You are on page 1of 38

VAKSINASI POLIO

Oleh : Hendy Buana Vijaya I1A007009

Pembimbing dr.Nurul Hidayah Sp. A

Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unlam-RSUD Ulin Banjarmasin Desember, 2011

BAB I PENDAHULUAN

Acute Flaccid Paralysis (AFP) adalah kelumpuhan atau paralisis secara fokal yang onsetnya akut dan mengenai anak kelompok < 15 tahun termasuk didalamnya poliomielitis. Acute Flaccid Paralysis disebabkan oleh beberapa agen termasuk enterovirus, echovirus, atau adenovirus. Poliomelitis atau infantile paralysis, lebih dikenal dengan sebutan polio, adalah kelainan yang disebabkan infeksi virus (poliovirus) yang dapat mempengaruhi seluruh tubuh, termasuk otot dan saraf. Kasus yang berat dapat menyebabkan kelumpuhan bahkan kematian.1,2,3,4 Populasi beresiko polio terutama menyerang kelompok umur anak-anak berusia di bawah lima tahun (balita). Di banyak negara dengan tingkat polio yang tinggi, 70%-80% penderita di bawah usia 3 tahun dan 80% - 90% dari kasus terjadi pada balita. Setelah pemberian vaksin polio telah terjadi penurunan infeksi polio yang drastis. Meskipun program eradikasi polio secara global telah dilaksanakan sungguhsungguh, polio masih sangat endemik di beberapa negara seperti India, Afrika Subsahara dan Asia, di mana kasus-kasusnya masih terus ditemukan. Di Indonesia masih ditemukan kasus polio baru, hal ini menunjukkan bahwa penyebaran virus polio liar di Indonesia belum berhenti.

World Health Organization memperkirakan sampai saat ini total kasus virus polio liar secara kumulatif berjumlah 304 kasus, tersebar di 10 provinsi

diantaranya Jawa Barat, Banten, Lampung dan Jawa Tengah.4,5,6,7 Polio adalah virus gastrointestinal yang menyebabkan demam, muntah dan kekejangan otot, serta dapat merusak sistem saaraf dan menyebabkan kelumpuhan permanen. Polio juga dapat menyebabkan kelumpuhan pada sistem pernapasan dan otot-otot untuk menelan, sehingga dapat berakhir pada kematian. 1,8 Ada dua macam vaksin polio yaitu inactivated polio vaccine (IPV) dan oral polio vaccine (OPV). Apabila mulai dengan jadwal OPV, IPV dapat digunakan dengan a Virus poliomielitis tergolong dalam genus enterovirus dan famili picornaviridae, mempunyai 3 strain yaitu tipe 1 (Brunhilde), tipe 2 (Lansing) dan tipe 3 (Leon)man untuk menyelesaikan jadwal tersebut tanpa efek buruk. Diperlukan tiga dosis untuk memberikan proteksi yang baik dalam masa kanak-kanak dengan booster pada usia 4 tahun. Inactivated polio vaccine (IPV) mengandung sejumlah kecil virus polio yang telah dimatikan.4,5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA POLIOMIELITIS Etiologi Virus poliomielitis tergolong dalam genus enterovirus dan famili

picornaviridae, mempunyai 3 strain yaitu tipe 1 (Brunhilde), tipe 2 (Lansing) dan tipe 3 (Leon). Infeksi dapat terjadi oleh satu atau lebih dari tipe virus tersebut. Pada sebagian besar kasus dan ganas biasanya disebabkan oleh virus tipe 1. Imunitas yang diperoleh setelah terinfeksi maupun imunisasi bersifat seumur hidup dari spesifik untuk satu tipe.1 Penyebaran infeksi virus polio terjadi secara fekal oral dan pernafasan. Transmisi perinatal bisa terjadi dari ibu kepada bayinya. Faktor predisposisi virus polio tergantung pada status imunitas, neurovirulensi virus dan faktor host.1,2 Epidemiologi Sebelum tahun 1880 penyakit ini sering terjadi secara sporadik, dimana tingkat kejadian polio yang tinggi pertama kali dilaporkan dari daerah Eropa Barat, kemudian Amerika Serikat. Pada akhir tahun 1940 dan awal tahun 1950 tingkat

kejadian yang tinggi poliomielitis secara teratur ditemukan di Amerika Serikat dengan 15.000-21.000 kasus kelumpuhan setiap tahunnya. Pada tahun 1920, 90 % kasus pada anak <5 tahun, sedangkan di awal tahun 1950 kejadian tertinggi adalah usia 5-9 tahun, bahkan belakangan ini lebih dari sepertiga kasus yang terjadi pada usia >15 tahun.1,3,4,5 Sejak dipergunakannya vaksin pada tahun 1955 dan 1962, secara dramatis terjadi penurunan jumlah kasus di negara maju. Di Amerika Serikat, angka kejadian turun dari 17,6 kasus poliomielitis per 10.000 penduduk di tahun 1955 menjadi 0,4 kasus per 100.000 di tahun 1962. Sejak tahun 1972 kejadiannya <0,01 kasus per 100.000 atau 10 kasus per tahun.1,2,6,7 Tahun 1988, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mensahkan resolusi untuk menghapus polio sebelum tahun 2000. Pada saat itu masih terdapat sekitar 350 ribu kasus polio di seluruh dunia. Meskipun pada tahun 2000 polio belum terbasmi, tetapi jumlah kasusnya telah berkurang hingga di bawah 500. Polio tidak ada lagi di Asia Timur, Amerika Latin, Timur Tengah atau Eropa.6,8,9 Meskipun banyak usaha telah dilakukan, pada tahun 2004 angka infeksi polio meningkat menjadi 1.185 kasus di 17 negara dari 784 di 15 negara pada tahun 2003. Sebagian penderita berada di Asia dan 1.037 ada di Afrika. Nigeria memiliki 763 penderita, India 129, dan Sudan 112 kasus. Pada tahun 2006 ditemukan kasus liar poliovirus tipe I di Kenya, pada saat itu ditemukan 216 kasus yang dibawa oleh pendatang dari Somalia yang merupakan negara tetangga dari Kenya.10

Di Indonesia perkembangan polio sejak ditemukannya kasus polio pertama Maret 2005 lalu setelah 10 tahun (1995-2005) tidak ditemukannya lagi kasus polio. Namun penyakit polio ini kembali mewabah di Indonesia tahun 2005. Hingga tanggal 21 november 2005, ditemukan 295 kasus polio yang terdapat di 40 kabupaten dari 10 propinsi yakni Banten, Jawa Barat, Lampung, Jawa Tengah, sumut, Jawa Timur, Sumatera Selatan, DKI, Riau, dan Aceh.5

Patogenesis Polio dapat menyebar melalui kontak dengan kotoran yang terkontaminasi (misalnya, dengan mengganti popok bayi yang terinfeksi) atau melalui

udara, dalam makanan, atau dalam air. Virus masuk melalui mulut dan hidung (portal of entry), berkembang biak di dalam tenggorokan dan mukosa saluran cerna (Peyers patches), lalu diserap dan disebarkan melalui sistem pembuluh darah dan pembuluh getah bening. Virus biasanya memasuki tubuh melalui rongga orofaring dan berkembangbiak dalam traktus digestivus, kelenjar getah bening regional dan sistem retikuloendotelial. Masa inkubasi ini berlangsung antara 7-14 hari, tetapi dapat pula merentang dari 2 sampai 35 hari. Setelah 3-5 hari sejak terjadinya paparan, virus dapat ditemukan dari tenggorok, darah dan tinja. Dalam keadaan ini timbul perkembangan virus, tubuh bereaksi dengan membentuk antibodi spesifik. Bila pembentukan zat antibodi mencukupi dan cepat maka virus akan dinetralisasikan, sehingga timbul gejala klinis yang ringan atau tidak terdapat sama sekali dan timbul

imunitas terhadap virus tersebut. Dalam kebanyakan kasus, hal ini dapat mengakibatkan terhentinya perkembangan virus dan keuntungan individu memiliki kekebalan permanen terhadap polio. Bila proliferasi virus tersebut lebih cepat dari pembentukan zat anti maka akan timbul viremia dan gejala klinis, kemudian virus akan terdapat dalam feses untuk beberapa minggu lamanya. Apabila manusia yang rentan terpapar dengan poliovirus maka satu dari beberapa respons berikut ini akan terjadi, yaitu: infeksi tidak nyata dan tanpa gejala-gejala, timbul sakit ringan (abortive poliomyelitis, nonparalytic poliomyelitis, paralyticpoliomyelitis.1,2,16 Berbeda dengan virus lain yang menyerang susunan saraf, maka

neuropatologi poliomeilitis biasanya patognomonik dan virus hanya menyerang selsel dan daerah tertentu susunan saraf, tidak semua neuron yang terkena mengalami kerusakan yang sama dan bila ringan, dapat terjadi penyembuhan fungsi neuron dalam 3-4 minggu sesudah timbul gejala. Daerah yang biasanya terkena pada poliomeilitis :1,2,11 Medulla spinalis terutama kornu anterior Batang otak pada nukleus vestibularis dan inti-inti saraf kranial serta formasio retikularis yang mengandung pusat vital y y Serebelum terutama inti-inti pada vermis Mid brain terutama pada masa kelabu, substansia nigra dan kadang-kadang nukleus rubra.

y y

y y

Talamus dan hipotalamus Korteks serebri, hanya daerah motorik Poliomielitis adalah penyakit infeksi virus yang akut yang melibatkan medulla

spinalis dan batang otak. Telah diisolasi 3 jenis virus yaitu tipe Brunhilde, Lansing dan Leon yang menyebabkan penyakit ini, yang masing-masing tidak mengakibatkan imunitas silang. Bila seorang mengalami infeksi dengan satu jenis virus ia akan mendapat kekebalan yang menetap terhadap virus tersebut.1,2 Kira-kira 7-10 hari setelah tertelan virus, kemudian terjadi penyebaran termasuk ke susunan saraf pusat. Penyebaran virus polio melalui saraf belum jelas diketahui. Penyakit yang ringan (minor illness) terjadi pada saat viremia yaitu kirakira hari ketujuh, sedangkan major illness ditemukan bila konsentrasi virus di susunan saraf pusat mencapai puncaknya yaitu pada hari ke 12 sampai 14.1,11 Gambaran klinis Sebagian besar infeksi yang disebabkan oleh polio ada beberapa gejala khas. Namun hampir 95 persen dari semua orang yang terkena virus polio tidak akan menunjukkan gejala apapun. Sekitar 5 persen orang yang terinfeksi akan mengalami gejala ringan, seperti sakit tenggorokan, leher kaku, sakit kepala, dan demam, dan seringkali terdiagnosis sebagai pilek atau flu. Kelumpuhan otot telah diperkirakan terjadi pada sekitar satu dari setiap 1.000 orang yang terkena.1

Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 9-12 hari, tetapi kadang-kadang 335 hari. Gambaran klinis yang terjadi sangat bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai dengan yang paling berat, yaitu antara lain :2,3,11 Infeksi tanpa gejala Kejadian infeksi yang asimptomatik ini sulit diketahui, tetapi biasanya cukup tinggi terutama di daerah yang standar kebersihannya jelek. Pada suatu endemik polio diperkirakan terdapat pada 9-95% penduduk dan menyebabkan imunitas terhadap penyakit polio. Bayi baru lahir mula-mula terlindungi karena adanya antibodi maternal yang kemudian akan menghilang setelah usia 6 bulan.

Penyakit ini hanya diketahui dengan menemukan virus di tinja atau meningginya titer antibodi. Infeksi abortif Kejadiannya diperkirakan 4-8% dari jumlah penduduk pada suatu daerah yang tingkat kejadiannya cukup tinggi. Tidak dijumpai gejala khas poliomielitis. Timbul mendadak dan berlangsung 1-3 hari dengan gejala minor illness seperti demam bisa mencapai 39,5 oC, malaise, nyeri kepala, sakit tenggorokan, anoreksia, muntah, nyeri otot dan nyeri perut serta kadang-kadang diare. Penyakit ini sukar dibedakan dengan penyakit virus lainnya, hanya dapat diduga bila terjadi di daerah yang epidemik polio. Diagnosis pasti hanya dengan menemukan virus pada biakan jaringan. Diagnosis banding adalah influenza atau infeksi tenggorokannya lainnya.

Poliomielitis non paralitik Penyakit ini terjadi 1 % dari seluruh infeksi. Gejala klinik sama dengan infeksi abortif yang berlangsung 1-2 hari. Setelah itu suhu menjadi normal, tetapi kemudian naik kembali (dromary chart), diserta dengan gejala nyeri kepala, mual dan muntah lebih berat, dan ditemukan kekakuan pada otot belakang leher, punggung serta tungkai. Tanda kernig dan brudzinsky positif. Tanda lain adalah bila anak berusaha duduk dengan sikap tidur, maka ia akan menekukkan kedua lututnya ke atas, sedangkan kedua lengan menunjang ke belakang pada tempat tidur. Head drop yaitu bila tubuh penderita ditegakkan dengan menarik pada kedua ketiak, akan menyebabkan kepala terjatuh ke belakang. Refleks tendon biasanya normal. Bila refleks tendon berubah maka kemungkinan akan terjadi poliomielitis paralitik. Diagnosis banding adalah meningitis serosa dan meningismus. Poliomielitis paralitik Gambaran klinis sama dengan poliomielitis non paralitik disertai dengan kelemahan satu atau beberapa kumpulan otot skelet atau kranial. Gejala ini bisa menghilang selama beberapa hari dan kemudian timbul kembali diserta dengan kelumpuhan (paralitik) yaitu berupa flaccid paralysis yang biasanya unilateral dan simetris yaitu paling sering terkena adalah tungkai. Keadaan ini bisa disertai kelumpuhan vesika urinaria, atonia usus dan kadang-kadang ileus paralitik. Pada keadaan yang berat dapat terjadi kelumpuhan otot pernafasan.

Secara klinis dapat dibedakan atas 4 bentuk sesuai dengan tingginya lesi pada susunan saraf pusat yaitu:1,2,11 a. Bentuk spinal dengan gejala kelemahan otot leher, perut, punggung, diafragma, ada ekstremitas dimana yang terbanyak adalah ekstremitas bawah. Tersering yaitu otot-otot besar, pada tungkai bawah kuadriseps femoralis, pada lengan deltoid. Sifat kelumpuhannya ini adalah asimetris. Refleks tendon menurun sampai menghilang dan tidak ada gangguan sensibilitas. b. Bentuk bulbospinal didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bulbar. c. Bentuk bulbar ditandai dengan kelemahan motorik dari satu atau lebih saraf kranial dengan atau tanpa gangguan pusat vital seperti pernafasan, sirkulasi dan temperatur tubuh. Bila kelemahan meliputi saraf kranial IX, X dan XII maka akan menyebabkan paralisis faring, lidah dan taring dengan konsekuensi terjadi sumbatan jalan nafas. d. Bentuk ensefalitik ditandai dengan kesadaran yang menurun, tremor dan kadang-kadang kejang.

Gambaran secara umum penderita poliomielitis

Gambar 2.1 Gambaran secara umum pasien polio

Gambar 2.2 Penderita polio Banyak penyakit dari Acute Flaccid Paralysis yang hampir menyerupai poliomielitis dengan gejala yang sama, sehingga penentuan diagnosis poliomielitis harus benar-benar teliti bertujuan untuk menentukan manajemen pengobatan, prognosis dan pencegahan lebih awal. Berikut adalah diagnosis banding dari Acute Flaccid Paralysis3

VAKSINASI POLIO Imunisasi polio dimulai dari upaya imunisasi pasif dengan menggunakan serum konvalesen penderita untuk mengobati kasus polio akut. Meskipun berbagai cara penggunaan/memasukkan serum telah dicoba dengan hasil yang kontroversial, namun akhirnya terbukti (pada wabah tahun 1931), bahwa cara ini tidak mempunyai manfaat yang bermakna secara klinis.5,6 Imunisasi aktif mulai dicoba, setelah berbagai upaya imunisasi pasif gagal. Penelitian berkembang menjadi dua arah yaitu virus yang dimatikan dengan menggunakan feno/formalin (IPV) atau virus dilemahkan (attenuated vaccine OPV) dengan cara melakukan pasasi berulang pada kultur jaringan. Kedua cara tersebut menghasilkan dua macam vaksin yaitu yang pertama adalah Inactivated Polio Vaccine dan disusul dengan Oral Polio Vaccine. Kedua vaksin terbukti dapat menurunkan angka kelumpuhan dan angka kesakitan akibat virus polio. Kriteria vaksin yang baik adalah vaksin itu harus antigenik, proporsi vaksin trivalent harus sesuai dengan virus liar yang ada di lingkunan, replikasi dan mutasi harus sangat minimal. Vaksin OPV mengandung vaksin yang masih hidup sehingga bisa hidup dan berkembangbiak dalam usus. Imunisasi cara ini tidak hanya membentuk antibodi humoral yang dapat menghambat virus polio menimbulkan infeksi di sistem saraf pusat, namun juga merangsang sekretori IgA, antibodi sekretori yang mencegah

perlekatan dan replikasi virus di epitel usus. Virus dapat bertahan sampai 17 bulan setelah imunisasi dan pada anak dengan agammaglobulin, bahkan dapat bereplikasi terus sampai 684 hari. Suntikan IPV bisa menimbulkan antibodi antipolio humoral yang tinggi, namun karena tidak menimbulkan kekebalan interstinal yang cukup, IPV tidak bisa menghentikan trasmisi virus polio liar.5,6, Eliminasi Eliminasi (elimination) penyakit merupakan upaya intervensi berkelanjutan yang bertujuan menurunkan insidensi dan prevalensi suatu penyakit sampai pada tingkat nol di suatu wilayah geografis. Upaya intervensi berkelanjutan diperlukan untuk mempertahankan tingkat nol. Contoh: eliminasi tetanus neonatorum, poliomyelitis, di suatu wilayah. Eliminasi infeksi merupakan upaya intervensi berkelanjutan yang bertujuan menurunkan insidensi infeksi yang disebabkan oleh suatu agen spesifik sampai pada tingkat nol di suatu wilayah geografis. Eliminasi infeksi bertujuan memutus transmisi (penularan) penyakit di suatu wilayah. Upaya intervensi berkelanjutan diperlukan untuk mencegah terulangnya transmisi. Contoh: eliminasi campak, poliomielitis, dan difteri. Eliminasi penyakit/ infeksi di tingkat wilayah merupakan tahap penting untuk mencapai eradikasi global.5,6 Untuk mempercepat eliminasi penyakit polio di seluruh dunia, WHO membuat rekomendasi untuk melakukan Pekan Imunisasi Nasional (PIN). Indonesia melakukan PIN dengan memberikan satu dosis polio pada bulan September 1995,

1996, dan 1997. Pada tahun 2002, PIN dilaksanakan kembali dengan menambahkan imunisasi campak di beberapa daerah. Setelah adanya kejadian luar biasa (KLB) acute flaccid paralysis (AFP) pada tahun 2005, PIN tahun 2005 dilakukan kembali dengan memberikan tiga dosis polio saja pada bulan September, Oktober, dan November. Pada tahun 2006 PIN diulang kembali dua kali/dosis polio yang dilakukan pada bulan September dan Oktober 2006. Dengan adanya PIN tersebut, frekuensi imunisasi polio bisa lebih dari seharusnya. Tetapi WHO menyatakan bahwa polio sebanyak tiga kali cukup memadai untuk imunisasi dasar polio.5,6 Eradikasi Berbagai manfaat akan diperoleh apabila eradikasi polio global berhasil dicapai, terutama dunia terbebas dari penyakit polio dan cacat/lumpuh/layu yang terjadi akibat penyakit tersebut, mengurangi pengeluaran biaya yang diperlukan oleh sistem kesehatan untuk menyelenggarakan imunisasi dan perawatan kasus-kasus polio yang diperkirakan mencapai US S 1.5 milyar pertahun.5 Pada tahun 1988, dalam sidangnya yang ke 41, WHO telah menetapkan program eradikasi polio global (global polio eradication initiative) yang ditujukan untuk mengeradikasikan penyakit polio pada tahun 2000 (ERAPO 2000). Target ini kemudian diformulasikan lagi pada pertemuan World Summit for Children yang berlangsung tanggal 29-30 September 1990 di New York, yakni dalam sasaran kesejahteraan anak.3,5,6

Terbukanya peluang untuk melaksanakan eradikasi polio dimungkinkan oleh karena :5,6,9 a. Infeksi polio hanya berlangsung pada manusia, tidak ada binatang reservoir (binatang pengidap polio) maupun pengidap kronis (chronic carrier). b. Sumber virus polio dari lingkungan yang dapat bertahan lama tidak ada; virus polio didaerah tropis diluar tubuh hanya bertahan sekitar 48 jam. c. Kekebalan berlangsung seumur hidup. d. Vaksin polio yang efektif telah berhasil dikembangkan, yakni vaksin polio inaktif pada tahun 1955 oleh Dr. Jonas Salk dan vaksin polio oral (life attenuated) tahun 1960 oleh Dr. Albert Sabin. Untuk mencapai eradikasi polio tersebut WHO menetapkan 4 strategi global untuk mengeradikasi polio pada tahun 2000, yakni: 1. 2. Imunisasi rutin dengan cakupan > 80% NID (National Immunization Days) identik dengan PIN (pecan Imunisasi Nasional. 3. 4. Surveilans AFP dan surveilans virus polio liar. Mopping-up

Eradikasi polio di indonesia Latar belakang kebijaksanaan dan strategi ERAPO di Indonesia adalah kesepakatan WHA (World Health Assembly) 1988 yang menetapkan dicapainya target eradikasi polio global pada tahun 2000. Untuk mencapai target tersebut diIndonesia telah ditetapkan langkah-langkah kegiatan berikut: 3,5 1. Imunisasi rutin dengan OPV sebanyak 4 kali 2. Pelaksanaan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) dan 3. Surveilans AFP dan virus polio liar. Analisa SWOT Dalam upaya untuk mengeradikasi penyakit polio secara global, WHO telah membuat tahapan dan kegiatan perioritasnya. Tahapan dan kegiatan perioritas ini berorientasi pada suatu tujuan tertentu, sehingga suatu negara bisa melakukan upaya eradikasi polio yang direkomendasikan oleh WHO sesuai dengan tahapan dan prioritas dimana negara tersebut berada. Adapun analisa SWOT (Strength, weakness, opportinity, threat) dalam eradikasi polio di Indinesia adalah: 5 Analisa 1 tentang Strength Perlu mengetahui kompetensi yang menonjol dari upaya kesehatan polio. Adanya endemis polio di Indonesia menunjukkan adanya bukti-bukti virologis dan atau epidemiologis tentang transmisi virus polio liar di Indonesia; sehingga di Indonesia dilaksanakan perioritas: A. Melaksanakan Pekan Imunisasi Nasional

Polio (National Immunizatin Day) Gunanya: untuk menghentikan transmisi virus polio liar di Indonesia. B. Melaksanakan surveilans AFP yang didukung oleh pemeriksaan laboratorium C. Memperkuat program immunisasi rutin Polio Analisa 2 tentang W Perlunya kejelasan tentang tingkat kelemahan program polio. Dalam hal pelaksanaan PIN, terdapat kelemahan dalam hal pendistribusian vaksin polio di daerah-daerah terpencil, sehingga hasil yang diharapkan tidak mencapai target. Misalnya ada beberapa daerah di Nias, dimana untuk mencapai daerah-daerah yang berbukit di pegunungan membutuhkan waktu selama 2-3 hari sehingga efektivitas vaksin polio tidak maksimal walaupun menggunakan termos es. Selain itu juga pelaporan pelaksanaan PIN tahun 1997 masih belum lengkap, karena pada tahun 1987 dilaporkan sebanyak 2.319 kasus, namun pelaporan masih belum lengkap sehingga angka terakhir kemungkinan lebih dari 3.500.4 y Analisa 3 tentang O Adanya Surveilans AFP dan Surveilans virus polio liar dapat mencapai program eradikasi polio di Indonesia pada tahun 2000. Surveilans polio bertujuan untuk memantau adanya transmisi virus polio liar disuatu wilayah sehingga upaya pemberantasan menjadi terfokus dan efisien. Sasaran surveilans adalah kelompok yang rentan terhadap polio, yaitu anak berusia dibawah 15 tahun. Untuk meningkatkan sensitivitas surveilans polio, pengamatannya dilakukan pada semua kelumpuhan yang terjadi secara akut dan sifatnya layuh. 4

Analisa 4 tentang T Adanya Kejadian Luar Biasa (KLB) polio di salah satu daerah, menunjukkan masih lemahnya tingkatan sasaran surveilans polio di Indonesia.

Oral Polio Vaccine (OPV) Oral Polio Vaccine (OPV) merupakan vaksin pilihan karena dapat menimbulkan antibodi yang tinggi. Dosis tunggal akan menimbulkan kekebalan pada 50% resipien, 3 dosis akan meningkatkan kekebalan sampai 95%. Kekebalan yang terjadi tidak timbul secara bersamaan tetapi bersifat sekuensial. Respon pertama terutama terhadap virus tipe 1 (paling imunologik) disusul virus tipe 2 dan terakhir tipe 3. Serokonversi terjadi paling cepat dengan tipe 1, sedang protektifitas terhadap tipe 3 tercapai setelah 4-5 dosis, bahkan protektifitasnya dapat mencapai diatas 95% dan tercapai setelah dosis kedelapan. Keuntungan vaksin ini adalah mudah diberikan (tanpa alat suntik) dan harganya jauh lebih murah dibandingkan IPV. OPV selain dapat mencegah kelumpuhan, juga merangsang kekebalan usus dan menghambat penempelan, invasi dan replikai virus liar. Pemberian OPV secara simultan pada suatu daerah akan menaikkan kadar secretori IgA usus terhadap virus polio dan memutus rantai hidup virus liar.5,8 Oral polio vaksin (OPV) diberikan dalam bentuk tetesan melalui mulut. Vaksin ini mengandung sejumlah kecil virus hidup yang telah dimodifikasi dari

masing-masing tipe polio sehingga tidak menimbulkan penyakit tersebut, dan antibiotik (neomysin) dalam jumlah amat kecil. Dosis OPV berisi 3 type virus polio dengan titer Tipe 1 : 106 TCID (tissue culture infective dose) 50/CCID (cell culture infective dose) 50 (10 5,5-10 6,5) y y Tipe 2 : 105 TCID (tissue culture infective dose) 50 (10 4,5-10 5,5) Tipe 3 : 10 5,5 TCID (tissue culture infective dose) 50 (10 5,0-10 6)

Gambar 2.2 Oral Polio Vaccine

Vaksin polio oral harus disimpan tertutup pada suhu 2-8 C. Vaksin sangat stabil namun sekali dibuka, vaksin akan kehilangan potensi disebabkan perubahan pH setelah terpapar udara, kebijaksanaan Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial manganjurkan bahwa vaksin polio yang telah terbuka botolnya pada akhir sesi imunisasi (pasca imunisasi masal) harus dibuang. Tetapi saat ini kebijaksanaan WHO membolehkan botol-botol yang berisi vaksin dosis ganda (multidose) digunakan pada sesi-sesi imunisasi, apabila tanggal kadarluwarsa tidak terlampui, vaksin di simpan dalam keadaan yang sangat dingin (2-8C), botol vaksin yang telah terbuka yang terpakai hari itu harus dibuang.9,11 Setiap membuka vial baru harus menggunakan penetes (dopper) yang baru. Di unit pelayanan, vaksin polio yang telah dibuka hanya boleh digunakan selama 2 minggu dengan ketentuan : 9,12 Vaksin belum kadaluarsa

y y y

Vaksin disimpan dalam suhu 2 C - 8C Tidak pernah terendam air Sterilitasnya terjaga

Cara pemberian : Diberikan secara oral melalui mulut, 1 dosis adalah 2 tetes sebanyak 4 kali (dosis) pemberian, dengan interval setiap dosis minimal 4 minggu. Pada daerah yang tingkat kasus polionya tinggi (seperti Indonesia) merupakan daerah endemik polio, pemberian extra imunisasi polio segera setelah lahir (polio 0 pada kunjungan 1) dengan tujuan meningkatkan cakupan imunisasi. Imunisasi polio 0 diberikan saat bayi akan dipulangkan dari rumah sakit/rumah bersalin, agar tidak mencemari bayi yang lain mengingat virus polio hidup dapat dieksresi melalui tinja. Imunisasi polio ulangan diberikan 1 tahun sejak imunisasi polio 4, selanjutnya saat masuk sekolah (56 tahun).5,6,9 Penyimpanan OPV Oral polio vaccine (OPV) dapat disimpan beku pada temperatur 2-8C. Vaksin yang beku dengan cepat dicairkan dengan cara ditempatkan antara dua telapak tangan dan digulir-gulirkan, di jaga agar warna tidak berubah yaitu merah muda sampai orange muda (sebagai indikator pH). Bila keadaan tersebut dapat terpenuhi, maka sisa vaksin yang telah terpakai dapat dibekukan lagi, kemudian dapt dipakai

lagi sampai warna berubah dengan catatan dan tanggal kadarluwarsa harus selalu diperhatikan.5,9 Kontra indikasi OPV Penyakit akut atau demam (temp. >38,5C), imunisasi harus ditunda Muntah atau diare, imunisasi ditunda Sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau imunosupresif oral maupun suntikan, juga pengobatan radiasi umum y Keganasan dan penderita HIV

y y y

Inactivated Polio Vaccine (IPV) Inactivated Poliovirus Vaccine (IPV) mendapat lisensi pada tahun 1955 dan langsung digunakan secara luas. Pada tahun 1963 mulai digunakan trivalent virus polio secara oral (OPV) secara luas. Encanced potency IPV (eIPV) yang menggunakan molekul lebih besar dan menimbulkan kadar antibodi lebih tinggi digunakan tahun 1988. Inacctivated polio vaccine merupakan vaksin yang cukup efektif, 2 dosis akan menimbulkan antibodi yang protektif pada sekitar 90% resipien, sedang 3 dosis akan meningkatkan protektifitas sampai 99%. Protektifitas terhadap kelumpuhan berkaitan dengan tingginya kadar antibodi serum. Keuntungan dari IPV adalah virus vaksin telah dinonaktifkan sehingga tidak bisa bereplikasi. Vaksin ini aman dalam arti tidak menimbulkan kelumpuhan akibat imunisasi dan tidak berbahaya bagi penderita defisiensi imun, meskipun vaksin tersebut tetap dibuat dari

virus liar. Kerugiannya adalah vaksin ini harus disuntikkan, relatif mahal dan kurang merangsang timbulnya antibodi IgA sekretori di usus, sehingga tidak dapat menghambat perlekatan, replikasi polio liar dan tidak dapat menghentikan trasmisi virus tersebut.2,5,8 Indikasi Indikasi pemberian Inactivated polio vaccine :5,11 Semua anak harus menerima empat dosis IPV pada bulan 2, 4 dan 6, dan 4-5 tahun. y Interval yang lebih disukai antara 3 dosis pertama adalah 2 bulan. Jika perlindungan dipercepat diperlukan, interval minimum antara dosis adalah 4 minggu. y Tidak ada dosis tambahan yang diperlukan jika lebih banyak waktu dari yang direkomendasikan berlalu antara dosis. y Mereka yang memulai seri vaksin dengan satu atau lebih dosis OPV harus menerima IPV untuk menyelesaikan seri vaksinasi. Sebuah interval minimal 4 minggu harus berlalu antara OPV dan IPV, tetapi celah minimal 2 bulan adalah lebih baik. y Inactivated polio vaccine dapat diberikan bersamaan dengan semua lainnya secara rutin direkomendasikan vaksin anak.

Gambar 2.3 Inactivated polio vaccine Komposisi Tiap dosis (0,5 mL) mengandung :5,9 Virus polio Tipe 1 Virus polio Tipe 2 Virus polio Tipe 3 : 40 D unit antigen : 8 D unit antigen : 32 D unit antigen

y y y y y y y y

2-phenoxyethanol 0,5% Formaldehid 0,02% Neomycin Streptomycin Polymyxin B

Dosis dan cara pemberian :9 IPV harus diberikan sebanyak 0,5 ml secara intramuscular pada paha, sebaiknya paha kanan y y Menggunakan Autodisable Syringe (ADS) yang steril pada setiap penyuntikan Bayi harus menerima minimal 4 dosis IPV dengan interval minimal 4 (empat) minggu y IPV diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan bersamaan dengan vaksin DPT/HB IPV dapat diberikan dengan aman berbarengan denga vaksin DPT, DT, TT, Td, Campak, Mumps, Rubella, BCG, Hepatitis B atau Hib dan tidak mempengaruhi pembentukan respon imunologik yang dihasilkan masingmasing vaksin Kontraindikasi Bayi dengan riwayat y hipersensitif terhadap salah satu komponen vaksin termasukk phenoxyethanol, polymyxin B. y Bayi yang terinfeksi immunodeficiency virus (HIV) baik simptomatik maupun asimptomatik bukan kontraindikasi IPV, harus diimunisasi dengan IPV menurut jadwal standar. Tidak ada gejala klinis dengan vaksin polio yang dimatikan telah dilakukan pada hamil perempuan. formaldehid 0,02% neomycin, streptomycin,

Meskipun tidak ada bukti yang meyakinkan melaporkakan dampak buruk dari vaksin polio yang dimatikan pada wanita hamil atau janin yang sedang berkembang, tetapi pemberian polio pada ibu hamil tetap tidak diberikan.9,11,13 Penyimpanan Inactivated polio virus merupakan vaksin yang freeze sensitive ( tidak kuat terhadap suhu beku) sehingga harus disimpan dan ditransportasikan pada kondisi suhu 2 8 C.5,9 Pada tingkat provinsi, vaksin harus disimpan dikamar dingin/lemari es pada suhu 2-8 C Pada tingkat kabupaten/kota dan puskesmas, vaksin harus disimpan di lemari es pada suhu 2-8 C Pada pelayanan, vaksin dibawa dengan menggunakan vaccine carrier yang berisi cool pack (kotak air dingin) Berbeda dengan OPV, IPV tidak boleh dibekukan.

Efek samping IPV Inactivated polio vaccine atau vaksin yang mengandung IPV dapat menyebabkan nyeri otot, rasa sakit, bengkak atau warna merah di tempat injeksi. Sampai 1 dari 10 anak mungkin mengalami demam ringan dan kehilangan selera.4

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Kejadian ikutan pasca imunisasi merupakan suatu kejadian (medik) sakit dan kematian yang terjadi setelah menerima imunisasi yang disebabkan oleh imunisasi. Biasanya terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi (dapat lebih lama, 6 bulan). Vaksin merupakan produk biologis yang mengandung antigen penyakit, sehingga diperlukan keseimbangan kondisi tubuh yang sehat pada saat pemberian imunisasi sehingga pembentukan imunogenisitas dan reaktogenesis terbentuk sempurna serta menghasilkan komplikasi yang lebih minimal.9,17 Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang (adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping (side-effects), interaksi obat, intoleransi, reaksi idoisinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara klinis sulit dibedakan.efek farmakologi, efek samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi karena potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan seseorang terhadap unsur vaksin dengan latar belakang genetik. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak, gondong, influenza, dan demam kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsur lain yang terkandung dalam vaksin.9 Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin,

kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi, atau kejadian yang timbul secara kebetulan. Kejadian yang memang akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan (pragmatic errors). Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena sebagian besar ternyata tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu untuk menentukan KIPI diperlukan keterangan mengenai:16,17 1. besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu 2. sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik 3. derajat sakit resipien 4. apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti 5. apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin, kesalahan produksi, atau kesalahan prosedur. Kejadian ikutan pasca imunisasi dibagi menjadi 5 kelompok faktor etiologi menurut klasifikasi lapangan WHO Western Pacific (1999), yaitu:18 1. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors) Sebagian kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya: Dosis antigen (terlalu banyak)

y y y y y y y y y

Lokasi dan cara menyuntik Sterilisasi semprit dan jarum suntik Jarum bekas pakai Tindakan aseptik dan antiseptik Kontaminasi vaksin dan perlatan suntik Penyimpanan vaksin Pemakaian sisa vaksin Jenis dan jumlah pelarut vaksin Tidak memperhatikan petunjuk produsen

Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama. 2. Reaksi suntikan Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope. 3. Induksi vaksin (reaksi vaksin) Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat

seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan resiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atauberbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi. 4. Faktor kebetulan (koinsiden) Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja setelah diimunisasi. Indikator faktor kebetulan ini ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakterisitik serupa tetapi tidak mendapatkan imunisasi. 5. Penyebab tidak diketahui Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan kedalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan kedalam kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya dengan kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI.

Kejadian ikutan pasca imunisasi atau KIPI dapat terjadi pasca imunisasi IPV tetapi reaksi ini jarang terjadi, antara lain :5,9 Reaksi lokal : reaksi eritema kemerahan ( pembengkakan pada suntikan). Reaksi sistemik : demam, mual dan muntah, iritabilitas, anoreksia, menangis yang menetap dan keletihan. Polio paralisis, polio paralisis pada resipien munokompromais, komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian Vaccine Associated Paralytic Poliomyelitis (VAPP). World Health Organization mendefinisikan sebagai ; suatu kelumpuhan layuh akut yang terjadi 4-30 hari setelah menerima OPV, 4-75 hari setelah kontak dengan penerima OPV, disertai masih adanya kelainan neurologis pada 60 hari setelah awitan atau penderita meninggal. Prevalensi VAPP tersering pada penderita imunodefisiensi ( B cell deficiencies ) agamaglobulin atau hipogamaglobulin.5

Imunisasi pada kelompok resiko Untuk mengurangi resiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan apakah resipien termasuk dalam kelompok resiko. Yang dimaksud dengan kelompok resiko adalah:17 1. Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi terdahulu Hal ini harus segera dilaporkan kepada Pokja KIPI setempat dan KN PP KIPI dengan mempergunakan formulir pelaporan yang telah tersedia untuk penanganan segera 2. Bayi berat lahir rendah Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan sama dengan bayi cukup bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan adalah: a) Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah dari pada bayi cukup bulan b) Apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram) imunisasi ditunda dan diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau berumur 2 bulan; c) Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio yang diberikan adalah suntikan IPV bila vaksin tersedia, sehingga tidak menyebabkan penyebaaran virus polio melaui tinja 3. Pasien imunokompromais

Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar atau sebagai akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid jangka panjang). Jenis vaksin hidup merupakan indikasi kontra untuk pasien imunokompromais dapat diberikan IVP bila vaksin tersedia. Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis kecil dan pemberian dalam waktu pendek. Tetapi imunisasi harus ditunda pada anak dengan pengobatan kortikosteroid sistemik dosis 2 mg/kg berat badan/hari atau prednison 20 mg/ kg berat badan/hari selama 14 hari. Imunisasi dapat diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid dihentikan atau 3 bulan setelah pemberian kemoterapi selesai. 4. Pada resipien yang mendapatkan human immunoglobulin Imunisasi virus hidup diberikan setelah 3 bulan pengobatan utnuk menghindarkan hambatan pembentukan respons imun.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Polio adalah kelainan yang disebabkan infeksi virus (poliovirus) yang dapat mempengaruhi seluruh tubuh, termasuk otot dan saraf. Kasus yang berat dapat menyebabkan kelumpuhan bahkan kematian. Meskipun program eradikasi polio secara global telah dilaksanakan sungguh-sungguh, polio masih sangat endemik di beberapa negara seperti India, Afrika dan Asia, teritama di Indonesia masih ditemukan kasus polio baru hal ini

enunjukkan bahwa penyebran virus polio liar di Indonesia belum berhenti. Ada dua macam vaksin polio yaitu inactivated polio vaccine (IPV) dan oral polio vaccine (OPV). Inactivated polio vaccine merupakan vaksin polio yang dimatikan dan diberikan secara intramuscular dengan dosis 0,5 ml. Sedangkan Oral polio vaccine merupakan vaksin polio yang dilemahkan dan diberikan secara oral dengan 1 dosis atau 2 tetes. Kejadian ikutan pasca imunisasi merupakan kejadian sakit atau kematian setelah mendapatkan imunisasi .Pemberian vaksin merupakan pemasukan antigen ke dalam tubuh, sehingga tubuh dapat memiliki berbagai respon terhadap antigen tersebut.

DAFTAR PUSTAKA 1. Pasaribu S. Aspek diagnostik poliomyelitis. Sumatra utara : Bagian Ilmu Kesehatan Anak : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara; 2005. 2. Sutiko A, Rahmawaty. Acute flaccid paralysis. Medan: Muslim Indonesia University ; 2005 3. Miller N. The polio vaccine: a critical assessment of its arcane history, efficacy, and long-term health-related consequences. N.Z. Miller/Medical Veritas 1 (2004) 239251 4. Anonymous. Imunisasi. Australian Government. Department of health and ageing; 2005. h. 21-5 5. Anonymous. Eradikasi polio dan permasalahannya. Ilmu kesehatan anak XXXV. Kapita selekta ilmu kesehatan anak IV; 2005. 6. Rina O, Ritarwan K. Upaya eradikasi polio di indonesia. Tinjauan pustaka; 2005:198-203. 7. Ismoedijanto. Progress and challenges toward poliomyelitis eradication in Indonesia. Department of Child Health, School of Medicine: Airlangga University Surabaya Indonesia. Vol 34 ; 3 : 2003 : 598-604. 8. Anonymous. Cessation of routine oral polio vaccine (OPV) use after global polio eradication. World Heart Organisztion . 2005. 9. Anonymous. Penyelenggaraan pilot proyek inactivated polio vaccine di provinsi daerah istimewa Yogyakarta. 2007 10. Anonymous. Issues from the final push. UNICEF Country Office EPI Update: Nigeria Press; 2008

11. Herremans T, Reimerink J, Buisman A, Kimman T, Koopmasn T. Induction of mucosal immunity by inactivated poliovirus vaccine is dependent on previous mucosal contact with live virus. Chapter 5; 2007: 73-86 12. Anonymous. Poliomyelitis. Chapter 13. American Academy of Pediatric : Red book online;2011 13. Anonymous. Poliomyelitis vaccine. German : Medical Diagnostic Center Press; 2008. 14. Weckx L, Schmidt, Hermann, Miyasaki C, Novo. Early immunization of neonates with trivalent oral poliovirus vaccine. Bulletin of the world health Organization. 1992 ; 7 (1) : 85-91 15. Racaniello VR. One hundred years poliovirus pathogenesis. Virology 344 : 916 16. Julius E. Suryawidjaja. Resurgensi poliomyelitis :status terkini dari infeksi poliovirus di Indonesia. Universa Medicina; 2005 : 24 (2) : 93-101 17. Lisnawati L. Generasi sehat melalui imunisasi. Jakarta : trasinfomedia ; 2011. H. 15-56

You might also like