You are on page 1of 17

TUGAS KEPERAWATAN ANAK II

HIPERBILIRUBINEMIA

Disusun Oleh
Agnes Fitria N1A005001
Ima Sukmawati N1A0050012
Denti Budiarti N1A005013
Titis Aprilia N1A005014
Agus Aji P N1A005016
Bambang Aditya N1A005026
Elfira N N1A005048
Marita Widy P N1A004049
Yulia Rahmi N1A005059

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2007
BAB I
KONSEP MEDIS

Sebelum membahas Hiperbilirubinemia, maka perlu diketahui dulu tentang


ikterus pada bayi. Karena itu merupakan salah satu tanda Hiperbilirubinemia yang dapat
diketahui oleh seorang perawat sebelum dilakukan pemeriksaan penunjang.

A. Definisi
1. Ikterus
Adalah perubahan warna kuning pada kulit, membrane mukosa, sclera dan organ
lain yang disebabkan oleh peningkatan kadar bilirubin di dalam darah dan ikterus
sinonim dengan jaundice.
2. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis menurut Tarigan (2003) dan Callhon (1996) dalam Schwats
(2005) adalah ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
• Timbul pada hari kedua – ketiga
• Kadar bilirubin indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg % pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada kurang bulan
• Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % perhari
• Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg %
• Ikterus hilang pada 10 hari pertama
• Tidak mempunyai dasar patologis
3. Ikterus Pathologis/ hiperbilirubinemia
Ikterus patologis/hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar
konsentrasi bilirubin dalam darah mencapai nilai yang mempunyai potensi untuk
menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau
mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Ikterus yang kemungkinan
menjadi patologis atau hiperbilirubinemia dengan karakteristik sebagai berikut :
a. Menurut Surasmi (2003) bila :
• Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran
• Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg % atau > setiap 24 jam
• Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg % pada neonatus < bulan dan
12,5 % pada neonatus cukup bulan
• Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim
G6PD dan sepsis)
• Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu, asfiksia,
hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi, hipoglikemia,
hiperkapnia, hiperosmolalitas darah.
b. Menurut tarigan (2003), adalah :
Suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang
mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak
ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang
patologis. Brown menetapkan hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin
mencapai 12 mg % pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi yang kurang
bulan. Utelly menetapkan 10 mg % dan 15 mg %.
4. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak.
Kern Ikterus ialah ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada neonatus
cukup bulan dengan ikterus berat (bilirubin lebih dari 20 mg %) dan disertai
penyakit hemolitik berat dan pada autopsy ditemukan bercak bilirubin pada otak.
Kern ikterus secara klinis berbentuk kelainan syaraf spatis yang terjadi secara
kronik.

B. Jenis Bilirubin
Menuru Klous dan Fanaraft (1998) bilirubin dibedakan menjad dua jenis yaitu:
1. Bilirubin tidak terkonjugasi atau bilirubin indirek atau bilirubin bebas yaitu
bilirubin tidak larut dalam air, berikatan dengan albumin untuk transport dan
komponen bebas larut dalam lemak serta bersifat toksik untuk otak karena bisa
melewati sawar darah otak.
2. bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk atau bilirubin terikat yaitu bilirubin larut
dalam air dan tidak toksik untuk otak.

C. Etiologi
Etiologi hiperbilirubin antara lain :
1. Peningkatan produksi
• Hemolisis, misalnya pada inkompalibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan rhesus dan
ABO.
• Perdarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran
• Ikatan bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolic yang
terdapat pada bayi hipoksia atau asidosis
• Defisiensi G6PD (Glukosa 6 Phostat Dehidrogenase)
• Breast milk jaundice yang disebabkan oleh kekurangannya pregnan 3 (alfa),
20 (beta), diol (steroid)
• Kurangnya enzim glukoronil transferase, sehingga kadar bilirubin indirek
meningkat misalnya pada BBLR
• Kelainan congenital
2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya
hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya sulfadiazine.
3. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin
yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi,
toksoplasmasiss, syphilis.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ektra hepatic.
5. Peningkatan sirkulasi enterohepatik, misalnya pada ileus obstruktif.

D. Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Keadaan yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin
pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran eritrosit, polisitemia.
Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan
kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang,
atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan
kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus
yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan
tubuh. Toksisitas terutama ditemukan ada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut
dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek
patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus darah otak. Kelainan
yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan
pada syaraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih
dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati darah otak ternyata tidak hanya
tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin indirek akan mudak melewati darah otak
apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah, hipoksia, dan hipolikemia.

E. Tanda dan Gejala


Menurut Surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :
a. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada
neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
b. Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus dan
opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis
serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan
displasia dentalis).
Sedangakan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning (ikterik) pada
kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar bilirubin
darah mencapai sekitar 40 µmol/l.

F. Komplikasi
Terjadi kern ikterus yaitu keruskan otak akibat perlangketan bilirubin indirek pada
otak. Pada kern ikterus gejala klinik pada permulaan tidak jelas antara lain : bayi
tidak mau menghisap, letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak menentu
(involuntary movements), kejang tonus otot meninggi, leher kaku, dn akhirnya
opistotonus.

G. Pemeriksaan Penunjang
Bila tersedia fasilitas, maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
• Pemeriksaan golongan darah ibu pada saat kehamilan dan bayi pada saat
kelahiran
• Bila ibu mempunyai golongan darah O dianjurkan untuk menyimpan darah tali
pusat pada setiap persalinan untuk pemeriksaan lanjutan yang dibutuhkan
• Kadar bilirubin serum total diperlukan bila ditemukan ikterus pada 24 jam
pertama kelahiran

H. Penilaian Ikterus Menurut Kramer


Ikterus dimulai dari kepala, leher dan seterusnya. Dan membagi tubuh bayi baru
lahir dalam lima bagian bawah sampai tumut, tumit-pergelangan kaki dan bahu
pergelanagn tangan dan kaki seta tangan termasuk telapak kaki dan telapak tangan.
Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk ditempat yang tulangnya
menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, lutut dan lain-lain. Kemudian penilaian
kadar bilirubin dari tiap-tiap nomor disesuaikan dengan angka rata-rata didalam
gambar di bawah ini :

Tabel hubungan kadar bilirubin dengan ikterus


Derajat Daerah Ikterus Perkiraan kadar Bilirubin (rata-rata)
Ikterus
Aterm Prematur
1 Kepala sampai leher 5,4 -
2 Kepala, badan sampai 8,9 9,4
dengan umbilicus
3 Kepala, badan, paha, 11,8 11,4
sampai dengan lutut
4 Kepala, badan, ekstremitas 15,8 13,3
sampai dengan tangan dan
kaki
5 Kepala, badan, semua
ekstremitas sampai dengan
ujung jari

I. Diagnosis Banding Ikterus


Anamnesis Pemeriksaan Pemeriksaan Kemungkinan
penunjang atau diagnosis
diagnosis lain yang
sudah diketahui

• Timbul saat lahir Sangat ikterus Hb<13 g/dl, Ht<39% Ikterus hemolitik
hari ke-2 Sangat pucat Bilirubin>8 mg/dl akibat inkompatibilitas
• Riwayat ikterus pada hari ke-1 atau darah

pada bayi kadar Bilirubin>13

sebelumnya mg/dl pada hari ke-2

• Riwayat penyakit ikterus/kadar

keluarga: ikterus, bilirubin cepat

anemia, Bila ada fasilitas:

pembesaran hati, Coombs tes positif

pengangkatan Defisiensi G6PD

limfa, defisiensi Inkompatibilitas

G6PD golongan darah ABO


atau Rh

• Timbul saat lahir Sangat ikterus Lekositosis, Ikterus diduga karena


sampai dengan hari Tanda infeksi/sepsis: leukopeni, infeksi berat/sepsis
ke2 atau lebih malas minum, trombositopenia
• Riwayat infeksi kurang aktif, tangis
maternal lemah, suhu tubuh
abnormal
• Timbul pada hari 1 Ikterus Ikterus akibat obat

• Riwayat ibu hamil


pengguna obat
• Ikterus hebat timbul Sangat ikterus, Bila ada fasilitas: Ensefalopati
kejang, postur Hasil tes Coombs
pada hari ke2
abnormal, letragi positif
• Ensefalopati timbul
pada hari ke 3-7
• Ikterus hebat yang
tidak atau terlambat
diobati
• Ikterus menetap Ikterus berlangsung Faktor pendukung: Ikterus
setelah usia 2 > 2 minggu pada Urine gelap, feses berkepenjangan
minggu bayi cukup bulan dan pucat, peningkatan (Prolonged Ikterus)
> 3 minggu pada bilirubin direks
bayi kurang bulan

• Timbul hari ke2 Bayi tampak sehat Ikterus pada bayi

arau lebih prematur

• Bayi berat lahir


rendah

J. Penatalaksanaan
Berdasarkan pada penyebabnya maka manajemen bayi dengan hiperbilirubinemia
diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari hiperbilirubinemia.
Pengobatan mempunyai tujuan :
1. Menghilangkan anemia
2. Menghilangkan antibody maternal dan eritrosit teresensitisasi
3. Meningkatkan badan serum albumin
4. Menurunkan serum bilirubin
Metode terapi hiperbilirubinemia meliputi : fototerapi, transfuse pangganti, infuse
albumin dan therapi obat.
a. Fototherapi
Fototerapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan transfuse pengganti
untuk menurunkan bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas
yang tinggi ( a bound of fluorescent light bulbs or bulbs in the blue light spectrum)
akan menurunkan bilirubin dalam kulit. Fototerapi menurunkan kadar bilirubin
dengan cara memfasilitasi ekskresi bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika
cahaya yang diabsorpsi jaringan merubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua
isomer yang disebut fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh
darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah fotobilirubin berikatan dengan
albumin dan di kirim ke hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke empedu dan di
ekskresikan kedalam duodenum untuk di buang bersama feses tanpa proses konjugasi
oleh hati. Hasil fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi bilirubin dapat
dikeluarkan melalui urine.
Fototerapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar bilirubin,
tetapi tidak dapat mengubah penyebab kekuningan dan hemolisis dapat menyebabkan
anemia.
Secara umum fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin indirek 4-5 mg/dl.
Noenatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus difototerapi
dengan konsentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa ilmuwan mengarahkan untuk
memberikan fototerapi profilaksasi pada 24 jam pertama pada bayi resiko tinggi dan
berat badan lahir rendah.
Tabel Terapi
Berikut tabel yang menggambarkan kapan bayi perlu menjalani fototerapi dan
penanganan medis lainnya, sesuai The American Academy of Pediaatrics (AAP)
tahun 1994
Bayi lahir cukup bulan (38 – 42 minggu)
Usia bayi Pertimbangan Terapi sinar Transfuse Transfuse
(jam) terapi sinar tukar bila tukar dan
terapi sinar terapi sinar
intensif gagal intensif
Kadar bilirubin Indirek serum Mg/dl
<24
25 -48 >9 >12 >20 >25
49 – 72 >12 >15 >25 >30
>72 >15 >17 >25 >30

Bayi lahir kurang bulan perlu fototerapi jika:


Usia (jam) Berat lahir < BL 1500 – 2000 g BL >2000 g kadar
1500 g kadar kadar bilirubin bilirubin
bilirubin
< 24 >4 >4 >5
25 - 48 >5 >7 >8
49 - 72 >7 >8 > 10
> 72 >8 >9 > 12

Panduan terapi sinar berdasarkan kadar bilirubin serum


Saat timbul ikterus Bayi cukup bulan sehat Bayi denagn factor
kadar bilirubin, mg/dl: resiko (kadar bilirubin,
(µmol/l) mg/dl:µmol/l)
Hari ke 1 Setiap terlihat ikterus Setiap terlihat ikterus
Hari ke 2 15 (260) 13 (220)
Hari ke 3 18 (310) 16 (270)
Hari ke 4 dst 20 (340) 17 (290)

b. Transfusi Pengganti
Transfuse pengganti atau imediat didindikasikan adanya faktor-faktor :
1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu
2. Penyakit hemolisis berat pada bayi baru lahir
3. Penyakit hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama
4. Kadar bilirubin direk labih besar 3,5 mg/dl di minggu pertama
5. Serum bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl pada 48 jam pertama
6. Hemoglobin kurang dari 12 gr/dl
7. Bayi pada resiko terjadi kern Ikterus
Transfusi pengganti digunkan untuk:
1. Mengatasi anemia sel darah merah yang tidak susceptible (rentan) terhadap sel
darah merah terhadap antibody maternal
2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang tersensitisasi (kepekaan)
3. Menghilangkan serum ilirubin
4. Meningkatkan albumin bebas bilirubin dan meningkatkan keterikatan dangan
bilirubin
Pada Rh Inkomptabilitas diperlukan transfuse darah golongan O segera (kurang
dari 2 hari), Rh negative whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung
antigen A dan antigen B. setiap 4 -8 jam kadar bilirubin harus di cek. Hemoglobin
harus diperiksa setiap hari sampai stabil

c. Therapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulus hati untuk menghasilkan enzim yang
meningkatkan konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini efektif baik
diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum
melahirkan. Penggunaan Phenobarbital pada post natal masih menjadi
pertentangan karena efek sampingnya (letargi). Coloistrin dapat mengurangi
bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus
enterohepatika

BAB II
KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Riwayat Penyakit
Perlunya ditanyakan apakah dulu pernah mengalami hal yang sama, apakah
sebelumnya pernah mengkonsumsi obat-obat atau jamu tertentu baik dari dokter
maupun yang di beli sendiri, apakah ada riwayat kontak denagn penderiata sakit
kuning, adakah rwayat operasi empedu, adakah riwayat mendapatkan suntikan
atau transfuse darah. Ditemukan adanya riwayat gangguan hemolissi darah
(ketidaksesuaian golongan Rh atau darah ABO), polisitemia, infeksi, hematoma,
gangguan metabolisme hepar, obstruksi saluran pencernaan dan ASI, ibu
menderita DM.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pemeriksaan derajat ikterus, ikterus terlihat
pada sclera, tanda-tanda penyakit hati kronis yaitu eritema palmaris, jari tubuh
(clubbing), ginekomastia (kuku putih) dan termasuk pemeriksaan organ hati
(tentang ukuran, tepid an permukaan); ditemukan adanya pembesaran limpa
(splenomegali), pelebaran kandung empedu, dan masa abdominal, selaput lender,
kulit nerwarna merah tua, urine pekat warna teh, letargi, hipotonus, reflek
menghisap kurang/lemah, peka rangsang, tremor, kejang, dan tangisan
melengking.
3. Pengkajian Psikososial
Pengkajian psikososial antara lain dampak sakit pada anak hubungan dengan
orang tua, apakah orang tua merasa bersalah, merasa bonding, perpisahan dengan
anak.
4. Perpisahan Keluarga
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal
keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan
mempelajari hiperbilirubinemia.

5. Laboratorium
Pada bayi denagn hiperbilirubinemia pada pemeriksaan laboratorium ditemukan
adanya Rh darah ibu dan janin berlainan, kadar bilirubin bayi aterm lebih dari
12,5 mg/dl, premature lebih dari 15 mg/dl, dan dilakukan tes Comb.
B. Diagnosa Keperawatan, Tujuan dan Intervensi
1. Diagnosa Keperawatan: Kurangnya volume cairan berhubungan dengan tidak
adekuatnya intake cairan, fototerapi, dan diare.
Tujuan: Cairan tubuh neonatus adekuat.
Intervensi:
a. Catat jumlah dan kualitas feses
b. Pantau turgor kulit
c. Pantau intake out put
d. Beri air diantara menyusui atau memberi botol
2. Diagnosa Keperawatan: Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) berhubungan
dengan efek fototerapi.
Tujuan: Kestabilan suhu tubuh bayi dapat dipertahankan
Intervensi:
a. Beri suhu lengkungan yang netral
b. Pertahankan suhu antara (35,5 – 37)oC
c. Cek tanda-tanda vital tiap 2 jam
3. Diagnosa Keperawatan: Gangguan integritas kulit berhubungan dengan
hiperbilirubinemia dan diare.
Tujuan: Keutuhan kulit bayi bias dipertahankan
Intervensi:
a. Kaji warna kulit tiap 8 jam
b. Pantau bilirubin direk dan indirek
c. Rubah posisi setiap 2 jam
d. Masase daerah yang menonjol
e. Jaga kebersihan kulit dan kelembabannya

4. Diagnosa Keperawatan: Gangguan parenting berhubungan dengan pemisahan


Tujuan:
a. Orang tua dan bayi menunjukkan tingkah laku “Attachment”
b. Orang tua dapatmengekspresikan ketidakmengertian proses bonding
Intervensi:
a. Bawa bayi ke ibu untuk disusui
b. Buka tutup mata saat disusui untuk stimulasi social dengan ibu
c. Anjurkan orang tua untuk mengajak bicara anaknya
d. Libatkan orang tua dalam perawatan bila men\mungkinkan
e. Dorong orang tua mengekspresikan perasaannya
5. Diagnosa Keperawatan: Kecemasan meningkat berhubungan dengan terapi yang
diberikan pada bayi
Tujuan: Orang tua mengerti tentang perawatan, dapat mengidentifikasi gejala-
gejala untuk menyampaikan pada tim kesehatan.
Intervensi:
a. Kaji pengetahuan keluarga klien
b. Beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan
perawatannya.
c. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi di rumah
6. Diagnosa Keperawatan: Risiko tinggi trauma berhubungan dengan efek
fototerapi.
Tujuan: Neonatus akan berkembang tanpa disertai tanda-tanda gangguan akibat
fototerapi.
Intervensi:
a. Tempatkan neonatus pada jaraj 45 cm dari sumber cahaya
b. Biarkan neonatus dalam keadaan telanjang kecuali mata dan daerah genital
serta bokong ditutup dengan kain yang dapat memantulkan cahaya
c. Usahakan agar penutup mata tidak menutupi hidung dan bibir
d. Matikan lampu
e. Buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8 jam
f. Buka tutup mata setiap akan disusukan
g. Ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan
7. Diagnosa Keperawatan: Risiko tinggi trauma berhubungan dengan transfuse
tukar.
Tujuan: Transfusi tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi
Intervensi:
a. Catat kondisi umbilical jika vena umbilical yang digunakan
b. Basahi umbilical dengan NaCl selama 30 menit sebelum melakukan tindakan
c. Neonatus puasa 4 jam sebelum tindakan
d. Pertahankan suhu tubuh bayi, catat jenis darah ibu dan Rh serta darahyang
akan ditransfusikan adalah darah segar
e. Pantau tanda-tanda vital, salama dan sesudah transfusi
f. Siapkan suction bila diperlukan
g. Amati adanya gangguan cairan elektrolit; apnoe, bradikardi, kejang; monitor
pemeriksaan laboratorium sesuai program

C. Evaluasi
• Tidak terjadi kernikterus pada neonatus
• Tanda vital dan suhu tubuh bayi stabil dalam batas normal
• Keseimbangan cairan dan elektrolit bayi terpelihara
• Integritas kulit baik/utuh
• Bayi menunjukkan partisipasi terhadap rangsangan visual
• Terjalin interaksi bayi dan orang tua.

DAFTAR PUSTAKA

Bobak, J.1985. Maternity and Ginecologic Care. Precenton.


Handoko, I.S. 2003. Hiperbilirubinemia. Klinikku.
http://www.klinikku.com/pustaka/dasar/hati/hiperbilirubinemia3.html.
Markum, H. 1991. Ilmu Kesehatan Anak. Buku I. FKUI, Jakarta.
Pritchard, J.A. 1997. Obstetric Williams. Edisi xvii. Airlangga University Press:
Surabaya.
Saifudin, AB, dkk. 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. YBPSP, Jakarta.
Solahudin, G. 2006. Kapan Bayi Kuning Perlu Terapi?. http://tabloid-
nakita.com/artikel.php3?edisi=08392&rubrik=bayi.
Schwart, M.W. 2005. Pedoman Klilik Pediatrik. Jakarta : EGC.
Surasmi, A., Handayani, S. & Kusuma, H.N. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi.
Cetakan I. Jakarta : EGC.
Tarigan, M. 2003 Asuhan Keperawatan dan Aplikasi Discharge Planning Pada Klien
dengan Hiperbilirubinemia. FK Program Studi Ilmu Keperawatan Bagian
Keperawatan Medikal Bedah USU. Medan.
http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/04/05/nrs,20040405-01,id.html

You might also like