You are on page 1of 28

MUAL, URIN KUNING GELAP, HEPATOMEGALI DAN SKLERA IKTERIK SETELAH PENGOBATAN ANTI-TBC

Pendahuluan
Seorang pasien berbangsa cina mengalami mual, urin kuning gelap, hepatomgali dan sklera ikterik setelah mengkomsumsi tiga macam antituberkulosia. Dosis yang dibutuhkan sudah disesuaikan dengan berat badan penderita. Hal ini terjadi mungkin karena terdapat gangguan pada metabolisme obat ataupun gangguan pada gen individu itu sendiri. Namun pemeriksaan lanjut harus dilakukan untuk memastikan diagnosis yang telah diambil. Terdapat hubungan antara respon obat dengan heterogenisitas genom manusia agar dapat digunakan dalam mengidentifikasi target kerja obat secara molekuler sehingga dapat meningkatkan penemuan dan pengembangan obat serta terapi berdasarkan pendekatan genetik. Polimorfisme genetik adalah adanya variasi genetik yang menyebabkan perbedaan aktivitas dan kapasitas suatu enzim dalam menjalankan fungsinya. Adanya perbedaan ekspresi genetik antara tiap individu akan dapat memberikan respon yang berbeda terhadap nasib obat dalam tubuh. Hal ini dapat kita tinjau terutama dari aspek metabolisme tubuh. Proses metabolisme terjadi oleh adanya bantuan enzim. Enzim merupakan suatu protein yang keberadaanya merupakan hasil dari ekspresi genetik (sintesis protein). Kapasitas enzim yang dihasilkan tiap individu berbeda-beda. Hal inilah yang salah satunya yang memacu terhadap perbedaan respon yang tubuh terhadap pemakaian obat yang sama.1 Polimorfisme genetik ditemukan pada enzim CYP2D6, CYP2C9, CYP2C19, dan NAT2. Populasi terbagi dalam 2 atau lebeih subpopulasi dengan aktivitas enzim yang berbeda. Dalam hal CYP, genotip populasi terbagi menjadi extensive metabolize (EM), dan poor metabolize (PM), sedangkan untuk NAT2, rapid acetylators (RA) dan slow acetylators (SA). 2

Epidemiologi
Obat-obatan merupakan penyebab utama luka hati. Lebih dari 900 obat-obatan, racun, dan tumbuhan telah dilaporkan dapat menyebabkan luka hati, dan obat-obatan account untuk 20-40% dari semua kasus kegagalan hati fulminan. Sekitar 75% dari hasil reaksi obat istimewa dalam transplantasi hati atau kematian. Obat-diinduksi luka hati adalah alasan yang paling umum dikutip untuk penarikan obat disetujui. Dokter harus waspada dalam mengidentifikasi luka hati yang berhubungan dengan narkoba karena deteksi dini dapat mengurangi keparahan hepatotoksisitas jika obat dihentikan. Manifestasi obat-hepatotoksisitas yang diinduksi sangat bervariasi, mulai dari ketinggian asimtomatik enzim hati kegagalan hati fulminan. Pengetahuan tentang agen umum terlibat dan indeks kecurigaan yang tinggi sangat penting dalam diagnosis.6

Mortalitas / morbiditas Di Amerika Serikat, sekitar 2000 kasus gagal hati akut terjadi setiap tahun dan gagal hati dari sebab obat-obatan lebih dari 50% , (39% disebabkan oleh acetaminophen, 13% adalah reaksi istimewa karena obat lain). 2-5% kasus pasien rawat inap disertai dengan penyakit kuning dan sekitar 10% dari semua kasus menghidap hepatitis akut.

Secara internasional, data kejadian buruk reaksi obat pada hati pada populasi umum masih belum diketahui

Pemeriksaan Anamnesis 3
y Riwayat Penyakit Sekarang : 1.Menanyakan apakah kulit kuning secara spontan 2.Menanyakan apakah pasien mengalami hematemesis-melena 3.Menanyakan adakah sakit perut di kuadran kanan atas 4.Adakah bengkak oedem di kaki,perut membuncit (asites), berat badan tutun, gatal-gatal. 5.Adakah fatique, myalgia, malaise, sakit kepala, anoreksia, nausea

Riwayat Penyakit Terdahulu : 1. Adakah riwayat mata kuning sebelumnya ? 2. Adakah riwayat pernah sakit kuning ( hepatitis ) sebelumnya atau kontak dengan penderita sakit kuning ? ; Untuk menentukan ikterus karena suatu infeksi (ex : hepatitis) atau apakah karena penyakit hati kronis non infeksi (ex : SH) 3. Adakah riwayat transfusi darah, mendapat suntikan, cabut gigi, di tatto dalam kurang lebih 6 bulan terakhir ? ; Juga untuk menentukan ikterus karena suatu infeksi dan penularannya (HBV, HCV, HDV penularannya melalui darah ; HAV dan HEV penularannya dari fekal-oral / enterik) 4. Adakah riwayat batu empedu atau pernah mengalami operasi kolesistektomi ? ; Kemungkinan ikterus disebabkan karena gangguan eksresi bilirubin karena kedua hal tersebut. 5. Adakah riwayat seringnya mengkonsumsi obat-obatan medis, NAZA, atau obat alternatif seperti jamu-jamuan yang dipikirkan hepatotoksik ? ; Kemungkinan ikterus berasal dari hepatitis drugs induced 6. Adakah riwayat sering mengkonsumsi alkohol ? Kemungkinan ikterus disebabkan oleh SH atau hepatitis alkoholik, atau dapat juga karena fatty liver alkoholik. 7. Pernahkah pasien berkontak dengan pasien TB ? 8. Apakah pasien mengalami imunosupresi (kortikosteroid/HIV) ? 9. Apakah pasien pernah menjalani pemeriksaan rontgen torax dengan hasil abnormal? 10. Adakah riwayat vaksinasi BCG/Mantoux ?
3

11. Adakah riwayat diagnosis TB ? y Riwayat Penggunaan Obat : - Pernahkah pasien menjalani therapi TB ? Jika ya, obat apa yang digunakan, berapa lama terapi nya, bagaimana kepatuhan pasien mengikuti terapi dan apakah dilakukan pengawasan terapi ?

Riwayat Keluarga dan Sosial : Adakah riwayat TB di keluarga atau lingkungan sosial? Tanyakan konsumsi alkohol, penggunaan obat intravena dan riwayat berpergian ke luar negeri. Penting ditanyakan khususnya pada pasien dengan ikterus yang tidak dapat ditemukan penyebabnya ; yang mungkin disebabkan karena defisiensi enzim, gangguan aktivasi enzim, atau idiopatik. Keadaan ini sering ditemukan pada anak bayi dengan ikterus yang patologis (ex : sind. Gilbert, sind. Crigler-najjar, anemia hemolitik) dan wanita hamil atau sedang minum pil KB yang sebelumnya tidak pernah mengalami ikterus (sind. DubinJohnson).

Pemeriksaan Fisik
Inspeksi Dilakukan pada pasien dengan posisi tidur terlentang dan diamati dengan seksama dinding abdomen. Yang perlu diperhatikan adalah: 4 Keadaan kulit : warnanya (ikterus, pucat, coklat, kehitaman), elastisitasnya (menurun pada orang tua dan dehidrasi), kering (dehidrasi), lembab (asites), dan adanya bekas-bekas garukan (penyakit ginjal kronik, ikterus obstruktif), jaringan parut (tentukan lokasinya), striae (gravidarum/ cushing syndrome), pelebaran pembuluh darah vena (obstruksi vena kava inferior & kolateral pada hipertensi portal). 4

Besar dan bentuk abdomen : rata, menonjol, atau scaphoid (cekung).4 Simetrisitas : perhatikan adanya benjolan local (hernia, hepatomegali, splenomegali, kista ovarii, hidronefrosis).4

Palpasi Beberapa pedoman untuk melakukan palpasi, ialah:4 y Pasien diusahakan tenang dan santai dalam posisi berbaring terlentang. Sebaiknya

pemeriksaan dilakukan tidak buru-buru. y Palpasi dilakukan dengan menggunakan palmar jari dan telapak tangan. Sedangkan untuk

menentukan batas tepi organ, digunakan ujung jari. Diusahakan agar tidak melakukan penekanan yang mendadak, agar tidak timbul tahanan pada dinding abdomen. y Palpasi dimulai dari daerah superficial, lalu ke bagian dalam. Bila ada daerah yang

dikeluhkan nyeri, sebaiknya bagian ini diperiksa paling akhir. y Bila dinding abdomen tegang, untuk mempermudah palpasi maka pasien diminta untuk

menekuk lututnya. Bedakan spasme volunteer & spasme sejati; dengan menekan daerah muskulus rectus, minta pasien menarik napas dalam, jika muskulus rectus relaksasi, maka itu adalah spasme volunteer. Namun jika otot kaku tegang selama siklus pernapasan, itu adalah spasme sejati. y Palpasi bimanual; palpasi dilakukan dengan kedua telapak tangan, dimana tangan kiri

berada di bagian pinggang kanan atau kiri pasien sedangkan tangan kanan di bagian depan dinding abdomen. y Setiap ada perabaan massa, dicari ukuran/ besarnya, bentuknya, lokasinya,

konsistensinya, tepinya, permukaannya, fiksasi/ mobilitasnya, nyeri spontan/ tekan, dan warna kulit di atasnya. Sebaiknya digambarkan skematisnya. y Palpasi hati; dilakukan dengan satu tangan atau bimanual pada kuadran kanan atas.

Dilakukan palpasi dari bawah ke atas pada garis pertengahan antara mid-line & SIAS. Bila perlu pasien diminta untuk menarik napas dalam, sehingga hati dapat teraba. Pembesaran hati

dinyatakan dengan berapa sentimeter di bawah lengkung costa dan berapa sentimeter di bawah prosesus xiphoideus y Nilai Murphy sign  Massa hati dgn tepi tajam, permukaan licin dan rata, konsistensi keras, NT (+) : Hepatitis  Massa hati dgn tepi tajam, permukaan berbenjol-benjol dan rata, konsistensi keras, NT (+) : Hepatoma  Massa hati dengan tepi tumpul, permukaan licin dan berbenjol, fluktuasi (+), konsistensi lunak, NT (+) : Abses Hepar Perkusi4 Perkusi berguna untuk mendapatkan orientasi keadaan abdomen secara keseluruhan, menentukan besarnya hati, limpa, ada tidaknya asites, adanya massa padat atau massa berisi cairan (kista), adanya udara yang meningkat dalam lambung dan usus, serta adanya udara bebas dalam rongga abdomen. Suara perkusi abdomen yang normal adalah timpani (organ berongga yang berisi udara), kecuali di daerah hati (redup; organ yang padat).4 y Orientasi abdomen secara umum. Dilakukan perkusi ringan pada seluruh dinding

abdomen secara sistematis untuk mengetahui distribusi daerah timpani dan daerah redup (dullness). Pada perforasi usus, pekak hati akan menghilang. y Cairan bebas dalam rongga abdomen. Adanya cairan bebas dalam rongga abdomen

(asites) akan menimbulkan suara perkusi timpani di bagian atas dan dullness dibagian samping atau suara dullness dominant. Karena cairan itu bebas dalam rongga abdomen, maka bila pasien dimiringkan akan terjadi perpindahan cairan ke sisi terendah.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Tes fungsi hati9,10 Pemeriksaan ini digunakan untuk mendeteksi kelainan hati, menentukan diagnosis, mengetahui berat ringannya penyakit, mengikuti perjalanan penyakit dan penilaian hasil pengobatan. Pengukuran kadar bilirubin serum, aminotransferase, alkali fosfatase, gamma GT, dan albumin sering disebut sebagai tesfungsi hati. Pada banyak kasus tes-tes ini dapat mendeteksi kelainan hati dan empedu asimptomatik sebelum munculnya manifestasi klinis. Testes ini dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok utama yaitu :9 a. Peningkatan enzim aminotransferase, SGPT dan SGOT, biasanya mengarah pada perlukaan hepatoseluler atau inflamasi. b. Keadaan patologis yang mempengaruhi system empedu intra dan ekstrahepatis dapat menyebabkan peningkatan fosfatase alkali dan gamma GT. c. Kelompok ketiga merupakan kelompok yang mewakili fungsi sintesis hati, seperti produksi albumin, urea dan factor pembekuan. Tes laboratorium harus dilakukan pada semua pasien termasuk serum bilirubin direk dan indirek, alkali fosfatase, transaminase, amilase, dan hitung sel darah lengkap. Hiperbilirubinemia (indirek) tak terkonjugasi terjadi ketika ada peningkatan produksi bilirubin atau menurunnya ambilan dan konjugasi hepatosit. Kegagalan pada ekskresi bilirubin (kolestasis intrahepatik) atau obstruksi bilier ekstrahepatik menyebabkan hiperbilirubinemia (direk) terkonjugasi mendominasi.9 Elevasi tertinggi pada bilirubin serum biasanya ditemukan pada pasien dengan obstruksi maligna, pada mereka yang levelnya meluas sampai 15 mg/dL yang diamati. Batu kandung empedu umumnya biasanya berhubungan dengan peningkatan lebih menengah pada bilirubin serum (4 8 mg/dL). Alkali fosfatase merupakan penanda yang lebih sensitif pada obstruksi bilier dan mungkin meningkat terlebih dahulu pada pasien dengan obstruksi bilier parsial. 9

Pemeriksaan faal hati dapat menentukan apakah kelainan yang timbul disebabkan oleh gangguan pada sel-sel hati atau disebabkan adanya hambatan pada saluran empedu. Bilirubin direk meningkat lebih tinggi dari bilirubin indirek lebih mungkin disebabkan oleh sumbatan saluran empedu dibanding bila bilirubin indirek yang jelas meningkat. Pada keadaan normal bilirubin tidak dijumpai di dalam urin. Bilirubin indirek tidak dapat diekskresikan melalui ginjal sedangkan bilirubin yang telah dikonjugasikan dapat keluar melalui urin. Karena itu adanya bilirubin lebih mungkin disebabkan akibat hambatan aliran empedu daripada kerusakan sel-sel hati. Pemeriksaan feses yang menunjukkan adanya perubahan warna feses menjadi akolis menunjukkan terhambatnya aliran empedu masuk ke dalam lumen usus (pigmen tidak dapat mencapai usus).9 Petanda. Bilirubin. Interpretasi. Tidak spesifik untuk penyakit hati, meningkat juga pada hemolisis dan obstruksi bilier. Jika berdiri sendiri, pertimbangkan hiperbilirubinemia herediter. SGOT/AST. SGPT/ALT. Fosfatase alkali. Gamma GT. Albumin. Menunjukkan fungsi sintesis hati. Konsentrasi dapat menurun pada malabsorpsi, protein-losing enteropathy, penyakit kritis, luka bakar dan sindroma nefrotik. LDH. Sensitifitas dan spesifisitasnya rendah pada penyakit hati. Mungkin meningkat pada hepatitis iskemik, kerusakan tulang dan hemolisis. Biasanya meningkat bersamaan kolestasis, obstruksi bilier atau infiltrasi hepatic. Fosfatase alkali juga diproduksi oleh tulang, usus dan plasenta. Meningkat sesuai inflamasi atau nekrosis hepatosit. Rasio AST:ALT > 2 cenderung ke penyakit hepatitis alkoholik.

Tabel 1. Tes fungsi biokimia hati.

Pemeriksaan radiologi10

Studi Imaging digunakan untuk mengecualikan penyebab patologi hati, setelah diagnosis dapat dibuat.10

Ultrasonografi: Ultrasonografi murah dibandingkan dengan CT scan dan MRI dan dilakukan hanya dalam beberapa menit. Ultrasonografi efektif untuk mengevaluasi kandung empedu, saluran empedu, dan tumor hati.

CT scan: CT scan dapat membantu mendeteksi lesi hati fokus 1 cm atau lebih besar dan beberapa kondisi menyebar. Hal ini juga dapat digunakan untuk memvisualisasikan struktur berdekatan di perut.

MRI: MRI menyediakan resolusi kontras yang sangat baik. Hal ini dapat digunakan untuk mendeteksi kista, hemangioma, dan tumor primer dan sekunder. Vena portal, urat hati, dan saluran empedu dapat dilihat tanpa suntikan kontras.

Pemeriksaan Tambahan10 y Biopsi hati: evaluasi histopatologi tetap menjadi alat yang penting dalam diagnosis. Biopsi hati tidak penting dalam setiap kasus, tetapi pola morfologi konsisten dengan pola diharapkan memberikan bukti yang mendukung Pemeriksaan Genetik PCR-RAPD merupakan salah satu teknik molekuler berupa penggunaan penanda tertentu untuk mempelajari keanekaragaman genetika. Dasar analisis RAPD adalah menggunakan mesin PCR yang mampu mengamplifikasi sekuen DNA secara in vitro. Teknik ini melibatkan penempelan primer tertentu yang dirancang sesuai dengan kebutuhan. Tiap primer boleh jadi berbeda untuk menelaah keanekaragaman genetik kelompok yang berbeda. Penggunaan teknik RAPD memang memungkinkan untuk mendeteksi polimorfisme fragmen DNA yang diseleksi dengan menggunakan satu primer arbitrasi, terutama karena amplifikasi DNA secara in vitro dapat dilakukan dengan baik dan cepat dengan adanya PCR. Penggunaan penanda RAPD relatif sederhana dan mudah dalam hal preparasi. Teknik RAPD memberikan hasil yang lebih cepat
9

dibandingkan dengan teknik molekuler lainnya. Teknik ini juga mampu menghasilkan jumlah karakter yang relative tidak terbatas, sehingga sangat membantu untuk keperluan analisis keanekaragaman organisme yang tidak diketahui latar belakang genomnya. Pada tanaman tahunan RAPD dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi seleksi awal. Teknik RAPD sering digunakan untuk membedakan organisme tingkat tinggi (eucaryote). Namun demikian beberapa peneliti menggunakan teknik ini untuk membedakan organisme tingkat rendah (procaryote) atau melihat perbedaan organisme tingkat rendah melalui piranti organel sel seperti mitokondria.14

PCR-RFLP. Teknik ini mirip dengan RAPD pada prinsip penggunaan primer. Untuk melihat polimorfisme dalam genom organisme digunakan juga suatu enzim pemotong tertentu (restriction enzymes). Karena sifatnya yang spesifik, maka enzim ini akan memotong situs tertentu yang dikenali oleh enzim ini. Situs enzim pemotong dari genom suatu kelompok organisme yang kemudian berubah karena mutasi atau berpindah karena genetic rearrangement dapat menyebabkan situs tersebut tidak lagi dikenali oleh enzim, atau enzim restriksi akan memotong daerah lain yang berbeda. Proses ini menyebabkan terbentuknya fragmen-fragmen DNA yang berbeda ukurannya dari satu organisme ke organisme lainnya. Polimorfisme ini selanjutnya digunakan untuk membuat pohon filogeni/dendogram kekerabatan kelompok. Teknik RFLP sering digunakan untuk mengetahui perbedaan jenis bakteri misalnya berdasarkan gen ribosomal DNA (contoh 16S-rRNA). Oleh karenanya teknik ini seringkali pula disebut ARDRA (amplified ribosomal DNA restriction analysis).14 Penggunaan teknik PCR-RFLP telah pula mampu secara mengesankan mengungkap keanekaragaman genetik mikroba yang tidak dapat dikulturkan di laboratorium. Dengan menggunakan teknik isolasi DNA dari lingkungan yang kemudian dilanjutkan dengan amplifikasi dengan menggunakan primer spesifik untuk 16S-rRNA telah dapat diungkap adanya jenis-jenis mikroba baru. Dengan menggunakan primer tertentu, teknik ini juga dapat digunakan untuk gen-gen lain yang ada dalam contoh lingkungan.14 Pemilihan DNA ribosom untuk tujuan identifikasi suatu organisme didasarkan pada: y Secara fungsional dan evolusioner memiliki sifat homolog dari berbagai orgenisme yang berbeda y y Molekul purba dengan struktur dan sekuen nukelotida sangat konservatif Sangat banyak di dalam sel
10

Cukup besar untuk memungkinkan uji statistik perbedaan-perbedaannya satu sama lain

Kelihatannya tidak ada artifak perpindahan lateral antar organisme

PCR- ANALISIS SEKUEN merupakan suatu teknik yang dianggap paling baik untuk melihat keanekaragaman hayati suatu kelompok organisme. Teknik ini berkembang setelah orang menciptakan mesin DNA sequencer. Pada prinsipnya polimorfisme dilihat dari urutan atau sekuen DNA dari fragmen tertentu dari suatu genom organisme. Untuk melihat keanekaragaman jenis dapat dilakukan melalui analisis sekuen gen 16S-rRNA bagi organisme prokaryota atau 18S-rRNA bagi organism eukaryota. Perbandingan sekuen rRNA merupakan alat yang baik untuk mendeduksi hubungan filogeni dan evolusi di antara organisme bacteria, archaebacteria, dan eukaryot (Weisburg et al., 1991). Gen-gen penghasil enzim tertentu misalnya dapat juga dibandingkan berdasarkan sekuen mereka. Saat ini basis data (data-base) untuk banyak gen 16SrRNA dan 18S-rRNA tersedia dan disimpan misalnya dalam Gene-Bank, dan dapat diakses misalnya melalui http:/// www.ebi.ac.uk. Demikian juga untuk banyak gen penghasil enzim penting dan beberapa sekuen lainnya.14

Diagnosis Kerja Hepatitis Induksi Obat ec Metabolisme asetilasi INH ec Polimorfisme Genetik Drug Induced Hepatotoxic ec INH Acetylation ec Polymorphism Genetic.
Obat antituberkulosis yang menginduksi terjadinya hepatotoksik dikaitkan dengan isoniazid (INH) adalah salah satu yang paling lazim menyebabkan cedera hati. INH dimetabolisme oleh hepatic-asetiltransferase N (NAT) dan sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) untuk membentuk hepatotoxins. Mengenai NAT2, acetylators lambat memiliki insiden yang lebih tinggi

hepatotoksisitas dari acetylators cepat dan ada risiko 3,8 kali lipat dari hepatotoksisitas untuk acetylators lambat dibandingkan dengan acetylators cepat. Sebagai kesimpulan, acetylator status
11

lambat NAT2 merupakan faktor risiko kerentanan yang signifikan untuk antituberkulosishepatotoksisitas yang diinduksi obat. Genotyping NAT2 mungkin merupakan alat yang berguna untuk memprediksi Obat antituberkulosis yang menginduksi terjadinya hepatotoksik.15 International Consensus Criteria menyatakan sesuai obat dapat menyebabkan hepatotoksik apabila:3  Waktu mulai dari minum dan berhentinya minum obat sampai awitan reaksi nyata: sugestif (5 90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel ( <5 hari atau >90 hari sejak mulai minum obat dan <15 hari dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan <30 hari dari penghentian obat untuk reaksi kolestasis) dengan hepatotoksisitas obat.  Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (enzim hati turun 50% dari konsentrasi diatas batas atas normal dalam 8 hari) atau sugestif (enzim hati turun 50% dalam 30 hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari reaksi obat.   Alternatif sebab lain dari reaksi telah dieksklusi dengan pemeriksaan teliti, termasuk biopsi hati. Adanya respon positif pada paparan ulang obat yang sama paling tidak kenaikan 2 x lipat enzim hati.

Diagnosis Drug Related jika 3 kriteria pertama atau 2 dari 3 kriteria pertama dengan paparan ulang obat positif. Tuberkulosis (TBC) dapat menyerang berbagai organ tubuh. Tujuan pengobatan TBC ialah memusnahkan basil tuberkulosis dengan cepat dan mencegah kambuh. Idealnya pengobatan dengan obat TBC dapat menghasilkan pemeriksaan sputum negatif baik pada uji dahak maupun biakan kuman dan hasil ini tetap negatif selamanya.8 Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu :
y

Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid. Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini.

12

Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin.

Meskipun demikian, pengobatan TBC paru-paru hampir selalu menggunakan tiga obat yaitu INH, rifampisin dan pirazinamid pada bulan pertama selama tidak ada resistensi terhadap satu atau lebih obat TBC primer ini.8 Isoniazid8 Isoniazid atau isonikotinil hidrazid yang disingkat dengan INH. Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik (menahan perkembangan bakteri) dan tuberkulosid (membunuh bakteri). Mekanisme kerja isoniazid memiliki efek pada lemak, biosintesis asam nukleat,dan glikolisis. Efek utamanya ialah menghambat biosintesis asam mikolat (mycolic acid) yang merupakan unsur penting dinding sel mikobakterium. Isoniazid menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstrasi oleh metanol dari mikobakterium. Isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar puncak diperoleh dalam waktu 12 jam setelah pemberian oral. Di hati, isoniazid mengalami asetilasi dan pada manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dalam plasma. Namun, perbedaan ini tidak berpengaruh pada efektivitas dan atau toksisitas isoniazidbila obat ini diberikan setiap hari. Efek samping8 Mual, muntah, anoreksia, letih, malaise, lemah, gangguan saluran pencernaan lain, neuritis perifer, neuritis optikus, reaksi hipersensitivitas, demam, ruam, ikterus, diskrasia darah, psikosis, kejang, sakit kepala, mengantuk, pusing, mulut kering, gangguan BAK, kekurangan vitamin B6, penyakit pellara, hiperglikemia, asidosis metabolik, ginekomastia, gejala reumatik, gejala mirip Systemic Lupus Erythematosus.

13

Resistensi8 Resistensi masih merupakan persoalan dan tantangan. Pengobatan TBC dilakukan dengan beberapa kombinasi obat karena penggunaan obat tunggal akan cepat dan mudah terjadi resistensi. Disamping itu, resistensi terjadi akibat kurangnya kepatuhan pasien dalam meminum obat. Waktu terapi yang cukup lama yaitu antara 69 bulan sehingga pasien banyak yang tidak patuh minum obatselama menjalani terapi. Isoniazid masih merupakan obat yang sangat penting untuk mengobati semua tipe TBC. Efek sampingnya dapat menimbulkan anemia sehingga dianjurkan juga untuk mengkonsumsi vitamin penambah darah seperti piridoksin (vitamin B6).

Diagnosis Banding
Kolesistitis Merupakan inflamasi kantung empedu. Biasanya adalah kesan daripada batu empedu yang menghalang saluran empedu. y y Kesan daripada batu yang menghalang aliran cairan empedu Pasien mngalami nyeri abdomen (kolik) yang dapat bertahan sehingga lebih 6 jam, dengan demam, dan nausea. y y Dengan peneriksaan radiologi, ultrasonnografi biasa digunakan Kantung empedu juga bisa diangkat dengan laparoskopi

Kolesistitis akut : muncul mendadak, mengakibatkan nyeri abdomen atas yang menetap dan berat. Reaksi inflamasi bermula sebelum infeksi dan menyebabkan kantung empedu dipenuhi cairan dan dindingnya menebal Acalculous Cholecystitis : Jenis cholecystitis yang tidak mempunyai batu empedu. Muncul selepas : y Operasi mayor
14

y y y

Trauma serius, Luka bakar berat, dan sepsis Pemberian nutrisi parenteral yg lama Defisiensi sistem imun

Kolesistitis kronik : merupakan inflamasi kantung empedu yang terlalu lama. Serangannya berulang (kolik). Kantung empedu dirusak dan dinding menjadi tebal.

Hepatitis Viral Akut Penyebab hepatitis akut utama adalah disebabkan infeksi virus.terdapat lima virus yaitu hepatitis A, B, C, D, dan E. Virus hepatitis A dan E tidak menyebabkan hepatitis kronis. Secara umum antara gejala klinis hepatitis yang disebabkan virus terdapat fasa-fasanya. Masa inkubasi adalah masa untuk virus multiplikasi dan menyebar tanpa simptom. Kemudian fasa prodormal yang menunujukkan gejala tidak spesifik seperti demam, anoreksia, malaise, mual dan muntah serta nyeri abdomen di quadran kanan atas. Urtikaria dan atralgia biasanya pada infeksi HBV. Selanjutnya adalah fasa ikterik, gejala sudah hilang tetapi muncul jaundice. Pada fasa ini juga terdapat pembesaran hati. Selepas fasa ikterik adalah fasa pemulihan. Hepatitis kerana alkohol Merupakan satu kelainan disebabkan proses inflamasi lama yang berkaitan dengan pengambilan alkohol berlebihan dalam tempoh yang lama. Pasien dengan penyakit ini mengalami onset subakut seperti demam, hepatomegali, leukositosis, koagulopati jaundice, dan hipertensi portal. Pada mikroskopik, dapat terlihat karakteristik nekrosis sentrilobular hepatosit seperti belon, infiltrat neutrofil, megamitokondria, dan inklusi badan hyalin. Sering juga terdapat steatosis dan sirosis hati bersama alcoholic hepatitis. Mekanisme terjadinya hepatitis kerana alkohol antaranya : y Kelainan genetik genetik wanita membuktikan lebih rentan untuk terkena hepatitis dengan pengambilan alkohol

15

Malnutrisi Pengambilan alkohol ditambah dengan malnutrisi energi protein menyebabkan hepatitis

Etiologi
Beberapa jenis obat dapat bersifat hepatotoksik. Tabel berikut menjelaskan reaksi idiosinkratic obat dan sel-sel yang dipengaruhi reaksi tersebut. Jenis reaksi. Hepatoseluler. Pengaruh pada sel. Contoh obat. trazodon,

Disfungsi sel dan membrane, respon sel sototoksik Isoniazid, sel T.

diklofenak, lovastatin. Klopromazin, estrogen, eritromisin.

Kolestasis.

Jejas membrane kanalilkuli dan transporter.

Imunoalergik.

Kompleks

enzim

obat

pada

permukaan

sel Halotan,

fenitoin,

menginduksi respons IgE. Granulomatus. Makrofag, limfosit menginfiltrasi lobul hepatic.

sulfametoksazol. Diltiazem, obat sulfa, kuinidin.

Lemak

Respirasi

mitokondria asidosis

berubah, laktat

beta dan

oksidasi Didanosin, tetrasiklin, akumulasi asam valproat.

mikrovesikular. mengakibatkan trigliserida. Steatohepatitis. Multifaktorial.

Amiodaron, tamoksifen.

Autoimun.

Respon limfosit sitotoksik langsung pada komponen Nirofurantoin, membrane hepatosit. metildopa, lovastatin, minosiklin.

Fibrosis.

Aktivasi stellate cell.

Metotreksat, kelebihan

16

vitamin A. Kolaps vascular. Onkogenesis. Mendorong pertumbuhan tumor. Menyebabkan iskemik atau cedera hipoksik. Asam kokain. Kontrasepsi androgen. Campuran. Jejas sitoplasmik dan kanlikuli, langsung merusak Amoksisilinsaluran-saluran empedu. klavulanat, karbamazepin, herbal, siklosporin, metimazol, troglitazon. oral, nikotinat,

Berikut merupakan beberapa factor terjadinya drug induced hepatotoxicity: 6


y

Ras : Beberapa obat tampaknya memiliki toksisitas yang berbeda berdasarkan ras. Misalnya, orang kulit hitam dan Hispanik mungkin lebih rentan terhadap isoniazid (INH) toksisitas. Tingkat metabolisme berada di bawah kendali P-450 enzim dan dapat bervariasi dari individu ke individu.

Umur : Reaksi obat pada hati jarang terjadi pada anak-anak. Orang-orang tua akan meningkatkan risiko hepatotoksik karena clearance menurun, interaksi antara obat, mengurangi aliran darah hati, dan menurunnya volume hati. Selain itu, pola makan yang buruk, infeksi, dan rawat inap beberapa alasan penting untuk drug induce hepatotoxic.

Jenis Kelamin : Meskipun alasan tidak diketahui, reaksi obat hati lebih sering terjadi pada wanita.

Konsumsi alcohol : Rentan terhadap keracunan obat karena alkohol menyebabkan luka hati dan perubahan sirosis yang mengubah metabolisme obat. Alkohol menyebabkan deplesi glutation (hepatoprotektif) yang membuat orang lebih rentan terhadap toksisitas dengan obat.

17

Penyakit hati : Secara umum, pasien dengan penyakit hati kronis yang tidak seragam mengalami peningkatan risiko cedera hati. Meskipun total sitokrom P-450 berkurang, beberapa orang mungkin akan terpengaruh lebih dari yang lain. Modifikasi dosis pada orang dengan penyakit hati harus didasarkan pada pengetahuan enzim spesifik yang terlibat dalam metabolisme. Pasien dengan infeksi HIV yang koinfeksi dengan virus hepatitis B atau C akan meningkatkan risiko untuk efek hepatotoksik apabila diobati dengan terapi antiretroviral. Demikian pula, pasien dengan sirosis beresiko peningkatan dekompensasi dengan obat beracun.

Faktor genetik : Sebuah gen yang unik setiap mengkodekan P-450 protein. perbedaan genetik di P-450 enzim dapat menyebabkan reaksi yang abnormal terhadap obat, termasuk reaksi istimewa. Hal ini dapat diidentifikasi dengan amplifikasi polymerase chain reaction gen mutan. Hal ini mengakibatkan kemungkinan deteksi masa depan orang-orang yang dapat memiliki reaksi abnormal terhadap suatu obat.

Sifat asetilator : Sifat asetilator cepat ditentukan oleh gen dominan, sedangkan asetilator lambat oleh gen resesif, sehingga genotype untuk seorang asetilator cepat adalah RR homozigot atau heterozigot Rr, sedangkan asetilator lambat adalah rr. Makna klinik dari status asetilator tergantung pada obat yang dipakai yang mengalami asetilasi polimorfik tadi. Untuk pengobatan dengan INH, asetilator lambat lebih mudah menderita efek samping INH berupa neuropati perifer karena defisiensi vitamin B6. INH akan menghambat pemakaian vitamin B6 jaringan dan akan memperbesar ekskresi B6. Obatobat lain yang mengalami metabolisme asetilasi secara polimorfik meliputi dapson, sulfadimidin, hidralazin, prokainamid, klonazepam, dan lain-lain.7

Komorbiditas lain : Penderita AIDS, orang-orang yang kekurangan gizi, dan orangorang yang berpuasa akan rentan terhadap reaksi obat karena toko glutation rendah.

Formulasi obat : obat long-acting dapat menyebabkan cedera lebih dibandingkan obat short-acting.

18

Patogenesis
Terdapat berbagai macam reaksi toksik yang berlaku di hati antaranya adalah16 : y y y y y y y y y y Reaksi langsung Reaksi idiosyncratic Reaksi toksik alergi Reaksi cholestatic Reaksi granulomatous Kronik hepatitis Alcoholic hepatitis like reaction Fibrosis atau sirosis Penyakit vena oklusi Iskemik

Isoniazid atau pon INH termasuk dalam golongan reaksi idiosyncratic. Obat-obat yang menyebabkan idiosyncratic toxicity menyebabkan penyakit hanya pada sedikit dari pasein-pasien yang telah mewariskan gen-gen spesifik yang mengontrol perubahan bentuk kimia dari obat spesifik itu, menyebabkan akumulasi obat atau produk-produk dari perubahan mereka (metabolites) yang berbahaya pada hati. Idiosyncratic toxicities yang diwariskan ini biasanya jarang, dan tergantung pada obat, secara khas terjadi pada kurang dari 1 sampai 10 per 100,000 pasien-pasien yang meminum obat itu; bagaimanapun, dengan beberapa obat-obat kejadian keracunan adalah jauh lebih tinggi. Meskipun risiko mengembangkan penyakit hati idiosyncratic yang diinduksi obat adalah rendah, penyakit hati idiosyncratic adalah bentuk yang paling umum dari penyakit hati yang diinduksi obat karena puluhan juta dari pasien-pasien menggunakan obatobat, dan banyak dari mereka menggunakan beberapa obat-obat. 16 Keracunan obat idiosyncratic sulit untuk dideteksi pada percobaan-percobaan klinik awal yang biasanya melibatkan, paling banyak, hanya beberapa ribu pasien-pasien. Idiosyncratic toxicity akan timbul hanya setelah jutaan pasien-pasien mulai menerima obat setelah obat disetujui oleh FDA. 16

19

Studi terhadap kecepatan asetilasi isoniazid (N-asetilasi) menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan asetilasi dari masing-masing individu yang berdasarkan faktor genetiknya, memiliki 2 tipe, yaitu tipe asetilator cepat dan asetilator lambat. Reaksi asetilasi itu sendiri merupakan reaksi pada jalur metabolisme obat yang mengandung gugus amina primer, seperti amina aromatik primer dan amina alifatik skunder. Sedangkan fungsi dari reaksi asetilasi itu sendiri adalah untuk proses detoksifikasi, serta mengubah obat/senyawa induk, menjadi senyawa metabolitnya yang bersifat tidak aktif, lebih bersifat polar, agar selanjutnya mudah untuk dieksresikan. Aktivitas dari obat INH sebagai antituberkolosis ini, sangat tergantung pada tingkat kecepatan reaksi asetilasinya.16 Pada isoniazid, terdapat perbedaan respon dari beberapa individu berupa perbedaan dalam kecepatan proses asetilasinya terhadap obat tersebut (Weber, 1997). Profil asetilasi terhadap isoniazid yang merupakan obat anti tuberkulosis ini digolongkan dalam asetilator cepat dan lambat. Individu yang tergolong dalam asetilator lambat ternyata aktivitas enzim Nasetilastransferase-nya sangat lambat. Perbedaan tersebut ternyata disebabkan oleh adanya variasi genetik dari gen yang menyandi ekspresi dari enzim N-asetilastransferase. Bagi individu yang mempunyai kelainan yang disebabkan oleh autosomal recessive allele, berupa variasi polimorfik maka aktivitas enzim N-asetilastransferase menjadi lambat. Aktivitas enzim Nasetilastransferase ini sangat bervariasi untuk setiap suku atau ras. Bagi orang barat (Amerika dan Eropa) 50% dari penduduknya ternyata tergolong asetilator lambat, sedangkan untuk orang Jepang dan Eskimo sebagian besar tergolong asetilator cepat.16 Untuk individu yang memiliki tipe asetilator cepat, memiliki enzim N-asetilastransferase yang jauh lebih besar daripada individu yang memiliki tipe asetilator lambat. Dengan demikian, maka kemampuan untuk isoniazid dapat dieksresikan dalam bentuk asetilisoniazid yang bersifat tidak aktif sangat cepat. Sehingga obat akan memiliki masa kerja (t ) yang pendek, yaitu 45-80 menit. Dengan demikian, maka individu tipe asetilator cepat, memerlukan dosis pengobatan yang lebih besar.16 Hal ini akan berdampak kurang menguntungkan, karena untuk pengobatan tuberkolosis, pengobatan dilakukan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Dengan demikian, untuk individu tipe asetilator cepat ini, pemberian INH harus dilakukan berulangkali karena
20

metabolisme INH-pun sangat cepat, sehingga INH cepat dapat menimbulkan efek setelah diminum, namun cepat hilang pula efeknya (t yang pendek). Hal ini harus diperhatikan, karena jika obat harus diberikan secara berulangkali, dengan frekuensi pemberian yang lebih banyak daripada individu tipe asetilator lambat, maka kemungkinan terjadi resistensi akan cukup tinggi. Sehingga dalam pengobatannya, pemberian dosis perlu diperhatikan untuk individu yang memiliki tipe asetilator cepat agar tidak terjadi resistensi.16 Jika isoniazid diberikan pada individu bertipe asetilator lambat, maka enzim Nasetiltransferase yang dimiliki tidak sebanyak enzim N-asetilastransferase yang dihasilkan oleh individu yang memiliki tipe asetilator cepat. Dengan demikian, maka kemampuan untuk isoniazid dapat dieksresikan dalam bentuk asetil-isoniazid yang bersifat tidak aktif berlangsung lambat. Sehingga INH akan memiliki masa kerja (t ) yang panjang yaitu 140-200 menit. Dengan demikian, maka individu tipe asetilator lambat, memerlukan dosis pengobatan yang rendah, agar tidak menimbulkan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan oleh INH. Untuk individu tipe asetilator lambat ini, pemberian INH tidak harus dilakukan berulangkali/frekuensi yang tinggi, hal ini karena metabolisme INH berlangsung lambat, sehingga INH dapat menimbulkan efek yang konstan dengan durasi yang lama setelah diminum.16 Namun hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa karena obat dimetabolisme dalam bentuk asetilisoniazid yang bersifat tidak aktif dengan kecepatan yang lambat, maka kemungkinan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan oleh INH lebih tinggi. Selain itu, menurut studi yang telah dilakukan, individu bertipe aetilator lambat ini, memiliki kemungkinan untuk menimbulkan efek samping, yaitu neuritis perifer yang lebih tinggi daripada individu bertipe asetilator cepat.16

Cara utama untuk metabolisme INH pada manusia adalah melalui asetilasi oleh Nasetiltransferase (NAT-2) dalam hati, reaksi yang menghasilkan acetylisoniazid. Acetylisoniazid dapat mengalami hidrolisis untuk membentuk acetylhydrazine metabolit beracun (dan asam isonikotinat tidak beracun). Polimorfisme dari NAT-2 diidentifikasi pada manusia menentukan apakah seseorang memiliki "cepat" atau "lambat-acetylator" fenotipe. Mereka dengan shunt fenotip lambat beberapa INH untuk jalur metabolik sekunder melalui oksidasi sitokrom P-450
21

enzim, menghasilkan hidrazin serta asam isonikotinat beracun. Ternyata kedua acetylhydrazine dan hidrazin, yang dihasilkan oleh acetylators cepat dan lambat, masing-masing, mampu berpartisipasi dalam reaksi yang menghasilkan stres oksidatif (misalnya, radikal bebas). Hidrazin dapat menyebabkan sitokrom P-450 enzim (khususnya CYP2E1), peningkatan produksi metabolit beracun tambahan. Dengan demikian, hepatotoksisitas mungkin terjadi pada kedua acetylators cepat dan lambat.17

22

Manifestasi Klinik
Gambaran klinis hepatotoksisitas karena obat sulit dibedakan secara klinis dengan penyakit hepatitis atau kolestasis dengan etiologi lain. Riwayat pemakaian obat-obatan atau substansi hepatotoksik lain harus dapat diungkap. Onset umumnya cepat, gejala berupa malaise dan ikterus, serta dapat terjadi gagal hati akut berat terutama bila pasien masih meminum obat tesebut setelah awitan hepatotoksisitas. Apabila jejas hepatosit lebih dominan maka konsentrasi aminotransferase dapat meningkat hingga paling tidak lima kali batas atas normal, sedangkan kenaikan konsentrasi alkali fosfatase dan bilirubin menonjol pada kolestasis. Mayoritas reaksi obat idiosikratik melibatkan kerusakan hepatosit seluruh lobul hepatik dengan derajat nekrosis dan apoptosis bervariasi. Pada kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul dalam beberapa hari atau minggu sejak mulai minum obat dan mungkin terus berkembang bahkan sesudah obat penyebab dihentikan pemakaiannya. Berikut merupakan reaksi obat dan sel yang mempengaruhinya :

23

Penatalaksanaan
Penatalaksaan awal drug induced hepatotoksik adalah untuk meminimalkan cedera. Pemantauan tingkat enzim hati sesuai dan perlu dengan sejumlah agen, khususnya dengan mereka yang menyebabkan cedera terbuka. Untuk obat yang menghasilkan luka hati tak terduga, pemantauan biokimia kurang berguna. Nilai SGPT lebih spesifik daripada nilai AST. ALT nilainilai yang berada dalam kisaran referensi pada awal dan meningkat 2 - 3 kali lipat harus mengarah pada peningkatan kewaspadaan dalam hal pemantauan yang lebih sering. ALT nilai 45 kali lebih tinggi daripada kisaran referensi harus mengarah untuk meminta penghentian obat.6 Tidak ada pengobatan khusus diindikasikan untuk penyakit hati yang disebabkan oleh obat. Pengobatan sebagian besar supportif dan berdasarkan simtomatologi. Langkah pertama adalah untuk menghentikan obat yang dicurigai.6   Bila klinis positif (ikterik, mual, muntah) : OAT STOP! 5 Bila klinis negative namun, Laboratorium terdapat kelainan5 :  Bilirubin > 2 : OAT STOP  SGOT, SGPT 5X : OAT STOP  SGOT, SGPT 3X dan gejala positif : OAT STOP  SGOT, SGPT 3X dan gejala negatif : pengobatan diteruskan tetapi dengan observasi ketat.

Rujukan ke pusat transplantasi hati / perawatan bedah Tidak ada obat penawar khusus tersedia untuk sebagian besar agen hepatotoksik. Transplantasi hati Darurat telah meningkatkan utilitas dalam perawatan penyakit hati diinduksi obat. Menimbang transplantasi hati awal adalah penting. Model untuk Skor Penyakit hati tahap akhir dapat digunakan untuk mengevaluasi ketahanan hidup jangka pendek orang dewasa dengan penyakit hati stadium akhir. Hal ini dapat membantu stratifikasi kandidat untuk transplantasi hati. Parameter yang digunakan adalah serum kreatinin, bilirubin total, rasio normalisasi internasional, dan penyebab sirosis tersebut. Kriteria lain yang biasa digunakan untuk transplantasi hati adalah Kings College kriteria.6

24

Kings College kriteria untuk transplantasi hati pada kasus obat-gagal hati diinduksi selain dari obat acetaminophen adalah sebagai berikut:6  PT lebih besar dari 100 detik (terlepas dari kelas ensefalopati) atau  Setiap 3 kriteria berikut:      Usia yang lebih muda dari 10 tahun atau lebih tua dari 40 tahun Etiologi non-A/non-B hepatitis, hepatitis halotan, atau reaksi obat istimewa Durasi penyakit kuning lebih dari 7 hari sebelum timbulnya ensefalopati PT lebih besar dari 50 detik Tingkat bilirubin serum lebih besar dari 17 mg /dL

Komplikasi
Antara komplikasi yang dapat timbul akibat hepatotoksik adalah seperti berikut : 1. Sirosis hati Sirosis adalah penyakit hati yang kronik ditandai dengan kerusakan sel hepatosit. Akibatnya adalah hati tidak dapat menjalankan fungsi-fungsinya dan menyebabkan gagal hati. Sel hepatosit dapat dirusak akibat trauma, hepatitis, obstruksi dari traktus empedu, dan juga kerana alkohol.19 y Hati berespon pada kerusakan sel hepatositnya dengan membentuk jaringan parut yang mengelilingi sel hati yang beregenerasi (nodul). y Pada mulanya, proses inflamasi akan menyebabkan hepatomegali. Apabila berlanjut dan bertambahnya jumlah jaringan parut pada sel hepatosit, hati akan mengecil. y Jaringan parut yang terbentuk akan menekan pembuluh darah yang mengsuplai hati dan sel akan mati.

25

Sirosis hati juga akan menyebabkan beberapa fungsi hati tidak berjalan dengan baik dan menyebabkan keadaan antaranya :19 y Hipertensi portal : Jaringan nodul menekan vena pada hati menyebabkan tekanannya menjadi tinggi. Hipertensi portal dapat menyebabkan perdarahan pada saluran intestin dan akumulasi cairan pada tubuh. y Ensefalopati hepatik : Toksin dari darah menyebar ke otak disebabkan sel hati yang rusak tidak dapat memetabolismenya untuk dieksresi. Contohnya urea. Gangguan ini dapat menyebabkan konfusi, dan mengantuk. y Perdarahan gastrointestinal : Terjadi varises disebabkan hipertensi portal. Ditandai dengan hematemesis. y Infeksi dan retensi cairan (asites).

2. Kanker hati Sel-sel pada hati akan memperbanyak diri untuk menggantikan sel-sel yang rusak karena luka atau karena sudah tua. Seperti proses pembentukan sel lain di dalam tubuh, proses ini juga dikontrol oleh gen-gen tertentu dalam sel. Kanker hati berasal dari satu sel yang mengalami perubahan mekanisme kontrol dalam sel yang mengakibatkan pembelahan sel yang tidak terkontrol. Sel abnormal tersebut akan membentuk jutaan kopi, yang disebut klon. Mereka tidak dapat melakukan fungsi normal sel hati dan terus menerus memperbanyak diri. Sel-sel tidak normal ini akan membentuk tumor (Anonim, 2004). Jika berlanjutan dapat menyebabkan kematian. 18

Prognosis
Prognosis sangat bervariasi tergantung pada presentasi pasien dan tahap kerusakan hati. Dalam sebuah penelitian prospektif yang dilakukan di Amerika Serikat dari tahun 1998-2001, tingkat kelangsungan hidup keseluruhan pasien (termasuk mereka yang menerima transplantasi hati) adalah 72%. Hasil gagal hati akut ditentukan oleh etiologi, derajat yang hadir ensefalopati hati atas pengakuan, dan komplikasi seperti infeksi.6

26

Pencegahan
Insiden hepatitis berat dan kematian dapat dikurangi dengan:9  Hindari penggunaan profilaksis INH pada orang tua (misalnya,> 35 y), kecuali potensi manfaat jelas melampaui risiko. Pengobatan reaktor tuberkulin ini lebih kuat ditunjukkan pada orang imunosupresi dan pada mereka dengan riwayat paparan baru-baru ini.  Mendapatkan ALT awal sebelum memulai isoniazid bila ada dugaan penyakit hati sebelumnya.  Mendidik pasien untuk segera melaporkan efek samping yang mungkin timbul dari hepatotoksisitas isoniazid. Wawancara pasien secara teratur (misalnya, bulanan) untuk efek yang merugikan atau monitor transaminase secara bulanan.  Berhenti isoniazid langsung untuk setiap elevasi transaminase lebih besar dari 3 kali lipat di atas normal. Lesser ketinggian akan dimintakan pemantauan lebih sering.  Bila memungkinkan, hindari pemberian simultan obat yang menginduksi sitokrom P-450 sistem (misalnya, fenobarbital, rifampisin).  Hindari penggunaan obat berpotensi simultan hepatotoksik lain (misalnya, pirazinamid, protease inhibitor untuk HIV), kecuali apabila manfaat dari menggunakan mereka melebihi risiko pengembangan hepatitis.  Hindari konsumsi berat etanol saat isoniazid.  Anjurkan pasien untuk menghindari mengambil lebih dari 3 g / d asetaminofen (parasetamol) karena ambang batas untuk mengurangi kerusakan hati.  Hewan studi menunjukkan bahwa antioksidan tertentu dapat mengurangi risiko hepatitis isoniazid. Ini termasuk silymarin, vitamin E, N-acetylcysteine, dan melatonin. Meskipun tidak diketahui apakah hasil ini berlaku untuk manusia, mengoreksi kekurangan nutrisi sebelum memulai isoniazid dapat dibenarkan.

Kesimpulan
Hepatotoksisitas imbas obat merupakan komplikasi potensial yang selalu ada pada setiap obat yang diberikan, karena hati merupakan pusat disposisi metabolic dari semua obat dan bahan asing yang masuk ke dalam tubuh. Kejadian jejas hati karena obat mungkin jarang terjadi, namun
27

akibat yang ditimbulkan bisa fatal. Reaksi tersebut sebagian besar idiosinkratik pada dosis terapeutik yang dianjurkan.sebagian lagi tergantung dosis obat. Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga mudah menembus membran sel intestinal. Obat kemudian diubah lebih hidrofilik melalui proses biokimiawi di dalam hepatosit, menghasilkan produk larut air yang diekskresikan ke dalam urin atau empedu. Maka perlu berhati-hati dalam pemberian obat dan dosisnya serta adakah pasien mempunyai polimorfisme genetic.

28

You might also like