You are on page 1of 43

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar 1. Pengertian Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen yang prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan uretra pars

fibromuskuler

menyebabkan

penyumbatan

prostatika ( Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193 ). Pendapat lain mengatakan bahwa BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan dan pembatasan berbagai derajat obstruksi uretral

aliran urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 : 671 ).

Dari kedua pengertian tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan prostatika dan umumnya terjadi pada pria dewasa lebih dari 50 tahun. Reseksi pengangkatan Transuretra sebagian atau pada Prostat ( TURP ) prostat adalah melalui

seluruh

kelenjar

sistoskop atau resektoskop yang dimasukkan melalui uretra (Susan, M.T, 1998: 607). Sedangkan prostat obstruksi tokoh dari lain lobus mengatakan bahwa TURP adalah medial sekitar uretra diangkat melalui uretra

dengan sistoskop atau

resektoskop dimasukkan

( Marilynn, E.D, 2000 : 679 ). Maka pengertian TURP menurut kesimpulan penulis adalah pengangkatan sebagian atau seluruh kelenjar prostat yang telah menyebabkan obstruksi uretra dengan sistoskop atau yang dimasukkan melalui uretra. 2. Faktor - faktor yang mempengaruhi a. Anatomi fisiologi Kelenjar prostat terletak tepat dibawah buli buli dan resektoskop

mengitari uretra. Bagian bawah kelenjar prostat menempal pada diafragma urogenital atau sering disebut otot dasar panggul. Kelenjar ini pada laki - laki dewasa kurang lebih sebesar buah kemiri, dengan panjang sekitar 3 cm, lebar 4 cm dan tebal kurang lebih 2,5 cm. Beratnya sekitar 20 gram. Prostat terdiri dari jaringan kelenjar, jaringan stroma ( penyangga ) dan kapsul. Cairan yang dihasilkan kelenjar prostat bersama cairan dari cowper merupakan vesikula seminalis dan kelenjar terbesar dari seluruh cairan

komponen

semen. Bahan bahan yang terdapat dalam cairan semen sangat

10

penting dalam menunjang

fertilitas, memberikan lingkungan spermatozoa serta proteksi

yang nyaman dan nutrisi bagi terhadap invasi mikroba.

Kelainan pada prostat yang dapat mengganggu proses reproduksi adalah keradangan ( prostatitis ). Kelainan yang lain seperti pertumbuhan yang abnormal ( tumor ) baik jinak

maupun ganas tidak memegang peranan penting pada proses reproduksi aliran tetapi lebih berperan yang pada pada terjadinya gangguan disebut laki belakangan laki usia ini lanjut

urin.

Kelainan biasanya

manifestasinya

( FK UNAIR / RSUD dr. Soetomo : 19 ).

b. Patofisiologi Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra ini prostatika dapat dan akan menghambat aliran urin. Keadaan tekanan intravesikal. Sebagai otot

meningkatkan

kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka

detrusor dari buli - buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urin keluar. Kontraksi yang terus menerus

menyebabkan perubahan anatomi dari buli - buli berupa : hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula dan difertikel buli - buli.

11

Perubahan struktur pada buli - buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptom / LUTS (Basuki, 2000 : 76). Puncak dari kegagalan kompensasi adalah

ketidakmampuan otot detrusor memompa urine dan terjadi retensi urine. Retensi urin yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal ( Sunaryo, H, 1999 : 11 ).

c. Etiologi Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai

sekarang belum diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan

beberapa hipotesa yang diduga timbulnya hiperplasi prostat antara lain : 1). Dihydrotestosteron Peningkatan menyebabkan 5 alfa epitel reduktase dan stroma dan dari reseptor kelenjar androgen prostat

mengalami hiperplasi . 2). Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron

12

Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan hiperplasi stroma. 3). Interaksi stroma - epitel Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan transforming growth factor beta testosteron yang mengakibatkan

menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel. 4). Berkurangnya sel yang mati Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama

hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat. 5). Teori sel stem Sel stem yang meningkat mengakibatkan transit ( Roger Kirby, 1994 : 38 ). proliferasi sel

d. Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara lain : 1). Anamnesa Kumpulan gejala pada BPH dikenal dengan LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms) antara lain: hesitansi, pancaran urin lemah, intermittensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah miksi disebut gejala obstruksi dan gejala iritatif

13

berupa urgensi, frekuensi serta disuria. IPSS (International Prostate Symptoms Score) adalah kumpulan pertanyaan yang merupakan pedoman untuk mengevaluasi beratnya LUTS. Keadaan klien BPH dapat ditentukan berdasarkan skor yang diperoleh : a). b). c). Skor 0 - 7 = gejala ringan.

Skor 8 - 19 = gejala sedang. Skor 20 35 = gejala berat.

2). Pemeriksaan Fisik Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urin serta urosepsis sampai syok - septik. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui

adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin. Penis dan uretra juga diperiksa untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu uretra, karsinoma maupun fimosis. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan pemeriksaan adanya colok epididimitis. bertujuan Rectal untuk touch / menentukan

dubur

14

konsistensi

sistim

persarafan

unit

vesiko

uretra

dan

besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
a).Derajat

I = beratnya 20 gram.

b).
c).

Derajat II = beratnya antara 20 40 gram.

Derajat III = beratnya > 40 gram.

3). Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien. Pemeriksaan urin lengkap dan kulturnya juga diperlukan. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting

diperiksa sebagai kewaspadaan adanya keganasan. 4). Pemeriksaan Uroflowmetri Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian : a). Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.

b). Flow rate maksimal 10 15 ml / dtk = border line. c). Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.

5). Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik a). BOF (Buik Overzich Untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang. b). USG (Ultrasonografi)

15

Digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat juga keadaan buli buli termasuk residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra pubik. c). IVP (Pyelografi Intravena) Digunakan untuk melihat fungsi exkresi ginjal dan adanya hidronefrosis. Dengan IVP, buli buli dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya dikosongkan. Sebelum, untuk melihat adanya intravesikal tumor dan divertikel. Sementara (voiding cystografi), untuk melihat adanya reflux urin. Sesudah (post evacuation), untuk melihat residual urin. 6). Pemeriksaan Panendoskop Untuk mengetahui keadaan uretra dan buli buli

(Sunaryo, H, 1999 : 11-21).

e. Penatalaksanaan Modalitas terapi BPH adalah : 1). Watchful (observasi) bulan

Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 6 kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien

16

2).

Medikamentosa

Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan berat tanpa disertai penyulit serta indikasi terapi pembedahan tetapi masih terdapat kontraindikasi atau belum well motivated phitoterapi Obat yang digunakan berasal dari:

(misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll),

gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen. 3). Pembedahan

Indikasi pembedahan pada BPH adalah : a). Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
b).

Klien dengan residual urin > 100 ml. Klien dengan penyulit. Terapi medikamentosa tidak berhasil. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.

c). d). e).

Pembedahan dapat dilakukan dengan : a). b). Pembedahan biasa / open prostatektomi. TURP. TURP dilakukan dengan memakai alat yang disebut resektoskop dengan suatu lengkung diathermi. Jaringan kelenjar prostat diiris selapis demi selapis dan dikeluarkan melalui selubung resektoskop. Perdarahan dirawat dengan memakai diathermi, biasanya

17

dilakukan

dalam

waktu

30

sampai 120 menit,

tergantung besarnya prostat. Selama operasi dipakai irigan akuades Prosedur ini atau cairan isotonik tanpa elektrolit. dilakukan dengan anastesi regional

( Blok Subarakhnoidal / SAB / Peridural ). Setelah itu dipasang kateter nomer Ch. 24 untuk beberapa hari.

Sering dipakai kateter bercabang tiga atau satu saluran untuk spoel yang mencegah terjadinya pembuntuan oleh pembekuan mengisi sebanyak darah. Balon garam dikembangkan fisiologis yang atau dengan akuades sebagai

cairan

30 50 ml

digunakan

tamponade daerah prostat dengan cara traksi selama 6 24 jam.Traksi dapat dikerjakan dengan merekatkan ke paha klien atau dengan memberi beban (0,5 kg) pada kateter tersebut melalui katrol. Traksi tidak boleh lebih dari 24 jam karena dapat menimbulkan penekanan pada uretra bagian penoskrotal sehingga mengakibatkan stenosis buli buli karena ischemi. Setelah traksi dilonggarkan fiksasi dipindahkan

pada paha bagian proximal atau abdomen bawah. Antibiotika profilaksis dilanjutkan beberapa jam atau 24 48 jam pasca bedah. Setelah urin yang keluar jernih kateter dapat dilepas .Kateter biasanya dilepas

18

pada hari ke 3 5. Untuk pelepasan kateter, diberikan antibiotika 1 jam sebelumnya untuk mencegah urosepsis. Biasanya klien boleh pulang setelah miksi baik, satu atau dua hari setelah kateter dilepas 2000 : 6 ). 4). Alternatif Hipertermia, TULIP. lain (misalnya: TUIP, TUBD, Kriyoterapi, dan (Doddy, M.S,

Termoterapi, TUNA, Terapi

Ultrasonik

3.

Dampak Masalah Setiap perubahan yang terjadi selalu menimbulkan dampak. Begitu juga dengan individu yang telah dilakukan tindakan TURP akan mengalami perubahan baik yang mempengaruhi individu, keluarga maupun masyarakat. a. Dampak bagi individu Dampak lain : 1). Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat Timbulnya tirah perubahan pemeliharaan kesehatan karena yang sering muncul pada klien pasca TURP antara

baring

selama 24 jam pasca TURP. Adanya

keluhan nyeri karena spasme buli - buli memerlukan penggunaan antispasmodik sesuai terapi dokter ( Marilynn, E.D, 2000 : 683).

19

2). Pola nutrisi dan metabolisme Klien yang dilakukan anasthesi SAB tidak boleh makan dan minum sebelum flatus. 3). Pola eliminasi Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi urine dapat terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter. Sedangkan inkontinensia dapat tejadi setelah kateter dilepas ( Sunaryo, H, 1999: 235 ). 4). Pola aktivitas dan latihan Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan terpasang traksi kateter selama 6 24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.

5). Pola tidur dan istirahat Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat. 6). Pola kognitif perseptual Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan

Penghidu tidak mengalami gangguan pasca TURP. 7). Pola persepsi dan konsep diri Klien dapat mengalami cemas karena kurang pengetahuan tentang perawatan serta komplikasi BPH pasca TURP.

20

8). Pola hubungan dan peran Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit, maka dapat mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga, tempat kerja, dan masyarakat. 9). Pola reproduksi seksual Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan

ejakulasi retrograd ( Sunaryo, H, 1999 : 36 ). 10). Pola penanggulangan stres Cemas tentang dapat dialami klien karena kurang pengetahuan dan komplikasi pasca TURP. Gali dan mekanisme koping klien

perawatan

adanya stres pada klien terhadap stres tersebut.

11). Pola tata nilai dan kepercayaan Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien dalam menjalankan ibadahnya.

b.

Dampak bagi keluarga Dengan adanya salah satu anggota keluarga yang dirawat di rumah sakit apalagi sampai tindakan operasi akan menimbulkan beban keluarga dalam pembiayaan, terutama bila yang sakit adalah kepala keluarga, karena akan mempengaruhi sumber pendapatan keluarga. Dalam keluarga dapat timbul rasa cemas

21

atau faktor psikologis lain serta terjadi perubahan peran baik dalam pengambilan keputusan, mencari nafkah maupun

pelindung keluarga.

c.

Dampak bagi masyarakat Masyarakat disekitarnya mungkin merasa kehilangan karena klien mengurangi interaksi sosial dengan masyarakat dimana klien bertempat baru. tinggal Apalagi karena kalau harus klien beradaptasi adalah orang dengan yang

lingkungan

berkedudukan atau berpengaruh dalam lingkungannya.

B. Asuhan Keperawatan Proses keperawatan merupakan proses pemecahan masalah yang dinamis dengan menggunakan metode ilmiah secara sistematik untuk

mengenal masalah klien dan mencarikan alternatif pemecahannya dalam rangka memenuhi kebutuhan klien guna memperbaiki dan meningkatkan

derajat kesehatan hingga tahap maksimal. Adapun tahapan dari proses keperawatan meliputi : pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (Nasrul, E, 1995 : 3, 4 ). 1. Pengkajian Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulan informasi / data tentang klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalah, kebutuhan kesehatan dan

22

keperawatan klien baik fisik, mental, sosial dan lingkungan ( Nasrul, E,1995 : 18 ). a. Pengumpulan data Data yang perlu dikumpulkan dari klien meliputi : 1). Identitas klien Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa / ras, pendidikan, bahasa yang dipakai, pekerjaan, penghasilan dan alamat. Jenis kelamin dalam hal ini klien adalah laki - laki berusia lebih dari 50 tahun dan biasanya banyak dijumpai pada ras Caucasian (Donna, D.I, 1991 : 1743 ). 2). Keluhan utama Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pasca TURP adalah nyeri yang berhubungan dengan spasme buli buli. Pada saat mengkaji keluhan utama perlu diperhatikan faktor yang mempergawat atau nyeri meringankan yang nyeri

( provokative / paliative ), rasa

dirasakan

(quality), keganasan / intensitas ( saverity ) dan waktu serangan, lama, kekerapan (time). 3). Riwayat penyakit sekarang Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan Lower Urinari Tract Symptoms ( LUTS ) antara lain :

hesitansi, pancar urin lemah, intermitensi, terminal dribbling,

23

terasa ada sisa setelah selesai miksi, urgensi, frekuensi dan disuria (Sunaryo, H, 1999 : 12, 13). Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya keluhan, halhal yang dapat menimbulkan keluhan dan ketahui pula bahwa munculnya gejala untuk pertama kali atau berulang. 4). Riwayat penyakit dahulu Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan

dengan keadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan . Diabetes Mellitus, Hipertensi, PPOM, Jantung Koroner, Dekompensasi Kordis dan gangguan faal darah dapat memperbesar resiko

terjadinya penyulit pasca bedah ( Sunaryo, H, 1999 : 11, 12, 29 ). Ketahui pula adanya riwayat penyakit saluran kencing dan pembedahan terdahulu. 5). Riwayat penyakit keluarga Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya

menurun seperti : Hipertensi, Diabetes Mellitus, Asma perlu digali . 6). Riwayat psikososial Kaji adanya emosi kecemasan, pandangan klien terhadap dirinya serta hubungan interaksi pasca tindakan TURP. 7). Pola pola fungsi kesehatan a). Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat

24

Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena tirah baring selama 24 jam pasca TURP. Adanya keluhan nyeri karena spasme buli - buli memerlukan penggunaan anti spasmodik sesuai terapi dokter

(Marilynn. E.D, 2000 : 683). b). Pola nutrisi dan metabolisme Klien yang di lakukan anasthesi SAB tidak boleh makan dan minum sebelum flatus . c). Pola eliminasi Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi urin dapat terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter. Sedangkan inkontinensia dapat terjadi setelah kateter di lepas (Sunaryo, H, 1999: 35) d). Pola aktivitas dan latihan Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan terpasang traksi kateter selama 6 24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan. e). Pola tidur dan istirahat Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat. f). Pola kognitif perseptual

25

Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan Penghidu tidak mengalami gangguan pasca TURP. g). Pola persepsi dan konsep diri Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang perawatan dan komplikasi pasca TURP. h). Pola hubungan dan peran Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga tempat kerja dan

masyarakat. i). Pola reproduksi seksual Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi retrograd ( Sunaryo, H, 1999 : 36 j). Pola penanggulangan stress Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang perawatan dan komplikasi pasca TURP. Gali adanya stres pada klien dan mekanisme koping klien terhadap stres tersebut. k). Pola tata nilai dan kepercayaan Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien

dalam menjalankan ibadahnya . 8). Pemeriksaan fisik

26

Pemeriksaan lain :

didasarkan pada sistem sistem tubuh

antara

a). Keadaan umum Setelah operasi klien dalam keadaan lemah dan kesadaran baik, kecuali bila terjadi shock. Tensi, nadi dan kesadaran pada fase awal ( 6 jam ) pasca operasi harus diminitor tiap jam dan dicatat. Bila keadaan tetap stabil interval

monitoring dapat diperpanjang misalnya 3 jam sekali (Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 20 ). b). Sistem pernafasan Klien yang menggunakan anasthesi SAB tidak mengalami kelumpuhan pernapasan kecuali bila dengan konsentrasi tinggi mencapai daerah thorakal atau servikal (Oswari, 1989 : 40). c). Sistem sirkulasi Tekanan darah dapat meningkat atau menurun pasca

TURP. Lakukan cek Hb untuk mengetahui banyaknya perdarahan dan observasi cairan (infus, irigasi, per oral) untuk mengetahui masukan dan haluaran. d). Sistem neurologi Pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan (relaksasi otot) dan mati rasa karena pengaruh anasthesi SAB (Oswari , 1989 : 40).

27

e). Sistem gastrointestinal Anasthesi SAB menyebabkan klien pusing, mual dan muntah (Oswari, 1989 : 40) . Kaji bising usus dan adanya massa pada abdomen .

f). Sistem urogenital Setelah dilakukan tindakan TURP klien akan mengalami hematuri . Retensi dapat terjadi bila kateter tersumbat bekuan sinfiser darah. Jika terjadi akan terlihat retensi urin, daerah supra

menonjol, terasa ada ballotemen

jika dipalpasi dan klien terasa ingin kencing (Sunaryo, H ,1999 : 16). Residual urin dapat diperkirakan dengan cara perkusi. Traksi kateter dilonggarkan selama 6 - 24 jam (Doddy, 2001 : 6). g). Sistem muskuloskaletal Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang direkatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan. (Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21). 9). Pemeriksaan penunjang a). Laboratorik

28

Setiap

penderita

pasca

TURP

harus

di

cek

kadar

hemoglobinnya dan perlu diulang secara berkala bila urin tetap merah dan perlu di periksa ulang bila terjadi penurunan tekanan darah dan peningkatan nadi. Kadar serum kreatinin juga perlu diulang secara berkala terlebih lagi bila sebelum operasi kadar kreatininnya meningkat. Kadar natrium serum harus segera diperiksa bila terjadi sindroma TURP. Bila terdapat tanda septisemia harus diperiksa kultur darah ( Tim 1997 : 21 ). b). Uroflowmetri Yaitu pemeriksaan untuk mengukur pancar urin. kultur urin dan

Keperawatan RSUD. dr. Soetomo,

Dilakukan setelah kateter dilepas ( Lab / UPF Ilmu bedah RSUD dr. Soetomo, 1994 : 114). b. Analisa dan sintesa data Setelah data dikumpulkan, dikelompokkan dan dianalisa kemudian data tersebut dirumuskan ke dalam masalah keperawatan . Adapun masalah yang mungkin terjadi pada klien BPH pasca TURP antara lain : nyeri, retensi urin, resiko tinggi infeksi, resiko tinggi kelebihan cairan, resiko tinggi ketidakefektifan pola napas, resiko tinggi

kekurangan cairan, kurang pengetahuan, inkontinensia dan resiko tinggi disfungsi seksual . c. Diagnosa keperawatan

29

Berdasarkan analisa data yang diperoleh maka dapat dirumuskan diagnosa berikut : 1). Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli buli : reflek spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan / atau tekanan dari traksi. ( Marilynn, E.D, 2000 : 683 ) 2). Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan keperawatan pada klien BPH pasca TURP sebagai

kehilangan darah berlebihan . 3). Resiko tinggi kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi cairan irigasi (TURP). 4). Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di buli buli. 5). Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola napas yang

berhubungan anastesi . 6). Kurang informasi pengetahuan tentang yang berhubungan pasca operasi, dengan gejala kurang untuk

rutinitas

dilaporkan, perawatan di rumah dan intruksi evaluasi . ( Susan, M . T, 1998 : 609,610 ) 7). Retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder dari TURP . 8). Inkontinensia urin berhubungan dengan pengangkatan kateter pasca TURP .

30

9).

Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan TURP. (Barbara, C.L, 1996: 339,341)

2. Perencanaan Rencana asuhan keperawatan adalah petujuk tertulis yang

menggambarkan secara tepat mengenai rencana tindakan yang dilakukan terhadap klien sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan diagnosa

keperawatan. Penyusunan rencana melibatkan klien secara optimal agar dalam pelaksanaan asuhan keperawatan terjalin suatu kerjasama dalam rangka proses pencapaian tujuan keperawatan. Langkah awal perencanaan adalah menetapkan prioritas diagnosa keperawatan. Penentuan skala prioritas diagnosa keperawatan adalah dengan menilai klien sebagai mahluk bio-psiko-sosial-spiritual

berdasarkan tingkat kebutuhan menurut Maslow dengan kategori: keadaan yang mengancam kehidupan, mengancam kesehatan, dan persepsi tentang kesehatan dan keperawatan (Nasrul, E.F, 1995:34-36). a. Resiko tinggi ketidakefektifan pola napas berhubungan anastesi. 1). Tujuan dengan

Pola napas tetap efektif 2). Kriteria hasil Paru-paru bersih pada auskultasi, frekuensi dan irama napas dalam batas normal, melakukan batuk dan napas dalam tanpa kesulitan.

31

3). Rencana tindakan dan rasional a). Bantu klien dengan spirometer insentif jika dianjurkan.

Rasional: memaksimalkan ekspansi paru. b). Ajarkan dan bantu klien untuk membalik, batuk, dan napas dalam tiap 2 jam. Rasional: merupakan upaya untuk mengeluarkan sekret. c). Kaji bunyi napas tiap 4 jam.

d). Laporkan penurunan atau tidak adanya bunyi napas pada tim medis. e). Kaji kulit terhadap tanda sianosis dan diaforesis. f). Pantau dan laporkan gejala gangguan pertukaran gas kacau. Rasional : (c, d, e, f): deteksi dini ketidakefektifan pola napas. g). Berikan obat penghilang nyeri dengan interval yang tepat untuk mengurangi nyeri. Rasional: berkurang / hilangnya nyeri dapat membantu klien melakukan latihan batuk dan napas dalam secara efektif.

b.

Resiko

tinggi

kekurangan

cairan

yang

berhubungan

dengan

kehilangan darah berlebihan. 1). Tujuan

32

Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara. 2). Kriteria hasil hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda

Mempertahankan

-tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian perifer baik, membran mukosa lembab dan keluaran urin tepat. 3). Rencana tindakan dan rasional a). Benamkan kateter, hindari manipulasi

berlebihan. Rasional : gerakan penarikan kateter dapat menyebabkan perdarahan dan buli. b). Pantau masukan dan haluaran cairan. Rasional: indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian. c). Observasi drainase kateter, hindari manipulasi berlebihan atau berlanjut. Rasional : perdarahan tidak umum terjadi 24 jam pertama tetapi perlu pendekatan perineal. Perdarahan kontinu / berat atau berulangnya perdarahan atau pembentukan bekuan darah

pembenaman kateter pada distensi buli-

aktif memerlukan intervensi / evaluasi medik. d). Evaluasi warna, konsistensi urin, contoh :

33

Merah terang dengan bekuan darah Rasional : mengindikasikan perdarahan arterial dan

memerlukan terapi cepat. Peningkatan veskositas, warna keruh gelap dengan bekuan gelap. Rasional : menunjukkan perdarahan vena, biasanya

berkurang sendiri. e). Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat, pelambatan pengisian kapiler dan membran mukosa kering. f). Selidiki kegelisahan, kacau mental dan perubahan perilaku. Rasional : dapat serebral. g). Dorong pemasukan cairan 3000 ml/harikecuali menunjukkan penurunan perfusi

kontraindikasi. Rasional : membilas gonjal / buli-buli dari bakteri dan debris. Awasi dengan ketat karena dapat mengakibatkan intoksikasi cairan. h). Hindari pengukuran suhu rektal dan penggunaan selang rektal / enema. Rasional : dapat mengakibatkan dasar penyebaran iritasi

terhadap

prostat dan peningkatan

kapsul prostat dengan resiko perdarahan.

34

i). Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, contoh: Hb / Ht, jumlah sel darah merah. Rasional : berguna dalam evaluasi kehilangan

darah/kebutuhan penggantian. Pemeriksaan koagulasi, jumlah trombosi Rasional : dapat mengindikasikan terjadinya komplikasi misalnya darah, KID. j). Pertahankan traksi kateter menetap, plester kateter di bagian paha dalam. Rasional : traksi kan membuat tekanan pada aliran darah di kapsul prostat untuk membantu mencegah / mengontrol perdarahan. k). Kendorkan traksi dalam 6 - 24 jam. Catat periode pemasangan dan pengendoran traksi, bila diperlukan. Rasional : traksi lama dapat menyebabkan trauma / masalah permanen dalan mengotrol urin. l). Berikan pelunak feses, laksatif sesuai indikasi. Rasional : pencegahan konstipasi / mengejan untuk defekasi menurunkan resiko perdarahan penurunan faktor pembekuan

rektal-perineal.

35

c.

Resiko tinggi terjadinya kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi cairan irigasi (TURP). 1). Tujuan

Keseimbangan cairan tetap terpelihara. 2). Kriteria hasil Masukan dan haluaran sadar penuh, seimbang, irigan keluar secara total, dan menunjukkan tak ada

berorientasi,

abnormalitas fungsi motorik. 3). a). Rencana tindakan dan rasional Pantau dan laporkan tanda dan gejala difusi

hiponatremia. Rasional : Hiponatremi adalah tanda kelebihan cairan. b). Pantau masukan dan haluaran tiap 4 - 8 jam. Rasional : indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian. c). Hentikan irigasi saat saat tanda kelebihan cairan terjadi dan laporkan tim medis. Rasional : mencegah absorbsi yang berlebihan. d). Gunakan spuit untuk mengirigasi kateter oleh bekuan darah jika diinstruksikan. Rasional: mencegah terjadinya retensi d. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder dari TURP. 1). Tujuan
36

Retensi urin teratasi. 2). Kriteria hasil urin kembali normal, menunjukkan perilaku

Eliminasi

peningkatan kontrol buli-buli. 3). a). Rencana tindakan dan rasional Awasi masukan dan haluaran serta karakteristiknya. Rasional: deteksi dini terjadinya retensi urin. b). Kolaborasi dalam mempertahankan irigasi secara

konstan selama 24 jam pertama. Rasional: mencuci buli-buli dari bekuan darah dan mempertahankan patensi

debris untuk

kateter / aliran urin. c). Dorong pemasukan 3000 ml / hari sesuai toleransi. Rasional: mempertahankan hidrasi adekuat dan

perfusi ginjal untuk aliran urin. d). Setelah retensi. Rasional: deteksi dini terjadinya retensi. kateter diangkat, terus pantau gejala-gejala

e.

Resiko tinggi terhadap infeksi buli - buli. 1). Tujuan

berhubungan

dengan kateter di

37

Infeksi dicegah. 2). Kriteria hasil Mencapai infeksi. 3). a). Rencana tindakan dan rasional Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter reguler dengan sabun dan air, berikan salep antibiotik disekitar sisi kateter. Rasional: mencegah pemasukan bakteri dan infeksi / sepsis lanjut. b). Ambulasi dengan kantung drainase dependen. Rasional: menghindari reflek balik urin dapat waktu penyembuhan, tidak mengalami tanda

memasukkan bakteri ke dalam buli - buli. c). Awasi tanda dan gejala infeksi saluran perkemihan. Rasional: mendeteksi infeksi sejak dini. d). Berikan antibiotik sesuai indikasi. Rasional: kemungkinan diberikan berhubungan dengan secara profilaktik resiko

peningkatan

pada prostatektomi.

f.

Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa buli-buli: reflek spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan / atau tekanan dari traksi.

38

1).

Tujuan

Nyeri hilang / terkontrol. 2). Kriteria hasil

Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol, menunjukkan ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individu. Tampak rileks, tidur / istirahat dengan tepat. 3). a) Rencana tindakan dan rasional Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas ( skala 0 - 10 ). Rasional: nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih / masase urin spasme sekitar buli-buli, pada kateter yang

menunjukkan cenderung

lebih berat

pendekatan

TURP ( biasanya menurun dalam 48 jam ). 4). Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase.

Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan. Rasional: mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem, menurunkan resiko distensi / spasme buli - buli. 5). Tingkatkan pemasukan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi. Rasional: menurunkan iritasi dengan mempertahankan aliran cairan konstan mukosa buli - buli.

39

6).

Berikan tindakan kenyamanan ( sentuhan terapeutik, pengubahan posisi, pijatan punggung ) dan aktivitas terapeutik. Dorong tehnik relaksasi termasuk latihan napas dalam, visualisasi dan pedoman imajinasi. Rasional: menurunkan tegangan otot, memfokusksn kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.

7).

Berikan rendam duduk atau lampu penghangat bila diindikasikan. Rasional: meningkatkan perbaikan edema perfusi serta jaringan dan

meningkatkan

penyembuhan 8). contoh: Kolaborasi

( pendekatan perineal ). antispasmodik,

dalam pemberian

Oksibutinin klorida ( Ditropan ), B dan O supositoria. Rasional: relaksasi otot, untuk menurunkan spasme dan nyeri. Propanteli bromida ( Pro-Bantanin ). Rasional: menghilangkan spasme buli-buli oleh kerja antikolinergik. Biasanya dihentikan 24-48 jam sebelum perkiraan pengangkatan kateter untuk meningkatkan kontrol kontraksi bulibuli.

40

g.

Inkontinensia urin berhubungan dengan pengangkatan kateter pasca TURP. 1). Tujuan

Inkontinensia dapat teratasi 2). Kriteria hasil urin kembali normal, menunjukkan perilaku

Eliminasi

meningkatkan kontrol berkemih. 3). a). Rencana tindakan dan rasional Kaji terjadinya tetesan urin setelah kateter diangkat. Rasional: mendeteksi inkontinensia. b). Bila terjadi tetesan : pada klien bahwa hal tersebut biasa

(1). Katakan

dan kontinen akan pulih. Rasional : klien harus dibesarkan harapannya bahwa itu normal. (2). Penyuluhan latihan perineal. bantuan uantuk pengendalian

Rasional :

kandung kemih.

h.

Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan TURP. 1). Tujuan

41

Fungsi seksual dapat dipertahankan 2). Kriteria hasil tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun

Klien

sampai tingkat dapat diatasi 3). Rencana tindakan dan rasional a). Berikan keterbukaan pada klien/orang dekat untuk membicarakan tentang masalah fungsi seksual. Rasional : klien dapat mengalami cemas karena efek bedah yang dapat mempengaruhi

kemampuan untuk menerima informasi. b). Berikan informasi tentang harapan kembalinya fungsi seksual. Rasional : impotensi fisiologis terjadi bila saraf perineal dipotong selama prosedur

radikal : pada pendekatan lain, aktivitas seksual dapat dilakukan seperti biasanya selama 6 - 8 minggu. c). Diskusikan dasar anatomi dan jujur dalam menjawab pertanyaan klien Rasional : saraf pleksus mengontrol aliran secara posterior ke prostat melalui kapsul. Pada prosedur yang tidak melibatkan kapsul prostat, imponten dan sterilitas biasanya

42

tidak bedah

menjadi bukan

kosekuensi. merupakan

Prosedur pengobatan dapat

permanen, berulang. d).

sehingga

hipertropi

Diskusikan tentang ejakulasi retrograd. Rasional : ejakulai retrograd tidak mempengaruhi

fungsi seksual, tetapi akan menurunkan kesuburan dan menyebabkan urin keruh. e). Instruksikan latihan perineal dan interupsi / kontinu aliran urin. Rasional : meningkatkan kontrol otot kontinensia

urinaria dan fungsi seksual. f). Rujuk ke penasehat seksual sesuai indikasi. Rasional : masalah menetap / tidak teratasi memerlukan intervensi profesional.

i.

Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi tentang rutinitas pasca operasi, gejala untuk dilaporkan, perawatan di rumah dan intruksi evaluasi. 1). Tujuan

Meningkatkan pengetahuan klien. 2). Kriteria hasil

43

Klien dan / atau keluarga mengungkapkan mengerti tentang rutinitas pasca operasi, gejala yang harus dilaporkan,

perawatan di rumah, intruksi evaluasi serta demonstrasi ulang perawatan kateter dan latihan perineal. 3). a). Rencana tindakan dan rasional Pertegas perlunya asupan cairan oral yang adekuat 3000 ml / hari kecuali kontra indikasi. Rasional: hidrasi yang optimal membantu menegakkan kembali tonus otot buli buli setelah

pencabutan kateter dengan merngsang miksi, pengenceran kerentanan urin infeksi dan saluran menurunkan kemih dan

pewmbentukan bekuan darah. b). Ajarkan perawatan kateter : (a). Cuci meatus urinarius dengan sabun dan air

2x / hari. (b). Tingkatkan frekuensi pembilasan jika tampak

jelas drainase di sekitar kateter.

tempat pemasangan

Rasional: membantu mengurangi resiko infeksi saluran kencing. c). Pertegas pembatasan aktivitas antara lain:

44

(1). Hindari mengedan saat BAB, tingkatkan asupan diit tinggi serat atau gunakan pencahar jika ada indikasi. (2). (3). Jangan gunakan supositoria atau enema. Hindari duduk dengan kaki tergantung.

(4). Hindari mengangkat benda berat dan aktivitas yang berat. (5). Hindari hubungan seksual hingga

diperbolehkan ( biasanya 6 - 8 minggu setelah pembedahan ). Rasional: mengurangi resiko perdarahan internal. d). Anjurkan klien melakukan hal berikut: (1). (2). Berjalan lama. Menggunakan tangga.

Rasional: aktivitas ini tidak menghalangi penyembuhan tempat pembedahan. e). Jelaskan dicabut: (1). Tetesan, frekuensi, urgensi mungkin terjadi pada awal tetapi secara bertahap. (2). Latihan perineal ( bokong tegang, tahan dan lepaskan selama 10 - 20 menit tiap jam ) dapat harapan untuk mengontrol urin ketika

45

membantu urin.

mempercepat

memulihkan

kontrol

(3). Lakukan latihan sesuai toleransi, hindari latihan yang membutuhkan kekuatan otot dan

rencanakan waktu istirahat sering. (4). Berkemih sesegera mungkin, mencegah retensi urin. (5). Menghindari kafein dan alkohol dapat membantu mencegah masalah. (6). Hematuri transien adalah normal dan seharusnya menurun dengan peningkatan asupan cairan. Rasional: Kesukaran untu melanjutkan pola miksi normal dapat berhubungan dengan

trauma leher buli-buli, ISK, atau iritasi kateter. Drainase akan menurunkan

kontrol otot. Kafein sebagai diuretik ringan membuatnya lebih sukar

mengontrol urin. Alkohol meningkatkan sensasi terbakar. f). Diskusikan nama obat, dosis, jadwal penggunaan, tujuan dan efek samping. Rasional: klien mengetahui nama, dosis, jadwal, tujuan dan efek samping obat yang diresepkan.

46

g).

Tinjau tanda dan gejala komplikasi: (1). jam. (2). (3). Menggigil, nyeri punggung dan demam. Peningkatan hematuri. Ketidakmampuan berkemih lebih dari 6

Rasional: deteksi awal memungkinkan intervensi cepat untuk meminimalkan keparahan komplikasi. (a). Ketidakmampuan ISK. (b).Merupakan gejala ISK. (c). Adanya perdarahan. berkemih menunjukkan

3.

Pelaksanaan Pelaksanaan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan klien secara optimal. Pada tahap ini perawat menerapkan manusia pengetahuan (komunikasi) intelektual, dan kemampuan tehnis

hubungan antar

kemampuan

keperawatan dengan berfokus pada pertahanan daya tahan tubuh, pencegahan komplikasi, penemuan perubahan sistem tubuh

pemantapan hubunngan klien dengan lingkungan, implementasi pesan tim medis serta mengupayakan rasa aman, nyaman dan keselamatan klien.

47

Tindakan keperawatan dapat diberikan secara mandiri oleh perawat, kolaborasi dengan sesama tim perawatan atau tim lain

kesehatan lainnya

maupun

atas

dasar rujukan dari profesi

(Nasrul, E, 1995: 40 - 44). Adapun tindakan yang dilakukan pada klien BPH pasca

TURP disesuaikan dengan rencana tindakan yang telah ditetapkan pada perencanaan.

4.

Evaluasi Evaluasi merupakan perbandingan yang sistematik dan

terencana mengenai kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dilakukan secara berkesinambungan dengan

melibatkan klien dan tenaga kesehatan keperawatan bertujuan untuk

lainnya. Penilaian dalam

mengetahui pemenuhan kebutuhan

klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan (Nasrul, E, 1995: 46). Perawatan spesifik pada klien BPH pasca TURP dievaluasi atas dasar hasil yang diharapkan dari klien, antara lain : a. Menunjukkan pola napas efektif, tidak terjadi perdarahan yang berlebihan serta sindroma TURP. b. Pola berkemih normal tanpa disertai infeksi atau komplikasi permanen. c. Tidak ada pengalaman nyeri atau tekanan yang berkepanjangan.

48

d. Mampu

menjelaskan

kembali

penjelasan

perawat

tentang

pembatasan

aktivitas, diit serta tanda dan gejala komplikasi. perawatan kateter serta latihan kontrol

Dan memperagakan berkemih. e. Menunjukkan

penyesuaian psikososial yang disebabkan karena

disfungsi seksual.

DAFTAR PUSTAKA

Alif, S., 1995. Benigne Prostate Hiperplasia, Makalah. Surabaya. Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Data Urologi Impatient, 1999. SMF Urologi RSUD. dr. Soetomo. Surabaya. Effendi, N., 1995. Pengantar Proses Keperawatan. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hardjowidjoto, S. 1993. Anatomi Fisiologi Traktus Urogenital. Surabaya, Program Studi Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD. dr. Soetomo. 1999. Benigna Prostat Hiperplasi. Surabaya, Airlangga University Press. Ignatavicus, D.D and Marilyn, F.B., 1991. Medical Surgical Nursing : A Nursing Procces Approach. International Edition. Philadelpia, W.B Saunders Company. Kirby, R, John F.P, Michael, K, Andrew, F.P and Louis, J.D., 1994. Shared Care For Prostatic Disease. Oxford, ISIS Medical Media. Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

49

Lab / UPF Ilmu Bedah, 1994. Pedoman Diagnosis Dan Terapi. Surabaya, Fakultas Kedokteran Airlangga / RSUD. dr. Soetomo. Lismidar, H., 1989. Proses keperawatan. Jakarta, Universitas Indonesia. Ndraha Taliziduhu, Dr., 1985. Research : Teori, Metodologi, Administrasi. Jakarta, PT. Bina Aksara. Anggota IKAPI. Oswari, Dr. 1989. Bedah Dan Perawatannya. Jakarta, PT. Gramedia. Anggota IKAPI. Soebandi, D.M., 2001. Benign Prostate Hyperplasia : Permasalahan, Perawatan Dan Pembedahan. Seminar Keperawatan. Surabaya, SMF Urologi Lab. Ilmu Bedah RSUD. dr. Soetomo. Surabaya Post. Tanggal 7 Juni 2001. Hal. 20. Kolom 2, BPH, Pembesaran Prostat Yang Tak Terelakkan. Tucker, S.M., Marry, M.C, Eleanor, V, Paquette, M and Fyfe, W., 1998. Standar Perawatan Pasien : Proses Keperawatan, Diagnosis Dan Evaluasi. Volume III. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997. Standar Asuhan Keperawatan Penyakit Bedah. Surabaya, Bidang Perawatan RSUD. Dr. Soetomo.

50

51

You might also like