan pendengaran. y Gangguan pendengaran yang didapat:6 1. Infeksi telinga tengah yang tidak diobati. 2. Infeksi lain seperti campak, gondongan, ISPA, dan meningitis. 3. Perforasi membran timpani. 4. Mendengar bunyi yang terlalu kuat, seperti kembang api serta musik yang keras (konser). 5. Penyakit pada telinga seperti otosklerosis atau Menieres disease. 6. Luka serius pada kepala. masa

10

7. Obat-obatan yang ototoksik Selain itu bayi baru lahir dengan kondisi seperti berikut harus dipertimbangkan untuk mendapatkan pemeriksaan pendengaran:8 y y y y y y Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Bayi lahir prematur. Bayi dengan skor Apgar yang rendah. Bayi dengan bantuan nafas. Hiperbilirubin. Hidrosefalus.

Umumnya gangguan pendengaran pada anak bersifat sementara dan disebabkan oleh serumen atau infeksi pada telinga tengah. Banyak anak dengan gangguan pendengaran bisa mendengar dengan baik lagi setelah menjalani berbagai pengobatan.6 Berdasarkan bagian dari telinga yang terlibat, terdapat pula dua tipe gangguan pendengaran yaitu:7 y Gangguan pendengaran konduktif Gangguan terdapat pada telinga tengah atau luar yang biasanya bisa ditatalaksana dengan obat-obatan ataupun pembedahan. y Gangguan pendengaran sensorineural Gangguan pada telinga dalam ataupun pada saraf pendengaran yang biasanya permanen dan memerlukan rehabilitasi pendengaran seperti pemakaian alat bantu dengar. Gangguan pendengaran sensorineural pada anak bisa dicegah antara lain memberikan imunisasi pada anak yang berkaitan dengan penyakit yang

11

memungkinkan anak kehilangan pendengaran, menghindari suara yang terlalu keras, serta meningkatkan antenatal care dan pengawasan perinatal. Gangguan pendengaran konduktif bisa dicegah dengan deteksi dini, yang diikuti dengan pengobatan yang sesuai.7 Pada bayi dan anak-anak, deteksi dini serta pengobatan yang adekuat bisa mencegah gangguan perkembangan pada anak khususnya gangguan bicara dan mendengar serta meningkatkan prestasi di sekolah.7

2.4 Identifikasi Awal Gangguan Pendengaran pada Anak Orang tua memegang peran yang sangat penting dalam deteksi dini. Orang tua yang jeli akan menangkap tanda-tanda bayi atau anak kurang memberikan reaksi terhadap suara di sekitarnya dan akan segera datang ke klinik guna evaluasi pendengaran tanpa menunggu usia anak lebih besar. Keterlambatan diagnosis disebabkan masih adanya anggapan bahwa anak tidak memberikan respons terhadap suara karena faktor usia atau karena anak yang kurang perhatian akan menyebabkan tertundanya diagnosis secara dini. Berdasarkan pengamatan pada 192 kasus anak dengan gangguan fungsi pendengaran, didapati 12% keluhan datang dari orang tua dan usia rata-rata di atas 2 tahun. Hanya 4% di bawah usia 1 tahun yang semuanya dikirim oleh dokter anak karena riwayat kelahiran dengan faktor resiko tinggi.1 Beberapa orang tua masih belum memahami masalah gangguan pendengaran pada anak secara awal, karena masih adanya anggapan bahwa anak masih belum responsif terhadap suara karena anak: cuek, bandel atau karena faktor usia anak masih belum mengerti bagaimana harus memberi respons

12

terhadap stimulus suara. Anggapan tersebut mengakibatkan tertundanya diagnosis lebih awal karena sikap menunggu sampai usia anak dianggap mampu memberikan respons atau dapat dilakukan tes pendengaran. Pengalaman di klinik juga cukup banyak didapati ketidaktahuan orang tua akan peranan pendengaran sebagai dasar perkembangan bicara. Hal ini terbukti dari masalah yang dikemukakan orang tua pada saat membawa anaknya ke klinik. Masalah yang masih sering dikemukakan adalah anak saya belum bisa berbicara, jarang yang mengajukan pernyataan tolong diperiksa pendengarannya, karena saya curiga anak saya ada masalah pendengaran. Bahkan ada beberapa orang tua yang mengemukakan kemungkinan ada masalah di pita suara atau lidahnya yang membuat anak belum bisa berbicara.1 Riwayat kecurigaan gangguan pendengaran oleh orang tua merupakan informasi yang sangat berharga dalam diagnosis masalah gangguan pendengaran pada anak-anak. Misalnya anak sama sekali tidak ada respons terhadap stimulus suara kecuali yang keras, anak memberikan respons karena dibantu input visual, atau anak tidak ada respons bila dipanggil tetapi ada respons terhadap suara-suara lain seperti iklan atau lagu-lagu anak di TV yang disukainya.1 Respons anak terhadap stimulus di lingkungan yang sudah terbiasa di rumahnya sendiri dengan orang-orang di sekitarnya yang sudah dikenalnya dengan baik dapat memberikan informasi yang berharga mengenai kondisi pendengaran pada anak yang pemalu dan penakut yang mungkin tidak ada respons pada saat dilakukan tes di klinik audiologi.1 Identifikasi awal ini sangat dibutuhkan karena anak dengan gangguan pendengaran yang tidak terdeteksi akan mengalami kesulitan dalam

13

perkembangan bicara yang berefek pada kemampuan belajarnya. Identifikasi awal ini berguna dalam hal pengobatan dan rehabilitasi pendengaran karena semakin dini pendengaran anak diperbaiki maka anak akan bisa mengikuti perkembangan bicara normal.7

2.5 Skrining Gangguan Pendengaran pada Anak Informasi dari orang tua dengan tuntunan anamnesa yang cermat mengenai respons anak terhadap rangsang suara di lingkungan sehari-hari di rumah dan kemampuan vokalisasi dan cara pengucapan kata-kata anak sangat membantu menilai masalah gangguan pendengaran dan perkembangan bicarabahasa pada anak.1 Kecurigaan orang tua akan masalah gangguan pendengaran pada anaknya

diperlukan dalam skrining awal ini. Jika ada kecurigaan perhatikan dalam kondisi dan situasi yang bagaimana. Contohnya: apakah anak ada respons terhadap suara tertentu saja, tetapi tidak ada respons terhadap suara yang lain, bagaimana kekerasan suaranya, bagaimana kondisi dan situasi saat pengamatan berlangsung, apakah sepi atau ramai, apakah dibantu input visual atau organ sensorik yang lain.1 Berikut adalah pedoman yang bisa dipakai orang tua dalam membantu skrining sederhana untuk mendeteksi adanya gangguan pendengaran:1 y Usia 0-4 bulan. Apakah bayi kaget kalau mendengar suara yang sangat keras? Apakah bayi yang sedang tidur terbangun kalau mendengar suara keras?

14

Usia 4-7 bulan. Usia 4 bulan apakah anak mulai mampu menoleh kearah datangnya suara diluar lapangan pandang mata? Apakah anak mulai mengoceh di usia 5-7 bulan Sebelum usia 7 bulan apakah anak mampu menoleh langsung ke arah sumber suara di luar lapangan pandang mata?

Usia 7-9 bulan. Apakah anak mampu mengeluarkan suara dengan nada yang naik turun atau monoton saja?

Usia 9-13 bulan. Apakah anak menoleh bila ada suara di belakangnya? Apakah anak mampu menirukan beberapa jenis suara? Apakah anak sudah mampu mengucapkan suara konsonan seperti beh, geh, deh, ma.

Usia 13-24 bulan. Apakah dia mendengar bila namanya dipanggil dari ruangan lain? Apakah anak memberikan respons dengan bervokalisasi atau bahkan datang kepada anda? Kata-kata apa saja yang mampu diucapkan? Apakah kualitas suara dan cara pengucapannya normal? Bisa menyebutkan dua atau lebih kata secara bersusun dan teratur? Memiliki perhatian terhadap dongeng yang diceritakan, lagu, ataupun irama?

Informasi yang diperoleh dari orang tua mengenai respons anak terhadap suara dan kemampuan berbicara disertai dengan penilaian kualitas vokalisasi dan bicara pada saat anak datang di klinik dapat di perkirakan derajat dan onset gangguan pendengaran anak. Suara anak yang melengking tinggi tanpa bisa mengontrol kekerasan suara dan hanya mampu mengeluarkan suara huruf hidup, kemungkinan anak mengalami gangguan pendengaran derajat berat sejak

15

dilahirkan. Apabila kualitas suaranya lebih baik kemungkinan gangguan pendengaran terjadi kemudian setelah anak mampu berbicara.1 Beberapa gejala pada anak dengan kemungkinan mengalami gangguan pendengaran yang bisa diamati sehari-hari oleh orang tua untuk anak usia prasekolah atau usia yang lebih besar dari 24 bulan:1 y Kurang responsif terhadap suarasuara yang ada di sekitarnya: vacuum cleaner, klakson mobil, petir. y Anak kelihatannya kurang perhatian terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, kecuali yang bisa dinikmati dengan melihat. Anak tidak mudah tertarik dengan pembicaraan atau suara-suara yang ada di sekelilingnya. y Cenderung berusaha melihat muka lawan bicara dengan tujuan mencari petunjuk dari gerak bibir dan ekspresi muka guna mendapat informasi tambahan apa yang diucapkan. y Anak kurang responsif apabila diajak bicara tanpa diberi kesempatan melihat muka lawan bicara. y y y y Sering minta kata-kata diulang lagi. Jawaban yang salah dengan pertanyaan atau perintah sederhana. Kesulitan menangkap huruf mati atau konsonan. Anak hanya memberikan respons terhadap suara tertentu atau dengan kekerasan tertentu. y Anak memberikan respons yang tidak konsisten pada waktu yang berbeda, kemungkinan mengalami gangguan pendengaran yang hilang timbul sebagai akibat otitis media serosa. Orang tua sering menganggap karena

16

anak cuek atau bandel, hanya memberikan respons kalau anak sedang mau saja. y Kesulitan menangkap pembicaraan di dalam ruangan yang ramai. Anak dengan gangguan pendengaran ringan atau sedang masih mampu menangkap pembicaraan di lingkungan yang ribut seperti di kelas atau dirumah dengan suara-suara TV yang cukup mengganggu. Anak dengan pendengaran yang normal mempunyai kemampuan mengatasi kesulitan di lingkungan mendengar yang sulit. y Ucapan anak yang sulit dimengerti merupakan salah satu kemungkinan anak mengalami gangguan pendengaran. Hal ini disebabkan anak tidak mampu menangkap semua elemen pembicaraan dengan jelas sehingga anak akan mengalami kesulitan meniru ucapan dengan betul dan baik. Anak juga akan mengalami gangguan pola berbicara yang sering rancu dengan masalah intelegensinya. y Bicara anak lemah atau bahkan terlalu keras. Hal ini menunjukkan bahwa anak tidak mendengar suaranya sendiri. Anak yang bicaranya pelan kemungkinan mengalami tuli konduktif karena anak dapat menangkap suaranya sendiri melalui jalur hantaran tulang sekalipun hantaran udaranya mengalami gangguan. Anak dengan tuli sensorineural akan berbicara lebih keras supaya bisa menangkap suaranya sendiri. y Kemampuan berbicara dan pemahaman kata-kata terbatas. Anak dengan gangguan pendengaran akan mengalami penurunan kemampuan

mendengar dan memahami arti kata-kata sehingga menghambat proses perkembangan bicara.

17

y y

Nilai di sekolah menurun atau di bawah rata-rata kelas. Masalah tingkah laku, baik di sekolah maupun di rumah.

2.6 Jenis Tes Pendengaran pada Anak Pada prinsipnya metode tes pendengaran pada anak dibedakan menjadi dua yaitu:1 1. Tes yang subyektif berdasarkan pada pengamatan perilaku anak terhadap rangsang suara (behavioral observation audiometry, visual reinforcement audiometry). 2. Tes yang non behavioral atau obyektif dengan menggunakan alat elektrofisologik (Auditory Brainstem Response atau ABR,

Auditory Steady State Response atau ASSR, serta Otoacoustic Emission atau OAE). Perubahan perilaku anak terhadap stimulus suara tergantung pada beberapa faktor antara lain faktor usia, status mental yang mencakup kondisi mental anak, kemauan melakukan tes, rasa takut, status neurologik yang berhubungan dengan perkembangan motorik dan persepsi.1 Neonatus akan memberikan respons yang lebih spontan terhadap stimulus suara dengan intensitas tinggi (115 dB SPL). Dengan semakin bertambahnya usia, spontanitas respons terhadap suara menurun tergantung pada kemauan anak.1 Selama ini masih ada yang beranggapan bahwa tes pendengaran tidak bisa dilakukan saat masih bayi, harus menunggu hingga anak bisa berbicara (usia 5-6 tahun), padahal kini tes pendengaran bahkan sudah bisa dilakukan saat beberapa

18

jam setelah anak lahir. Bahkan 10 negara bagian di Amerika Serikat telah mewajibkan tes pendengaran dilakukan pada bayi baru lahir.8

2.7 Behavioural Observation Audiometry Teknik BOA sudah lama dikembangkan untuk evaluasi pendengaran anakanak usia <18 bulan, sejak belum tersedia alat-alat elektrofisiologik. Tes ini berdasarkan pada respon aktif pasien terhadap stimulus bunyi dan merupakan respon yang disadari (voluntary respon). Metoda ini dapat mengetahui seluruh sistem auditorik termasuk pusat kognitif yang lebih tinggi. Behavioural Audiometry penting untuk mengetahui respons subyektif sistem auditorik pada bayi dan anak, dan juga bermanfaat untuk penilaian habilitasi pendengaran yaitu pada pengukuran alat bantu dengar (hearing aid fitting). Pemeriksaan ini dapat digunakan pada semua usia mulai bayi baru lahir dengan mempertimbangkan usia dan status perkembangan anak secara umum.1,8,9 Pemeriksaan dilakukan pada ruangan yang cukup tenang (bising lingkungan tidak lebih dari 60 dB), idealnya pada ruangan kedap suara. Sebagai sumber bunyi dapat digunakan tepukan tangan, tambur, bola plastik berisi pasir, remasan kertas, minyak, bel, terompet karet, dan benda-benda lain yang telah dikalibrasi frekuensi dan intensitasnya. Bila tersedia bisa digunakan alat noisemaker buatan pabrik yang frekuensi dan intensitasnya bisa dipilih.1 Tes behaviour cukup dapat memberikan nilai ketepatan, efisiensi dan cukup obyektif apabila dilakukan oleh klinikus yang berpengalaman. Selain itu tes BOA cukup relibel, cukup menyenangkan bagi anak-anak, serta efisien dari segi waktu dan biaya.1

19

Pemeriksaan BOA ini dibedakan menjadi: Behavioural Reflex Audiometry dan Behavioural Response Audiometry.5

Behavioural Reflex Audiometry Dilakukan pengamatan respon behavioral yang bersifat refleks sebagai reaksi terhadap stimulus bunyi. Respons behavioral yang dapat diamati antara lain: mengejapkan mata (auropalpebral reflex), melebarkan mata (widening eyes), mengerutkan dahi (grimacing), berhenti menyusu (cessation reflex), denyut jantung meningkat dan refleks Moro.1,5 Teknik pemeriksaan ini tidak menggunakan re-inforcer, hanya berdasarkan pada hasil observasi reaksi perilaku anak terhadap rangsang bunyi. Tidak ada ketentuan yang khusus mengenai penilaian reaksi bayi terhadap rangsang suara.1,5 Metode sederhana yang selama ini dilakukan untuk skrining pendengaran pada neonatus adalah dengan mengamati refleks Moro atau refleks startle. Prosedur tes dapat dilakukan dengan stimulasi suara pada waktu bayi sedang tidur di dalam boks atau tempat tidur bayi di ruangan yang sunyi. Sebaiknya tanpa selimut sehingga gerakan-gerakan anggota tubuhnya dapat diamati lebih jelas. Kemudian diberikan stimulus dengan intensitas tertentu melalui loudspeaker. Stimulus juga dapat diberikan malalui noisemaker yang dapat dipilih intensitasnya.1,5 Tidak ada definisi yang khusus mengenai reaksi bayi terhadap suara. Respons bayi terhadap stimulus suara yang selama ini dipakai adalah berupa respons motorik gerakan berupa sentakan tangan atau kaki, tangan terangkat kesamping, jari-jari tangan mengembang, kaki terangkat dan kepala tergerak ke

20

arah belakang. Pada bayi dengan pendengaran normal, refleks startle timbul pada intensitas yang agak tinggi yaitu sekitar 85 dB SPL. Dengan intensitas yang lebih tinggi: 105-115 dB SPL dapat menimbulkan refleks auro-palpebral berupa kedipan mata atau mata lebih terpejam pada saat mata tertutup sebagai respons terhadap stimulus suara.1 Respons perilaku lain yang bisa diamati adalah perubahan ritme gerakangerakan tertentu yang sedang dilakukan anak pada saat pemberian stimulus bunyi. Misalnya pada bayi saat menghisap susu, tiba-tiba berhenti atau sebaliknya justru frekuensi menghisapnya menjadi lebih cepat.1

Behavioural Response Audiometry Pada bayi normal sekitar usia 5-6 bulan, stimulus akustik akan menghasilkan pola respons khas berupa menoleh atau menggerakkan kepala ke arah sumber bunyi di luar lapangan pandang. Awalnya gerakan kepala hanya pada bidang horizontal, dan dengan bertambahnya usia bayi dapat melokalisir sumber bunyi dari arah bawah. Selanjutnya bayi mampu mencari sumber bunyi dari bagian atas. Pada bayi normal kemampuan melokalisir sumber bunyi dari segala arah akan tercapai pada usia 13-16 bulan.5,9 Terdapat berbagai teknik Behavioural Response Audiometry, antara lain Tes Distraksi, Visual Reinforcement Audiometry (VRA), serta Visual Reinforcement Operant Conditioning Audiometry (VROCA). 1,5,9 y Tes Distraksi Ewing dan Ewing (1947), pertama kali melakukan tes pendengaran pada bayi dengan menggunakan noisemakers yang dibagi menjadi 3

21

kriteria: kriteria distraksi, kooperatif dan kriteria respons. Ternyata pemberian signal frekuensi 4000 Hz lebih mudah menimbulkan respons dan kemampuan melokalisasi arah suara lebih baik setelah usia 6 bulan.1 Tes Ewing merupakan tes distraksi dengan mengamati respons anak berupa menolehnya kepala tanpa conditioning dengan menggunakan 6 jenis stimulus yang diberikan pada jarak 1 m di belakang anak.1 Tes dilakukan pada ruang kedap suara dan bayi dipangku oleh ibu atau pengasuh. Diperlukan dua orang pemeriksa, pemeriksa pertama untuk menjaga konsentrasi bayi dan memperhatikan respons bayi, sedangkan pemeriksa kedua berperan memberikan stimulus bunyi. Repons yang diharapkan terhadap stimulus bunyi adalah bayi atau anak menggerakkan bola mata atau menoleh ke arah sumber bunyi.1,9 Pada prinsipnya ada 4 jenis stimulus yang dipakai untuk refleks orientasi bayi terhadap suara:1 1. Suara manusia atau kata-kata (live voice) 2. Bunyi alat musik: perkusi (genderang), bel, triangle 3. Alat tiup: 120-1900 Hz 4. Suara-suara yang mudah dikenal: bunyi decak mulut, ketukan pintu, remasan kertas atau plastik, dan noisemaker sederhana yang dapat dipakai untuk tes BOA skrining. Jenis Intensitas:1 1. Bola ping-pong yang diberi tangkai untuk pegangan diisi 6 butir beras panjang dan diletakkan 10 cm di belakang telinga anak, tangkai kemudian diputar-putar secara perlahan (40 dB)

22

2. Terompet (100 dB SPL) 10 cm di belakang telinga anak 3. Plastik diremas-remas (40 dB SPL) 10 cm di belakang telinga 4. Menggesek tepi cangkir dengan sendok (4000 Hz) 5. Mengetuk dasar cangkir dengan sendok (900 Hz) 6. Suara mulut sssss (4000 Hz) 7. Suara mulut oe-oe-oe (250 Hz) 8. Mainan dari karet yang berbunyi kalau dipencet (squeeze toys) 4000 Hz , 60 dB SPL. Bila tidak ada respons terhadap stimuli bunyi, maka pemeriksaan diulangi sekali lagi. Kalau tetap tidak ada maka pemeriksaan ketiga dilakukan 1 minggu kemudian. Seandainya tetap tidak ada respon, harus dilakukan pemeriksaan audiologik lanjutan yang lebih lengkap.5

Gambar 2.2 Simulasi Tes Distraksi11

23

Visual Reinforcement Audiometry (VRA) VRA merupakan tes pendengaran yang sangat bermakna apabila dilakukan oleh audiologis yang terlatih dan berpengalaman. Prinsip VRA adalah menilai berpalingnya kepala anak terhadap stimulus suara dengan conditioning (latihan). Untuk re-inforcer dapat menggunakan lampu berkedip-kedip, mainan yang diberi iluminasi lampu atau manual dengan menggunakan sarung tangan berbentuk boneka. Selain itu dapat juga cara dengan memberikan sanjungan misalnya dengan acungan jempol, tepuk tangan atau mengelus tangan atau pipi yang membuat anak senang bahwa dia sudah melakukan tugasnya dengan baik.1,9 Fungsi pendengaran anak usia 1-3 tahun dapat dinilai dengan metode VRA dengan hasil yang sangat bermakna apabila dilakukan oleh pemeriksa yang terlatih dan berpengalaman.1 Ruang tes VRA menggunakan ruang yang cukup luas sehingga dapat menampung sekitar 3 4 orang yang terdiri dari pemeriksa yang melakukan distraksi, anak dan orang tua yang mendampingi anak selama tes, ruang untuk penempatan re-inforcer berikut alat pengeras suara1.

24

Gambar 2.3 Pengaturan ruangan pada VRA8

Prinsip dasar tes VRA adalah reinforce respons behavioral (gerakan menolehnya kepala terhadap suara dengan frekuensi spesifik disertai upah hadiah atau penghargaan secara visual dengan mainan atau lampu yang berkedip. Anak diusahakan tertarik ke arah bunyi dengan

memberikan reinforce secara visual apabila anak menoleh ke arah sumber bunyi. Frekuensi dan intensitas diubah-ubah untuk mendapatkan ambang pada beberapa frekuensi. Gerakan kepala anak menoleh ke arah sumber bunyi dikenal dengan refleks orientasi. Apabila bunyi diberikan berulang kali refleks orientasi akan mengalami habituasi yang membuat anak kurang memberikan respons. Diperlukan selingan tes dengan memberikan stimulus bunyi dari mainan-mainan yang menarik untuk merangsang anak menoleh ke arah sumber bunyi. Hubungan antara stimulus visual dan bunyi juga akan menimbulkan refleks orientasi. Apabila anak cukup

25

tertarik akan stimulus visual dan anak mampu menghubungkan antara stimulus bunyi dan stimulus visual maka terjadi mekanisme conditioning. Anak akan menoleh ke arah sumber bunyi dengan tujuan melihat stimulus visual yang merupakan prinsip VRA : suara membuat kepala menoleh ke arah suara yang kemudian di reinforce dengan stimulus visual. Stimulus visual tidak selalu menarik perhatian anak-anak. Pada anak yang usianya lebih besar dapat dengan cara memberikan sanjungan setiap kali anak memberikan respons misalnya dengan acungan jempol, tepuk tangan atau menelus tangan atau pipi. Pengalaman dalam klinik audiologi pediatri, metode sanjungan dengan elusan dipipi sangat bermanfaat pada kasus dengan kelainan ganda yang membuat anak merasa senang bahwa dia sudah melakukan tugasnya dengan benar.1,9

Gambar 2.4 Simulasi Visual Reinforcement Audiometry (VRA)8

26

Tangible Reinforcement Operant Conditioning Audiometry (TROCA) dan Variant Reinforcement Operant Conditioning Audiometry (VROCA) Teknik ini diuraikan pertama kali oleh Ewing dan Ewing (1944) yang merupakan prosedur tes pendengaran untuk anak-anak usia 24 36 bulan. Prinsip dasar TROCA dan VROCA, anak harus menekan tombol setiap kali mendengar rangsang bunyi. Reinforcement yang dipakai apabila anak memberikan respon dengan benar adalah menggunakan obyek nyata misalnya kismis atau cereal bergula yang diatur unit TROCA dan reinforcerment lain pada VROCA (contoh: mainan). Apabila respons yang diberikan benar maka anak akan menekan tombol dan kismis akan keluar dari dispenser yang sudah tersedia (J.Gravel). Anak yang hiperaktif atau yang perhatiannya mudah beralih dapat memakai metode TROCA. Anak pada umumnya lebih memberikan respons dengan metode TROCA.1,9

Penilaian fungsi pendengaran anak dengan pengamatan respons terhadap rangsang suara sangat tergantung pada beberapa faktor: 1,5 1. Ambang pendengaran 2. Usia anak dan pengalaman anak pernah mendengar rangsang suara yang sama 3. Perkembangan anak secara umum 4. Status mental 5. Kondisi anak pada saat pengamatan atau tes pendengaran 6. Jenis stimulus yang dipakai.

27

Riwayat atau anamnesis mengenai respons anak terhadap stimulus suara sebaiknya meliputi beberapa macam rangsang suara yang ada di lingkungan anak sehari-hari seperti suara dering telepon, acara iklan di TV, bel pintu, klakson mobil yang mau masuk rumah, musik yang menawarkan ice cream, bunyi balon yang dijajakan di jalan, di depan rumah dan sebagainya. Hal terpenting dalam menilai respons anak terhadap rangsang suara adalah: jangan melibatkan organ sensorik yang lain seperti visual, peraba dan penciuman.1

2.8 Audiometri Bermain (Play Audiometry) Pada anak yang cukup kooperatif, bisa memakai headphone dan bisa diajarkan bagaimana memberikan respons apabila mendengar suara (conditioned) dapat dilakukan metode audiometri nada murni seperti tes pada orang dewasa. Hanya metode respons apabila mendengar suara dilakukan dengan mainan, seperti memasukkan kelereng ke dalam boks setiap mendengar suara. Pemeriksaan ini memerlukan 2 orang pemeriksa, yang pertama bertugas memberikan stimulus melalui audiometer sedangkan pemeriksa kedua melatih anak dan mengamati resons. Stimulus biasanya diberikan melalui headphone. Dengan mengatur frekuensi dan menentukan intensitas stimulus bunyi terkecil yang dapat menimbulkan respons dapat ditentukan ambang pendengaran pada frekuensi tertentu.1,5,9

28

Gambar 2.5 Simulasi Tes Audiometri Bermain (Play Audiometry)8

2.9 Oto Acoustic Emission (OAE) Pada tahun 1978, Kemp mendapatkan adanya emisi energi akustik dari telinga sebagai respon terhadap suara. Sebuah studi menunjukkan (Kemp, 1998) bahwa emisi ini berasal dari koklea dan berhubungan dengan beberapa proses biomekanikal terkait dengan proses pendengaran normal.5,9 Suara yang berasal dari dunia luar diproses oleh koklea menjadi stimulus listrik, selanjutnya dikirim ke batang otak melalui saraf pendengaran. Sebagian energi bunyi tidak dikirim ke saraf pendengaran melainkan kembali menuju liang telinga (Kemp Echo). Produk sampingan koklea ini berikutnya disebut sebagai emisi otoakustik (otoacoustic emission). Koklea tidak hanya menerima dan memproses bunyi dengan intensitas rendah yang berasal dari sel rambut luar

29

koklea (outer hair cell). Dengan alat ini kondisi baik atau tidaknya telinga dalam bisa diketahui.5,9 Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang non invasif dan sangat cocok untuk skrining neonatus ataupun bayi yang memiliki faktor resiko mendapatkan gangguan pendengaran serta sebagai pemeriksaan bagi anak yang tidak kooperatif.1

Gambar 2.6 Oto Acoustic Emission (OAE) pada neonatus8

Test ini dilakukan dengan meletakkan probe (sumbat liang telinga) berukuran kecil yang terdiri dari microphone dan speaker ke dalam telinga bayi. Saat bayi sedang beristirahat atau sedang tenang, bunyi dihasilkan oleh probe dan respon balik dari koklea (otoacoustic emission) terekam pada layar.8 Terdapat dua jenis OAE yaitu : Spontaneous OAE (SOAE) dan Evoked OAE (EOAE). SPOAE adalah mekanisme aktif dari koklea untuk memproduksi

30

OAE tanpa harus diberikan stimulus, namun tidak semua orang mempunyai SPOAE. Sedangkan OAE hanya akan timbul bila diberikan stimulus akustik.5 EOAE dibedakan lagi menjadi : Transient Evoked OAE (TEOAE) dan Distortion Product OAE (DPOAE). Pada DPOAE stimulus yang diberikan berupa 2 buah nada murni yang berbeda frekuensi dan intensitasnya. Sedangkan TEOAE merupakan respon terhadap suara dengan transien rendah (biasanya berupa click). TEOAE mampu memfilter suara yang masuk dan menghilangkan komponen suara dengan frekuensi terlalu tinggi atau terlalu rendah. Hasil TEOAE mengindikasikan keadaan dari koklea, sehingga hasilnya harus disesuaikan dengan kondisi koklea penderita, sehingga hasil yang normal biasanya bisa bervariasi antara satu sama lain. Ini juga bergantung pada tipe alat yang digunakan. Pada bayi biasanya digunakan OAE dengan ukuran besar dengan frekuensi yang lebih besar dari yang biasanya diberikan pada orang dewasa.5,9 Pemeriksaan OAE juga dimanfaatkan untuk memonitor efek negatif dari obat ototoksik, diagnosis neuropati auditorik, membantu proses pemilihan alat bantu dengar, skrining pemaparan bising dan sebagai pemeriksaan penunjang pada kasus-kasus yang berkaitan dengan gangguan koklea.5,9

31

Gambar 2.7 Hasil yang terekam pada layar OAE12 Alat OAE hanya akan memberikan hasil pass atau reffered, tergantung pada tipe alat yang digunakan. Pada alat diatas pass ditunjukkan dengan lambang ceklis ()

2.10

Brainstem Evoked Response Ausiometry (BERA) atau Auditory Brainstem Response (ABR) BERA merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai integritas

sistem auditorik, bersifat obyektif, dan tidak invasif. Dapat memeriksa bayi, dewasa, bahkan penderita koma.5 BERA merupakan cara pengukuran evoked potential (aktifitas listrik yang dihasilkan oleh nervus VIII, pusat-pusat neural dan traktus di dalam batang otak) sebagai respon terhadap stimulus auditorik. Stimulus bunyi yang digunakan berupa bunyi click atau tone burst yang diberikan melalui headphone, insert probe (paling efisien) atau bone vibrator. Stimulus click merupakan impuls listrik dengan onset cepat dan durasi yang sangat singkat (0,1 ms), menghasilkan respon pada average frequency antara 2000-4000 Hz. Tone burst juga merupakan stimulus dengan durasi singkat namun memiliki frekuensi yang spesifik.5,9

32

Respon terhadap stimulus auditorik berupa evoked potential yang sinkron, direkam melalui elektroda permukaan (surface electrode) yang ditempelkan pada kulit kepala (dahi dan prosesus mastoid), kemudian diproses melalui program komputer dan ditampilkan sebagai 5 gelombang defleksi positif (gelombang I sampai V) yang terjadi sekitar 2-12 ms setelah stimulus diberikan. Analisis gelombang BERA berdasarkan morfologi gelombang, masa laten, dan amplitudo gelombang.9 Kekurangan pada pemeriksaan ini adalah bayi atau anak diharuskan untuk tetap diam tidak bergerak karena potensi elektrik yang terekam oleh alat tersebut dari saraf auditori sangat kecil, sehingga pergerakan otot sedikit saja (contoh: mengedip) bisa mengacaukan pemeriksaan. Untuk itu pemeriksaan BERA harus dilakukan saat bayi atau anak tidur. Anak di bawah usia 3 tahun diharuskan tidur dengan alami (bukan hasil medikasi atau provokasi obat-obatan). Sedangkan anak usia diatas 3 tahun bisa diberikan obat-obatan sedatif selama pemeriksaan.9

Gambar 2.8 Simulasi Pemeriksaan BERA pada bayi13

33

Kombinasi pemeriksaan OAE dan BERA merupakan baku emas dalam mendeteksi gangguan pendengaran pada anak, karena pada OAE kita hanya bisa menilai keadaan atau fungsi koklea sedangkan untuk fungsi organ-organ pendengaran lain yang lebih dalam (hingga ke otak) bisa digunakan BERA.5

2.11

Timpanometri Pemeriksaan ini diperlukan untuk menilai kondisi telinga tengah.

Gambaran timpanometri yang abnormal (adanya cairan atau tekanan negatif di telinga tengah) merupakan petunjuk adanya gangguan pendengaran konduktif. Pemeriksaan ini tergolong cepat, objektif, dan tidak invasif (walaupun kadang anak sedikit akan ketakutan saat memasukkan probe).5 Melalui probe tone (sumbat liang telinga) dengan frekuensi tinggi, yang dipasang pada liang telinga, dapat diketahui besarnya tekanan liang telinga tengah berdasarkan energi suara yang dipantulkan kembali (ke arah luar) oleh membran timpani, ini disebut dengan refleks akustik.5

Gambar 2.9 Pemeriksaan Timpanometri14

34

Terdapat 4 jenis timpanogram5 : 1. Tipe A (normal) 2. Tipe AD (diskontinuitas tulang-tulang pendengaran) 3. Tipe AS (kekakuan rangkaian tulang pendengaran) 4. Tipe B (cairan di dalam telinga tengah) 5. Tipe C (Gangguan fungsi tuba Eustachius) Pada bayi usia kurang dari 6 bulan ketentuan jenis timpanogram tidak mengikuti ketentuan di atas. Timpanometri merupakan pemeriksaan pendahuluan sebelum tes OAE, dan bila terdapat gangguan pada telinga tengah maka pemeriksaan OAE harus ditunda terlebih dahulu hingga telinga tengah normal.5

2.12 Tes Fungsi Perseptif Pada Anak-Anak Tes diskriminasi kata-kata pada anak-anak mempunyai nilai yang tinggi untuk mengetahui kemampuan reseptif pendengaran anak, tanpa dipengaruhi oleh kemampuan ekspresifnya. Anak-anak usia 2,5 tahun atau lebih umumnya sudah cukup matang mengenal kata-kata. Akan tetapi untuk tes kata-kata dengan menggunakan headphone anak-anak belum bisa, sehingga umumnya digunakan teknik ucapan langsung dan dengan menggunakan sound level meter.1,9 Bahan tes yang digunakan berupa gambargambar yang dapat dipilih dari perbendaharaan kata anak sesuai dengan perkembangan anak secara individu. Bila kemampuan berbicara anak terbatas, tetapi sudah mampu mengenal nama beberapa benda dengan menggunakan gambar, dapat dipakai metode word intelligibility by picture identification test (WIPI) dengan teknik closed set dengan

35

cara menunjuk gambar dengan benar. Apabila anak sudah mampu berbicara dapat dipakai metode open set.1,9 Tes diskriminasi kata yang sederhana untuk anak dapat menggunakan materi tes berupa gambar-gambar yang mudah dikenal oleh anak-anak. Orang tua bisa membantu dengan memilih bahan tes berupa gambar-gambar yang sudah dikenal oleh anaknya. Dengan menyebut nama benda dari belakang anak (tanpa input visual) anak diminta menunjuk gambar yang disebut atau menirukan nama benda sambil menunjuk benda yang dimaksud. Materi gambar-gambar dalam bahasa Indonesia untuk tes diskriminasi kata pada anak-anak saat ini telah tersedia serial gambar-gambar bisilabik yang telah disusun oleh Dahlia 24. Keuntungan tes dengan metode seperti ini adalah orang tua ikut menyaksikan bagaimana kemampuan anak, tidak hanya fungsi pendengaran anak, akan tetapi juga kemampuan anak mengenal nama-nama benda yang memerlukan integritas yang lebih tinggi.1,9

Gambar 2.10 Simulasi Tes Fungsi Perseptif15

36

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Gangguan pendengaran pada anak bisa bisa merupakan suatu kelainan kongenital ataupun suatu kelainan yang didapat. Gangguan pendengaran pada anak ini jika tidak cepat dideteksi dan ditangani bisa mengakibatkan gangguan perkembangan pada anak khususnya perkembangan bicara dan belajarnya. Pemeriksaan gangguan pendengaran ini bisa dilakukan semenjak anak masih bayi, tidak perlu menunggu anak bisa bicara. Anak yang mengalami faktor resiko memiliki gangguan pendengaran serta keterlambatan dalam bicara dan belajar sapatutnya dicurigai memiliki gangguan pendengaran sehingga merupakan suatu indikasi untuk melakukan pemeriksaan pendengaran. Pada prinsipnya metode tes pendengaran pada anak dibedakan menjadi dua, yaitu : tes yang subyektif berdasarkan pada pengamatan perilaku anak terhadap rangsang suara (behavioral observation audiometry, visual

reinforcement audiometry) dan tes yang non behavioral atau obyektif dengan menggunakan alat elektrofisologik (Auditory Brainstem Response atau ABR, Auditory Steady State Response atau ASSR, serta Otoacoustic Emission atau OAE). Tes yang diberikan pada anak disesuaikan dengan usia anak dan koopertaifannya.

37

Daftar Pustaka

1. S Faisa. Deteksi Dini Gangguan Pendengaran Pada Anak. Diakses dari: www.hearing.kasoem.co.id/pendengaran/32-deteksi-dini-gangguanpendengaran-pada-anak/. Diakses tanggal 28 November 2010. 2. Wika A. Waspadai Anak Tuli Sejak Lahir. Diakses Diakses tanggal dari: 28

www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat. November 2010. 3. Wibisono. Tuli Kongenital.

Diakses

dari:

www.vibizlife.com/health_detail. Diakses tanggal 28 November 2010. 4. Indra S, Hendarto H, Jenny B. Gangguan Pendengaran (Tuli). Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. hal 10-22. 5. Suwento R, Zizlavsky S, Hendarmin H. Gangguan Pendengaran Pada Bayi dan Anak. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. hal 3142. 6. Anonim. Hearing Lose in Children. Diakses tanggal dari: 28

www.pamf.org/hearinghealth/facts/children.html. November 2010.

Diakses

7. WHO Media Centre. Deafness and Hearing Impairment. Diakses dari: www.who.int. Diakses tanggal 28 November 2010.

38

8. Jillyen EK, David P. Detecting Hearing Lose in Children. Diakses dari: www.medicinenet.com/detecting_hearing_loss_in_children/index.html. Diakses tanggal 28 November 2010. 9. Valerie Elizabeth Newton. Paediatric Audiological Medicine. London: Whurr Publisher. 2002. p 91-112, 146-166. 10. Anatomi dan Fisiologi Telinga. Diakses dari: www.brightguy.webs.com. Diakses tanggal: 1 Desember 2010. 11. Anonim. Hearing Loss in Child. Diakses dari: www.nlm.gov.au. Diakses tanggal: 1 Desember 2010. 12. Paulose. Screening Test in New Born Babies. Diakses dari:

www.drpaulose.com/ent-pediatric-children/how-to-detect-hearing-loss-innew-born-babies/ Diakses tanggal: 28 November 2010. 13. Total Care Rehabilitation Centre. Test: Evoked Potential Brain Response. Diakses dari: www.totalcare-rehab.com. Diakses tanggal: 28 November 2010. 14. Capital Region Otolaryngology Head and Neck, LLP. Audiometric Evaluation. Diakses dari: www.capitaloto.com/specialties. Diakses

tanggal: 1 Desember 2010. 15. Anonim. Hearing Tests in Childhood. Diakses dari:

www.racgp.org.auu/familyhealth/hearing_problem_child. Diakses tanggal: 1 Desember 2010.

39

You might also like