You are on page 1of 67

Cermin 1995

Dunia Kedokteran
International Standard Serial Number: 0125 – 913X

86. Masalah Daftar Isi :


Anak Juli 2. Editorial
1993 4. English Summary
Artikel :
5. Cakupan Imunisasi dan Morbiditas Penyakit Campak di Kabupaten
Sukabumi dan Kuningan, Jawa Barat – Imran Lubis, Djoko
Yuwono
10. Kekebalan terhadap Pertusis pada Bayi usia 6–36 bulan yang Tidak
Diimunisasi di Daerah Kumuh dan Keadaan Sosialnya – Muljati
Pro janto, Rabea Pangerti Yekti, Farida S, Sumarno, Siti Mariani
S, Hambrah Sri Wuryani
15. Infeksi Ulang Rotavirus pada Anak Sehat di Kotamadya Bandung,
Jawa Barat–Djoko Yuwono, Eko Rahardjo, Imran Lubis, Suhar-
yono W, Sutoto
20. Pola Kuman Penyebab Diare Akut pada Neonatus dan Anak –
Pudjarwoto Triatmodjo
24. Parasit Usus pada Balita Penderita Diare di Kabupaten Pandeglang
dan Kabupaten Kuningan – Suwarni, Eko Rahardjo, Harijani AM
27. Keadaan Rongga Mulut Anak Usia kurang dari 2 tahun di Poliklinik
RSU Penyabungan – Charles Darwin Siregar, Bidasari, Ikhwan
HH
30. Diaknostik Talasemia dan Kepentingannya - Sunarto
36. Penggunaan Imunoglobulin Dosis Tinggi pada Purpura Trombo–
sitopenik Idiopatik Khronik Anak – Charles Darwin Siregar
40. Lupus Eritematosus Sistemik – laporan kasus – Julia K Kadang,
Julius Roma Andilolo
43. Rachitis – laporan kasus – Herry D Nawing, Satriono, JS Lisal 46.
Atresia Bilier – Parlin Ringoringo
51. Hernia Inguinalis Lateralis pada Anak-anak – Made Kusala Giri,
Farid Nur Mantu
56. Invaginasi pada Anak dan Bayi – Muh. Husain, Farid NurMantu
58. Malaria Serebral – laporan kasus – M Anto Artsanto
61. Humor Kedokteran
62. Abstrak
64. R.P.P.I.K.
Salah satu indikator kesehatan suatu bangsa ialah derajat kesehatan anak,
yang biasanya diukur melalui angka kematian anak, cakupan imunisasi dan
parameter parameter lainnya.
Cermin Dunia Kedokteran kali ini menyoroti berbagai masalah kesehatan
anak dari berbagai aspek; masalah imunisasi tentu menjadi fokus utama, di
samping penyakit-penyakit lain seperti talasemia dan purpura trombositoponik
idiopatik. Tidak ketinggalan pula pembahasan mengenai tindakan bedah pada
hernia inguinalis dan invaginasi yang terutama diderita oleh anak.
Mungkin saja artikel yang ada masih belum mencakup masalah kesehatan
anak secara keseluruhan, tetapi mudoh-mudahan dapat memberikan gambaran
atas variasi kelainan yang mungkin ditemukan di kalangan anak.
Semoga memuaskan.

Redaksi

2 Cermin Dunia Kedokteran No. 86, 1993


Cermin 1995

Dunia Kedokteran
International Standard Serial Number: 0125 – 913X

KETUA PENGARAH REDAKSI KEHORMATAN


Dr Oen L.H.
– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro – Prof. DR. B. Chandra
KETUA PENYUNTING Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf
Dr Budi Riyanto W Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
Jakarta. Surabaya.
PEMIMPIN USAHA – Prof. Dr. R. Budhi Darmojo
Rohalbani Robi – Prof. Dr. R.P. Sidabutar Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
PELAKSANA Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Semarang.
Sriwidodo WS Bagian Ilmu Penyakit Dalam – Drg. I. Sadrach
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Lembaga Penelitian Univesitas Trisakti,
TATA USAHA Jakarta. Jakarta
Sigit Hardiantoro – DR. Arini Setiawati
– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Bagian Farmakologi
ALAMAT REDAKSI Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Majalah Cermin Dunia Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Jakarta.
Telp. 4892808
Fax. 4893549. 4891502
REDAKSI KEHORMATAN
NOMOR IJIN
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 – Dr. B. Setiawan Ph.D – Drs. Victor S Ringoringo,SE,MSc.
Tanggal 3 Juli 1976
PENERBIT – DR. Ranti Atmodjo – Dr. P.J. Gunadi Budipranoto
Grup PT Kalbe Farma
PENCETAK
PT Midas Surya Grafindo
PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang- yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-
bidang tersebut. hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau di- Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted
bacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh:
nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London:
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms.
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di- Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem- Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.
baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran,
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih P.O. Box 3117 Jakarta.
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe- Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat secara tertulis.
bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas- Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis


dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat
kerja si penulis. Cermin Dunia Kedokteran No. 86, 1993 3
English Summary

INTESTINAL PARASITES INFECTIONS HYGIENE OF ORAL CAVITIES also suffered oral thrush.
AMONG DIARRHEA PATIENTS IN AMONG CHILDREN LESS THAN 2-
Cermin Dunia Kedokt. 1993; 86: 27–9
PANDEGLANG AND KUNINGAN YEAR OLD IN PENYABUNGAN
Cds, Bs, Iw
OUTPATIENT CLINIC
Suwarni, Eko Raharjo, Harijani AM
Communicable Diseases Research
Charles Darwin Siregar, Bidasari,
Centre, Health Research and Develop- Ikhwan HH. DIAGNOSTICS OF THALASSEMIA
ment Board, Department of Health, Indo- Penyabungan General Hospital, South
nesia, Jakarta Tapanull, North Sumatra, Indonesia Sunarto

Department of Child Health, Faculty of


Medicine, GaJah Mada University/Dr.
The study on intestinal parasite A prospective study on the Sardjito General Hospital, Yogyakarta,
was done in Kabupaten Pande- condition of oral cavity of chil- Indonesia
glang and Kuningan (Sept '89 – dren aged 2 years who visited
March '90) as a part of diarrhoeal Out Patient Clinic.in Penyabung- Thalassemias are genetically
etiological study. The objective an General Hospital was con- inherited anemias due to dimi-
of the study is to obtain the pre- ducted on every Thursday from nished or absence of globin syn-
valence of intestinal parasite in 5th December 1991 up to 30th thesisthat makes up hemoglobin.
diarrhoeal cases in children under January 1992. There are various types of tha-
five years of age. Stools were During this period there were lassemias due to the various types
collected from patients in two 1365 patients, 63 of them with of globin chain defect, but -tha-
Health Centers and two Hospitals diarrhoea, 41 with fever, 14 with lasemia and β-thalassemia are
and were prepared with formalin anorexia, 8 with carbuncles, 2 the thalassemias that are of clini-
5% and Poly Vinyl Alcohol (PVA). with dyspnoe, 2 with otorrhea, 2 cal importance. Various labora-
Smear examinations were done with itching, and 3 with gum tory tests are needed in the diag-
directly from the samples, using bleeding. nosis of thalassemia, from the
Formalin Ether Concentration Oral hygiene score associated simple and routine tests to more
Technique and Modified Ziehl- with group DI-S0.0-0.6 were found technically demanding tests like
Neelsen. in only 74 (54,81%) patients, and globin synthesis analysis and DNA
Out of 404 stool samples the oral hygiene of children which analysis. The needed tests are in
examined, most of the infections were still breastfed were better accordance with our goal, either
were intestinal parasite infec- than the weanling. The parents' for clinical diagnosis, screening
tion/Protozoa, including the attention and knowledge on program or prenatal diagnosis.
stools from 3 patients with the children's oral hygiene were Advances in the diagnostics in
age of less than 3 months. Cryp- minimal. thalassemia have brought a great
tosporidium had been also de- Delayed eruption was ob- benefit to the thalassemia con-
tected in this study. served in 47 patients while 3 of trol program.
them had malposition of the
Cermin Dunia Kedokt. 1993; 86: 24–6 Cermin Dunia Kedokt. 1993; 86;30–5
teeth.
Sw, Er, Hr Sn
Dry mouth were found 105
patients, 97 among them were
associated with dehydration.
Stool examination in diarrhoea
patients revealed 28 "Candida
albicans" cases and all of them

4 Cermin Dunia Kedokteran No. 86, 1993


Artikel

Cakupan Imunisasi dan Morbiditas


Penyakit Campak
di Kabupaten Sukabumi dan Kuningan,
Jawa Barat
Imran Lubis, Djoko Yuwono
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN prioritas tindakan pelaksanaan program di kemudian hari.


Penyakit Campak (Measles), merupakan suatu penyakit Penelitian ini merupakan salah satu hasil dari suatu peneli-
menular yang banyak menyerang golongan umur anak terutama tian campak, yang akan mengungkapkan masalah cakupan
balita (bawah lima tahun). Dalam dekade terakhir ini insidens imunisasi dan morbiditas penyakit campak di Kabupaten Suka-
penyakit campak tampak cenderung terus menurun. Incidence bumi dan Kuningan Jawa Barat, dilakukan oleh Kelompok
rate campak pada balita menurut data dari Sub. Dit. Surveillance, Peneliti Penyakit Menular Lainnya, Puslit Penyakit Menular,
Dit. Jen. P2M&PLP pada tahun 1989 adalah 26,3/10.000 ke- Badan Litbangkes.
mudian menurun menjadi 17/10.000 pada tahun 1990. CFR
(Case Fatality Rate) penyakit campak pada tahun 1985 masih BAHAN DAN CARA
sebesar 3,5% dan lima tahun kemudian yaitu pada tahun 1990 Bahan dan cara kerjapenelitian ini sama dan telah dijelaskan
menurun menjadi 2,12%. Sedangkan cakupan imunisasi campak pada laporan penelitian lain yang berjudul "Partisipasi Masya-
tahun 1989 adalah 64,2% dan tahun 1990 naik menjadi 68,4%. rakat terhadap Penyakit Campak di 2 Kabupaten di Jawa Barat".
Perubahan profil epidemiologi penyakit campak yang se- Selain hal-hal yang tertulis sama, di sini jugadijelaskan mengenai
makin menunjukkan penurunan tersebut di atas, menjadi suatu adanya perbedaan variabel yang diukur.
pertanda agar program juga sudah mulai melakukan perubahan
Jenis penelitian
alokasi kebutuhan pelayanan kesehatan dan perubahan kebu-
Bentuk penelitian ini adalah cross sectional.
tuhan peningkatan kesehatan. Penurunan insidens campak, di
samping karena peningkatan cakupan imunisasi, disebabkan Tempat dan waktu penelitian
juga karena terjadinya perubahan demografi, perubahan epide- Waktu penelitian adalah tahun 1991–1992.
miologi, kecenderungan global di bidang sosial, peningkatan Tempat penelitian adalah di dua kabupaten di Jawa Barat
ekonomi, industrialisasi, urbanisasi, perubahan perilaku/gaya yang mempunyai perbedaan antara lain :
hidup yang menyebabkan risiko tertular penyakit menjadi tu- – Cakupan imunisasi campak berbeda, walaupun di sekitar
run. Di samping keadaan yang menggembirakan tadi, kita ke- 80%.
tahui juga bahwa pembangunan kesehatan tidak akan dapat – Satu daerah perkotaan dan satunya lagi daerah pedesaan.
secara merata dinikmati oleh seluruh wilayah di Indonesia, – Keduanya belum pernah melaporkan KLB Campak dalam 3
terutama di daerah terpencil yang miskin akan infrastruktur ke- tahun terakhir
sehatan. Daerah seperti ini, untuk beberapa lama akan masih
tetap mempunyai profit epidemiologi yang lama, yaitu masih Populasi sampel
endemisnya penyakit campak dan penyakit menular lainnya. Jumlah sampel untuk masing-masing daerah penelitian,
Oleh karena itu, besarnya permasalahan epidemiologi penya- adalah 400 orang. Responden adalah orangtua anak yang ber-
kit campak dari waktu ke waktu di suatu daerah tertentu, perlu tempat tinggal di daerah penelitian.
dipantau oleh pemegang program agar dapat dilakukan evaluasi Cara memilih lokasi penelitian : sccara two stage cluster
program, menentukan cost-benefit program dan menentukan sampling menurut WHO, dengan unit terkecil desa.
Koleksi Data tamat) – 81,9%, sedangkan SLTP maupun SLTA hampir sama
Cara koleksi data dengan menggunakan kuesioner khusus, yaitu 8,0% dan 9,6%.
yang diisi pada waktu melakukan wawancara dengan orangtua Sehubungan dengan permasalahan vane akan dibahas, perlu
anak. diketahui jarak antara letak rumah responden dalam penelitian
Variabel yang diukur adalah : ini, karena jarak rumah responden dengan tempat vaksinasi
– Umur dapat merupakan suatu faktor yang menghambat kepatuhan
– Pekerjaan masyarakatdalam mengikuti program imunisasi bagi anak mereka.
– Jumlah anak Pada Tabel 1 tampak bahwa responden yang mengikuti peneli-
– Cakupan vaksinasi campak tian ini terbagi rata di seluruh kota, yaitu sebagian rumah respon-
– Angka Kesakitan campak menurut jumlah penghuni, kamar. den terletak di pinggir kota (35,1%), di tengah kota (33,2%);
– Gejala dan pengobatan penderita campak. sebagian kecil mempunyai kebun yang luas (17,9%) dan dekat
dengan pasar (13,8%).
Pengolahan Data Tabel 1. Letak Rumah Responden di Kabupaten Sukabumi dan Ku-
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer ningan, Jawa Barat
IBM PC Compatible, dengan menggunakan program EPI INFO
Jumlah
versi 5.01. Letak rumah
n %
Analisis Data
Pinggir kota 397 35,1
Penelitian ini akan melakukan metoda analisis deskriptif Di tengah kota 376 33,2
untuk menghasilkan data berupa tabel frekuensi dari berbagai Kebun-luas 202 17,9
macam variabel tentang imunisasi dan morbiditas penyakit Dekat pasar 156 13,8
campak. Total 1131 100,0

Keterbatasan Hasil Penelitian Jumlah anak, yang mempunyai data tentang status imunisasi
Hanya menggambarkan keadaan dua kabupaten di Jawa campak adalah 1240 orang. Yang menjawab sudah divaksinasi
Barat dan kabupaten lain yang mempunyai persamaan, bukan campak adalah 1047 (Tabe12), berarti cakupan imunisasi cam-
menggambarkan keadaan secara nasional. pak: 84,4%, dan yang belum pernah divaksinasi campak adalah:
193 (15,6%).
HASIL DAN DISKUSI Distribusi status anak yang telah mendapat imunisasi cam-
Dipilih dua lokasi penelitian di Propinsi Jawa Barat yaitu : pak menurut urutan anak tampak pada Tabel 2.
1) Kabupaten Sukabumi yang mewakili suatu daerah perko- Tabel 2 Proporsi Status Imunisasi Campak menurut Urutan Anak di
taan, menurut kriteria Biro Pusat Statistik, belum pernah me- Kabupaten Sukabumi dan Kuningan, Jawa Barat
laporkan KLB Campak, dan dengan cakupan imunisasi campak
(1988–1991) : 88,5%–92,2%; dan Vaksinasi Campak + Vaksinasi Campak –
Urutan Anak Total
2) Kabupaten Kuningan, yang mewakili daerah pedesaan, yang n % n %
juga belum pernah melaporkan KLB Campak, cakupan imu-
Kesatu 390 82,6 82 17,4 47
nisasi campak (1988–1991) : 91,0%–103,6%. Kedua 298 84,1 56 15,9 354
Jumlah kuesioner yang telah diisi adalah 1241 buah, yang Ketiga 169 88,4 22 11,6 191
berarti telah melampaui target sampel sebesar 800. Jumlah Keempat 102 87,1 15 12,9 117
sampel untuk setiap variabel dapat berbeda, tergantung jumlah Kelima 43 76,7 13 23,7 56
Keenam 45 90,0 5 10,0 50
responden yang mengisi masing-masing pertanyaan yang
diajukan. Total 1047 84,4 193 15,6 1240
Umur rata-rata seluruh responden adalah 20–50 tahun
(96,5%). Jumlah anak pada masing-masing responden pada Tampak bahwapada anak pertama cakupan imunisasi campak
kabupaten Sukabumi dan Kuningan tidak banyak berbeda. Di sudah mencapai angka 82,6%. Angka ini makin meningkat pada
Sukabumi maupun Kuningan, proporsi responden yang mem- anak urutan berikutnya, kecuali pada anak kelima yang meng-
punyai anak satu orang dan dua orang adalah sama, yaitu 32,8% alami penurunan sebanyak 10%.
dan 33,0% di Sukabumi dan 30,2% dan 28,7% di Kuningan. Secara umum dapat dilihat bahwa Posyandu merupakan
Sedangkan responden yang mempunyai 3 anak di Sukabumi tempat terbanyak untuk mendapatkan vaksinasi campak (65,2%);
adalah 18,9% dan di Kuningan adalah 22,9%. Masih ada respon- tidak ada perbedaan antara anak pertama sampai anak ke lima.
den yang mempunyai anak lebih dari 3 orang walaupun sangat Pilihan ke dua tempat vaksinasi adalah Puskesmas (32,2%)
sedikit, yaitu antara 0,5%–9,0%. Dari segi pekerjaan responden, kemudian Rumah Sakit (1,4%) dan Klinik dokter/mantri/bidan
pada umumnya mereka adalah tani (49,1%), buruh (35,3%) (1,1%). Pertimbangan yang paling logis di sini adalah masalah
sebagian kecil adalah pegawai (8,8%) dan dagang (6,9%). Pada biaya yang paling murah adalah di Posyandu dan Puskesmas.
umumnya untuk kedua kabupaten yang diteliti, sebagian besar Vaksinator yang berjasa dalam memberikan imunisasi
pendidikan responden adalah Sekolah Dasar (tamat dan tidak campak tampak pada Tabel 4. Bidan dan Jurim (Juru Imunisasi)
paling banyak melakukan imunisasi campak, yaitu 50,0% dan dari 1 minggu (42,9%) atau 1 minggu (37,4%).
46,3%, dibandingkan dengan tenaga dokter (3,5%). Proporsi ini Penyakit campak yang berlangsung lebih dari 1 minggu
tetap sama untuk anak pertama sampai anak ke lima. mungkin disertai dengan infeksi sekunder (Tabel 7). Gejala
Sebaliknya alasan bagi anak yang tidak divaksinasi campak penyakit yang menyertai penyakit campak sebagian besar adalah
menurut orangtua mereka tampak pada Tabel 5. Secara umum batuk pilek (36,8%) kemudian sesak nafas (22,4%) dan diare
penyebabnya adalah Tidak Tahu (81,1%) kemudian Lupa (10,5%) (32,8%). Jarang dijumpai muntah berak (5,6%) dan gejala kejang
dan Jauh (5,5%) dan yang terkecil adalah Dilarang (1,6%) dan (2,4%).
Umur Kurang (0,02%). Proporsi penyebab ini cukup konstan Perilaku orangtua anak dalam mengobati penderita campak

Tabel 3. Proporsi Tempat Mendapat Imunisasi Campak dengan Urutan Anak di Kabupaten Sukabumi dan Kuningan,
Jawa Barat

Tempat Anak Pertama Anak Kedua Anak Ketiga Anak Keempat Anak Kelima Total
Vaksinasi Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Posyandu 499 64,3 340 66,5 176 63,1 101 68,7 47 67,1 1163 65,2
Puskesmas 252 32,5 159 31,1 96 34,4 45 30,6 23 32,9 575 32,2
RS 13 1,7 6 1,2 5 1,8 1 0,7 0 25 1,4
Klinik 12 1,5 6 1,2 2 0,7 0 0 20 1,1
Total 776 100,0 511 100,0 279 100,0 147 100,0 70 100,0 1783 100,0

Tabel 4. Proporsi Vaksinator Campak dan Urutan Anak di Kabupaten Sukabumi dan Kuningan, Jawa Barat

Anak Pertama Anak Kedua Anak Ketiga Anak Keempat Anak Kelima Total
Vaksinator
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Bidan 396 51,3 245 48,2 130 46,9 72 49,7 44 63,8 887 50,0
Jurim 349 45,2 244 48,0 134 48,4 70 48,3 24 34,8 821 46,3
Dokter 27 3,5 19 3,7 13 4,7 3 2,1 1 1,4 63 3,5

Total 772 100,0 508 100,0 277 100,0 145 100,0 69 100,0 1771 100,0

Tabel 5. Proporsi Sebab Tidak Divaksinasi Campak dengan Urutan Anak di Kabupaten Sukabumi dan Kuningan, Jawa
Barat

Sebab Tidak Anak Pertama Anak Kedua Anak Ketiga Anak Keempat Anak Kelima Total
Divaksinasi Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Tidak tahu 142 83,0 80 79,2 40 88,9 22 84,6 10 62,5 294 81,1
Lupa 14 8,2 13 12,9 4 8,9 3 11,5 4 25,0 38 10,5
Jauh 12 7,0 5 5,0 1 2,2 1 3,8 1 6,3 20 5,5
Dilarang 3 1,8 3 3,0 0 0 0 6 1,6
Umur kurang 0 0 0 0 1 6,3 1 0,02
Total 171 100,0 101 100,0 45 100,0 26 100,0 16 100,0 359 100,0

pada semua urutan anak. Tabel 6. Lama Sakit Campak pada 147 Anak di Kabupaten Sukabumi
dan Kuningan, Jawa Barat
Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hambatan di bidang
ekonomi yang menghambat orangtua tidak membawa anaknya Jumlah
untuk divaksinasi campak, atau hambatan jarak maupun ham- Lama Sakit
n %
batan teknis lainnya seperti halnya rasa takut, adanya keper-
cayaan yang salah seperti menganggap bahwa penyakit campak < 1 minggu 63 42,9
itu merupakan suatu penyakit "biasa" pada balita. Alasan ketidak 1 minggu 55 37,4
2 minggu 13 8,8
tahuan dan lupa, lebih banyak menunjukkan kurangnya upaya 3 minggu 3 2,0
aksesibilitas dan kontinuitas informasi imunisasi campak. > 3 minggu 13 8,8
Dari 928 anak yang pernah divaksinasi campak ternyata 123
(13,3%) masih dapat sakit campak. Hal ini menunjukkan efikasi Total 147 100,0
vaksinasi campak sebesar 805/928 = 86,7%.
. Lama sakit campak menurut keterangan dart orangtua (re- dapat dilihat pada Tabel 8. Tampak bahwa lebih dari separuh
call) tampak pada Tabel 6; sebagian besar berlangsung kurang (52,4%) membawa anak mereka berobat ke mantri, 15,2%
Tabel 7. Gejala Penyakit Campak pada 125 Anak di Kabupaten Suka- KESIMPULAN
bumi dan Kuningan, Jawa Barat
Penyakit campak dilaporkan oleh seluruh 27 propinsi di
Jumlah Indonesia.lncidence rate penyakit campak per 10.000 penduduk
Gejala di Indonesia pada tahun 1990 menunjukkan angka terendah
n %
(4,75 - 8,02) di lima propinsi yaitu : Bali, SulSel, DI Aceh, DI
Batuk pilek 46 36,8 Yogyakarta dan Sultra, sedangkan untuk angka tertinggi
Sesak nafas 28 22,4 (36,30 – 57,89) terdapat di propinsi Maluku, Irja, DKI Jakarta,
Diare 41 32,8
Muntah berak 7 5,6
Sulut dan TimTim.
Kejang 3 2,4
BerdaSarkan basil penelitian di dua kabupaten Jawa Barat
ini, dapat disimpulkan bahwa upaya pemerintah Dit. Jen.
Total 125 100,0
P2M&PLP, dalam menanggulangi campak sudah berjalan
dengan baik. Angka cakupan imunisasi campak 84,4%, efikasi
memberi jamu-jamuan untuk penurun panas dan menggosok imunisasi 86,7%; tempat untuk vaksinasi yang dipilih adalah
kulit anak dengan ramuan untuk mempercepat timbulnya rash. Posyandu 65,2% dan Puskesmas 32,2%. Pelaksana program
Tabel 8. Cara Pengobatan 145 Penderita Campak di Kabupaten Suka- imunisasi terbanyak Bidan 50,0%, Jurim 46,3% dan pengobatan
bumi dan Kuningan, Jawa Barat bagi penderita campak yang diberikan oleh mantri 52,4%.
Masalah yang masih menonjol adalah bahwa di antara
Pengobatan
Jumlah masyarakat yang tidak membawa anaknya untuk diimunisasi
n % campak (15,6%) masih banyak yang disebabkan karena faktor
Obat mantri 76 52,4
tidak tabu (81,1%) ataupun lupa (10,5%) tentang kegunaan
Jamu 22 15,2 imunisasi campak. Keadaan ini dapat disebabkan karena penye-
Obat dokter 20 13,8 baran dan kontinuitas informasi mengenai imunisasi campak
Obat modem 13 9,0 tidak lancar atau tidak mengenai sasarannya. Penduduk dengan
Obat traditional 12 8,3
Tidak diberi obat 2 1,4
sejumlah anak yang masih belum mendapat imunisasi campak
ini akan menjadi suatu daerah kantong KLB campak. Intensi-
Total 145 100,0 fikasi penyuluhan campak melalui berbagai macam media yang
masuk terutama ke daerah pedesaan masih tetap perlu
Sebagian orangtua membawa ke dokter (13,8%), membeli ditingkatkan.
obat-obatan di warung (9,8%), obat tradisional (8,3%) dan yang Dengan melihat data incidence rate penyakit campak di
tidak memberi pengobatan sama sekali sebesar 1,4%. Indonesia tersebut di atas, maka untuk masa mendatang masalah
Penyakit campak merupakan salah satu penyakit yang penye- penanggulangan campak akan berpindah dari daerah di Jawa,
barannya dipengaruhi oleh faktor kepadatan penduduk; hal ini Bali dan Sumatera ke daerah terutama dengan endemisitas tinggi
dapat terlihat pada Tabel 9. Tampak bahwa proporsi sakit cam- lain misalnya propinsi Maluku, Irja, Sulut dan TimTim. Daerah
pak dengan tidak sakit campak akan terus meningkat sebanding sasaran berikut ini diketahui sangat sulit karena mempunyai
dengan jumlah orang dewasa dalam satu rumah itu. Bila orang hambatan di bidang geografis, kabupaten dan desa yang sulit
dewasa berjumlah antara 0-2 orang maka proporsi yang sakit dicapai, infrastruktur kesehatan yang masih miskin, keadaan
campak adalah 5,9%, untuk 2-4 orang dewasa menjadi 12,0% gizi dan lain-lain. Semua faktor tersebut, akan menyebabkan
dan 4-6 orang dewasa 12,4% dan lebih dari enam orang dewasa rendahnya cakupan imunisasi campak, makin beratnya gejala
men jadi 15,2%. penyakitcampak, tingginya angka kematian campak. Sedangkan
daerah seperti DKI Jakarta akan terus menghadapi peningkatan
Tabel 9. Hubungan Antara Jumlah Orang Dewasa dalam Rumah dan urbanisasi yang menyebabkan kepadatan penduduk di daerah
Kasus Campak pada Anak, Jawa Barat kumuh main meningkat, kepadatan penduduk dalam satu rumah
Sakit Campak
juga makin meningkat; sehingga risiko tertular campak meningkat.
Jumlah
Orang Dewasa
Total Untuk mengatasi pergeseran masalah campak ke daerah di luar
Tidak Ya Jawa, Bali dan Sumatera, perlu lebih ditingkatkan kerjasama
0– 16 1 17 lintas sektoral, pemerataan penempatan dan peningkatan kuali-
94,1% 5,9% 1,4%
tas tenaga kesehatan, dan peningkatan penyuluhan kesehatan.
2– 579 79 658
88,0% 12,0% 53,5%

4– 326 46 372
87,6% 12,4% 30,2%
UCAPAN TERIMA KASIH
>6 117 21 138 Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kakanwil Dep. Kes. Propinsi
84,8% 15,2% 11,2% Jawa Barat, Dinas P2M&PLP Propinsi Jawa Barat, Dokabu Sukabumi dan
Dokabu Kuningan dan para staf, Kapuslit Penyakil Menu/or, serta staf Ke-
Total 1038 147 1185 lompok Peneliti Penyakil Menular Lainnya, Puslit Penynkit Menular, Badan
Litbangkes, sehingga penelitian ini dapat selesai dengan baik.
KEPUSTAKAAN 6. Wibisono H. Penyakit Campak setelah pencapaian UCI. Seminar Sehari
Masalah Campak di Perkotaan ditinjau dariberbagai Aspek. Kelompok Studi
1. SEAMIC Health Statistics, International Medical Foundation of Japan, 1990. Kesehatan Perkotaan Univ. Atmajaya, Jakarta 25 Maret 1991.
2. Profil Kesehatan Indonesia 1991, Pusat Data Kesehatan, Departemen Ke- 7. Imran Lubis. Virologi Campak. Seminar Sehari Masalah Campak di Per-
sehatan. kotaan ditinjau dari berbagai Aspek. Kelompok Studi Kesehatan Perkotaan
3. Data Surveilans Direktorat Epidemiologi dan Imunisasi, Dir. Jen. P2M & PLP, Univ. Atmajaya, Jakarta 25 Maret 1991.
Departemen Kesehatan, 1990. 8. Imran Lubis, Marjanis S, Mulyono W. Etiologi Infeksi Pemapasan Akut
4. Mosley WH, Bobadilla JL, Jamison DT. Health Sector Priorities Review. (ISPA) dan Faktor Lingkungan, Bul Penelit Kes 1990; 18(2): 26–33.
Pop. Health Nutr. Div. World Bank, Washington DC. 9. Sub. Dit. Imunisasi. Strategi Umum Peningkatan Cakupan Campak untuk
5. Imran Lubis, Djoko Y. Partisipasi masyarakat terhadap penyakit Campak di Pencapaian UCI pada Akhir tahun 1990, Berita POKJA Campak, ed VII, Juli
2 kabupaten di Jaws Barat, (unpublished) 1990, p 1–3.
Kekebalan terhadap Pertusis
pada Bayi usia 6-36 bulan yang
Tidak Diimunisasi di Daerah Kumuh
dan Keadaan Sosialnya
Muljati Prijanto, Rabea Pangerti Yekti, Farida S, Sumarno, Siti Mariani S,
Hambrah Sri Wuryani
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN Telah dipilih secara acak 10 kelurahan dari masing-masing


Pertusis (batuk rejan) adalah penyakit saluran pernapasan daerah yang memenuhi kriteria. Penentuan terakhir didasarkan
akut. Penyakit ini biasa ditemukan pada anak-anak di bawah pada hasil kunjungan ke daerah tersebut. Pengamatan diutama-
umur 5 tahun. Seperti halnya penyakit infeksi saluran pernapas- kan pada keadaan sosial ekonomi, letak perumahan, dan jumlah
an akut lainnya, pertusis sangat mudah dan cepat penularannya. anak Balita kurang lebih 4000 orang. Karena sebagian besar
Penyakit tersebut dapat merupakan salah satu penyebab tinggi- kelurahan memiliki kurang lebih 2000–3000 orang anak Balita,
nya angka kesakitan terutama di daerah padat penduduk. Sirkulasi maka dipilih 2 kelurahan dari masing-masing daerah penelitian.
bakteri pertusis di daerah padat penduduk di Indonesia belum di- Kedua kelurahan tersebut diperlakukan sebagai satu kesatuan
ketahui secara pasti. Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi yang mewakili daerah penelitian.
DPT. Vaksinasi pertusis lebih efektif dalam melindungi terhadap Daerah kumuh diwakili oleh kelurahan Kampung Rawa
penyakit daripada melindungi infeksi. Perlindungan yang tidak dan Tanah Tinggi yang berpenduduk masing-masing 17.964
lengkap terhadap penyakit pada anak yang telah divaksinasi jiwa dan 37.139 jiwa. Luas area untuk kedua kelurahan tersebut
dapat menurunkan keganasan penyakit. masing-masing adalah 0,03 hektar dan 0,62 hektar. Sedangkan
Infeksi alam memberi kekebalan mutlak terhadap pertusis daerah menengah diwakili oleh kelurahan Pondok Kopi yang
selama masa kanak-kanak, sedangkan perlindungan akibat berpenduduk 23.440 jiwa dengan luas area 2,06 hektar dan
imunisasi kurang lengkap karena masih ditemukan pertusis pada kelurahan Cipinang Melayu yang berpenduduk 27.432 jiwa
anak yang telah mendapat imunisasi lengkap walaupun dengan dengan luas area 2,63 hektar.
gejala ringan. Pemilihan sampel penelitian dilakukan dengan cara WHO's
Proporsi populasi yang rentan terhadap pertusis ditentukan EPI Cluster Design(2). Satuan cluster adalah Rukun Tetangga
oleh: tingkatkelahiran bayi, cakupan imunisasi, efektivitas vaksin (RT). Jumlah cluster terpilih dapat dilihat pada tabel 1. Dipilih
yang digunakan, insiden penyakit dan derajat penurunan secara acak 40 RT dari lebih kurang 200 RT di setiap daerah pe-
kekebalan setelah imunisasi atau sakit(1). nelitian. Setelah diadakan musyawarah dengan kepala kelurahan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status kekebalan dan para ketua RT, akhirnya dipilih 30 RT sebagai lokasi pene-
bayi umur 6 – 36 bulan yang tidak mendapat imunisasi di daerah litian. Sebagai dasar penimbangan adalah jumlah anak umur 5
kumuh dan ingin diketahui pula hubungannya dengan keadaan tahun, kerja sama yang baik dari penduduk dan juga segi ke-
sosial keluarga bayi tersebut. amanan bagi pelaksana penelitian.
Petugas mengunjungi setiap rumah di masing-masing RT
BAHAN DAN CARA sesuai petunjuk yang ada sampai mendapatkan 7 rumah yang
Daerah kumuh adalah daerah dengan kepadatan penduduk mempunyai 7 bayi umur6–36 bulan dari setiap RT. Apabila pada
lebih dari 500 jiwa tiap hektar, sedangkan daerah sedang adalah RT yang bersangkutan sampel penelitian belum mencukupi,
daerah yang kepadatan penduduknya kurang dari 300 jiwa per maka petugas mengunjungi RT-RT yang bersebelahan hingga
hektarnya. Data kepadatan penduduk yang digunakan berasal jumlah sampel di setiap cluster terpenuhi. Selanjutnya untuk
dari laporan Biro Pusat Statistik tahun 1987. mengetahui status imun bayi/anak yang sama sekali belum
Tabel 1. Jumlah RW, RT dan Cluster yang Terpilih untuk Penelitian diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap adalah anak sedang
sakit dan alasan ke dua adalah ibu terlalu sipuk. Di daerah kumuh
RW RT Cluster
Kecamatan
(n) (n) (n) masing-masing adalah 57,5% dan 17,5% dan di daerah sedang
adalah 57,2% dan 12,2%.
Daerah Kumuh :
Kampung Rawa 8 32 12 Tabel 3. Penyebab Belum Imunisasi atau Imunisasi yang Belum Lengkap
Tanah Tinggi 13 47 18 pada Bayi Umur 6–36 Bulan di Daerah Kumuh dan Sedang di
Daerah Sedang : Jakarta
Pondok Kopi 6 19 13
Cipinang Melayu 7 40 17 Daerah Kumuh Daerah Sedang
Penyebab
Jumlah 34 138 60 n % n %
A. Tidak mengerti imunisasi* 6 5 12 8,6
mendapat imunisasi, jumlah bayi/anak perlu ditambah hingga Tidak mengerti dosis imunisasi 5 4,2 2 1,4
diperoleh sedikitnya 50 orang dari setiap daerah penelitian. Pada Takut reaksi samping imunisasi 4 3,4 8 5,7
B. Tidak mengerti kapan imunisasi* 3 2,5 2 1,4
bayi umur 6–36 bulan yang belum mendapat imunisasi kemudian Tidak percaya imunisasi 1 0,8 2 1,4
dilakukan pengambilan darah. Orang tua dari bayi/anak-anak C. Kesulitan transportasi* – – – –
tersebut juga diwawancarai untuk mengetahui keadaan sosial, Tidak ada petugas imunisasi – – 2 1,4
situasi dalam rumah dan sanitasi. Tidak ada vaksin – – – –
Cara pengambilan darah: Darah diambil dari ujung jari seba- Ibu terlalu sibuk 21 17,5 17 12,2
Masalah keluarga 6 5 3 2,2
nyak 0,1 ml dengan pipet kapiler, langsung diencerkan dengan Anak sedang sakit 69 57,5 90 57,2
larutan bufer fosfat (PBS) sebanyak 5 kali. Selanjutnya dibawa Waktu tunggu terlalu lama 4 3,3 9 6,4
dengan termos pendingin ke Pusat Penelitian Penyakit Menular Lain-lain 1 0,8 2 2,1
untuk dipisahkan seranya.
Jumlah 120 100,0 140 100,0
Pemeriksaan kadar zat anti pertusis dilakukan dengan cara
mikro aglutinasi, menggunakan antigen yang terbuat dari strain Keterangan :
Bordetella pertussis 18–323(3). ∗ A. Kurang informasi
∗ B. Kurang motivasi
Definisi ∗ C. Hambatan
Yang dimaksud dengan ventilasi baik adalah bila rumah
memiliki jendela dan lubang angin. Ventilasi sedang bila rumah Tabel 4 menunjukkan jumlah sampel sera yang terkumpul.
hanya memiliki jendela sedangkan ventilasi buruk bila rumah Jumlah sera yang berasal dari daerah kumuh sebanyak 55 dan
tidak memiliki jendela dan hanya memiliki lubang angin saja. yang berasal dari daerah sedang adalah 81. Berhubung kesulitan
Pembuangan asap dapur dibagi menjadi baik, sedang dan mencari anak yang belum mendapat imunisasi DPT pada ke-
buruk. Kriteria pembuangan asap dapur baik, sedang dan buruk lompok umur tersebut di 30 cluster maka jumlah tersebut telah
mengikuti definisi ventilasi, hanya letak jendela dan lubang ditambah dari RT yang berdekatan.
angin terletak di dapur. Tabel 4. Jumlah Sera Bayi Umur 6–36 Bulan dari Daerah Kumuh dan
Sedang di Jakarta
HASIL DAN PEMBAHASAN Daerah Kumuh Daerah Sedang
Jumlah bayi yang mendapat imunisasi tidak lengkap dan Bulan
belum pernah mendapat imunisasi dapat dilihat pada tabel 2. Di Sera (n) Sera (n)
daerah kumuh dari 30 cluster jumlahnya 124 orang (59,05%) 6 –12 22 25
dan di daerah sedang sebanyak 136 orang (64,76%). Jumlah 13 – 24 20 32
tersebut cukup besar karena pada tahun sebelumnya cakupan 25 – 36 13 24
masih rendah, pencatatan belum baik, penduduk di daerah ter- Jumlah 55 81
sebut sering berpindah tempat.
Alasan mengapa ibu tidak membawa anaknya untuk di- Tabel 5 menunjukkan jumlah bayi yang memiliki zat anti
imunisasi ditunjukkan pada tabel 3. Alasan tertinggi anak tidak terhadap pertusis positif pada kelompok umur 6–11 bulan, 12–23
Tabel 2. Status Imunisasi DPT Bayi Umur 6–36 bulan di Daerah Kumuh
bulan dan 24–36 bulan. Jumlah bayi yang memiliki titer positif
dan Sedang di Jakarta, tahun 1989 sangat rcndah yaitu 18,18% di daerah kumuh dan 13,58% di
daerah sedang. Persentase bayi yang memiliki titer positif makin
Daerah Kumuh Daerah Sedang meningkat dengan bertambahnya umur. Hal ini disebabkan ada-
Status Imunisasi
n % n %
nya infeksi alam. Bayi yang mcmiliki titer positif hampir se-
luruhnya bertiter rcndah di bawah titer yang dapat memberikan
Lengkap 86 40,95 74 35,24
Tidak lengkap 116 55,24 101 48,10 perlindungan (160 U/ml). Jumlahnya yaitu 14 orang dengan titer
Tidak pernah 8 3,81 35 16,67 10 U/ml, 1 orang dengan titer 20 U/ml, 3 orang dengan titer 40 U/
ml dan 2 orang dengan titer 80 U/ml. Dengan demikian berarti
Jumlah 210 100,00 210 100,00
semua anak masih rentan terhadap infeksi batuk rejan.
Namun hasilnya menunjukkan tidak ada pengaruh dari berbagai
Tabel 5. Distribusi Titer Zat Anti Positif terhadap Pertusis pada Bayi
keadaan tersebut pada status kekebalan terhadap pertusis. Se-
Umur 6-36 Bulan di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta
lanjutnya data mengenai keadaan sosial di kedua daerah tersebut
Positif Negatif Jumlah akan tetap dibahas dalam makalah ini.
Kelompok Umur
(bulan) n % n % N %
Tabel 6 menunjukkan tingkat pendidikan ibu dari bayi di
daerah kumuh dibandingkan dengan daerah sedang. Pendidikan
Daerah kumuh :
ibu yang terbanyak adalah Sekolah Dasar yaitu 67,31% di daerah
6 –12 1 4,5 21 95,5 22 100,0
kumuh dan 63,86% di daerah sedang. Jumlah ibu yang ber-
13 – 24 6 30,0 14 70,0 20 100,0
25 – 36 3 23,1 10 76,9 13 100,0 pendidikan SLTA di daerah kumuh sebesar 1,92% dan di daerah
Daerah sedang : sedang sebesar 15,66%. Jumlah yang buta huruf di kedua daerah
6 – 12 2 6,9 13 93,1 25 100,0 tersebut adalah 15,38% di daerah kumuh dan 12,05% di daerah
13 – 24 3 9,7 29 90,3 32 100,0 sedang.
25 – 36 6 24,0 18 76,0 24 100,0
Tabel 6. Tingkat Pendidikan Ibu Bayi yang Diteliti di Daerah Kumuh dan
Sedang di Jakarta
Jumlah bayi yang rentan terhadap pertusis diharapkan dapat
turun dari tahun ke tahun dengan meningkatnya cakupan Daerah Kumuh Daerah Sedang
imunisasi, diperluasnya umur cakupan, potensi vaksin dan rantai Pendidikan
dingin yang memenuhi syarat, serta ditingkatnya penyuluhan n % n %
program kesehatan bagi ibu-ibu di daerah tersebut. Buta Huruf 8 25,49 8 9,88
Vaksinasi pertusis ulangan tidak dianjurkan pada anak-anak SD 35 67,22 53 65,43
SLTP 8 15,38 7 8,64
setelah umur6 tahun. Dengan tidak adanya rangsangan antigenik SLTA 1 1,92 13 16,05
dari vaksin atau infeksi alam, maka orang dewasa muda tidak Perguruan Tinggi 0 – 0 –
terlindung secara lengkap.
Jumlah 52 100,0 81 100,00
Menurut penelitian di Amerika Serikat(4) dahulu penyakit
pertusis sangat umum pada anak-anak dari golongan sosio- Tabel 7 menunjukkan pekerjaan orang tua dari bayi-bayi
ekonomi rendah sehingga anak remaja dan orang dewasa dari peserta penelitian yang tinggal di daerah kumuh. Terbanyak
kelompok ini berkesempatan mendapat rangsangan ulang secara adalah sebagai buruh harian/lepas sebesar 60% dan sebagai
alami dari pemaparan terhadap penyakit. Di Amerika orang tua wiraswasta sebesar 40%. Sedangkan di daerah sedang sebanyak
kulit hitam dari golongan sosio-ekonomi rendah diduga mem- 40,62% sebagai buruh harian, 31,25% sebagai karyawan/pe-
punyai kekebalan terhadap pertusis lebih besar dari orang kulit gawai dan 28,13% berwiraswasta. Sebagian besar responden
putih yang berasal dari golongan sosio-ekonomi menengah. tidak mau memberikan jawaban tentang pekerjaan suaminya.
Penelitian tersebut menganggap bahwa orang dewasa sekarang
merupakan sumber utama penularan penyakit pertusis di Tabel 7. Pekerjaan Orang Tua Bayi yang Diteliti di Daerah Kumuh dan
Amerika(4). Orang dewasa agaknya merupakan sumber infeksi Sedang di Jakarta
terutama bila penyakit terjadi pada periode neonatal.
Beberapa hasil penelitian di luar negeri seperti di Inggris, Jenis Pekerjaan
Daerah Kumuh Daerah Sedang
Swedia, Kanada, Finlandia dan Amerika menunjukkan bahwa n % n %
kenaikan pesat cakupan imunisasi pertusis di atas 80% meng- Tidak ada – – – –
hasilkan penurunan yang lebih besar, tidak seimbang dalam Buruh harian lepas 12 60 13 40,62
insiden dan bahwa eradikasi pertusis akan mungkin bila cakupan Wiraswasta 8 40 9 28,13
lebih besar dari 95%(1). Pertimbangan teoritis memperkirakan Karyawan/pegawai – – 10 31,25
bahwa cakupan yang tinggi (lebih dari 90%) tidak menyebabkan
Jumlah 20 100,00 32 100,00
eradikasi dari pertusis tapi hanya mengubah insiden yang ber-
hubungan dengan umur. Walaupun anak-anak dewasa muda
akan terlindung dari pertusis pada masa bayinya, penurunan Pelayanan kesehatan yang dipilih oleh keluarga bila anak-
kekebalan sejalan dengan umur akan menyebabkan kenaikan nya sakit dapat dilihat pada Tabel 8. Pilihan tertinggi di kedua
jumlah orang dewasa yang rentan dan insiden pada orang dewasa daerah penelitian tidak berbeda yaitu berobat ke Poliklinik dan
dan pada bayi yang sangat muda untuk diimunisasi di Amerika pilihan kedua adalah berobatpada Bidan/Mantri. Tindakan yang
(dikutip dari 4). dilakukan bila anak sakit di kedua daerah tidak berbeda, yang
Di Indonesia telah dicapai cakupan imunisasi di atas 80%, mencapai persentase tertinggi adalah diobati sendiri dan tindakan
bahkan di beberapa propinsi telah mencapai lebih dari 90%; dengan persentase tinggi ke dua adalah dibawa ke dokter Pus-
namun pengamatan seperti di Amerika belum dilakukan. kesmas (Tabel 9).
Telah dianalisis pula pengaruh faktor-faktor seperti letak Jumlah ruangan yang dimiliki keluarga di dacrah kumuh
dapur, ventilasi rumah, pembuangan asap, penyediaan air bersih rata-rata 2 ruangan dan salah satunya adalah kamar tidur. Di
pada status kekebalan terhadap pertusis pada bayi-bayi tersebut. daerah sedang jumlah ruang yang ditempati rata-rata adalah 3
ruangan termasuk 2 sebagai kamar tidur. Pada penelitian ini tidak Tabel 11. Letak Dapur di Rumah Peserta Penelitian di Daerah Kumuh dan
Sedang di Jakarta
dilakukan pengukuran luas kamar. Jumlah penghuni rumah di
daerah kumuh rata-rata adalah 7 orang, sedangkan di daerah Daerah Kumuh Daerah Sedang
sedang adalah 5 orang. Letak Dapur
n % n %
Tabel 8. Pilihan Tempat Berobat bila Anggauta Keluarga Sakit di Daerah
Kumuh dan Sedang di Jakarta Di dalam rumah 25 45,45 63 77,78
Di luar rumah 30 54,55 18 22,22
Daerah Kumuh Daerah Sedang Jumlah 55 100,00 81 100,00
Tempat Berobat
n n °%
Tabel 12. Pembuangan Asap Dapur di Rumah Peserta Penelitian di Daerah
Diobati sendiri 1 4,17 7 15,91 Kumuh dan Sedang di Jakarta
Bidan/Mantri 8 33,33 15 34,09
Poliklinik 13 54,17 19 43,18 Daerah Kumuh Daerah Sedang
Pembuangan
Dokter swasta 2 8,33 3 6,82 Asap Dapur n % n °%
Jumlah 24 100,00 44 100,00
Baik – – 8 9,88
Sedang 26 48,15 49 60,49
Tabel 9. Tindakan yang Dilakukan bila Anak Sakit Batuk di Daerah Buruk 28 51,85 24 29,63
Kumuh dan Sedang di Jakarta
Jumlah 54 100,00 81 100,00
Daerah Kumuh Daerah Sedang
Tindakan Tabel 13. Sarana Penyediaan Air Bersih di Rumah Keluarga Peserta
n 46 n % Penelitian di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta
Tidak dimandikan 6 24 8 21,05
Tidak kena angin 2 8 1 2,63 Daerah Kumuh Daerah Sedang
Diobati sendiri 9 36 15 39,47 Sarana
Dibawa ke dokter/PKM 8 32 13 34,22 n °% n %
Penambahan gizi – – – – SumurUmum 13 25,49 22 27,16
Pengurangan ASI – – – – Beli Air 20 39,22 – –
Lain-lain – – 1 2,63 Sumur Pribadi 12 23,53 59 72,84
PAM 6 11,76 – –
Jumlah 25 100,00 38 100,00
Jumlah 51 100,00 81 100,00
Ventilasi rumah yang termasuk baik dan sedang tidak ber-
beda di kedua daerah penelitian, namun ventilasi buruk di daerah pribadi sebanyak 71,08% sisanya menggunakan sumur umum
kumuh jumlahnya 2 kali lebih besar dari daerah sedang, yaitu dan tidak ada lagi yang membeli air minum. Keadaan tersebut
29,41% berbanding 14,81% (Tabel 10). Keadaan pembuangan menyebabkan ban yaknya penampungan air bersih di depan rumah
asap dapur dan ventilasi rumah yang buruk akan berpengaruh penduduk di daerah kumuh.
buruk pula terhadap kesehatan, terutama anak-anak. Sarana buang air besar ditunjukkan pada tabel 14. Di daerah
kumuh 68,09% menggunakan WC umum, sedangkan di daerah
Tabel 10. Ventilasi Dalam Rumah Peserta Penelitian di Daerah Kumuh
dan Sedang di Jakarta sedang 60,98% telah memiliki WC pribadi. Namun di daerah
sedang yang kebetulan letaknya dekat sungai masih terdapat
Daerah Kumuh Daerah Sedang 10,98% yang masih menggunakan sungai sebagai sarana buang
Ventilasi Rumah
n % n % air besar.
Melihat keadaan sosial tersebut di atas maka perbaikan
Baik 23 45,10 44 54,32
Sedang 13 25,49 25 30,86
keadaan daerah kumuh perlu mendapat perhatian yang lebih
Buruk 15 29,41 12 14,81 besardari pemerintah. Selain itu peran serta masyarakat dalam
program kesehatan dan perbaikan lingkungan perlu ditingkat-
Jumlah 51 100,00 81 100,00
kan.
Tabel 14. Sarana Tempat Buang Air Besar di Rumah Keluarga Peserta
Letak dapur dan pembuangan asap dapur dapat dilihat pada Penelitian di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta
tabel 11 dan 12. Letak dapur di dalam atau di luar rumah tidak
berbeda antara kedua daerah penelitian, namun pembuangan Daerah Kumuh Daerah Sedang
Sarana
asap yang buruk di daerah kumuh tercatat 51,35% dan di daerah n % n %
sedang 31,33%. Pembuangan asap yang baik sebanyak 9,64% Selokan Umum 1 2,13 4 4,94
terdapatdi daerah sedang, namun tidak terdapat di daerah kumuh. Sungai 1 2,13 9 11,11
Penyediaan air bersih (Tabel 13) di daerah kumuh yaitu WC Umum 32 68,09 19 23,46
dengan membeli air bersih sebanyak 39,22%, menggunakan WC Pribadi 13 27,66 49 60,49
sumur umum 25,49% dan hanya 23,53% yang menggunakan
Jumlah 47 100,00 81 100,00
sumur pribadi. Di daerah sedang yang mcnggunakan sumur
KESIMPULAN adaan yang ada dapat mempercepat terjadinya penularan penya-
1) Status kekebalan terhadap pertusis pada kelompok bayi kit seperti ISPA, diare dan lain-lain. Penyuluhan pada ibu-ibu di
umur 6-36 bulan sangat rendah yaitu 18,18% di daerah kumuh daerah tersebut perlu lebih ditingkatkan agar mereka lebih ber-
dan 13,58% di daerah sedang dan keduanya tidak berbeda nyata; peran aktif dalam pelaksanaan program kesehatan.
namun jumlah anak yang memiliki titer positif terhadap pertusis
pada kelompok umur 1-2 tahun yang tinggal di daerah kumuh UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Mashur, Kepala Bidang
lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang tinggal di daerah Bindal PKPP, Bapak Daud Djayasudarma, koordinator Urban Strategi DKI, Dr
sedang yaitu 30% berbanding 9,7%. Surjadi Gunawan DPH, Kepala Pusat Penelitian Penyakit Menular, Dr Titi
Bayi umur 6-36 bulan baik yang tinggal di daerah kumuh Indijati, Kepala Direktorat Epidemiologi dan Imunisasi, Dir Jen P2M & PLP
maupun daerah sedang 84% tidak memiliki kekebalan terhadap atas segala petunjuk dan saran yang diberikan.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak-bapak lurah, pim-
pertusis, sedangkan sisanyakalaupun memiliki kekebalan belum pinan Pusat Kesehatan Masyarakat, Ketua Rukun Warga, Rukun Tetengga dan
dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi. Berarti anak- ibu-ibu PKK dari Kelurahan Kampung Rawa, Tanah Tinggi, Pondok Kopi,
anak tersebut masih rentan terhadap infeksi pertusis. Cipinang Melayu atas segala bantuannya selama penelitian dilaksanakan.
2) Berbagai faktor sosial yang diteliti tidak menunjukkan ada- KEPUSTAKAAN
nya hubungan dengan kekebalan terhadap pertusus.
1. Thomas MG. Epidemiology of Pertusis. Reviews of infectious diseases,
vol II; 2; 1989; 255-262.
SARAN 2. Henderson RH, T Sundaresen. Cluster sampling to assess immunization
1) Di daerah kumuh dan sedang sasaran imunisasi dapat diper- coverage: a review of experience with simplified sampling method. Bull
luas pada anak-anak sampai umur 3 tahun mengingat persentase WHO 1982; 60(2): 253-260.
anak-anak yang rentan cukup tinggi. 3. Manclark C, BD Meade. Serological response to Bordetella pertussis. In:
Manual of Clinical Immunology. 2nd ed. Am Soc Microbiol 1980; 496-99.
2) Kondisi sosial ekonomi bayi umur 6-36 bulan di daerah 4. Nelson JD. The changing epidemiology of Pertussis in young infants. Am J
kumuh perlu mendapat perhatian yang lebih besar, karena ke- Dis Child 1978; 132: 371-3.
Infeksi Ulang Rotavirus pada Anak Sehat
di Kotamadya Bandung , Jawa Barat
Djoko Yuwono*, Eko Rahardjo*, Imran Lubis*, Suharyono*, Sutoto**
*) Pusat Penelitian Penyakit Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
**) Subdit. Diare dan Kecacingan, Ditjen. Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK
Suatu penelitian seroepidemiologi mengenai infeksi rotavirus telah dilakukan di
daerah endemik diare, di daerah kumuh dan non kumuh di Kotamadya Bandung dan di
daerah pedesaan di Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat. Tujuan dari penelitian ini
ialah untuk mengetahui besarnya prevalensi penularan rotavirus sebagai penyebab diare
akut pada anak umur 0–36 bulan.
Untuk penelitian tersebut telah dilakukan pcmantauan kasus diare akut akibat infeksi
rotavirus pada penderita yang berobat ke Puskesmas setempat. Sebanyak 175 sampel
tinja telah dikumpulkan dari penderita diare akut, yaitu 89 sampel berasal dari Puskesmas
KotamadyaBandung dan 84 sampel berasal dari Puskesmas Kabupaten Ciparay. Untuk
mengetahui besarnya penularan infeksi rotavirus pada masyarakat, dilakukan penelitian
serokonversi terhadap infeksi rotavirus di daerah tersebut, yaitu dengan pemeriksaan
antibodi rotavirus secara periodik. Pengambilan serum dilakukan sebanyak tiga kali
dengan interval selama dua bulan. Sebanyak 492 sampel darah telah dikumpulkan selama
penelitian, yaitu sebanyak 166 dan 141 spesimen berasal dari daerah kumuh dan non
kumuh di Kotamadya Bandung serta 185 spesimen darah berasal dari daerah pedesaan di
Kabupaten Ciparay. Untuk mendeteksi rotavirus dalam tinja dilakukan dengan Uji
Reversed Passive Hemagglutination Assay (RPHA), sedangkan pemeriksaan antibodi
rotavirus dilakukan dengan Uji Hambatan Hemaglutinasi terhadap antigen rotavirus yang
diisolasi dari penderita diare akut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya prevalensi rotavirus pada penderita
diare akut di Puskesmas adalah sebesar 41,3% diKotamadya Bandung dan 19,14% di
Kabupaten Bandung. Hasil pemeriksaan kekebalan terhadap rotavirus menunjukkan
bahwa sebesar 57,8% dan 45,4% anak umur 0–36 bulan di daerah kumuh dan non kumuh
di KotamadyaBandung telah memiliki kekebalan terhadap rotavirus, sedangkan 35,2%
anak umur 0-36 bulan di Kabupaten Bandung juga telah memiliki kekebalan terhadap
rotavirus. Selanjutnya basil pemeriksaan serokonversi terhadap rotavirus pada serum
pengambilan kedua dan ketiga menunjukkan bahwa terdapat adanya serokonversi akibat
infeksi rotavirus yang besarnya 7,4% – 11,8% sebagai infeksi primer dan 3,6% sebagai
infeksi sekunder di Kotamadya Bandung, sedangkan di Kabupaten Bandung ditemukan
3,1% – 6,3% sebagai infeksi primer dan 6,3% sebagai infeksi sekunder.
Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa terjadi infeksi sekunder oleh karena
rotavirus pada anak sehat umur 0–36 bulan.
PENDAHULUAN dapat dipakai sebagai pedoman dalam menentukan kebijakan
Sampai saat ini rotavirus masih merupakan penyebab utama program penanggulangan diare akut di Indonesia.
penyakit diare akut non bakteri pada anak dan bayi. Sekitar 20%–
40% penderita diare anak yang berobat ke rumah sakit di negara BAHAN DAN CARA KERJA
berkembang, terkena infeksi rotavirus, sedangkan 35%–50% Lokasi dan populasi
anak di negara maju mengalami hal yang serupa(1). Infeksi Penelitian ini dilakukan di daerah endemik diare, dengan
rotavirus yang serius dan bahkan fatal terutama terjadi pada anak mengambil lokasi di daerah kumuh dan non kumuh di perkotaan
umur 6-12 bulan di negara berkembang, sedangkan di negara serta daerah pedesaan. Penentuan lokasi ditentukan oleh Di-
maju hal serupa terjadi pada anak umur 12-18 bulan(2). rektorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehat-
Penelitian rotavirus yang telah dilakukan di Indonesia pada an Lingkungan Pemukiman (P2M dan PLP) dan Kanwil Depar-
umumnya adalah penelitian klinik, sekitar 30%-40% anak pen- temen Kesehatan Propinsi Jawa Barat. Kriteria daerah endemik
derita diare akut yang berobat ke rumah sakit terkena infeksi diare ditentukan berdasarkan insiden diare dan selama dua tahun
rotavirus(3.4.5). Hasil penelitian yang dilakukan pada masyarakat terakhir tidak pernah melaporkan KLB diare. Penentuan daerah
daerah kumuh di Jakarta Utara, menunjukkan bahwa 16,2% anak desa dan kota ditentukan berdasarkan kriteria Biro Pusat Statistik
penderita diare terkena infeksi rotavirus(6). Data dasar tentang tahun 1988, sedangkan penentuan daerah kumuh dan non kumuh
etiologi diare yang bersumber pada masyarakat diakui memiliki ditentukan menurut kepadatan penduduknya, yaitu lebih dari
arti penting dibandingkan dengan data yang diperoleh dari rumah 10.000 jiwa tiap km2 dinyatakan sebagai daerah kumuh.
sakit yang telah ditunjuk untuk menangani penyakitdiare. Namun Populasi yang diteliti adalah anak-anak umur 0-36 bulan, yang
sangat disayangkan bahwa penelitian rotavirus yang dilakukan di tinggal di daerah kumuh dan nonkumuh di daerah kota serta di
Indonesia selama ini masih bersifat sporadik, sehingga masih daerah pedesaan dengan perincian 150 anak setiap lokasi.
perlu dilakukan penelitian yang hasilnya dapat dipakai sebagai Jumlah anak tersebut dikelompokkan menjadi kelompok umur
penunjang penanggulangan penyakit diare terutama infeksi rota- 0-9 bulan; 10-18 bulan; 19-27 bulan dan 28-36 bulan. Peng-
virus di masa datang. Hal-hal yang masih perlu diteliti lebih ambilan sampel dilakukan secara acak dengan memanfaatkan
lanjut mengenai infeksi rotavirus antara lain adalah: a) Tipe kegiatan Posyandu setempat. Kelompok lain adalah anak-anak
rotavirus yang dominan, tipe rotavirus yang sering menimbul- penderita diare akut yang datang berobat ke masing-masing
kan wabah, b)Seroprevalensi rotavirus, besarnya angka kesakit- Puskesmas, untuk setiap lokasi diikutsertakan satu Puskesmas.
an dan kematian rotavirus. Hal tersebut sangat besar manfaatnya
Jenis spesimen
mengingat adanya program Badan Kesehatān Sedunia (WHO)
Sampel yang diteliti dibedakan menjadi dua jenis spesimen
tentang perlunya imunisasi rotavirus di negara berkembang.
yaitu: Tinja, diambil dari anak penderita diare akut di setiap Pus-
Penelitian ini adalah suatu studi kohort rotavirus pada anak
kesmas. Tinja ditampung di dalam kontainer 10 ml, sebanyak
sehat umur 0-36 bulan yang tinggal di daerah endemik diare,
5-10 g tinja diambil dari tiap anak, selanjutnya disimpan di
yang selama dua tahun terakhir tidak pemah melaporkan adanya
dalam lemari es (refrigerator). Tiap dua minggu sekali petugas
wabah atau KLB (Kasus Luar Biasa) diare. Lokasi penelitian di-
pusat datang mengambil spesimen tersebut dibawa dengan
pilih daerah perkotaan yang dibedakan atas daerah kumuh dan
thermos berisi es keLaboratoriumVirologi Puslit Penyakit Me-
non kumuh serta daerah pedesaan. Adapun kegiatan penelitian
nular di Jakarta. Setibanya di laboratorium spesiinen disimpan
ini terdiri dari dua jenis kegiatan yaitu: 1) Pemantauan kasus
dalam suhu -20°C untuk kemudian diproses dengan membuat
diare akut pada anak umur 0-36 bulan, tujuannya untuk menge-
suspensi tinja 10% dalam larutan Fosfat Bufer Salin (PBS) pH
tahui besarnya insiden rotavirus di Puskesmas setempat. 2) Pe-
7,2, kemudian diputar 3000 rpm selama 30 menit, supernatannya
nelitian serokonversi rotavirus pada anak sehat umur 0-36 bulan
diperiksa untuk mengetahui adanya rotavirus.
di lokasi penelitian yang sama, yang dilakukan secara periodik
Sampel berupa darah diambil dari anak sehat umur 0-36
selama 6 bulan, dengan interval pengambilan darah setiap 2
bulan dari tiap lokasi. Darah diambil dari ujung jari dengan
bulan. Tujuan survei ini adalah untuk mengetahui besarnya
meresapkannyapadakertas filter disk, dua kertas filter untuk tiap
infeksi rotavirus di masyarakat.
anak. Kertas filter yang berisi darah sampai jenuh didiamkan
Pclaksanaan penelitian dilakukan pada pertengahan musim
pada suhu kamar yang sejuk dan kering sampai darahnya me-
penghujan dan diakhiri pada pertengahan musim panas, sehingga
ngering. Selanjutnya kertas filter disimpan dalam kemasan rapat
secara tidak langsung dapat diketahui pengaruh musim terhadap
dan kering dalam lemari es sampai siap untuk diperiksa atas
penyebaran rotavirus di alam. Perlu diketahui bahwa daerah desa
adanya antibodi rotavirus.
dan kota ditentukan berdasarkan kriteria Biro Pusat Statistik
tahun 1988, sedangkan daerah kum uh dan non kumuh ditentukan Pemeriksaan rotavirus dalam tinja
berdasarkan angka kepadatan penduduk, yaitu lebih dari 10.000 Pemeriksaan rotavirus dilakukan dengan Uji Reversed
penduduk tiap km2 dinyatakan sebagai daerah kumuh(7,8). Passive Hemagglutination Assay (RPHA) dengan mengguna-
Tujuan penelitian ini ialah ingin mencari data dasar mengenai kan eritrosit kalkun (turkey) yang telah dilapisi dengan antibodi
infeksi rotavirus secara lengkap di daerah endemik diare, yang monoklonal rotavirus. Terjadinya aglutinasi pasif pada spesimen
diharapkan dapat mewakili daerah-daerah lain di Indonesia. Dari tinja menunjukkan adanya rotavirus. Spesimen yang mem-
penelitian ini diharapkan akan diperoleh masukan-masukan yang punyai titer >64 dinyatakan positif, untuk selanjutnya dilakukan
uji sertifikasi untuk konfirmasi hasilnya. Gambar 1. Insiden Rotavirus dan Curah Hu jan di daerah Bandung tahun
1990
Pemeriksaan antibodi rotavirus dalam darah
Kertas saring yang berisi darah terlebih dahulu diproses
dengan melarutkan dalarn larutan 12,5% kaolin dalam PBS,
selama 18 jam pada suhu 4°C, untuk menghilangkan inhibitor
nonspesifik dan mendapatkan IgG serum. Konsentrasi serum
awal dibuat menjadi 1:10 dan selanjutnya dipakai dalam uji
Hambatan Hemaglutinasi terhadap antigen rotavirus. Uji Ham-
batan Hemaglutinasi dilakukan dengan microassay pada mikro-
plat 96 lubang, modifikasi dari metoda Eiguchi et al, 1987(9).
Antigen yang dipakai berasal dari rotavirus hasil isolasi yang
diperoleh dari penderita diare akut di Kabupaten,Kuningan, Jawa
Barat. 4 HA unit rotavirus antigen dipakai untuk reaksi antigen-
antibodi, yang dilakukan pada suhu kamar selama 60 menit.
Pembacaan hasil dilakukan setelah penambahan indikator
0,3% eritrosit golongan 0 dalam PBS dan inkubasi pada suhu
37°C selama 30 menit. Adanya hambatan hemaglutinasi oleh
antigen rotavirus menunjukkan adanya antibodi rotavirus di
dalam serum.

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 2. Infeksi Rotavirus dan Curah Hujan di daerah Bandung tahun
1990
Insiden rotavirus pada penderita diare akut di Puskesmas
Hasil pemeriksaan 175 spesimen tinja yang berhasil dikum-
pulkan dari penderita diare akut yang berobat ke Puskesmas
menunjukkan bahwa besarnya insiden rotavirus pada penderita
diare akut di perkotaan rata-rata sebesar 40,0% dan di pedesaan
sebesar 23,8% (Tabel 1).
Tabel 1. Persentase Insiden Rotavirus pada Anak umur 0-36 bulan Pen-
derita Diare Akut di Puskesmas Kotamadya dan Kabupaten
Bandung, Jawa Barat, tahun 1990

Rotavirus positif pada penderlta diare akut


Bulan Puskesmas kotamadya Puskesmas kabupaten
n % n %
Mei 21 43,0 21 19,0
Juni 15 40,0 18 27,5
Juli 15 40,0 17 26,6
Agustus 20 42,6 13 22,3
September 18 40,9 17 24,3
iklim yang jelas antara musim hujan dan musim kemarau, se-
Hasil penelitian yang telah dilakukan selama ini di beberapa
hingga besarnya insiden rotavirus tiap bulan hanya dikaitkan
rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi rota-
dengan besarnya curah hujan pada bulan yang sama. Hasilnya
virus di klinik ternyata berkisar antara 30%–40%(3,4,5) dan ter-
ternyata tidak dapat ditarik suatu kesimpulan yang pasti, sebab
nyata hasil yang diperoleh dari penelitian ini juga tidak berbeda
pada bulan Juli di saat curah hujan mencapai 100 mm temyata
jauh. Yang terlihat agak berbeda adalah mengenai insiden rota-
insiden rotavirus tidak menunjukkan adanya kenaikan atau
virus di daerah pedesaan, di Kecamatan Ciparay, Kabupaten
penurunan yang berarti.
Bandung, yaitu antara 19,0%–23,0%. Faktor yang merupakan
penyebab agak rendahnya insiden rotavirus ini mungkin masih Serokonversi rotavirus pada anak sehat umur 0–36 bulan
perlu diteliti lebih lanjut. Selama penelitian telah berhasil dikumpulkan sebanyak 492
Hubungan antara besarnya insidcn rotavirus pada penderita sampel darah yang masing-masing sebanyak 152 dan 155 berasal
diare akut di Puskesmas dengan besarnya curah hujan dapat dari daerah kumuh dan non kumuh di Kotamadya Bandung serta
dilihat pada Gambar 1. Tujuan penelitian ini semula adalah sebanyak 185 spesimen berasal dari dacrah pcdesaan di Kabu-
untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh iklim terhadap paten Bandung. Pengambilan sampel dilakukan dengan me-
besamya penularan rotavirus, namun sangat disayangkan bahwa manfaatkan kegiatan Posyandu setempat, hal ini sangat mem-
selama penelitian dilakukan ternyata tidak terdapat perbedaan bantu kegiatan pengambilan spcsimcn ulangan kedua atau ke-
tiga, sehingga drop out anak yang diteliti dapat ditekan serendah Keterangan :
(n) : jumlah spesimen yang diperiksa
mungkin. Perlu diketahui bahwa dalam penelitian ini telah di- IP : Perubahan seronegatifinenjadi seropositif
tentukan 3 Puskesmas di KotamadyaBandung yaitu Puskesmas IS : Kenai/can titer antibodi >4
Gumuruh dan Puskesmas A. Yani di daerah nonkumuh, sedang-
kan Puskesmas Kiara Condong untuk daerah kumuh. Puskesmas Dari hasil pemeriksaan antibodi rotavirus dari survei sero-
Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, dipilih sebagai Puskes- logi ke tiga ternyata dapat diketahui terjadi penurunan besarnya
mas di daerah pedesaan. infeksi rotavirus pada anak-anak di masing-masing lokasi peneliti-
Hasil pemeriksaan antibodi rotavirus pada survei serologi an. Di daerah kumuh ditemukan sebesar 7,4% dan 9,9% sebagai
yang pertama menunjukkan bahwa 57,8% dan 45,4% anak umur infeksi primer dan sekunder, sedangkan di daerah nonkumuh
0-36 bulan di daerah kumuh dan nonkumuh di Kotamadya ditemukan sebesar 5,3% dan 9,6% sebagai infeksi primer dan
Bandung telah memiliki antibodi rotavirus, sedangkan 35,2% sekunder. Lebih lanjut di daerah pedesaan ternyata ditemukan
anak umur 0-36 bulan di pedesaan juga telah memiliki kekebal- infeksi rotavirus sebesar 3,1% dan 6,3% sebagai infeksi primer
an terhadap rotavirus (Tabel 2). Hasil ini tidak jauh berbeda dan infeksi sekunder (Tabe14).
dengan hasil penelitian yang dilakukan pada anak umur 3–12 Tabel 4. Persentase Serokonversi Rotavirus dad Pengambilan Serum ke
bulan di tepian S:ungai Mahakam, Kabupaten Kutai, yang me- tiga dan Serum ke dua pada Anak Sehat umur 0-36 bulan di
nunjukkan bahwa ternyata 68,6% anak umur 3–12 bulan telah Kotamadya dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat, tahun 1990
memiliki kekebalan terhadap rotavirus(10); sedangkan dalam Serokonversi rasio (%)
penelitian ini di daerah kumuh Kotamadya Bandung ternyata
62,5% bayi umur 0-9 bulan juga telah memiliki kekebalan ter- Kel. umur Kumuh Nonkumuh Kabupaten
hadap rotavirus. (bulan)
IP IP IP
IS IS IS
Tabel 2. Persentase Seroprevalensi Rota virus pada Anak umur 0-36 bulan n % n % n %
di Kotamadya dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat, tahun 1990
0–9 31 6,4 6,9 30 3,3 6,6 29 3,4 0,0
Kotamadya 10 –18 30 3,2 6,6 29 6,8 3,4 26 2,7 2,7
Umur (bulan) Kabupaten 19 – 27 29 3,4 13,8 26 3,8 11,5 27 7,4 3,7
Kumuh Nonkumuh
28 – 36 31 9,6 9,6 29 6,9 13,8 35 2,8 14,3
n % n % n %
0 – 36 121 7,4 9,9 114 5,3 9,6 127 3,1 6,3
0–9 42 62,5 35 47,6 39 29,0
10 – 18 40 50,0 43 39,1 48 24,4 Keterangan :
19 – 27 46 82,8 32 91,7 52 40,6 IP : perubahan seronegatif menjadi seropositif
28 – 36 38 83,4 31 93,8 46 42,1 IS : Kenaikan titer antibodi >4
(n) : jumlah spesimen yang diperiksa
0 – 36 166 57,8 141 45,4 185 35,2
Adanya infeksi primer pada anak-anak yang tidak disertai
Keterangan : adanya gejala klinik yang serius (diare dan dehidrasi berat)
(n) : jumlah spesimen yang diperiksa.
diduga disebabkan oleh adanya infeksi rotavirus tipe lain yang
Hasil pemeriksaan antibodi rotavirus pada survei serologi ke dua perlu diteliti lebih lanjut, terutama di Indonesia, di mana tipe
ternyata menunjukkan bahwa terdapat infeksi primer sebesar rotavirus yang merupakan penyebab wabah (KLB) rotavirus dan
10,1% dan 3,6% infeksi sekunder pada anak di daerah kumuh, tipe virus dominan pada penderita non wabah belum diketahui
sedangkan 11,8% dan 2,0% anak di daerah nonkumuh pernah dengan jelas(11). Adanya infeksi sekunder tanpa gejala klinik
terkena infeksi primer dan infeksi sekunder rotavirus. Lebih yang jelas pada anak-anak dapat diterangkan oleh adanya ke-
lanjut dapat diketahui bahwa infeksi rotavirus pada anak umur kebalan yang mungkin diperoleh dari ibu atau mungkin diper-
0-36 bulan di daerah pedesaan besarnya 6,3% dan 2,3% masing- oleh dari infeksi alamiah(10-12).
masing sebagai infeksi primer dan infeksi sekunder (Tabel 3). Infeksi rotavirus pada anak sehat di alam bebas ternyata be-
Tabel 3. Persentase Serokonversi Rotavirus dari Pengambilan Serum ke
sarnya antara 6,3% - 11,8%, hasil ini juga tidak terlalu berbeda
dua dan Serum pertama pada Anak Sehat umur 0-36 bulan di dengan hasil yang pemah dilakukan di Jakarta Utara pada tahun
Kotamadya dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat, tahun 1990 1981, yaitu sebesar 16,2%(6).
Hubungan besamya infeksi rotavirus pada anak sehat umur
Serokonversi rasio (%)
0-36 bulan dengan besarnya curah hujan dapat dilihat pada
Kumuh Nonkumuh Kabupaten Gambar 2. Dari data insiden rotavirus di Puskesmas, maka
Kel. umur
(bulan) IP IP IP besarnya infeksi rotavirus pada anak sehat dan kaitannya dengan
IS IS IS
curah hujan, juga tidak begitu jelas terlihat. Akan tetapi masih
n % n % n %
dapat dilihat terjadinya penurunan infeksi rotavirus pada survei
0–9 34 8,8 5,9 31 9,7 0,0 31 3,1 0,0
10 – 18 32 12,5 0,0 31 16,1 0,0 41 9,8 0,0
ke tiga dibanding dengan survei ke dua, yaitu dari 10,1%-11,8%
19 – 27 39 5,1 5,1 26 19,2 0,0 32 6,3 0,0 menjadi 7,4%-9,9%, sedangkan curah hujan pada saat survei ke-
28 – 36 33 15,2 3,0 30 6,7 0,0 38 5,3 0,0 tiga dilakukan tampak sudah menurun dari 100 mm menjadi 20
mm. Hasil ini mungkin dapat menjelaskan bahwa penurunan
0 – 36 138 10,1 3,6 118 11,8 0,0 142 6,3 0,0
curah hujan akan menghambat terjadinya penyebaran rotavirus
di alam. penelitian ini.
4) Para Dokter dan paramedik baik di kotamadya, kabupalen maupun di
Puskesmas, alas kerjasama yang baik sehingga penelitian ini berjalan dengan
KESIMPULAN baik.
1) Besarnva insiden rotavirus pada Puskesmas di daerah per- 5) Semua fihak yang tidak mungkin kanu s,,butkan satu per satu yang telah
kotaan dan pedesaan di Kotamadya Bandung dan Kabupaten memberikan sumbangan pemikiran dan tenaga sehingga penelitian ini berjalan
dengan baik.
Bandung sebesar 19,0% – 43,0%.
2) Antara 45,4% – 57,8% anak umur 0–36 bulan di Kotamadya
KEPUSTAKAAN
Bandung telah memiliki kekebalan terhadap rotavirus, sedang-
kan 35,2% anak serupa di KecamatanCiparay,Kabupaten Ban- 1. Davidson GP, Bishop RF, Townley RR, Holmes III, Ruck BJ. Importance
dung, juga telah memiliki kekebalan terhadap rotavirus. of a New virus in Acute sporadic enteritis in children. Lancet 1975; 1:
3) Besarnya infeksi rotavirus pada anak sehat umur 0–36 bulan 242-6.
2. Bishop RF. Epidemiology of diarrhoeal disease caused by rotavirus. In:
di daerah kumuh dan non kumuh di KotamadyaBandung adalah (11th Eds). Development of Vaccines and Drugs against Diarrhoea.
7,4% – 11,8% sebagai infeksi primer dan 3,6% sebagai infeksi Nobel Conference, Stockholm: JHA. Lindberg & R. Mollby 1985.
sekunder. Adapun di daerah pedesaan ditemukan 3,1% – 6,3% England: Chanwell-Brau Ltd. 1986; 158-170.
sebagai infeksi primer dan 6,3% sebagai infeksi sekunder. 3. Sunano Y, Sebodo T, Ridho R - et al. . Acute, diarrhoea and rotavirus
infection in newborn babies and children in Yogyakarta, Indonesia from
4) Tidak diperoleh hubungan yang jelas antara besarnya June 1978 to June 1979. J. Clin. Microbiol. 1981; 14: 123-9.
infeksi rotavirus dan besarnya curah hujan di daerah penelitian. 4. Simanjuntak C. Aspek Mikrobiologik Penyakit Diare. Dalam: Prosiding
Pertemuan Bmiah Penyakit Diare. I. Koiman (Ed). Badan Penelitian dan
SARAN Pengembangan Kesehatan, DepKes RI. Jakarta 1983. p. 176-98.
5. Suharyono, Koiman I. Penelitian Penyebab Penyakit Diare Akut di klinik
1) Berdasarkan besarnya insiden rotavirus maka dapat disaran- tahun 1974-1982. Dalam: Prosiding Pertemuan Bmiah Penyakit Diare di
kan agar penanggulangan rotavirus di Indonesia difokuskan di Indonesia. I. Koiman (Ed.). Badan Penelitian dan Pengembangan Kese-
daerah perkotaan. hatan, DepKes RI. Jakarta 1983; p. 199-211.
2) Dengan adanya infeksi sekunder yang tidak menimbulkan 6. Sutoto, Muchtar MA, Karyadi, Brotowasisto. Morbidity and mortality
study on diarrhoeal diseases in North Jakarta an urban area, 1981. Disaji-
gejala klinik yang jelas, maka pemberian imunisasi terhadap kan dalam Kongres Asosiasi Castroenterologi Indonesia, Jakarta, 1981.
rotavirus masih perlu dipertimbangkan. 7. NN. Jawa Barat dalam angka 1989. Kantor Statistik Jawa Barat, Bandung.
3) Dengan belum diketahuinya tipe rotavirus yang dominan di Biro Pusat Statistik p. 3-10.
Indonesia, penggunaan jenis vaksin rotavirus yang tepat untuk 8. NN. Klasifikasi Urban-Rural berdasark.n PODS-SE 1986. Biro Pusat
Statistik, Jakarta Maret 1988.
Indonesia belum dapat ditentukan. 9. Eiguchi Y et al. Hemaglutination and Hemaglutination Inhibittion Test
with Porcein Rotavirus. Kitasato Arch. Exp. Med. 1987; 60(4): 167-172.
UCAPAN TERIMAKASIH 10. Djoko Yuwono dkk. Kekebalan terhadap rotavirus pada bayi di kabupaten
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : Kutai, Kalimantan Timur. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 65: 25-27.
1) Direktur Jenderal Ditjen. PPM dan PLP, DepKes. RI. yang telah mem- 11. Yolken RH, Wyatt RG, Zissis GP et al. Epidemiology of I Iuman rotavirus
berikan ijin dan dana sehingga terlaksananya penelitian ini. type 1 and type 2 as studied by Enzyme Linked Immunosorbent Assay.
2) Kepala Kanwil DepKes Propinsi Jawa Barra, yang telah memberikan ijin New Engl J Med 1978; 299: 1156-61.
sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. 12. Jessudos ES, John TJ, Mathan M, Spencer L. Prevalence of rotavirus
3) Kepala Puslit Penyakit Menular, yang telah memberikan ijin pelaksanaan antibody in infants and children, India J. Med. Res. 1978; 68: 383-6.

Learning without thought is labour lost,


thought without learning is perilous
(Confucius)
Pola Kuman Penyebab Diare Akut
pada Neonatus dan Anak
Pudjarwoto Triatmodjo
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN PERKEMBANGAN POLA KUMAN PENYEBAB DIARE


Diare hingga kini masih merupakan penyebab utama ke- AKUT
sakitan dan kematian pada bayi dan anak-anak. Saat ini morbidi- Pada dekade tahun 1950 s/d 1970-an, di negara-negara ber-
tas (angka kesakitan) diare di Indonesia masih sebesar 195 per kembang (termasuk Indonesia) hanya sekitar 20% etiologi diare
1000 penduduk dan angka ini merupakan yang tertinggi di antara akut dapat diketahui. Pada waktu itu penyakit diare akut di ma-
negara-negara di Asean(1). Dampak negatip penyakit diare pada syarakat (Indonesia) lebih dikenal dengan istilah "Muntaber".
bayi dan anak-anak antara lain adalah menghambat proses tum- Penyakit ini mempunyai konotasi yang mengerikan serta me-
buh kembang anak yang pada akhirnya dapat menurunkan kuali- nimbulkan kecemasan dan kepanikan warga masyarakat karena
tas hidup anak di masa depan. bila tidak segera diobati, dalam waktu singkat (± 48 jam) pen-
Ditinjau dari sudut ctiologinya, diare dapat disebabkan oleh derita akan meninggal. Kematian ini disebabkankarena hilang-
berbagai faktor di antaranya infeksi mikroba, intoksikasi, ma- nya cairan elektrolit tubuh akibat adanya dehidrasi. Kemudian
labsorpsi, malnutrisi, alergi, immunodefisiensi. Gejala penyakit diketahui bahwa penyebab muntaber adalah kuman Vibrio
yang ditimbulkan bervariasi mulai dari yang paling ringan sam- cholera biotype El-Tor dan sesuai dengan nama penyebabnya
pai dengan yang paling berat. Di kalangan masyarakat luas tersebut maka kejadian wabah yang sering terjadi pada waktu
gejala penyakit diare dikenal dengan berbagai istilah sesuai itu lebih populer dengan istilah wabah Cholera El-Tor". Kejadian
dengan daerahnya antara lain mencret, murus, muntaber, buang- wabah cholera El-Tor di Indonesia yang pertama kali diketahui
buang air. Beraneka ragamnya penyebab dan bervariasinya terjadi di Makasar (Ujung Pandang) pada tahun 60-an dengan
gejala penyakit yang ditimbulkannya sering menimbulkan kesu- menimbulkan sejumlah kematian. Wabah cholera ini kemudian
litan dalam penatalaksanaan diare, sehingga pengobatan yang diketahui sering terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia.
diberikan kadang-kadang tidak tepat sesuai dengan etiologinya. Berkat pesatnya perkembangan iptek (ilmu pengetahuan
Terapi yang tidak tepat bisa mengakibatkan terjadinya diare ber- dan teknologi) di bidang mikrobiologi, penemuan baru bidang
kepanjangan (prolonged diare) atau bahkan berlanjut menjadi etiologi diare taus bermunculan sehingga memperluas wawasan
diare khronik (diare persisten). Oleh karena itu mengetahui spektrum etiologi diare akut yang disebabkan oleh mikroba.
secara lebih mendalam faktor-faktor penyebab (etiologi) diare Bakteri Escherichia coli yang pada waktu itu dianggap sebagai
akan sangat membantu upaya penatalaksanaan diare akut secara mikroba komensal di dalam usus manusia, ternyata beberapa
tepat dan tcrarah. strain di antaranya diketahui merupakan penyebab diare akut
Dalam makalah ini disajikan informasi etiologi dian, akut baik pada bayi, anak-anak maupun orang dewasa. Sekarang telah
pada bayi dan anak-anak, yakni tinjauan dari aspek mikrobiologi dikenal tiga group E. coli sebagai penyebab diare akut yaitu
yang diperoleh dari berbagai sumber. Diharapkan informasi ini Entero Toxigenic E. coli (ETEC), Entero Pathogenic E. coli
dapat membantu para klinisi dalam upaya penanggulangan diare (EPEC) dan Entero-Invasive E. coli (EIEC). Selanjutnya pada
pada bayi dan anak-anak. dekade 1970 s.d 1980-an telah ditemukan beberapa jenis mikroba

20
baru penyebab diare akut pada bayi dan anak-anak. Mikroba 1) Rotavirus
yang dimaksud adalah Rotavirus, Yersinia dan Campylobacter. Rotavirus merupakan penyebab utama diare akut pada bayi
Rotavirus ditemukan pertama kali sebagai penyebab diare akut di dan anak-anak umur antara 6–24 bulan dengan morbidity rate
Australia tahun 1973(2). Skirrow (1977) pertama kali melaporkan untuk daerah Jakarta (1979–1981) sebesar 30,4%(3). Kejadian
Campylobacter (dulu disebut Related Vibrio) yang merupakan infeksi rotavirus meliputi negara-negara di seluruh dunia. Penu-
bakteri patogen pada diare akut(3). laran berlangsung secara oro-fekal atau dapat pula terjadi secara
Dengan bertambahnya beberapa jenis mikroba barn penye- air-borne droplet.
bab diare akut yang ditemukan maka cakrawala mikrobiologi Rotavirus menyebabkan kerusakan epithelium usus kecil
penyebab diare menjadi semakin luas dan komplek. Demikian dengan mengakibatkan viii menjadi kasar/tumpul sehingga
pula dengan semakin dikembangkannya teknologi pemeriksaan kemampuan mengabsorpsi karbohidrat menjadi berkurang,
laboratorium mikrobiologi di negara kita, kemampuan peme- demikian pula absorpsi air. Aktivitas disaccharidase dan laktase
riksaan etiologi diare dari sudut mikrobiologi meningkat secara menurun, sedangkan aktivitas adenyl cyclase tidak berubah;
tajam dari 20% pada tahun 1970-an menjadi sekitar 80% pada akibatnya terjadi akumulasi disaccharid di dalam lumen usus
tahun 1980-an(2). yang menyebabkan diare osmotik. Morfologi intestinal dan akti-
Kemudian pada dekade tahun 1980 s/d 1990-an dengan vitas absorpsi karbohidrat akan kembali normal dalam waktu
makin canggihnya teknologi bidang mikrobiologi antara lain 2–3 minggu.
dengan dikembangkannya teknologi pemeriksaan mikrobiologi Rotavirus menyebabkan diare berair disertai demam dan
dengan metoda DNA-Probe, maka etiologi diare akut telah dapat kadang-kadang muntah. Gejala yang ditimbulkan dapat ringan
diperluas lagi dengan ditemukannya heberapa strain E. call se- sampai diare akut dengan dehidrasi berat dan dapat menimbul-
bagai penyebab diare akut pada anak-anak. Dua strain baru E. kan kematian.
coli yang saat ini telah dinyatakan sebagai penyebab diare pada 2) E. coli patogen
anak-anak adalah Entero Haemorrhagic E. coli (EHEC) dan Di negara-negara berkembang E. coli patogen menyebab-
Entero Adherent E. coli (EAEC)(4). kan lebih kurang seperempat dari seluruh kejadian diare. Trans-
Dan kelompok protozoa telah ditemukn satu spesies baru misi kuman berlangsung seeara water-borne atau food-borne.
yang dinyatakan sebagai agent diare akut pada anak-anak. Dula dikenal ada 3 grup (kelompok E. coli patogen penyebab
Spesies yang dimaksud adalah Cryptosporidium. Sehingga diane yaitu ETEC, EPEC dan EIEC. Sekarang ditemukan 2 grup
dengan demikian pada dekade 1990-an ini pola kuman penyebab yang diketahui pula sebagai penyebab diane yaitu EHEC dan
diare akut pada bayi dan anak-anak yang penting menurut WHO EAEC.
(1990) adalah sebagaimana tercantum dalam tabel 1. Di sini 2.1. ETEC (Entero Toxigenic E. coli)
tampak bahwa ada 9 jenis mikroba yang saat ini dianggap penting ETEC adalah E. coli patogen penyebab utama diare akut
sebagai penyebab diane pada bayi dan anak-anak, yaitu dari dengan dehidrasi pada anak-anak dan orang dewasa di negara-
kelompok virus adalah Rotavirus. Dari kelompok bakteri adalah negara yang mempunyai 2 musim maupun 3 musim.
E. coli patogen (ETEC, EPEC, EIEC, EHEC dan EAEC), Sal- ETEC menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan ter-
monella non-typhoid, Shigella, Vibrio cholera 01 dan non-01 jadinya ekskresi cairan elektrolit tubuh sehingga timbul diare
dan Campylobacter. Dan kelompok protozoa terdiri dari Giardia dengan dehidrasi. Secara immunologis enterotoksin yang di-
lamblia, Entamuba histolytica dan Cryptosporidium(4). hasilkan oleh ETEC sama dengan enterotoksin yang dihasilkan
oleh V. cholera. Enterotoksin ETEC terdiri dari dua macam
Tabel 1. Berbagai Jenis mikroba penting penyebab diare akut pada yaitu: 1) Labile Toxin (LT) yang mempunyai berat molekul yang
neonatus (bayi) dan anak-anak (WHO, 1990)
tinggi dan tidak tahan panas (musnah pada pemanasan 60°C
Kelompok Jenis mikroba selama 10 menit); toksin inilah yang mirip dengan cholera toxin.
Spesies/Serotype 2) Stabile Toxin (ST) yang mempunyai berat molekul rendah,
mikroba (genus)
I. Vitus 1. Rota virus – Rotavirus tahan pada pemanasan dan tidak mempunyai sifat antigenik.
II. Bakteri 2. Escherichia sp – E. Coli : – ETEC Manusia dapat berperan sebagai carrier kuman ini, yaitu
– EPEC sebagai pembawa kuman tetapi dia sendiri tidak sakit. Transmisi
– ETEC kuman dapat berlangsung secara food-borne maupun water-
– EHEC
– EAEC borne. Di daerah endemik diane seperti halnya Indonesia, ETEC
3. Vibrio sp – V. cholera 0l merupakan juga penyebab utama diane akut yang mirip cholera
4. Shigella sp – S. flexneri serta merupakan penyebab travellers diarrhoea(3).
– S. sonnei 2.2. EPEC (Entero Pathogenic E. coli)
– S. dysentriae
– S. boydii Di beberapa daerah urban, sekitar 30% kasus-kasus diare
5. Salmonella sp – Salmonella non-typhoid akut pada bayi dan anak-anak disebabkan olch EPEC(4). Meka-
6. Campylobacter sp – Campylobacter jejuni nisme terjadinya diane yang disebabkan oleh EPEC belum bisa
III. Protozoa 7. Giardia sp – Giardia lamblia diungkapkan secara jelas, tetapi diduga EPEC ini menghasilkan
8. Entamuba sp – Entamuba histolytica
9. Cryptosporidium – Cryptosporidium cytotoxin yang merupakan penyebab terjadinya diare.
Penyakit diane yang ditimbulkan biasanya self-limited, te-

21
tapi dapat fatal atau berkembang menjadi diare persisten ter- itu V. cholera juga mempunyai 2 serotipe yaitu Ogawa dan Inaba.
mama pada anak-anak di bawah umur 6 bulan. Di negara-negara Diare yang terjadi dapat ringan sampai berat. Pada diare
berkembang, anak-anak yang terkena infeksi EPEC biasanya yang berat dapat terjadi dehidrasi berat dan shock, kematian
adalah yang berumur 1 tahun ke atas. dapat terjadi dalam waktu sekitar 48 jam bila tidak segera diobati.
2.3. EIEC (Enteroinvasive E. coli)
4) Shigella sp
EIEC mempunyai beberapa persamaan dengan Shigella
Shigella sp paling banyak menyebabkan diare invasif pada
antara lain dalam hal reaksi biokimia dengan gula-gula pendek,
anak-anak dan hanya sekitar 10% menyebabkan diare akut pada
serologi dan sifat patogenitasnya. Sebagaimana halnya dengan
anak-anak balita. Penularan kuman paling sering terjadi secara
Shigella, EIEC mengadakan penetrasi mukosa usus dan meng-
kontak langsung (person to person) dengan dosis infeksi yang
adakan multiplikasi pada sel-sel epitel colon (usus besar). Ke-
rendah yaitu 101-102 organisme. Di samping itu penularan dapat
rusakan yang terjadi pada epitel usus menimbulkan diare berda-
pula terjadi secara food-borne maupun water-borne.
rah. Secara mikroskopis leukosit polimorfonuklear selalu hadir
Patogenitas Shigella bersifat invasif, yakni menyerang sel-
dalam feses penderita yang terinfeksi EIEC. Gejala klinik yang
sel epitel usus besar (colon), menyebabkan kematian sel dan tim-
ditimbulkan mirip disentri yang disebabkan oleh Shigella.
bul borok sehingga terjadi kerusakan epitel usus dan perdarahan.
2.4. EHEC (Enterohaemorrhagic E. coli)
Shigella juga menghasilkan sitotoksin dan neurotoksin yang
Di Amerika Utara dan beberapa daerah lainnya, EHEC me-
menambah patogenitas kuman. Shigdla mempunyai 4 serotipe
nyebabkan haemorrhagic colitis (radang usus besar). Transmisi
yaitu S. flexneri yang paling banyak ditemukan di negara-negara
EHEC terjadi melalui makanan daging yang diolah dan dihi-
berkembang, S. sonnei banyak ditemukan di negara-negara maju,
dangkan secara tidak higienis; tapi dapat pula terjadi secara
S. dysentriae menyebabkan epidemi dengan kematian yang
person to person (kontak langsung). Patogenitas EHEC adalah
tinggi, S. boydii yang jarang ditemukan.
dengan memproduksi sitotoksin yang bertanggung jawab ter-
Infeksi Shigella menyebabkan diare invasif disertai dengan
hadap terjadinya peradangan dan perdarahan yang meluas di
gejala demam, nyeri perut dan tenesmus, feses berdarah dengan
usus besar yang menimbulkan terjadinya haemolytic uraemic
banyak mengandung leukosit. Shigella terutama menimbulkan
syndrome terutama pada anak-anak.
serangan hebat pada bayi.
Gejala karakteristik yang timbul ditandai dengan diare akut,
cramp, panas dan dalam waktu relatif singkat diare menjadi 5) Salmonella non-typhoid
berdarah. Di negara-negara berkembang kejadian diare yang Di banyak negara berkembang, diare akut yang disebabkan
disebabkan oleh EHEC masih jarang ditemukan. oleh Salmonella tidak begitu besar. Terutama di daerah urban
diare pada anak-anak yang disebabkan oleh infeksi Salmonella
2.5. EAEC (Entero Adherent E. coli) sekitar 10%. Transmisi kuman terjadi secara meat-borne, yaitu
EAEC telah ditemukan di beberapa negara di dunia ini. melalui makanan yang berasal dari hewan seperti daging, unggas,
Transmisinya dapat food-borne maupun water-borne. telur, susu; tetapi dapat pula terjadi secara water-borne.
Patogenitas EAEC terjadi karena kuman melekat rapat- Patogenitas Salmonella bersifat invasif yakni menyerang
rapat pada bagian mukosa intestinal sehingga menimbulkan bagian epithelium dari ileum. Salmonella menghasilkan entero-
gangguan. Mekanisme terjadinya diare yang disebabkan oleh toksin yang menyebabkan diare berair. Bila selaput lendir men-
EAEC belum jelas diketahui, tetapi diperkirakan menghasilkan jadi rusak, diare yang terjadidisertai darah.
sitotoksin yang menyebabkan terjadinya diare. Beberapa strain Ada 2000 serotipe Salmonella dan 6-10 di antaranya di-
EAEC memiliki serotipe seperti EPEC. EAEC menyebabkan ketahui menimbulkan gastroenteritis. Diare yang ditimbulkan
diare berair pada anak-anak dan dapat berlanjut menjadi diare biasanya disertai dengan gejala-gejala mual, demam dan nyeri
persisten(5). perut. Di samping menyebabkan diare berair, Salmonella juga
3) Vibrio cholera 01 menyebabkan mencret (exudative diarrhoea) yang ditandai oleh
V. cholera 01 menyebabkan diare akut pada semua golong- hadirnya leukosit di dalam feses. Di beberapa negara telah di-
an umur. Cholera merupakan penyakit endemik di negara Asia temukan strain Salmonella yang resisten terhadap ampisilin,
(termasuk Indonesia) dan Afrika. Di daerah endemik penyakit ini khloramfenikol, dan sulfametoxazol-trimetoprim.
ditemukan sekitar 5-10% yakni berdasarkan pada penderita yang 6) Campylobacter jejuni
berobat ke rumah sakit. Cholera ini lebih sering menyerang anak Di berbagai negara, Campylobacter jejuni menyebabkan
umur 2-9 tahun; tetapi di daerah bukan endemik cholera lebih 5-15% diare pada bayi. Di negara-negara berkembang puncak
banyak menyerang golongan umur dewasa muda. Penularan insiden terutama adalah pada usia di bawah satu tahun (batuta).
kuman dapat berlangsung secara water-borne maupun food- Transmisi kuman dapat berlangsung secara food-borne, dapat
borne. Penularan dengan cara kontak person to person dilaporkan pula terjadi secara person to person (kontak langsung).
jarang terjadi. Patogenitas Campylobacter dengan invasi pada bagian
Patogenitas V. cholera bersifat non-invasif, kuman me- ileum dan usus besar dengan menghasilkan 2 jenis toksin yaitu
nempel dan berkembang di bagian mukosa usus halus dan meng- sitotoksin dan heat-labile toxin. Diane yang ditimbulkan biasa-
hasilkan enterotoksin yang menstimulir terjadinya eksresi cairan nya seperti disentri dengan feses berdarah dan berlendir yang
elektrolit tubuh sehingga timbul diare dengan dehidrasi. V. muncul sesudah diare berlangsung selama sehari atau beberapa
cholera 01 mempunyai 2 biotipe yaitu El-Tor dan Klasik. Selain hari. Muntah biasanya tidak ada dan gejala demam selalu dengan

22
temperatur yang rendah. Diare berair yang ditimbulkan oleh dewasa muda.
infeksi Campylobacter kasusnya kecil. Diare yang ditimbulkan umumnya adalah diare persisten
7) Giardia lamblia dengan tinja berdarah. Pada beberapa kasus, E. histolytica dapat
Distribusi G. lamblia meliputi berbagai negara di dunia. Pre- bersarang di hati dan menyebabkan abses hati.
valensi infeksi G. lamblia pada anak muda di beberapa negara 9) Cryptosporidium
mencapai 100%. Anak-anak umur 1–5 tahun (balita) adalah yang Di negara-negara berkembang kasus Cryptosporidia pada
paling umum terinfeksi G. lamblia. Transmisinya dapat ber- anak-anak dengan diare adalah berkisar antara 5–15%. Trans-
langsung secara food-borne ataupun water-borne, serta dapat misi Cryptosporidia melalui fekal-oral. Patogenitas Cryptospo-
pula terjadi secara oro fecal. Infeksi G. lamblia terjadi pada usus ridium adalah menempel pada permukaan mikrovili dinding usus
besar, tetapi mekanisme patologinya belum jelas diketahui; pada dan menyebabkan malabropsi akibat kerusakan bagian mukosa.
beberapa kassus terlihat terjadi kerusakan pada bagian epitel Karakteristik infeksi Cryptosporidium adalah diare akut/diare
usus halus. G. lamblia dapat menyebabkan diare akut atau diare berair terutama pada pasien dengan daya tahan tubuh yang lemah
persisten; kadang-kadang menyebabkan malabrospsi dengan atau menurun.
feses berlemak, sakit perut dan kembung(5).
Infeksi G. lamblia kebanyakan asimtomatik sehingga men- KEPUSTAKAAN
imbulkan kesulitan untuk mendeteksi kapan G. lamblia menye-
1. Sunoto. Peran setts Perguruan Tinggi dalam Meningkatkan Kualitas Hidup
babkan diare. Anak melalui Program Pemberantasan Penyakit Diare. Pidato Pengukuhan
8) Entamuba histolytica Guru Besar Tetap dalam Tim Kesehatan Anak pada FKUI di Jakarta, 9-11-
Distribusi E. histolytica meliputi berbagai negara di dunia. 1991.
Prevalensi infeksi E. histolytica sangat bervariasi. Penyakit lebih 2. Suharyono, Koiman I. Penelitian penyebab mikrobiologi (Rotavirus dan
Enterobacteria) penyakit diare akut di klinik (1974–1982). Proc Pertemuan
banyak terjadi pada usia dewasa, penderita laki-laki lebih banyak llmiah Penelitian Penyakit Diare di Indonesia, Jakarta, 21–23 Oktober
ditemukan. 1983. Hal. 199-211.
Patogenitas E. histolytica adalah menyerang bagian mukosa 3. Simanjuntak CH, Hasibuan MA, Siregar LO, Koiman I. Etiologi
dari usus besar yang menyebabkan kerusakan intestinal sehingga Mikrobiologi Penyakit Diare Akut. Bull Penelit Kes 1983; XI (2): 1-9.
4. WHO. CDD/Ser 80.2. 1990. A Manual for the Treatment of Diarrhoea for
menimbulkan rangsangan neurohumoral yang menyebabkan Use by Physicians and Other Senior Health Workers. 1990. p. 30-32.
pengeluaran sekret dan timbul diare. Kira-kira 90% infeksi E. 5. WHO. Persistent Diarrhoea in Children in Developing Countries: Memo-
histolytica adalah asimtomatik, jarang terjadi pada anak kecil randum From a W HO Meeting. Bull World Health Organization. WHO
atau bayi, tetapi biasanya menyerang anak yang sudah besar dan 1988; 66(6): 709-17.

Great men expand with opportunity, small men swell


Parasit Usus pada Balita Penderita Diare
di Kabupaten Pandeglang dan
Kabupaten Kuningan
Suwarni, Eko Rahardjo, Harijani AM
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN mudah pengumpulan, 2 kontainer yang masing-masing berisi


Dalam 20 tahun terakhir, penyakit infeksi yang disebabkan Formalin 5% dan Poly Vinyl Alcohol (PVA) disiapkan dari
oleh parasit usus masih merupakan masalah kesehatan di Indo- Jakarta dan dikirim ke Puskesmas dan Rumah Sakit bersangkut-
nesia, karena prevalensinya cukup tinggi termasuk parasit yang an. Tinja penderita setelah diambil sebagian untuk pemeriksaan
ditularkan melalui tanah(1). Di Indonesia jenis cacing utama yang bakteri dan virus, dimasukkan sebagian ke dalam kontainer yang
ditularkan melalui tanah adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris berisi PVA untuk pemeriksaan Cryptospiridium, sedangkan sisa-
trichiura, Cacing tambang dan Strongylus stercoralis. Selain nya (secukupnya) dimasukkan ke dalam kontainer yang berisi
Trichuris trichiura, parasit usus penyebab diare adalah Enta- Formalin 5% untuk pemeriksaan protozoa lain dan telur cacing.
muba histolytica dan Giardia lamblia(2). Dari tinja dalam PVA dibuat preparat apus yang diwarnai
Di negara-negara sedang berkembang, diperkirakan dari dengan pewarnaan Modified Ziehl-Neelsee) dan diperiksa di
1500 juta kejadian penyakit yang disebabkan diare, 4–5 juta anak bawah mikroskop, sedangkan tinjadalam Formalin 5% diperiksa
di bawah lima tahun meninggal karenanya. Diperkirakan 15 dari langsung di bawah mikroskop setelah ditetesi cairan Lugol 2%.
1000 anak berusia 2 tahun meninggal karena diare(3). Di Indo- Terhadap semua contoh tinja yang negatif protozoa dan telur
nesia jumlah penderita diare setiap tahunnya ± 60 juta. Sebagian cacing, dilakukan pemeriksaan kembali dengan Tehnik Kon-
besar (60–80%) dari penderita ini adalah anak di bawah lima sentrasi Formalin Ether(7).
tahun(4). Banyak hal-hal penting penyebab diare yang tidak
diketahui dan presentasi penyebab diare yang dapat diidenti- HASIL DAN PEMBAHASAN
fikasi masih rendah(5). Dari 404 tinja yang diperiksa, 97 (24%) positip mengandung
Dalam rangka penelitian etiologi diare, dilakukan juga telur cacing usus yang ditularkan melalui tanah. Dari 97 balita
penelitian parasit usus, untuk mengetahui prevalensinya. Hasil penderita yang positip, ada 9 balita yang tinjanya mengandung
penelitian etiologi diare yang disebabkan oleh bakteri dan virus telur Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan Cacing tam-
dilaporkan secara terpisah. bang, 23 balita mengandung telur A. lumbricoides dan T. tri-
chiura, 2 balita mengandung T. trichiura dan Cacing tambang,
BAHAN DAN CARA KERJA 1 balita mengandung telur Cacing tambang dan larva rhabditi-
Penelitian ini dilakukan pada bulan September 1989 s/d form Strongylus stercoralis. Di sini juga terlihat bahwa paling
Maret 1990, di 2 Puskesmas dan 2 Rumah Sakit di Jawa Barat banyak ditemukan infeksi tunggal dengan A. lumbricoides di-
yaitu Puskesmas Pagelaran dan RS Labuan di Kabupaten Pan- ikuti dengan infeksi campuran A. lumbricoides dan T. trichiura
deglang serta Puskesmas Darawangi dan RS 45 di Kabupaten (Tabel 1).
Kuningan. Dilihat dari macam infeksi (Tabel 1), prevalensi baik men-
Tinja yang diperiksa, diperolch dari pcndcrita yang datang urut jenis cacing usus (Tabel 2), maupun menurut golongan
ke Puskesmas dan Rumah Sakit tersebut di atas. Untuk memper- umur (Tabel 3), pada umumnya telur A. lumbricoides men-

Dibacakan pada Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi X, September


1991, Bogor.

24
Tabel 1. Jenis Infeksi Cacing Usus pada 4 tempat di Kab. Pandeglang dan semakin tinggi kemungkinan golongan umur itu mendapat
Kuningan
infeksi. Keadaan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Puskes RS 45 Puskes RS Brown dan Neva, bahwa Ascariasis terjadi pada semua golong-
Jenis Darawangi Pagelaran Labuan Jumlah an umur dan tertinggi pada golongan umur 5-9 tahun(2). Infeksi
infeksi n=98 n=154 n=65 n=87 Cacing tambang juga meningkat sesuai dengan meningkatnya
+ % + % + % + % + % umur, hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Rukmono, B.
et al(11). Anak balita termuda yang terinfeksi Cacing tambang
A 11 11,2 12 7,8 11 16,9 12 13,8 46 11,4
T 5 5,1 2 1,3 5 7,7 3 3,4 15 3,7
berumur 1,5 bulan, dan dari 19 anak umur 0 - 9 bulan yang
H 0 0 0 0 0 0 1 1,1 1 0,2 positip, 3 anak di antaranya berumur kurang 3 bulan. Di sini
AT 4 4,1 0 0 8 12,3 11 12,6 23 5,7 terlihat bahwa peranan orang tua sangat penting dalam terjadinya
TH 0 0 .0 0 2 3,1 0 0 2 0,5 infeksi, dan kebersihan pribadi dan sanitasi lingkungan masih
ATH 0 0 0 0 3 4,6 6 6,9 9 2,2 perlu ditingkatkan(12).
HSs 0 0 0 0 1 1,5 0 0 1 0,2 Dari hasil penelitian ini yang menarik adalah selain di-
Keterangan : temukannya telur T. trichiura, Protozoa E. histolytica dan G.
A = A. Lumbricoides TH = T. trichiura & Cacing tambang lamblia penyebab diare, juga ditemukan ookista Cryptospori-
T = T. Trichiura ATH = A. lumbricoides, T. trichiura & Cacing dium sp. (Tabel 4). Cryptosporidium adalah parasit termasuk
H = cacing tambang tambang Protozoa, serupa dengan Coccidia berukuran ± 5µ, berbentuk
AT = A. lurnbricoides & HSs = Cacing tambang & Strongylusstercoralis
Cacing tambang bulat seperti coccus, host speciftco. Sesuai dengan basil pene-
litian, infeksi Cryptosporidium pada anak sapi menimbulkan
Tabel 2. Prevalensi Jenis Cacing Usus pada 4 tempat di Kab. Pandeglang diare sedang pada mencit tidak(13). Beberapa peneliti (Tzipori S,
dan Kuningan
1983, Anderson BC et al, 1982 dan Current, WC et al 1982)(13)
Jenis Puskes Puskes RS melaporkan bahwa Cryptosporidium merupakan Zoonosis.
RS 45
Cacing Darawangi
n = 154
Pagelaran Labuan Jumlah Cryptosporidiosis menyebabkan diare pada penderita yang
usus n = 98 n = 65 n = 87 mempunyai imunitas normal dan akan sembuh sendiri selama 3
+ % + % + % + % + % minggu. Tetapi sebaliknya pada penderita yang sistim imuni-
tasnya terganggu, akan mengalami diane yang berkepanjangan,
A 15 15,3 12 7,8 22 33,9 29 33,3 78 19,3
T 9 9,2 2 1,3 18 27,7 20 23 49 12,1 gangguan absorpsi dan menurunnya berat badan, misal pada
H 0 0 0 0 7 10,8 7 8,1 14 3,5 penderita AIDS; maka Cryptosporidium dapat menimbulkan
Ss 0 0 0 0 1 1,5 0 0 1 0,2 penyakit berat yang mengancam kehidupan(14).
Infeksi Cryptosporidium pada seorang anak penderita diare
Tabel 3. Prevalensi Cacing Usus menurut Golongan Umur akut ditemukan untuk pertama kalinya di RSCM Jakarta, kemu-
dian ditemukan lagi 6 kasus(15).
Jumlah A T H Ss Jumlah
Umur
contoh
(bulan)
tinja + % + % + % + % + %
KESIMPULAN
0–9 148 14 9,5 4 2,7 1 0,7 0 0 19 0,13
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada
10 – 19 138 18 13,0 5 3,6 2 1,4 0 0 25 0,18
20 – 29 52 16 30,8 12 23,1 1 1,9 1 1,9 30 0,58
anak-anak balita :
30 – 39 34 13 38,2 15 44,1 5 14,7 0 0 33 0,97 ∗ Infeksi dengan Ascaris lumbricoides adalah yang paling
40 – 49 22 9 40,9 7 31,84 3 13,6 0 0 19 0,86 banyak, diikuti oleh Trichuris trichiura dan Cacing tambang.
50 – 60 10 4 40,0 4 40,0 1 10,0 0 0 9 0,90 ∗ Selain diketemukannya Protozoa usus seperti Entamuba
histolytica, Giardia lamblia, juga diketemukan Cryptospori-
Tabel 4. Prevalensi Protozoa Usus di 4 tempat Kab. Pandeglang dan dium sp.
Kuningan

Jenis + %
UCAPAN TERIMA KASIH
Disampaikan kepada Prof. Dr. Sumarmo Poorwo Soedarmo, Kepala
Entamuba histolytica 1 0,25 Badan Lit bang Kesehatan; Dr. Suriadi Gunawan, DPH, Kepala Puslit Penyakit
Entamuba coli 2 0,51 Menular, yang telah memberi kesempatan melaksanakan penelitian ini.
Giardia lamblia 2 0,51 Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Purnomo, SKM,
Staf NAMRU, alas saran-saran dalam penulisan ini.
Cryptosporidium 1 0,25

KEPUSTAKAAN
duduki tempat tertinggi diikuti oleh telur T. trichiura; hal ini
sesuai dengan basil dari beberapa peneliti terdahulu(8,9,10). 1. Marwoto HA, Andersen EM, Pumomo, Punjabi NH. Intestinal parasitic
Pada tabel 3 terlihat bahwa infeksi A. lumbricoides me- diseases. Bull. Health Studies. 1990; 18 (3 & 4): 43-6.
2. Brown HW, Neva FA. Basic Clinical Parasitology. Englewood Cliffs, New
ningkat sesuai golongan umur. Keadaan ini dapat dimengerti Jersey: Prentice-Hall; 1983.
karena semakin bertarnbah umur anak balita, semakin besar go- 3. WHO. 1990. Diarrhoeal Diseases Control Program Implementation
longan umur tersebut berinteraksi dengan lingkungan, sehingga Research Priorities : 1-5.

25
4. Winardi B. Pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit Diare di Knowledge of Trop. Parasitol. Singapore. UNESCO. 1962. p. 289.
Indonesia. MKI. 1984; 34 (11): 712-22. 12. Ismid IS, Margono SS, Rukmono B. Peran Berta masyarakat dalam
5. Punjabi NH, et al. Diarrhoea) Diseases. Bull of Health Studies. 1990; 18 Program Integrasi Keluarga Berencana Pemberantasan Penyakit Cacing
(3 & 4): 33-7. dan Perbaikan Gizi di Kelurahan Jembatan Besi, Jakarta Barat. Medika
6. Henriksen SA, Pohienz JFL. Staining of Cryptosporidia by a Modified 1988; 14 (I): 20-3.
Ziehl-Neelsen Technique. Acta. Vet. Scand. 1981; 22: 594-6. 13. Heine J, Pohlenz JFL, Moon HW, Woode GN. Enteric lesions and
7. Dorothy MM, Brooke M. Laboratory Procedures for Diagnosis of Intes- diarrhea in gnotobiotic calves monoinfected with Cryptosporidium sp.
tinal Parasites. Public Health Service. Publ No. 1969. Washington: US Infect Dis. 1984; 150 (5): 768-75.
Government Printing Office. 1969. 14. Andersen WH, Gersoft J, Henriksen SvAa, Pedersen NS. Prevalence of
8. Depaiy AA, Tarigan P, Sitepu P. Helmintiasis intestinal pada anak-anak Cryptosporidium among patients with acute enteric infection. Infect.
desa. Medika 1987; 13 (12): 1194-7. 1984; 9: 277-82.
9. Ismid IS, Margono SS. Kebersihan pribadi, sanitasi lingkungan dan status 15. Rasad R, Adjung SA, Rukmono B, Sunoto, Suharyono. Infeksi crypto-
gizi anak sekolah yang menderita askariasis. Maj Parasitol Indon. 1989; 2 sporidium pada anak Indonesia dengan diare. MKI. 1989; 39 (5): 300-1.
(3 & 4): 97-9. 16. Lubis A, Dalimunthe AR, Sutanto AH. Gambaran cacing usus pada anak
10. Chandra B. Uji cobs banding antar obat cacing kombinasi Mebendazol Sekolah Dasar di Kotamadya Tebing Tinggi Deli. Medika 1985; 11 (6):
dan Pirantel Pamoat dengan Levamizol pada Soil Transmitted Helminth. 528-30.
Medika 1990; 16 (2): 115-7. 17. Pasaribu S, Lubis H, Nurbafri NY, Athos PD, Lubis CP. Infestasi parasit
11. Rukmono B, Oemijati S, Lie Klan Joe, Pumomo. Prevalence of Intestinal usus di empat desa Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Indonesia. Medika
Parasitic Infections in Infants. First Region. Symposium on Scientific 1987; 13 (2): 1179-82.
Keadaan Rongga Mulut Anak
Usia kurang dari 2 tahun
di Poliklinik RSU Penyabungan
Charles Darwin Siregar, Bidasari, Ikhwan H.H
Rumah Sakit Umum Penyabungan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara

PENDAHULUAN BAHAN DAN CARA


Rongga mulut merupakan hal yang penting bagi kesehatan Penelitian ini merupakan studi deskriptif dilakukan setiap
dan rasa sejahtera setiap anak. Setiap anakbemsia sampai 2 tahun hari Kamis yang merupakan hari "pekan" di Kecamatan Penya-
memerlukan pemeriksaan rongga mulut, dan sebaiknya dilaku- bungan, dari tanggal 5 Desember 1991 sampai dengan 30 Januari
kan pada saat-saat gigi sulung akan tumbuh. Pada usia demikian 1992. Peserta penelitian ini adalah anak-anak berusia ≤ 2 tahun
ini setiap perubahan dalam rongga mulut perlu mendapat per- yang berkunjung ke UPF Kesehatan Anak dan UPF Gigi dan
hatian, dan kepada orangtuanya perlu diberi petunjuk untuk Mulut RSU Penyabungan selama periode penelitian tersebut.
mencegah kerusakan lebih lanjut(1). Sebelum dilakukan pemeriksaan, kepada orangtua setiap
Perawatan kebersihan rongga mulut anak berusia sampai 2 anak diberikan kuesioner yang mcmuat antara lain :
tahun sangat tergantung dari perhatian dan pengetahuan orang- 1. Riwayat keluarga.
tuanya, karena si anak sendiri belum bisa berbuat sesuatu bagi 2. Riwayat pemberian makanan.
kebersihan rongga mulutnya. Kebersihan rongga mulut yang 3. Riwayat pertumbuhan gigi sulung.
buruk merupakan penyebab utama terjadinya penyakit-penyakit 4. Riwayat pengobatan sebelumnya.
gusi dan periodontal, yang bisa menyebar ke jaringan sekitarnya, 5. Pernah atau tidak mengikuti penyuluhan tentang Usaha Ke-
selain itu juga bisa merupakan sumber bakteremia(2). Sebaliknya sehatan Gigi atau Perawatan rongga mulut anak.
ada tanda atau kelainan rongga mulut yang merupakan bagian Setiap peserta setelah memperoleh pemeriksaan umum dan
dari gejala penyakit sistemik, seperti bercak Koplik pada penya- pemeriksaan-pemeriksaan lain yang sesuai dengan keluhan atau
kit campak dan lidah arbei pada demam Skarlet(3). pcnyakitnya, peserta dari UPF Kcsehatan Anak dirujuk ke UPF
Penyakit-penyakit rongga mulut seperti gingivitis dan glossi- Gigi dan Mulut untuk pcmcriksaan khusus gigi; sebaliknya
tis akan menyebabkan gangguan makan anak yang bila berlanjut peserta yang lebih dahulu berkunjung ke UPF Gigi dan Mulut
terus bisa menyebabkan gangguan pertumbuhan. Penyakit rongga dirujuk ke UPF Kesehatan Anak untuk pemeriksaan keadaan
mulut lainnya seperti infeksi periapikal dari gigi sulung bisa me- umum. Sctiap anak yang tidak memerlukan rawat-inap dianjur-
nyebabkan gangguan pertumbuhan gigi tetap, dan bila infeksi kan untuk bcrkunjung kcmbsit; pada hari Kamis berikutnya,
periapikal ini menjadi kronis bisa menyebabkan keadaan bakte- kccuali keluhan atau kcadaan penyakitnya semakin berat, dapat
remia(1). Tidak jarang diagnosis dan pengobatan penyakit gigi datang setiap waktu.
anak memerlukan kerjasama antara doktcr gigi dengan dokter Penilaian keadaan gizi tiap anak menggunakan Kartu Me-
khususnya dokter spesialis anak. nuju Sehat (KMS) yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehat-
Penelitian ini bertujuan untuk mengctahui kaitan keadaan an RI. Menilai usia pertumbuhan gigi sulung dipakai pedoman
rongga mulut dan keadaan umum anak-anak berusia 2 tahun di Time of Eruption and Shedding of Primary Teeth dari American
Poliklinik RSU Penyabungan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Dental Association. Untuk menilai kebersihan rongga mulut
Propinsi Sumatera Utara. peserta, dipakai Simplified Oral Hygiene (0111-S) dari Green dan

27
Vermillion(2). telah tumbuh, kecuali geraham ke dua rahang atas(1).
Hasilnya pada 47 anak (34,81%) didapati 1 atau 2 gigi su-
HASIL lungnya belum tampak dalam rongga mulut (delayed eruption).
Jumlah peserta yang diperoleh selama periode penelitian Dari 47 anak ini, 30 di antaranya adalah anak perempuan (tabel
ini sebanyak 135 anak; 66 anak laki-laki dan 69 anak perempuan 4). Pada 3 anak di antara 47 anak tersebut ditemui malposisi gigi;
dengan usia termuda adalah 12 bulan. Adapun pekerjaan orang- ketiga anak ini telah diberi susu botol sejak usia 1 bulan.
tua para peserta adalah petani 110, pedagang 17, dan pegawai Keadaan gizi 47 anak yang mengalami delayed eruption: 5
negeri sipil 8. Sebelum penelitian ini semua peserta belum pernah dengan gizi baik, 32 dengan gizi kurang, dan 10 dengan gizi
berkunjung ke UPF Gigi dan Mulut, demikian juga semua buruk (tabel 5).
orangtua peserta belum pernah mengikuti penyuluhan tentang Tabel 1. Distribusi Keluhan Utama dan Pengobatan Sebeiumnya
Usaha Kesehatan Gigi atau Perawatan rongga mulut anak.
Peserta yang lebih dahulu berkunjung ke UPF Gigi dan Pengobatan sebelumnya
No. Keluhan Utama Total
Mulut ada 3 anak, masing-masing dengan keluhan gusi sering
Antibiotik (+) Antibiotik ( )
berdarah; sedangkan yang lebih dahulu berkunjung ke UPF Ke-
1. Mencret 32 31 63
sehatan Anak sebanyak 132 anak; 63 dengan keluhan mencret, 2. Demam 18 23 41
41 dengan keluhan demam, 14 dengan keluhan tak mau makan/ 3. Tak mau makan/disusui 10 4 14
disusui, 8 dengan keluhan bisul-bisul, 2 dengan keluhan sesak- 4. Bisul-bisul 4 4 8
nafas, 2 dengan keluhan keluar cairan dari telinga, dan 2 dengan 5. Sesak nafas 1 1 2
keluhan gatal-gatal. 6. Keluar cairan dari telinga 2 – 2
7. Gatal-gatal – 2 2
Dari riwayat pengobatan sebelumnya ada 67 (49,63%) yang
8. Gusi sering berdarah – 3 3
sudah pernah memperoleh pengobatan di unit-unit Kesehatan di
luar RSU Penyabungan dan semuanya memperoleh antibiotik. Jumlah 67 68 135
(tabel 1).
Tabel 2. Distribusi angka rata-rata kebersihan rongga mulut, menurut
Pada riwayat pemberian makanan, semua anak ini telah keadaan saat diperiksa
diberikan makanan berupa bubur nasi pada usia 1–2 bulan; se-
dangkan masa menyapih berbeda-beda, ada yang pada usia 2 Sewaktu berkunjung Kebersihan rongga mulut Total
bulan sudah disapih, tetapi ada yang sampai 2 tahun masih 0.0–0.6 0.7–1.8 1.9–3
disusui (10 anak). Jumlah seluruh anak yang masih disusui 1. Disusui (+)/ASI (+) 51 8 9 68
sewaktu berkunjung sebanyak 68 anak (50;37%). 2. Disusui (-)/ASI (–) 23 19 25 67
Urutan bersaudara yang hidup dalam keluarga tiap peserta, Jumlah 74 27 34 135
yang terbanyak adalah anak pertama dan anak kedua sebanyak 63 Chi square : 22.613 df : 2 p > 0.005
orang (46,67%), kemudian anak ke tiga dan anak ke empat
Tabel 3. Distribusi angka rata-rata kebersihan rongga mulut, menurut
sebanyak 36 (26,67%), 2 di antaranya merupakan anak ke sepuluh urutan dalam keluarga dan ada/tidaknya adik peserta
yang hidup. Sedangkan yang masih mempunyai adik sewaktu
penelitian ini sebanyak 60 anak (44,44%). (tabel 3) Kebersihan rongga mulut
Hasil pemeriksaan umum dan khusus rongga mulut, pada Total
0.0–0.6 0.7–1.8 1.9–3
semua peserta tidak dijumpai adanya kelainan-kelainan konge-
Anak-I dan anak-II:
nital. Pada penilaian kebersihan rongga mulut setiap anak, tidak
1. Adik (+) 21 3 7 31
ditemui adanya kalkulus. Sehingga penilaian menggunakan 2. Adik (–) 29 2 1 32
DI-S yang merupakan komponen OHI-S. Hasilnya didapati 74 Anak-III dan anak-IV:
2 1 12 15
anak dengan angka rata-rata 0.0–0.6, 27 anak dengan angka 1. Adik (+)
rata-rata 0.7–1.8, dan 34 anak dengan angka rata-rata 1.9–3. 2. Adik (–) 12 7 2 21
Anak ke ≥ V:
Nilai kebersihan rongga mulut anak-anak yang masih disusui 1. Adik (+)
1 6 7 14
kelihatannya lebih baik dari pada anak-anak yang sudah disapih. 2. Adik (–) 9 8 5 22
(tabel 2). Kebersihan rongga mulut menurut urutan bersaudara
Jumlah 74 27 34 135
yang hidup dalam keluarga serta ada/tidaknya adik peserta,
terbaik adalah anak pertama dan anak ke dua yang tanpa adik Tabel 4. Distribusi Erupsi Gigi Sulung menurut Golongan Umur dan
yaitu 32 anak. Dari 32 anak ini 29 di antaranya dengan angka rata- Jenis Kelamin
rata 0.0–0.6 (tabel 3).
Pertumbuhan gigi sulung dinilai berpedoman pada Time of 0-12 bin 12-18 bin 18-24 bin
Total
Eruption and Shedding of Primary Teeth (American Dental 0 0 0 0 0 0
Association): pada usia 12 bulan diharapkan telah tumbuh gigi 1. Sesuai usia 5 3 13 20 31 16 88
seri (incisor). Pada usia 12–18 bulan telah tumbuh gigi seri, gigi 2. Tertunda (delayed 3 5 5 14 9 11 47
taring (cuspid), dan geraham pertama (molar pertama). Pada usia eruption)
18–24bulan diharapkan sekurang-kurangnya semua gigi sulung Jumlah 8 8 18 34 40 27 135

28
Pada pemeriksaan mukosa rongga mulut, ditemui mukosa Sedangkan kebersihan rongga mulut antara anak-anak yang
rongga mulut kering (Xerostomia) pada 105 anak (77,78%), di masih disusui dengan anak-anak yang sudah disapih, kelihat-
antaranya 63 berkunjung dengan keluhan mencret, 26 dengan annya angka rata-rata anak-anak yang masih disusui lebih baik.
keluhan demam, 14 dengan keluhan talc mau makan/disusui, dan Hal ini bisa memberi gambaran bahwa menyusui anak atau pem-
2 dengan keluhan sesak nafas. Tanda-tanda klinis adanya de- berian ASI pada anak-anak sampai usia 2 tahun mempunyai
hidrasi di antara 105 anak ini ditemui hanya pada 97 anak, se- manfaat bagi kebersihan rongga mulut.
dangkan 8 sisanya ternyata menderita Rhinitis. Sariawan (oral Pada pemeriksaan vertumbuhan gigi sulung ditemukan 47
thrush) ditemukan pada 32 anak (23,70%), dan white coated anak (34,81%) mengalami delayed eruption, dan hanya 3 anak
tongue ditemui pada 26 anak (19,26%). yang menderita malposisi gigi; sedangkan tanda-tanda klinis
Pemeriksaan tinja peserta yang berkunjung dengan keluhan penyebab delayed eruption tidak ditemui pada anak-anak yang
mencret mendapati Kandida albikans pada 28 anak (44,44%), lain. Lunt dan Law berpendapat bahwa tidak ada perbedaan
dan anak-anak ini juga menderita sariawan pada rongga mu- maturasi gigi di antara anak-anak yang berbeda ras atau keku-
lutnya (tabel 6). rangan gizi(5). Pada penelitian ini temyata 34,81% dari seluruh
Tabel 5. Distribusi Erupsi Gigi Sulung menurut Keadaan Gizi
anak yang disertakan mengalami delayed eruption.
Xerostomia ditemui pada 105 anak, dan tanda-tanda klinis
Baik Kurang Buruk Total adanya dehidrasi didapatkan hanya pada 97 anak, sisanya ter-
1. Sesuai usia 73 10 5 88
nyata menderita rhinitis. Xerostomia pada penderita rhinitis bisa
2. Tertunda (delayed 5 32 10 47 disebabkan karena bernafas melalui rongga mulut, akibatnya
eruption) mukosa rongga mulut tampak mengering.
Jumlah 78 42 15 135
ASI mengandung sejumlah laktoferin, yaitu suatu bakteri-
ostatik yang sangat kuat, yang mungkin juga efektif terhadap
p>0.005
Kandida albikans(3). Pada penelitian ini di antara peserta dengan
Tabel 6. Distribusi Peserta Diare keluhan mencret didapatkan 28 anak menderita sariawan dan
padapemeriksaan tinjanya ditemui Kandida albikans. Kelihatan-
Pemeriksaan Oral
Penderita
tinja: Kandida Thrush % nya infeksi Kandida albikans lebih banyak terjadi pada anak-
diare anak yang sudah disapih dan memperoleh pengobatan antibiotik
albikans(+) (+)
Pengobatan antibiotik (+)
sebeluinnya, dibandingkan dengan anak-anak yang masih di-
1. Disusui (+)/ASI (+) 18 3 3 16,67 susui dan belum memperoleh pengobatan antibiotik.
2. Disusui (–)/ASI (–) 14 14 14 100
Pengobatan antibiotik (–) KESIMPULAN
1. Disusui (+)/ASI (+) 16 1 1 6,25 Dari 135 anak yang disertakan dalam penelitian ini, hanya
2. Disusui (–)/ASI (–) 15 10 10 66,67 54,81% yang mempunyai angka rata-rata kebersihan rongga
Jumlah 63 28 28 44,44 mulut 0.0-0.6; perhatian ataupun pengetahuan orangtua tentang
perawatan kebersihan rongga mulut anak terutama anak usia ≤ 2
DISKUSI tahun masih kurang.
Penilaian terhadap kebersihan rongga mulut memakai pe- Pemberian ASI pada anak sampai usia 2 tahun bermanfaat
doman Simplified Oral Hygiene (OHI-S) yang terdiri dari 2 kom- bagi pemeliharaan kebersihan rongga mulut, di samping itu juga
ponen, yaitu Simplified Debris Index (DI-S) dan Simplified memiliki peran protektif terhadap infeksi Kandida albikans pada
Calculus Index (CI-S). rongga mulut dan saluran cema.
Kalkulus sangat jarang dijumpai pada bayi, dan bisa dijumpai Pengaruh keadaan gizi sebagai salah satu penyebab delayed
± 3% dari anak-anak berusia 2-4 tahun(2). Pada penelitian ini eruption masih belum jelas, memerlukan penalaran lebih lanjut.
memang tidak dijumpai adanya kalkulus, sehingga untuk penilaian
KEPUSTAKAAN
kebersihan rongga mulut digunakan DI-S.
Kurangnya perhatian orangtua terhadap kebersihan rongga 1. Lawrence AF. The oral cavity. Dalam: Behrman, Vaughan V, C. Nelson
mulut anaknya terutama anak usia < 2 tahun, bisa disebabkan Textbook of Pediatrics, Edisi 12. Philadelphia: WB Saunders Co, 1983;
oleh kurangnya pengetahuan tentang cara-cara merawat rongga Hal 874–887.
mulut anak dan pengetahuan tentang akibat kebersihan rongga 2. Carranza FA. The Epidemiology of gingival and periodontal disease.
Dalam: Glickman's Clinical Periodontology, Edisi 6. Philadelphia: WB
mulut yang buruk. Bisa juga disebabkan oleh kesibukan-kesi- Saunders Co, 1984; Hal 309–38.
bukan yang menyangkut nafkah keluarga ataupun oleh tugas- 3. Berkow R. Dental and oral disorders. Dalam: The Merck Manual of
tugas rumah tangga sebagai akibat dari terlalu dekatnya jarak Diagnosis and Therapy, Edisi 12. West Point: Merck and Dohme Research
usia anak-anak atau sebagai akibat keluarga besar. Lab, 1977; Hal 1651–71.
4. Clovano NR. Hasil-hasil perubahan tata-cara di rumah sakit dalam
Pada penelitian ini semua orangtua peserta belum pernah menyusui dan kesehatan. Direktorat Bina Gizi Departemen Kesehatan,
mengikuti penyuluhan mengenai Usaha Kesehatan Gigi atau Unicef dan Perdhaki. Hal 139–58.
Perawatan rongga mulut anak, kelihatannya anak pertama dan 5. Sanders B. Dental maturation. Dalam: Pediatric Oral and Maxillofacial
anak kedua tanpa adik kebersihan rongga mulutnya lebih baik. surgery, Edisi 1. St Louis: CV Mosby Co, 1979; Hal 41-4.

29
Diagnostik Talasemia dan
Kepentingannya
Sunarto
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
RSUP DR. Sardjito, Yogyakarta

Key words : α- and β-thalassemia – routine tests – globin synthesis and DNA analysis –
thalassemia diagnosis – thalassemia control program.

PENDAHULUAN UJI LABORATORIUM PADA TALASEMIA


Talasemia adalah anemi hemolitik herediter yang dise- Berbagai uji laboratorium diperlukan untuk diagnostik sin-
babkan oleh kurang atau tidak adanya sintesis rantai globin yang drom talasemia, mulai dari uji darah sederhana, indeks hemato-
merupakan penyusun hemoglobin (Hb). Karena ada 4 macam logik, morfologi eritrosit dan jumlah retikulosit yang semuanya
rantai globin, yaitu α, β, γ, dan σ yang merupakan penyusun Hb termasuk pemeriksaan rutin; selanjutnya fragilitas eritrosit yang
setelah lahir, maka dikenal talasemia α, β, γ, dan σ. Di samping sangat mudah untuk dilaksanakan, pemeriksaan Hb F, Hb A2, Hb
itu ada bentuk campuran, seperti talasemia αβ. Dua bentuk E dan elektroforesis yang memerlukan peralatan tidak terlalu
talasemia yang mempunyai arti klinik – karena menimbulkan canggih sampai analisis sintesis globin dan analisis DNA yang
gejala – adalah talasemia-α dan talasemia-β. Karena sifat resesif lebih canggih(2,3), beberapa di antaranya seperti tertera di bawah.
dari gena globin dan pewarisannya menurut hukum Mendel Preparat apus darah tepi sindrom talasemia menunjukkan
autosomal, maka hanya bentuk homozigot yang menimbulkan kelainan yang jelas, berupa anisositosis yang nyata, hipokromi,
masalah klinik. poikilositosis, bentuk sel tak keruan (bizarre cell), fragmented
Di samping talasemia, Hb E merupakan stigma di Asia cell, normoblas (asidofil) kadang sampai banyak sekali sehingga
Tenggara. Sebenarnya HbE homozigot hanya menunjukkan ge- mempertinggi jumlah leukosit, basophilic stippling; sel target
jala Minis anemia ringan, tetapi bila Hb E berinteraksi dengan (menyolok pada Hb E homozigot); retikulosit meningkat. Ada-
talasemia-(3 sehingga terjadi heterozigot campuran (compound nya inclusion bodies dalam eritrosit pada pengecatan dengan
heterozygote = penyakit tal.β /Hb E), maka penderita akan me- brilliant cresyl blue atau methylene blue merupakan kriteria
nunjukkan gejala klinis seperti talasemia mayor, meskipun diagnostik penyakit Hb H(1).
biasanya lebih ringan. Interaksi antar tipe talasemia atau antara Mean corpuscular volume (MCV) dan mean corpuscular
talasemia dan hemoglobinopati lain dapat kompleks sehingga hemoglobin (MCH) bersama fragilitas osmotik merupakan uji
memerlukan uji laboratorium yang kompleks pula(1). saring yang sederhana dan cepat(3). Bain(4) melaporkan pada
Dalam makalah ini akan dibicarakan uji diagnostik pada wanita hamil, MCV kurang dari 83 uu3 dapat dipakai sebagai uji
talasemia, manfaatnya untuk mengenal kasus dan dampaknya saring awal trait talasemia-β dengan sensitivitas amat tinggi.
terhadap penanggulangan talasemia. Demikian pula MCH <26uug. Sayang sekali nilai-nilai itu hanya

30
dapat diandalkan bila diperoleh dengan electronic counter. Elektroforesis juga digunakan untuk memisah-misahkan
Pemeriksaan yang setara dengan nilai MCV dan MCH adalah fragmen deozynucleic acid (DNA) dengan ukuran panjang yang
pemeriksaan mikroskopik preparat apus darah tepi dengan pe- berbeda-beda pada analisis DNA.
ngecatan Giemsa, Wright, May-Grunwald atau May-Grunwald- Kromatografi mikrokolom merupakan cara yang mudah
Giemsa. Adanya mikrositosis dan hipokromi harus mengingat- dan memuaskan untuk menentukan Hb A2 dan Hb E. Nilai
kan kita kepada trait talasemia di samping anemi defisiensi normal adalah 1,5%–3,5% dengan rerata 2,28%; pada trait
besi(2,3). talasemia-β berkisar 3,6%–7,8% dengan rerata 5,2%, sedangkan
Uji fragilitas osmotik satu tabung dengan 0,36% larutan pada Hb E homozigot berkisar antara 25% sampai 30%(2,3).
salin terbufer mudah sekali dikerjakan dan mempunyai arti yang Uji prespitasi DCIP (dichlorophenolindolphenol)
sangat penting sebagai uji saring: pada orang normal lebih dari digunakan untuk uji saring Hb E. Molekul Hb E akan mengalami
96% eritrosit akan terhemolisis, sedangkan pada penderita disosiasi dan presipitasi bila diinkubasikan dengan cat tersebut
talasemia atau trait banyak eritrosit tidak mengalami hemolisis pada 37°C. Timbulnya banyak endapan pada dasar tabung me-
osmotik(3). nunjukkan Hb E homozigot, sedangkan kekeruhan atau endapan
Inclusion bodies dalam eritrosit merupakan kelebihan globin- ringan terdapat pada Hb E heterozigot, penyakit Hb H dan
β dan dapat diperlihatkan dengan pengecatan methylene blue penyakit tal-β /Hb E. Kekeruhan juga terdapat pada normal,
(tampak bulat, terdistribusi tak rata) atau dengan brilliant cresyl defisiensi besi, trait talasemia dan hemoglobin Constant Spring
blue (tampak berukuran sama dan rata terdistribusi). Uji ini (Hb CS)(3).
merupakan kriteria diagnostik penyakit Hb H(3). Inclusion Analisis sintesis rantai globin adalah pemeriksaan laborato-
bodies juga terdapat pada talasemia-β pasca splenektomi(1). rium yang secara tegas membuktikan ketidakseimbangan pro-
Hb F diperiksa dengan memanfaatkan sifat resistennya duksi rantai globin pada talasemia. Rantai globin masih disintesis
terhadap asam dan alkali kuat. Secara mikroskopik, pada preparat oleh retikulosit, sehingga sintesis rantai itu dapat diukur secara
apus darah tepi yang dipaparkan pada larutan asam semua Hb in vitro pada eritrositdarah tepi(1,5,6,7,8). Pada prosedur ini eritrosit
kecuali Hb F akan terelusi keluar, sehingga eritrosit yang me- diinkubasikan dengan leucin radioaktif selama waktu tertentu,
ngandung banyak Hb F akan tampak oranye atau merah dengan kemudian dicuci, dilisiskan dan rantai-rantai globin dipisahkan
pengecatan eosin atau tampak biru tua dengan pengecatan amido dengan kromatografi kolom. Jumlah radioaktivitas yang terikat
black; sel yang tidak mengandung Hb F tampak pucat sehingga pada masing-masing jenis rantai globin menunjukkan besarnya
dinamakan ghost cell. Normal kurang dari 8% eritrosit memper- sintesis selama masa percobaan itu.
lihatkan pengecatan positif ringan; pada talasemia-β banyak Gambar 1 memperlihatkan analisis sintesis rantai α, β dan
sekali eritrosit tercat dengan intensitas tak sama antar sel, sedang γ pada normal dan pada talasemia(1).
pada high persistent fetal hemoglobin (HPFH) kcnaikan Hb F Analisis DNA adalah teknik pemeriksaan yang relatif baru.
merata pada semua eritrosit(2). Pemeriksaan Hb F spektrofoto- Pada prosedur ini DNA yang dianalisis bisa dari sel apa saja,
metrik metode Pembrey (modifikasi dari metode dua-menit karena setiap sel dari suatu individu mengandung semua gena/
Betke) memberi basil yang reproducible pada kadar Hb F DNA yang ada pada individu tersebut, tetapi gena tertentu hanya
0,5–50%, sedangkan untuk kadar Hb F di atas 50% metode berfungsi pada organ tertentu; misalnya gena yang menyandi
Jonxis dan Visser lebih baik(1). Hb F meninggi pada 50% trait insulin hanya berfungsi pada sel-β Langerhans, gena globin da-
talasemia-, tetapi ini tidak punya anti diagnostik. Hb F amat lam eritrosit saja yang berfungsi membentuk rantai globin. Ka-
meningkat pada talasemia-β homozigot dan pada HPFH(3). rena itu analisis DNA untuk mendeteksi mutasi pada gena globin
Elektroforesis Hb memegang pecan sangat penting pada dapat dilakukan pada leukosit polimorfonuklear, fibroblas, sel
diagnostik sindrom talasemia(1). Elcktroforesis dapat memisah- epitel pipi dan sebagainya(9), bahkan pada darah kering(10).
misahkan berbagai jenis hemoglobin. Prinsip elektroforesis adalah Terhadap DNA dapat dilakukan pemeriksaan(1,11,12) :
memanfaatkan sifatamfoter dari globin sebagai molekul protein. 1. Deteksi direk delesi gena : dengan analisis Southern blot
Rantai globin – dari Hb normal maupun abnormal – mempu- delesi gen-α pada talasemia- α° heterozigot dapat digunakan
nyai muatan listrik dengan kekuatan yang berbeda-beda. Bila probe gen-C, dan pada talasemia-α+ dan talasemia-a° homozigot
hemolisat eritrosit ditaruh dalam medan listrik, maka berbagai dengan menggunakan probe gen-α.
macam Hb akan bergerak ke arah salah satu kutub dengan 2. Deteksi direk gena mutan dengan enzim endonuklease restrik-
kecepatan yang berbeda-beda tergantung dari muatan listriknya, tif : endonuklease restriktif– suatu enzim berasal dari bakteri –
sehingga dalam waktu tertentu akan terpisah satu sama lain. memotong DNA pada tempat tertentu. Ragmen yang dihasilkan
Dalam praktek biasanya dipakai lempeng selulose asetat sebagai mempunyai ukuran bermacam-macam dan dapat dipisah-pisahkan
supporting medium, meskipun mungkin starch gel medium Iebih dengan elcktroforesis. Apabila suatu mutasi menyebabkan hi-
baik(1). langnya suatu sisi restriksi (restriction site) dalam gena, maka
Dengan elektroforesis, Hb A2, Hb E dan lain-lain Hb dapat suatu fragmen restriksi dengan ukuran berbeda akan muncul dan
ditentukan secara kuantitatif dengan cara mengelusi pita-pita ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya abnormalitas
basil elektroforesis. Prosedur ini secara teknis rumit sedang gena.
penentuan dengan densitometer (scanner) kurang dapat diandal- 3. Deteksi mutasi dengan probe oligonukletida sintetik : bila
kan(2,3). mutasi telah diketahui, maka suatu probe oligonukleotida – yaitu

31
Gambar 1. Sintesis rantai globin: pada orang normal sintesis globin-α dan -β seimbang; pada
talasemia-β globin-β << globin-α(1).

suatu untai DNA yang komplementer dengan DNA mutan – > 106 kali.
dapat disintesis. Oligonukleotida tersebut akan mengidentifikasi Suatu prosedur yang baru-baru ini dikembangkan adalah
mutan secara langsung. deteksi mutan secara langsung dengan cara amplification refrac-
4) Deteksi mutasi dengan linkage analysis : cara ini dapat di- tory mutation system (ARMS). Prinsip cara ini adalah: hanya
gunakan bila mutasi tidak dikenal. Seperti di atas, endonuklease primer yang komplementer dengan urutan DNA mutan yang
restriksi menghasilkan fragmen dengan berbagai ukuran pan- dapat mengamplifikasikan segmen DNA target(19,20). Jika mutan
jang. Beberapa tempat pemotongan adalah polimorfik dan sifat yang diteliti memang komplementer dengan primer yang di-
ini diwariskan menurut hukum Mendel; restriction fragment pakai, maka akan terjadi amplifikasi, sebaliknya tidak terjadi-
length polymorphism (RFLP). Jika lokus mutan terkait terhadap nya amplifikasi berarti mutan yang diteliti tidak komplementer
polimorfisme, maka analisis DNA dari orang tua dan lain-lain dengan primer yang dipakai, sehingga percobaan harus dilanjut-
anggota keluarga mengenai polimorfisme tcrsebut dapat meng- kan lagi dengan primer yang lain. DNA produk amplifikasi di-
identifikasi apakah anak atau janin mewarisi mutasi tersebut. elektroforesis dan selanjutnya dibaca dengan probe radioaktif
Untuk dapat dianalisis jumlah DNA harus cukup. Dari atau divisualisasikan dengan pengecatan etidium bromida.
cuplikan yang hanya sedikit, DNA dapat diperbanyak dengan Gambar 2 memperlihatkan basil analisis DNA pada talasemia-
cloning(13,14) atau dengan polymerase chain reaction (PCR). β(21).
Kloninggen memerlukan waktu sampai 10 hari, sedangkan pro- Uji-uji laboratorium di atas diperlukan sesuai dengan ke-
sedur PCR hanya memerlukan waktu beberapa jam(15,16,17,18). pcntingannya seperti dibicarakan di bawah.
Prinsip cara ini adalah: oligonukleotida sintetik yang komple-
menter dengan suatu segmen DNA/gena dapat bertindak sebagai TALASEMIA MAYOR
primgr yang dapat mengamplifikasi gena itu secara enzimatik in Diagnosis talasemia mayor khususnya talasemia-P° biasa-
vitro, sehingga dari satu untai DNA dapat diperbanyak menjadi nya tidak sulit, karena gejala kliniknya yang khas berupa kega-

32
a b

Gambar 2. Pola elektroforesis DNA hasil PCR prosedur ARMS :


i Marker OX 174 Hae III digested; ii blanko:
a. iii sampel + primer IVS1–Nt5 mutan –> amplifikasi (pita 285bp)
iv sampel + primer IVSI–Nt5 normal –> amplifikasi negatif
Kesimpulan : homozigot IVS1–Nt5mutan/IVSI–Nt5mutan
b. iii sampel + primer IVSI–Nt5 mutan –> amplifikasi (pita 285bp)
iv sampel + primer IVS1–Nt5 normal –> hasil idem
Kesimpulan : heterozigotIVSI–Nt5mu. ,n/IVS1–Nt5normal
Pita 861 bp = hasil amplifikasi dengan primer kontrol (untuk mengontrol apakah
PCR efektif).

galan pertumbuhan, anemi sedang sampai berat, mungkin ikterus memperoleh informasi, khususnya macam-macam mutasi yang
ringan, wajah mongoloid, rodent like mouth mungkin tampak, ada pada populasi/ras tertentu(20,22,23,24,25). Pola mutasi ini sangat
(hepato) splenomegali yang bisa masif; tulang mengalami per- diperlukan untuk kepentingan diagnosis prenatal.
ubahan, kortek menjadi tipis, medula porosis. Kedua orang tua
sebagai trait mempunyai Hb A2 yang meningkat. Elektroforesis TALASEMIA MINOR (HETEROZIGOT, TRAIT ATAU
memastikan ada/tidaknya HbE atau Hb patologik yang lain. PEMBAWA BAKAT
Untuk pemantauan hemosiderosis perlu pcmeriksaan kadar Talasemia minor tidak menimbulkan masalah klinis, biasa-
besi serum, kapasitas ikat besi (IBC) laten, kadar feritin. Pe- nya anemi ringan, kadar Hb rata-rata 1–2 g% di bawah nilai
nimbunan besi pada jaringan dapat dilihat dari pungsi sumsum normal, indeks hematologik menunjukkan volume rata-rata
tulang. eritrosit (MCV) dan hemoglobin per eritrosit rata-rata (MCH) di
Penderita penyakit tal-R/HbE umumnya memperlihatkan bawah normal(4) seperti anemia defisiensi besi. Diagnosis tala-
gejala sama dengan talasemia mayor, meskipun lebih ringan. semia minor diperlukan untuk mcnerangkan atau meramalkan
Pada elektroforesis ditcmukan HbF meningkat dan pita Hb E. pola pewarisan pada keluarga dan untuk kepentingan konsultasi
Diagnosis talasemia mayor dan Hb E cukup dengan uji pranikah. Gambar 3 memperlihatkan tata alir penelusuran diag-
laboratorium rutin, kadar Hb F, anal isis HbA2 pada orang tua dan nosis trait talasemia.
mungkin elektroforesis. Dalam praktek analisis sintesis globin
tidak dikerjakan terhadap penderita talasemia, tetapi analisis TALASEMIA INTERMEDIA
DNA penderita banyak dilakukan karena diperlukan untuk Ini suatu istilah klinis untuk bentuk talasemia dengan ber-

33
Gambar 3. Pola uji saring talasemia di lapangan(3)

bagai variasi spektrum klinik. Genotipik dapat : talasemia-β+, Bila telah diketahui macam-macam mutasi genetik dalam
talasemia-σβ dan HPFH, interaksi talasemia-σβ atau dengan suatu populasi maka dengan menggunakan primer ARMS yang
Hb S, C, E dan lain-lain, talasemia-β heterozigot berat, tala- sesuai adanya mutasi gen dapat diketahui dengan mudah dan
semia-α, interaksi talasemia-α dengan -β talasemia-α atau -β cepat(19,20).
dengan komplikasi kelainan akuisita(1). Untuk diagnosis kasus-
kasus demikian diperlukan analisis DNA dan penelusuran DAMPAK TERHADAP PENANGGULANGAN
pedigree(1,2). Kemajuan diagnostik talasemia telah memberi manfaat yang
nyata pada program penanggulangan talasemia, terutama dalam
DIAGNOSIS PRENATAL pencegahan lahirnya bayi talasemia homozigot. Prevensi tala-
Pada penanggulangan talasemia diagnosis prenatal sangat semia pada mulanya tidak efektif, hanya dengan upaya menu-
penting peranannya. Diagnosis prenatal dapat dilakukan dengan: runkan lahirnya talasemia homozigot dengan mengubah pola
1) analisis sintesis globin in vitro, 2) analisis DNA(9). perkawinan antar heterozigot. Studi di Eropa dan Mediterania
Dari 0,5 ml darah fetal yang diperoleh pada fetal blood pada tahun 70-an telah membuktikan bahwa penanggulangan
sampling dapat dilakukan analisis sintesis rantai globin. Analisis talasemia dengan menyertakan diagnosis prenatal amat efektif(9).
sintesis globin merupakan uji yang sangat reliabel, sampai 99% Diagnosis antenatal telah mengurangi 50% kelahiran talasemia
ketepatan(9); sayang fetal blood sampling baru dapat dilaksanakan homozigot di Yunani, 60% di Sardinia, 92% di Cyprus, 90% di
setelah minggu ke-16 kehamilan. Pada janin 9–22 minggu rasio Italia utara dalam 5 tahun(27,28). Dengan dicapainya kemajuan
0/y normal adalah > 0,10, pada trait talasemia-(3 dan trait HbE dalam diagnostik pada trimester pertama kehamilan, 99% dari
0,06–0,10, pada talasemia-β homozigot dan tal-β /HbE 0,03– pasangan di Sardinia mau menerima diagnosis prenatal sebagai
0,04, pada HbE homozigot 0,045(18). cara untuk memantau janin yang menderita talasemia(29).
Penelitian molekular hemoglobin telah demikian maju,
sehingga struktur molekular dan urutan DNA Hb normal dan
berbagai Hb patologik telah diketahui(12,26). Ini membawa dam- KESIMPULAN
pak yang sangat penting bagi diagnosis prenatal, karena dengan Kemajuan dalam pemahaman patogenesis talasemia, struktur
ini dimungkinkan menganalisis cuplikan jaringan janin yang molekular Hb dan kemajuan teknik laboratorium telah mem-
dapat diperoleh pada trimester pertama (minggu ke-8) kehamilan bawa kemajuan besar dalam diagnostik talasemia. Diagnostik
dengan chorionic villus sampling (CVS). Dengan prosedur PCR, talasemia makin tinggi sensitivitas dan spesifisitasnya, makin
sejumlah amat kecil dari cuplikan itu dapat diamplifikasi untuk mudah dilaksanakan dan makin praktis untuk dilaksanakan baik
dianalisis. Prosedur diagnosis ini memerlukan waktu hanya untuk kepentingan klinik maupun lapangan. Diagnosis prenatal
12–24 jam(18,19). Cara ini dapat digunakan untuk mendeteksi bermanfaat besar dan selanjutnya membawa dampak keberhasil-
hidrop fetalis Hb Bart dan mutasi talasemia-β. an mencegah kelahiran talasemia homozigot.

34
KEPUSTAKAAN 15. Saiki RK, Gelfand DH, Stoffel Set al. Primer directed enzymatic amplifi-
1. Weatherall DJ, Clegg JB. The Thalassemia Syndromes. 3rd ed. London: cation of DNA with a thermostable DNA polymerase. Science 1988; 239:
Blackwell Scient Publ, 1980. 487-91.
2. Kaufman RE. Analysis of abnormal hemoglobins. In: Kocpke, JA. eds. 16. Amheim N, Levenson CH. Polymerase chain reaction. C and En: Special
Practical Hematology. 1st ed. New York: Churchill Livingstone Inc, 1991. Report 1989; 17: 36-47.
pp 251-294. 17. Wong C, Dowling CE, Saiki RK, Iliguchi RG, Erlich HA, Kazazian Jr HH.
3. Organizing Committee (eds). Manual of Laboratory Diagnosis. Workshop Characterization of 5-thalassemiamutations using direct genomic sequenc-
on Laboratory Diagnosis of Thalassemia and Hemoglobinopathies Includ- ing of amplified single copy DNA. Nature 1987; 330: 384-6.
ing Prenatal Diagnosis. Jakarta, 1992. 18. Fucharoen S, Winichagoon P, Thonglairoam V et al. Prenatal diagnosis of
4. Bain JB. Screening of antenatal patients in a multiethnic community for β thalassemia and hemoglobinopathies in Thailand : Experiences from 100
thalassemia trait. J Clin Pathol 1988; 41: 481-5. pregnancies. Southeast Asian J Trop Med Publ Health 1991; 22: 16-29.
5. Conconni F, Bargellesi A, Del Senno L, Menegatti E, Pontremoli S, Russo 19. Old JM, Varawalla NY, Weatherall DJ. Rapid detection and prenatal
G. Globin chain synthesis in Sicilian thalassemic subjects. Brit J Ilaematol diagnosis of 13-thalassemia: studies in Indian and Cypriot populations in the
1970; 19: 469-75. UK. Lancet 1990; II: 834-37.
6. Friedman SI-I, Schwartz E, Ahem V, Ahem E. Globin synthesis in the 20. Varawalla NY, Old JM, Sarkar R, Venkatesan R, Weatherall DJ. The
Jamaican Negro with 13-thalassemia. Brit J Haematol 1974; 28: 505-13. spectrum of β-thalassemia mutations on the Indian subcontinent: the basis
7. Kazazian HH, Ginder GD, Snyder PG, Van Beneden RJ, Woodhead AP. for prenatal diagnosis. Brit J Haematol 1991; 78: 242-7.
Further evidence of quantitative deficiency of chain-specific globin mRNA 21. Lani F.DeteksiMutasiGenaPenderitaThalasemia-β di RSUP DR Sardjito
in thalassemia syndromes. Proc Nall Acad Sci USA 1975; 72: 567-71. Yogyakarta. Tesis S2 - UGM 1991.
8. Nienhuis AW, Turner P, Benz Jr EJ. Relative stability of a- and (l-globin 22. Winichagoon P, Fucharoen S, Thonglairoam V, Tanapotiwirut V, Wasi P.
messengerRNAs in homozygous β+ -thalassemia. Proc Natl Acad Sci USA β-thalassemia in Thailand Ann NY Acad Sci 1990; 612: 31-42.
1977; 74: 3960-64. 23. Winichagoon P, Thonglairoam V, Fucharoen S, Tanpaichito VS, Wasi P.
9. Wong HB. Prenatal diagnosis of some haematological genetic diseases. α-thalassemia in Thailand. Hemoglobin 1988; 12: 485-98.
Konas V PHTDI - Semarang, 1986. 24. Chan V, Chan TK, Chebab FF, Todd D. Distribution of β-thalassemia
10. Huang SZ, Zhou XD, Zhu H, Ren ZR, Zeng YT. Detection of β thalassemia mutations in South China and their association with haplotypes. Hum Genet
mutations in Chinese using amplified DNA from dried blood specimens 1987; 41: 678-85.
Hum Genet 1989; 84: 129-31. 25. Lie-Injo LE, Cai SP, Wahidiyat I et al. β-thalassemia mutations in Indonesia
11. Todd D, Chan V. The thalassemia an update. Med Progr 1989; 16: 51-62. and their linkage to β-haplotype. Am J Hum Genet 1989; 45: 971-5.
12. Bunn HF, Forget BG. Hemoglobin : Molecular, Genetic and Clinical 26. Vogel F, Motulsky AG. Human Genetics Problem and Approaches. 2nd ed.
Aspects. 1st ed. Philadelphia: WB Saunders Co, 1986. pp 225-305. Berlin: Springer-Verlag, 1986.
13. Chan F, Chan TK, Kn YW, Todd D. A novel β -thalassemia frameshift 27. WHO. Community control of hereditary anaemias: Memorandum from
mutation (codon 14/15), detectable by direact visualization of abnormal WHO meeting. Bull WHO 1983; 61:63-80.
restriction fragment in amplified genomic DNA. Blood 1988; 72: 1420-3. 28. Angastiniotis MA, Hadjiminas MG. Prevention of thalwemia in Cyprus.
14. Fucharoen S, Kobayashi Y, Fucharoen G et al. A single nucleotide deletion Lancet 1981; I: 369-71.
in codon 123 of β-globin gene cat ses an inclusion body β-thalassaemia 29. Clegg JB. Prenatal diagnosis of haemoglobinopathies. Semiloka Tha-
trait : a novel elongated globin chain βMakabe. Brit J Haematol 1990; 75: lassemia : Thalassemia Sebagai Masalah Kesehatan. Yogyakarta, 1993.
393–9.

Lack of money is the root of alt evil


(Mark Twain)

35
Penggunaan Imunoglobulin
Dosis Tinggi pada Purpura
Trombositopenik Idiopatik Khronik Anak
Charles Darwin Siregar
Rumah Sakit Umum Penyabungan, Kabupaten Tapanuli Selatan Sumatera Utara

ABSTRAK

Immunoglobulin dosis tinggi yang diberi intravena telah digunakan pada pengobat-
an Purpura Trombositopenik Idiopatik Anak, dan keberhasilannya telah dilaporkan.
Dibandingkan dengan splenektomi, walaupun secara umum belum digunakan pada
pengobatan kasus-kasus Purpura Trombositopenik Idiopatik Anak, Immunoglobulin
telah memperlihatkan kesanggupannya sebagai satu cara pengobatan baru pada Purpura
Trombositopenik Idiopatik kronik anak.

PENDAHULUAN secara kebetulan berupa purpura dan epistaksis, umumnya


Purpura Trombositopenik Idiopatik (PTI) adalah suatu ke- ditemui pada usia lebih dari 10 tahun(2,8).
lainan yang mempunyai ciri khas bcrupa : trombositopenia, Insidens penyakit ini belum dikctahui dan di Indonesia
jumlah megakariosit normal atau meningkat, dan tidak ditemui laporan mengenai PTI masih jarang sekali.
keadaan-keadaan yang mungkin merupakan pcnycbab seperti Splenektomi masih mcrupakan cara pengobatan terpilih
reaksi obat, infeksi aktif, DIC, splenomegali dan penyakit-penya- PTI kronik anak meskipun prosedur pclaksanaannya memerlu-
kit jaringan ikat(1,2). kan banyak pertimbangan seperti adanya indikasi-kontra dan
Sejak Paul Gottlieb Werlhof melukiskan gambaran penyakit penyulit yang mungkin terjadi. Ternyata ± 15–20% penderita
PTI ini dan menamakannya Morbus Maculous, penelitian pasca splenektomi masih tetap dalam keadaan trombositopenia(1,2).
mengenai penyebab yang spesifik masih terus berlanjut. Dalam Penelitian mengenai penyebab yang spesifik serta mekanisme
tiga dekade terakhir ini telah dapat diketahui bahwa penyebab- terjadinya trombositopenia pada PTI masih belum berakhir, dan
nya berkaitan erat dengan proses imun dalam tubuh(3,4), dan se- sekarang ini telah diperoleh satu cara pengobatan PTI kronik
karang ini Purpura Trombositopenik Idiopatik telah suing di- anak dengan mcnggunakan Immunoglobulin dosis tinggi(9,10,11).
sebut sebagai Purpura Trombositopenik Immun(5,6). Penggunaan Immunoglobulin dosis tinggi telah merupakan
Penyakit PTI mempunyai 2 bentuk, yang akut dan kronik. suatu altematif lain di samping splenektomi.
Bentuk akut lebih sering terjadi pada anak, dan biasanya pada Dalam tulisan ini akan diuraikan bcberapa hal sehubungan
usia 2–6 tahun, atau rata-rata di bawah 10 tahun(7,8). Perbanding- dengan splcncktomi dan pcnggunaan Immunoglobulin dosis
an anak laki-laki dan anak perempuan adalah 1:1(1,2). Kira-kira tinggi pada penanganan PTI kronik anak.
80% bentuk akut mengalami remisi spontan setclah 4–6 minggu
perjalanan penyakit. Beberapa kasus remisi dalam 6 bulan, dan PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
sisanya setelah 6–12 bulan, bahkan ada yang berulang atau tidak Trombositopenia pada PTI disebabkan terjadinya kerusak-
pemah mengalami remisi sama sekali, sehingga menjadi kronik(4,9). an yang berlebihan dari trombosit sedangkan pembentukannya
Bentuk kronik lebih sering terjadi pada orang dewasa, sedangkan normal atau meningkat(5,8). Kerusakan ini mungkin disebabkan
pada anak bisa merupakan lanjutan dari bentuk akut; ditemukan oleh faktor yang heterogen, sampai saat ini belum diperoleh ke-

36
sepakatan mengenai mekanismenya. Harrington (1951) menyim- DIAGNOSIS
pulkan bahwa kerusakan trombosit disebabkan adanya Humoral Umumnya pasien dibawa berobat dengan keluhan bercak-
antiplatelet factor di dalam tubuh(8), yang saat ini dikenal sebagai bercak perdarahan pada kulit anggota gerak berupa petekia,
PAIgG atau Platelet Associated IgG(12,13,14). Court dan kawan- ekimosis atau memar. Kadang-kadang berupa epistaksis, dan
kawan telah membuktikan bahwa PAIgG meningkat pada PTI, perdarahan gusi atau saluran pencernaan dan saluran kemih.
sedangkan Lightsey dan kawan-kawan menemukan PAIgG lebih Pada bentuk akut biasanya didahului oleh infeksi virus 1-6
tinggi pada PTI akut dibanding bentuk kronik. Hal ini menunjuk- minggu sebelumnya(2,9); sedangkan pada bentuk kronik bisa
kan bahwa terdapat perbedaan mekanisme kerusakan trombosit merupakan lanjutan bentuk akut, atau ditemukan secara kebe-
pada bentuk akut dan kronik(5,8). tulan sewaktu datang berobat dengan keluhan lain (Tabel 1).
PAIgG diproduksi oleh limpa dan sumsum tulang. Kenaik-
an produksi PAIgG adalah akibat adanya antigen spesifik ter- Tabel 1. Perbedaan gambaran klinis PTI akut dan kronik(1)
hadap trombosit dan megakariosit dalam tubuh (Gambar 1).
Akut Kronik
Pada bentuk akut antigen spesifik diduga bersumber dari infeksi
virus yang terjadi 1-6 minggu sebelumnya. Antigen ini bersama dewasa
Usia terbanyak 2–6 tahun
PAIgG membentuk kompleks antigen-antibodi, dan selanjutnya Predileksi kelamin sama
wanita lebih banyak
melekat di permukaan trombosit. Perlekatan ini menyebabkan jarang
Infeksi terdahulu (+), 1–6 minggu
trombosit akan mengalami kerusakan akibat lisis atau peng- Permulaan serangan sebelumnya
tersembunyi
hancuran oleh sel-sel makrofag di RES yang terdapat di hati, perdarahan tiba-tiba
Bullae hemorrhagik
limpa, sumsum tulang dan getah bening(8). Kerusakan yang di mulut (+), kasus
biasanya (–)
demikian cepat dan jumlah yang besar menyebabkan terjadinya Lama sakit berat
berbulan/bertahun
trombositopenia yang berat diikuti manifestasi perdarahan. Eosinofilia dan 2–6 minggu
jarang
Limfositosis sering
Remisi spontan 80% kasus
sering naik/turun

Pada pemeriksaan fisik umumnya si anak tak tampak sakit,


kecuali adanya petekia atau perdarahan gusi. Organomegali
umumnya tidak dijumpai.
Pada pemeriksaan laboratorik, test Rumpel Leede (+), hitung
trombosit sangat rendah, waktu perdarahan memanjang dan
retraksi bekuan abnormal. Sedangkan basil pemeriksaan punksi
sumsum tulang memberi gambaran megakariosit normal atau
bertambah.
Secara klinis dapat dibagi dalam 3 tingkat(8):
Gambar 1. Mekanisme terjadinya trombositopenia pada PTI. Ringan : hanya petekia.
Sedang : ekimosis, epistaksis dan gross hematuria.
Bentuk PTI kronik bisa merupakan kelanjutan dari bentuk Berat : purpura berat, atau perdarahan retina.
akut. Pada bentuk kronik ini ternyata PAIgG tetap tinggi walaupun
kompleks antigen-antibodi dikeluarkan dari tubuh, meskipun DIAGNOSIS BANDING DAN PENYULIT
tidak setinggi pada bentuk akut. Keadaan demikian diduga ber- Pemeriksaan punksi sumsum tulang merupakan pemeriksaan
hubungan eratdengan konstitusi genetik yang spesifik dari sistim yang panting untuk membedakan dengan penyebab trombosi-
immunologik penderita, dimana peninggian PAIgG disebabkan topenia lain, seperti Anemia Aplastik, Leukemia Limfatik Akut,
adanya autoantigen pada membrana trombosit atau oleh antigen dan Purpura Trombositopenik Trombotik(1).
spesifik yang melekat pada permukaan trombosit(14,15,16) (Gam- Penyulit yang mungkin terjadi pada PTI kronik antara lain
bar 2). Selain oleh konstitusi genetik spesifik, peninggian PAIgG adalah perdarahan saluran cema, perdarahan saluran kemih,
bisa juga disebabkan oleh kelainan pada mekanisme immuno- sindrom disfungsi serebral minimal, dan perdarahan kapiler
logik sehingga pembentukan PAIgG terus berlanjut(8). intrakranial(1).

PENATALAKSANAAN PTI KRONIK ANAK


Selama ini splenektomi masih merupakan cara terpilih da-
lam pcnanganan.PTI kronik. Saat ini telah dilaporkan oleh be-
berapa peneliti tentang manfaat penggunaan Immunoglobulin
dosis tinggi pada PTI kronik anak. Apakah penggunaan Immuno-
A B globulin dosis tinggi pada PTI kronik dapat menggantikan tindak-
Gambar 2. Autoantigen membrana trombosit (A), dan Antigen spesifik an splenektomi, atau hanya sekedar melengkapi kekurangan
pada permukaan trombosit (B). yang terdapat pada splenektomi; untuk menilainya berikut ini
diuraikan kedua cara pengobatan tersebut.

37
dapati perdarahan berat. Dalam hal ini diberikan ± 3 minggu
Splenektomi sebelum splenektomi dilaksanakan(11).
1) Mekanisme kerja: Seperti telah diketahui, limpa merupakan 5) Dapat diberikan pada penderita berobat jalan(19).
salah satu organ pembentuk PAIgG, dan sebaliknya juga me- Di samping indikasi di atas ternyata Immunoglobulin ini
rupakan tempat penghancuran PAIgG tersebut. Dengan diangkat- juga bermanfaat pada kasus PTI akut dan Isoitnmune Neonatal
nya limpa diharapkan pembentukan PAIgG berkurang, dan peng- Thrombo cytopenia(21,23).
hancuran PAIgG atau trombosit di limpa tidak ada lagi; akibat- Indikasi-kontra: sampai saat ini belum diperoleh laporan tentang
nya trombosit meningkat, dan permeabilitas kapiler mengalami indikasi-kontra penggunaan Immunoglobulin.
perbaikan(1,2,8). Pengamatan dan penilaian:
2) Indikasi: Berdasarkan perbaikan klinis dan hitung trombosit yang
a) PTI kronik yang sedang dan berat(1,17) dinilai secara berkala setiap 2-4 minggu. Hasil yang diperoleh
b) PTI kronik yang diobati secara konservatif ternyata gagal tergantung pada respons penderita, biasanya remisi lengkap
mencapai remisi setelah 6-12 bulan, atau mengalami relaps 2–3 dicapai dalam 6-12 minggu(10,11,22).
kali dalam setahun, atau tidak memberi respons terhadap peng- Selama pemberian Immunoglobulin efek samping yang bisa
obatan konservatif(1,2,8). terjadi antara lain sakit kepala, vertigo, mual dan muntah(18).
3) Indikasi-kontra(2,8): Keterangan tentang adanya penyulit pada pemberian
a) Penderita PTI kronik yang juga menderita penyakit akut Immunoglobulin belum diperoleh.
atau berat lainnya. Cara dan dosis pemberian:
b) Penderita PTI kronik disertai penyakit jantung atau hal lain Pemberian I : 1–1,5 gram/KgBB/hari intravena, selama 1-4
yang merupakan indikasi-kontra bagi setiap tindakan bedah. jam, diberikan dalam 3-5 han berturut-turut.
c) Usia kurang dari 2 tahun, sebab kemungkinan terjadinya Ulangan : 1-1,5 gram/KgBB intravena, diberikan dengan
infeksi berat atau sepsis sangat besar. interval 1-2 minggu(10,11,12).
4) Pasca splenektomi: Sediaan Immunoglobulin yang telah digunakan antara
a) Penilaian terhadap basil splenektomi menurut perbaikan lain : Gammabulin Immuno dan Endobulin (Vienna, Austria),
klinis dan hitung trombosit dilakukan 6-8 minggu kemudian. Sandoglobulin (Basel, Swiss), Gammagard dan Gamimune
Dan basil yang diperoleh ternyata ± 80% mengalami remisi (California, USA)(10,11,22).
sempurna(8,9,17). Biaya pengobatan:
b) Penyulit pasca splenektomi: Pada masa kurang dari 2 minggu Bussel (1985) telah menghitung biaya yang diperlukan
berupa sepsis dan perdarahan, sedangkan lebih dari 2 minggu menurut harga di New York yaitu ± $ 50 untuk setiap 1 gram
berupa penyakit infeksi berat(2,9). Immunoglobulin. Menimbang biaya yang masih tinggi ini para
4. Biaya splenektomi: tergantung pada keadaan setempat. ahli sependapat untuk belum menganjurkan Immunoglobulin
sebagai protokol rutin dalam menangani kasus PTI kronik
Immunoglobulin anak(10,19).
Preparat Immunoglobulin yang digunakan mengandung
lebih dari 95% gamma-globulin dalam bentuk monomerik. KESIMPULAN
Meskipun kesimpulan akhir mekanisme kerjanya belum Setelah membandingkan splenektomi dengan penggunaan
terungkap, tetapi ada beberapa pendapat yang telah dikemuka- Immunoglobulin dosis tinggi dalam menangani kasus PTl kronik
kan yaitu : anak, ternyata Immunoglobulin telah memperlihatkan ke-
1) Melindungi permukaan trombosit, membungkusnya dengan sanggupannya sebagai satu pengobatan baru pada PTI kronik
Immunoglobulin non spesifik, sehingga PAIgG, antigen spesi- anak.
fik, ataupun antigen-antibodi tidak dapat melekat pada per- Akan tetapi pengobatan bukanlah suatu hal yang berdiri sen-
mukaan trombosit(11,18). diri; mengingat biaya yang masih tinggi, penggunaan Immuno-
2. Menurunkan produksi PAIgG(10,11). globulin dosis tinggi ini belum dianjurkan sebagai protokol
3. Memblokade Fc reseptor di RES(10,18) rutin dalam menangani kasus PTI kronik anak.
4. Dapat mengatasi penekanan trombopoetik yang disebabkan
oleh kortikosteroid apabila pengobatan konservatif sebelumnya KEPUSTAKAAN
telah menggunakan preparat ini(19,20). 1. Wintrobe MM. Quantitative variations of platelets in diseases : Throm-
Indikasi: bocytopenia and thrombocytosis. In: Clinical Hematology, 7th ed. Phila-
delphia, Tokyo: Lea & Febiger, Igaku Shoin Ltd. 1974. pp. 1075-88.
1) PTI kronik atau berulang pada anak(10,11) 2. Wyngaarden JB, Smith CH. Quantitative platelet disorders. In: Cecil. vol I,
2) PTI kronik dengan indikasi-kontra splenektomi. 16th ed. Philadelphia: WB Saunders Co. Igaku Shoin. 1982. pp. 981-8.
3) Penderita PTI yang telah menjalani splenektomi, ataupun 3. Hutchinson JH. Idiopathic thrombocytopenic purpura. In: Practical Pe-
pengobatan konservatif dimana remisi sempuma tidak diatric Problems. 5th ed. Lloyd-Luke PG. Asian Economy Edition, 1984.
pp. 474-5.
terca-pai(18,21,22). 4. Krupp MA, Chatton MJ. Idiopathic thrombocytopenic purpura. In: Current
4) Sebagai persiapan pra bedah terutama bila sebelumnya di- Medical Diagnosis & Treatment. Maruzen Asian Ed. Singapore: Lange.

38
Maruzen. 1984. pp. 140-1. in childhood idiopathic thrombocytopenic purpura. J Pediatr 1983; 102:
5. Court WS, Bozeman JM et al. Platelet surface-bound IgG in patients with 366.
immune and nonimmune thrombocytopenia. Blood. 1987; 69: 278. 15. McIntosh S, Johnson C et al. Immunoregulatory abnormalities in children
6. Lightsey AL, Koenig HM, Mc Milian R, Stone JR. Platelet-associated with thrombocytopenic purpura. J Pediatr 1981; 99: 525.
immunoglobulin G in childhood idiopathic thrombocytopenic purpura. J 16. Ware Russel, Kinney TR, Rosso W. Platelet antibody in prolonged re-
Pediatr 1979; 94: 201. mission of childhood idiopathic thrombocytopenic purpura. J Pediatr 1985;
7. Petersdorf RG, Adams RD et al. Idiopathic thrombocytopenic purpura. In: 107: 908.
Harrison's Principles of Internal Medicine. 10th Ed. New York: McGraw's 17. MacPherson AIS, Richmod J. Planned splenectomy in treatment of idiopa-
Hill International Book Co. 1983; pp. 1895-6. thic thrombocytopenia purpura. Br Med J 1975; 1:64.
8. Stuart MJ, McKenna R. Diseases of coagulation : The platelet and vascu- 18. Imbach P, Berchtold W et al. Intravenous immunoglobulin versus oral
lature. In: Nathan DE, Oski FA (Eds). Hematology of infancy and child- corticosteroids in acute immune thrombocytopenic purpura in childhood.
hood, 2nd Ed. Philadelphia: WB. Saunders 1981. pp. 1234-59. Lancet 1985; 31: 464.
9. Pearson HA. Diseases of blood : Purpura. In: Behrman RE, Vaughan VC. 19. Buchanan GR. Childhood acute idiopathic thrombocytopenic purpura:
Nelson Textbook of Pediatrics, 12th Ed. Philadelphia: WB. Saunders Co. How many test and how much treatment required. J Pediatr 1985; 106: 6.
1983; 102: 366. 20. Engelhard D, Waner JL, Kapoor N, Good RA. Effect of intravenous
10. Bussel JB, Schulman I, Hilgartner MW, Barundun S. Intravenous use of immunoglobulin on natural killer cell activity : Possible association with
gammaglobulin in treatment of chronic immune thrombocytopenic purpura autoimmuneneutropenia and idiopathic thrombocytopenia. JPediatr 1986;
as a means to defer splenectomy. J Pediatr 1983; 10: 103. 108: 77.
11. Carrot RR, Noyes WD, Kitchens CS. High-dose intravenous immunoglo- 21. Bussel JB, Gioldman A, Imbach P, Schulman I, Hilgartner MW. Treatment
bulin therapy in patients with immune thrombocytopenic purpura. JAMA of acute idiopathic thrombocytopenic of childhood with intravenous in-
1983; 249: 1748. fusions of gammaglobulin. J Pediatr 1985; 106: 886.
12. Blumberg N, Masel D, Stoler M. Disparities in estimates of IgG bound to 22. Fehr J, Hofman V, Kappeler U. Transient reversal of thrombocytopenia in
normal platelets. Blood 1986; 67: 200. idiopathic thrombocytopenic purpura by high-dose intravenous gammaglo-
13. Cheung N-KV, Hilgartner MW, Schulman I, McFall P, Glader BE. Platelet bulin. N Engl J Med 1982; 306: 1254.
associated immunoglobulin G in childhood idiopathic thrombocytopenic 23. Chirico G, Duse M, Ugazio A, Rondin G. High-dose intravenous gamma-
purpura. J Pediatr 1983; 102: 366. globulin therapy for passive immune thrombocytopenia in the neonate. J
14. Nai Kong VC, Hilgartner MW et al. Platelet associated Immunoglobulin G Pediatr 1983; 103: 654.

English Summary
HIGH DOSES OF IMMUNOGLO- High doses of Immunoglobulin
BULIN IN THE TREATMENT OF IDIO- administered intravenously have
PATHIC THROMBOCYTOPENIC been found useful in the treat-
PURPURA IN CHILDREN ment of Chronic Idiopathic
Thrombocytopenic Purpura in
Charles Darwin Siregar children, and successful treat-
Penyabungan General Hospital, South ment have been reported.
Tapanuli, North Sumatra, Indonesia
High doses of Immunoglobulin
was compared with splenec-
tomy; although it has not yet
become generally accepted,
appears to represent a promising
new therapeutic approach for
Chronic Idiopathic Thrombocy-
topenic Purpura in children.

Cermin Dunia Kedokt. 1993; 86: 36-9


Cds

39
Lupus Eritematosus Sistemik
laporan kasus
Julia K Kadang, Julius Roma Andilolo
Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Rumah Sakit Umum Ujung Pandang, Ujung Pandang

PENDAHULUAN Berikut ini dilaporkan satu kasus lupus eritematosus sis-


Lupus eritematosus (LE) pada mulanya disangka hanya temik yang dirawat di rumah sakit Pelamonia Ujung Pandang.
merupakan penyakit kulit. Baru dalam tahun 1872 Kaposi secara
umum mengemukakan bahwa LE dapat bersifat sistemik(1,2). LAPORAN KASUS
Lupus eritematosus sistemik atau systemic lupus erythematosus H, anak laki-laki, berumur 10 tahun tinggal di Kendari,
(SLE) merupakan salah satu bentuk dari dua bentuk umum LE. masuk Bagian Anak RS Pelamonia Ujung Pandang tanggal 11
Bentuk lain adalah lupus eritematosus diskoid atau discoid lupus Oktober 1990 dengan riwayat pcnyakit: Timbul bercak keme-
erythematosus (DLE) yang hanya memperlihatkan manifestasi rahan pada kedua pipi yang disertai demam sejak 3 bulan lalu.
kulit dan jarang ditemukan pada anak-anak(3,4). Lupus eritema- Demam tidak terus menerus, t.idak kejang, tidak menggigil.
tosus merupakan suatu penyakit autoimun dengan terdapatnya Bercak merah tersebut meluas ke leher, belakang telinga,
berbagai macam autoantibodi, walaupun peranannya tidak jelas punggung, lengan bawah dan kcdua tungkai. Di atas bercak
pada LE yang diinduksi oleh obat-obatan(2,3,5). merah terjadi sisik-sisik halus. Satu bulan setelah adanya bercak
Prevalensi SLE sangat bervariasi, scmua suku bangsa dapat kemerahan, kedua sendi siku dan lutut bengkak dan nyeri. Scring
terkena tetapi lebih sering pada ras kulit hitam dan ada tendensi pilek dan sakit menelan. Tidak batuk. Nafsu makan menurun,
familier(2,3,6). buang air besar dan buang air kecil biasa. Sakit ini diderita per-
Insidens tidak diketahui, dapat ditemukan pada semua usia. tama kalinya, riwayat keluarga yang sakit seperti ini disangkal.
Dua puluh persen kasus SLE mulai pada masa anak-anak, biasa- Riwayat alergi terhadap obat-obatan tidak jelas. Penderita sering
nya anak yang telah berusia lebih dari 8 tahun. Menyerang ter- kontak dcngan sinar matahari cukup lama. Sudah berobat di RS
utama perempuan dengan perbandingan perempuan dan lelaki Kendari, diberi obat prednison.
8 : 1(3,7). Pada pemeriksaan fisik anak tampak sakit sedang, gizi baik
Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (BB 19 kg, TB 115 cm), kontak baik. Suhu rekta138,3°C. Nadi
(ARA) menetapkan suatu kriteria untuk diagnosis SLE, yaitu : 88 x/menit, teratur, berisi. Pernapasan 32 x/mcnit, torakoabdo-
1) ruam di daerah malar (butterfly rash), 2) lesi diskoid, minal. Tekanan darah 100/70 mmHg.
3) fotosensitivitas, 4) ulserasi mulut atau nasofaring, 5) artritis, Kepala : Rambut kering, kasar, alopesia (+). Bibir pecah-pecah
6) serositis (efusi pleura, efusi perikard), 7) kelainan ginjal (pro- dan kering. Ada stomatitis.
teinuri, sindrom nefrotik), 8) kelainan neurologik (kejang, Toraks : Jantung dan paru dalam batas-batas normal.
psikosis), 9) kelainan hematologik (anemi, lekopeni, limfopeni, Abdomen : Hati teraba 3 cm x 2,5 cm, konsistensi kenyal,
trombositopeni), 10) kelainan imunologik (sel LE positif, titer permukaan rata, pinggir tajam dan tidak nyeri tekan.
anti-DNA abnormal), 11) titer ANA positif. Kriteria ini meru- Anggota gerak : Sendi-sendi siku dan lutut nyeri pada perabaan
pakan perbaikan dari kriteria lama tahun 1971. Diagnosis SLE dan pergerakan terbatas.
dapat ditegakkan jika pada sātu periode pengamatan ditemukan Kelenjar limfe : Pembesaran kelenjar inguinal kiri dan kanan (+).
4 atau lcbih dari 11 butir kriteria ARA tersebut, baik secara Kulit : Pada kedua pipi menyebcrang hidung terdapat efloresensi
berturut-turut maupun serentak(2,8). eritematous berbentuk kupu-kupu yang berbatas tegas (butterfly

40
rash) dan ditutupi oleh squama halus. Pada daerah belakang 46. Keadaan umum baik, nyeri dada (–), nyeri sendi (–), demam
telinga, leher, dada bagian atas, punggung, punggung kedua (–). Moon face (+). Eritema sangat berkurang, hiperpigmentasi
lengan bawah dan kedua tungkai juga ada efloresensi eritema- (+), squama (+). Hati 1,5 cm x 1 cm.
tous berbatas tidak tegas yang ditutupi oleh squama halus. Pada Pengobatan : Prednison mulai di taper 2 x 3 tablet.
kedua punggung lengan bawah dan tungkai sebagian tampak 60. Keadaan umum baik, keluhan nyeri (–), moon face ber-
efloresensi hipopigmentasi. kurang. Eritema menghilang, hiperpigmentasi dan sebagian
Pemeriksaan laboratorium: Darah : Hb 12,4g%, lekosit hipopigmentasi dan squama juga menghilang.
6600/mm', hitung jenis eosinofil 2%, batang 3%, segmen 51%, Pengobatan : Prednison dihentikan. Vitamin B kompleks,
limfosit 40%, monosit 4%. Eritrosit 3.650.000/mm', hematokrit vitamin C 2 x 1 tablet diteruskan.
35%, trombosit 192.500/ul, LED 65/95. 67. Penderita dipulangkan dan selanjutnya kontrol pada RSU
Urin : albumin (–), reduksi (–), bilirubin (–), urobilinogen (–), Kendari.
sedimen lekosit 1–2/1pb, torak epitel (+), bakteri (–).
Diagnosis : Lupus eritematosus sistemik DISKUSI
Pengobatan : Makanan biasa, susu dan vitamin B kompleks Beberapa kepustakaan menyebutkan insidens SLE lebih
2 x 1 tablet., vitamin C 2 x 50 mg. tinggi pada perempuan dari pada lelaki (8:1) dan biasanya mulai
Pengamatan lanjut hari ke : pada anak yang telah berusia lebih dari 8 tahun(3,7). Kasus yang
2. Keadaan umum baik, suhu 38,2°C, nadi 100 x/menit, dilaporkan anak laki-laki usia 10 tahun. Usia ini sesuai dengan
pernapasan 36 x/menit. Nyeri sendi (+), udem (–). insidens umur SLE pada anak namun tidak sesuai dengan in-
Laboratorium : ureum 20,7 mg%, kreatinin 1,07 mg%, sidens seks.
protein total 6,21 g%, albumin 4,10 g%, globulin 2,11 g%, Lupus eritematosus sistemik dapat menyerupai penyakit
bilirubin total 0,7 mg/100 ml, bilirubin direk 0,2 mg/100 ml, rematik dan banyak penyakit Iainnya. Tetapi dengan anamnesis
bilirubin indirek 0,5 mg/100 ml, SGOT 17 u/l, SGPT 25 u/l, dan pemeriksaan fisik yang cermat, maka dipikirkan bahwa
fosfatase alkali 47 mg/100 ml. kasus ini adalah suatu lupus eritematosus yang bermanifestasi
Foto toraks : dalam batas-batas normal. sistemik.
3. Laboratorium : sel LE negatif. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan di-
Anjuran pemeriksaan ulang sel LE pada waktu demam, dan tunjang dengan uji laboratorium. Untuk menegakkan diagnosis
pemeriksaan antibodi-antinuklear (ANA). SLE harus ditemukan 4 atau lebih dari 11 butir kriteria ARA
Pengobatan dengan vitamin dilanjutkan. dalam satu periode pengamatan baik secara berturut-turut mau-
4. Hasil pemeriksaan imunologik: antibodi antinuklear (+) pun serentak(2,6,8). Pada kasus yang dilaporkan dijumpai 7 dari 11
homogen. butir kriteria ARA yaitu : ruam bentuk kupu-kupu, lesi diskoid,
15. Batuk berlendir (+), tidak sesak, nyeri dada sebelah kiri (+). fotosensitivitas, ulserasi mulut, artritis, efusi perikard, titer ANA
Sendi siku dan lutut nyeri dan kaku. Jantung dan paru-paru dalam (+), secara benurut-turut dalam satu periode pengamatan se-
batas normal. hingga penderita ini digolongkan dalam lupus eritematosus
Status dermatologik masih menetap. sistemik.
Pengobatan : Prednison 2 x 4 tablet (20 mg) dan obat lain Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas
diteruskan. seperti demam, malaise, nafsu makan berkurang, berat badan
25. Nyeri dada kiri (+), keluhan nyeri sendi jelas berkurang. menurun dan yang paling menonjol adalah demam yang tidak
Eritema mulai berkurang. Bunyi jantung I & II murni teratur, jelas penyebabnya(6,7). Pada kasus yang dilaporkan juga terdapat
bunyi tambahan (–). Hati 3,5 cm x 2,5 cm, konsistensi kenyal, gejala-gejala tersebut.
permukaan rata, pinggir tajam, tidak nyeri tekan. Berbagai organ dapat terkena yang akan menimbulkan ber-
Hasil ECHO menunjukkan kesan adanya efusi perikard. bagai macam manifestasi klinik, namun dapat pula mengenai
26. Hasil konsul pada sub-bagian kardiologi anak : Pada pe- hanya satu organ saja. Pada kasus yang dilaporkan terdapat
meriksaan EKG ditemukan irama sinus reguler, QRS kompleks artritis, kelainan kulit, efusi perikard, limfadenopati dan hepa-
100 x/menit, LVH dan depresi segmen ST. tomegali tanpa ikterus. Menurut kcpustakaan manifestasi klinik
Terapi dianjurkan untuk dilanjutkan. yang paling sering ialah gejala muskuloskeletal berupa artritis
41. Keadaan umum baik, suhu 37°C, nadi 96 x/menit, pema- atau atralgia 92%, demam 84%, kelainan kulit, rambut, atau
pasan 32 x/menit, tensi 100/70 mmHg. Moon face (+). selaput lendir 72%, kelainan neuropsikiatri 60%, renal 50%,
Pemeriksaan laboratorium: Darah : Hb 10,6 g%, lekosit saluran pernapasan 45%, dan kardiovaskulcr 40%(9).
7200 mm3, hitung jenis eosinofil 1%, segmen 62%, limfosit 37%. Kelainan hematologik berupa ancmi hemolitik dengan
Ureum 34,1 mg%, kreatinin 0,58 mg%, bilirubin total 0,5 mg/ retikulositosis, lekopeni, limfopeni dan trombositopeni sering
100 ml, bilirubin indirek 0,4 mg/100 ml, bilirubin direk 0,1 mg/ terjadi, bahkan purpura trombositopeni idiopatik sering meru-
100 ml, SGOT 24 u/l, SGPT 28 u/l, fosfatase alkali 95 mg/100 ml. pakan manifestasi pertama SLE(3). Pada kasus yang dilaporkan
Urin : albumin (–), reduksi (–), bilirubin (–), urobilinogen (–), tidak ditemukan kelainan hematologik.
sedimen lekosit 1–3/Ipb, eritrosit (–), Ca oksalat (+). Penyebab penyakit pada pendcrita ini tidak diketahui. Onset

41
penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi tegakkan berdasarkan atas gambaran klinik dan pemeriksaan
seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat- imunologik. Dibahas pula tentang pengobatan dan prognosis-
obatan dan trauma psikik(2,3,6). Pada kasus yang dilaporkan ter- nya.
dapat faktor presipitasi yaitu kontak dengan sinar matahari dan
sering menderita radang saluran napas bagian atas.
Pada kasus ini tidak ditemukan sel LE. Meskipun sel LE KEPUSTAKAAN
mempunyai arti panting untuk diagnosis SLE, tetapi tidak di-
1. Gilliam IN, Cohen SB, Sontheimer RD, Moschella SL Connective tissue
temukannya sel ini belum menyingkirkan kemungkinan SLE, diseases. In: Moschella SL and Hurley HJ, eds. Dermatology, 2nd ed.
sebab terbentuknya sel tersebut tergantung dari jenis antibodi(1,8). Philadelphia: WB Saunders Co, 1985: 1087-106.
Uji ANA pada kriteria ARA 1982 yang di jadikan kriteria tersendiri, 2. Rothfield NF. Lupus erythematosus. In: Fitzpatrick TB, Eizen AZ, Wolf
menunjukkan betapa pentingnya uji imunologik ini karena uji K, (eds.). Dermatology in General Medicine, 2nd ed. New York: McGraw-
Hill Book Co, 1987: 1273-93.
ANA yang positif akan memperkuat diagnosis SLE. 3. Behrman RE, Vaughan VC, (eds.). Nelson textbook of paediatrics. 13th
Tindakan pengobatan pada dasarnya sesuai dengan luas dan ed. Philadelphia: WB Saunders Co, 1987 : 524-37.
keparahan penyakit. Ada dua hal yang panting yaitu: 1. terapi 4. Domonkos AN, Arnold HL, Odom RB. Connective tissue diseases. In:
konservatif berupa tindakan suportif umum, analgetik, anti ma- Andrews GC, (ed.). Diseases of the skin, 7th ed. Philadelphia: WB
Saunders Co, 1982: 175-88.
laria dan 2. terapi kortikosteroid(3,7). Pada kasus ini terapi suportif 5. Lapierre MC, Brasinne MD, Toffanelli DL. Systemic Lupus Erythema-
dan prednison memberi respons yang baik. tosus. In: Rook A, Parish LC, Beare MJ (eds.). Practical Management of
Pada umumnya SLE dianggap penyakit yang fatal sebelum Dermatologic Patient. Philadelphia.
tahun 1950, tetapi pengobatan yang tepat telah berhasil men- 6. Albar Zuljasri. Lupus eritematosus sistemik. Ilmu Penyakit Dalam jilid I
edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1987 : 731-6.
cerahkan prognosis. Prognosis pada penderita yang dilaporkan 7. Lehman TJA et al. Systemic lupus erythematosus in the first decade of life
adalah baik, terbukti dengan adanya respons yang baik terhadap Pediatr 1989; 83: 235-8.
pengobatan. 8. Lookingbill DP, Marks JG. Principles of Dermatology. Philadelphia: WB
Saunders Co, 1986: 185-8.
9. Laurent R. Drug treatment of systemic lupus erythematosus. Med Progr
1990; 17: 47-50.
10. Swinson DR, Swinbum WR. Rheumatology. London: Hodderand
Stoughton, 1989 : 105-15.
RING KASAN 11. Bach JF. Aetiological factors in systemic lupus erythematosus. Australian
Family Physician, 1976; 5: 95-102.
Telah dilaporkan satu kasus anak laki-laki umur 10 tahun 12. Djuanda Suria. Penyakit jaringan konektif. Ilmu penyakit kulit & kelamin.
dengan diagnosis lupus eritematosus sistemik. Diagnosis di- Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1987 : 211-4.
Rachitis
- laporan kasus
Harry D Hawing, Satriono, JS Lisal
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
RSU Dadi Ujung Pandang

PENDAHULUAN berjalan dan lekas lelah. Anak lahir spontan dengan bb. 4500 gm,
Rachitis adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk pb. 50 cm, kehamilan lebih bulan dan persalinan normal. Mulai
menggambarkan kegagalan mineralisasi tulang atau jaringan berdiri pada umur 9 bulan dan berjalan sendiri pada umur 10
osteoid yang sedang tumbuh. Keadaan ini diakibatkan oleh ke- bulan. Menyusui sampai umur 2,5 tahun, dapat makanan tam-
kurangan vitamin D yang mengganggu proses mineralisasi tu- bahan sejak umur 3 bulan, tapi anak malas makan.
lang. Kelainan ini disebabkan karena penderita kurang terkena Pemeriksaan fisik menunjukkan anak sakit sedang, ke-
sinar ultra violet cahaya matahari atau karena kurangnya intake sadaran baik, status gizi berdasarkan antropometri bb. dan tb.
vitamin D dalam makanannya atau keduanya(1). tidak bisa dinilai karena adanya kelainan bentuk ekstremitas
Pertama kali ditemukan di Inggris oleh Glisson pada tahun (bb 11,5 kg dan pb 83 cm). Nadi 120 x/menit berisi dan teratur,
1650(2). Di Indonesia jarang, hanya ditemukan di daerah dengan pernapasan 32 x/menit torakoabdominal, suhu rektal 37,3°C.
kebiasaan menahan anak dalam rumah atau pada keluarga Lingkaran kepala 51 cm, sutura tidak melebar dan fontanella
dengan standar hidup yang rendah(3). Insidens tertinggi terdapat major sudah tertutup, ditemukan kaput kuadratum, tasbeh pada
pada golongan umur 6 bulan – 2 tahun, jarang ditemukan di tulang iga tidak terlihat dan tidak teraba, gigi keropos, paru dan
bawah umur 2 – 3 bulan(2,3), sekalipun Kirk pernah melaporkan jantung tidak menunjukkan kelainan. Perut datar, hati dan limpa
satu kasus kongenital dari ibu yang menderita kegagalan ginjal tidak teraba. Pergelangan tangan kiri-kanan melebar, perge-
dengan pengobatan hemodialisis(4). langan kaki kiri-kanan melebar, ada kaki 0, tidak ada kifosis,
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinik, lordosis dan skoliosis yang abnormal.
laboratorium dan radiologik(1,2,3,5,6). Pemeriksaan laboratorium :
Makalah ini melaporkan satu kasus rachitis dengan ganggu- • Pemeriksaan rutin : urin dan tinja normal. Hb 14,4 g%,
an pertumbuhan. lekosit 4.900/mm3, eos 8, baso-, batang -.segmen 28, limfo 63,
mono 1.
LAPORAN KASUS • Kimia darah : protein total : 7,81 g% (N : 6,0-8,0 g%),
A, seorang anak laki-laki, umur 6 tahun, suku Aceh, dirujuk albumin : 5,09 g% (N : 3,5-5,5 g%), globulin : 2,72 g% (N :
ke Poli Khusus Endokrinologi Anak RSU Dadi Ujung Pandang 1,3-3,3 g%), kalsium : 9,3 mg% (N : 8,1-10,4 mg%), fosfor : 5
pada tanggal 14 Juni 1990 karena gangguan pertumbuhan yang mg% (N : 4-7 mg%), alkalifosfatase : 1137 mU/ml (N : 90–300
disertai kelainan bentuk lengan dan tungkai. Anak keenam dari mU/ml), SCOT : 21 mU/ml (N : 6-30 mU/ml), SGPT : 10 mU/
enam bersaudara, saudara yang lain tidak ada yang menderita ml (N : 6-45 mU/ml), bilirubin I : 0,27 mg% (N : 0,1-0,75 mg%),
demikian. bilirubin II : 0,14 mg% (N : 0,1-0,25 mg%), TIT : 3,5 (N :1-3),
Gejala tampak sejak umur 2 tahun, pertumbuhan anak ter- titrasi Gross : 2,10 ml (N : 1,8-2,2).
lambat, lengan dan tungkai membengkok makin lama makin Pemeriksaan radiologik :
hebat, badan terasa lemah, kram pada tangan dan kaki, sukar – Kepala AP & lateral : Tulang-tulang kepala baik.
Dibacakan di Bika FK-UNHAS/RSU Dadi Ujung Pandang tanggal 15 Maret
1991

43
− Toraks : Tulang iga : pelebaran daerah kostokondral kanan lemak, kalsium dan fosfor maupun sekunder adanya gangguan
dan kiri. absorpsi lemak serta kurang sinar matahari/ultra violet. Mudah
− Ekstremitas atas : Tampak densitas tulang-tulang kurang terjadi pada sindrom malabsorpsi, penyakit hati dan ginjal, ras
(rendah), metafisis distal radius dan ulna lebar. Sudah ada epifisis Negro(1,3,5,6). Dwyer dkk menemukan 32 dari 52 anak prasekolah
distal radius dan os kapitatum serta hamatum. Kesan : Rachitis. vegetarian yang makanannya kurang mengandung vitamin D
Bone age ± 2 tahun (Greulich & Pyle). menderita rachitis(8).
− Ekstremitas bawah : Tampak densitas tulang-tulang rendah Pada kasus yang dilaporkan ini ternyata anak malas makan
(korteks tipis) dan metafisis tulang-tulang panjang lebar pelebar- yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama sehingga
an garis epifisis distal. Kesan : Rachitis. diduga intake vitamin D kurang; kemungkinan berkurangnya
Diagnosis kerja : Rachitis. sintesis provitamin D menjadi vitamin D dalam tubuh anak
Pengobatan : Vitamin Dinjeksi i.m. 50001U tiap hari selama dengan bantuan sinar matahari belum bisa disingkirkan. Walau-
2 minggu. Sirup multivitamin 1 sendok teh sehari. pun ada bebetapa faktor yang dapat menyebabkan rachitis
Penderita dirawat secara berobat jalan dan secara berkala seperti penyakit ginjal, hati, infeksi dan lain-lain, pada kasus ini
dikunjungi di rumah. tidak ditemukan adanya gangguan fungsi ginjal maupun fungsi
Pengamatan lanjut hari ke : hati.
2 : Masih sukar berjalan dan cepat lelah. Diagnosis pada kasus ini dibuat berdasarkan gejala klinis,
6 : Mulai dapat berjalan tapi masih belum jauh dan badan belum pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologik. Pada
bisa tegak. Pengobatan ditambah tablet kalsium dan vitamin D pemeriksaan pandang dan raba pergelangan tangan seolah-olah
oral (Tricalmin®) 3 x 2 tablet setiap hari. berganda yaitu yang asli dan yang disebabkan rachitis(1,5). Pada
14 : Penderita sudah bisa berjalan dengan tegak dan tidak cepat pemeriksaan radiologik tampak densitas tulang-tulang kurang
lelah. Vitamin D injeksi stop. Tricalmin® 3 x 2 tablet setiap hari (rendah). Jugapada foto toraks pada tulang iga nampak pelebaran
diteruskan. daerah kostokondral kanan dan kiri. Pada tulang-tulang panjang
19 : Foto ulangan (kontrol) ekstremitas : kesan ada perbaikan. terjadi pembengkokan sehingga didapati adanya kaki O. Juga
26 : Anak dapat berlari dan tidak lekas lelah., didapati adanya kerusakan gigi (keropos). Pada penekanan daerah
100 : Foto kontrol ekstremitas : tampak kalsifikasi pada daerah parietal tengkorak tidak ditemukan pingpong ball sensation, ka-
epifisis bertambah. Pertambahan panjang radius dan ulna 5 mm. rena kasus ini ditemukan pada anak yang sudah besar, sedangkan
kelainan tersebut biasanya ditemukan pada penderita umur ku-
DISKUSI rang dari satu tahun(2).
Vitamin D merupakan persenyawaan-persenyawaan sterol Kadar fosfatase alkali serum adalah indikator aktifitas
yang mempunyai fungsi anti rachitis; dalam makanan diabsopsi rachitis sekalipun pemeriksaan ini tidak patognomonik untuk
dalam usus bersama lemak dengan bantuan asam empedu(1,5,6). rachitis. Kadar kalsium dan fosfor dalam batas-batas normal.
Ada 2 bentuk vitamin D yaitu D2 dan D3, serta 2 provitamin Pada rachitis tubuh berusaha memelihara kadar kalsium dan
D yaitu ergosterol dan 7-dehidrokolesterol(1,5). 7-dehidrokolesterol fosfor normal dengan cara mobilisasi kalsium dari tulang se-
yang secara alamiah terdapat dalam jaringan lemak subkutan hingga terjadi osteoporosis(1,3,5,7).
oleh pengaruh sinar ultra violet/sinar matahari diubah menjadi Pengobatan yang diberikan ialah vitamin D 5000 IU i.m.
kolekalsiferol (vitamin D3). Kolekalsiferol yang berasal dari setiap hari selama 2 minggu yang dilanjutkan per os selama 3
kulit oleh protein pengangkut (alfa-globulin) dalam darah di- bulan. Perbaikan tampak setelah pengobatan 19 hari pada pe-
angkut ke hati kemudian dalam hati dihidrolisis menjadi 25- meriksaan radiologik; hal ini sesuai dengan kepustakaan yang
hidroksikolekalsiferol (25-HKK) yang kemudian diangkut ke mengatakan perbaikan terjadi setelah pengobatan 2-4 minggu(1).
ginjal. Di dalam sel-sel korteks ginja125-HKK diubah menjadi
1,25-dihidrok§ikolekalsiferol (1,25-DKK). Produk akhir ini RINGKASAN
merupakan vitamin D aktif. Selanjutnya dari ginjal disekresikan Telah dilaporkan satu kasus rachitis pada seorang anak laki-
ke dalam pembuluh darah menuju organ sasaran yaitu nukleus laki berumur 6 tahun. Diagnosis ditegakkan berdasar pemeriksa-
sel usus, sel tulang, sel ginjal, otot bergaris untuk metabolisme an klinis, laboratorium dan radiologis. Respon tampaknya baik
kalsium dan fosfor. dengan pemberian vitamin D 5000 IU i.m. selama 2 minggu
Fungsi anti rachitisnya meliputi : memudahkan penyerapan sebagaimana tampak pada pemeriksaan radiologik pada minggu
kalsium dan fosfor dalam usus dan penyerapan kembali fosfor ketiga.
dalam ginjal serta pengaruh langsung atas metabolisme mineral
tulang (perlekatan dan penyerapan kembali)(1,2,3,5,7). KEPUSTAKAAN
Kekurangan vitamin D dapat menyebabkan avitaminosis D
1. Bamess LA. Nutrition and nutritional disorders. In: Vaughan VC, McKay
yaitu rachitis, tetani infantil, gangguan pertumbuhan pada anak RJ, Behnnan RE, eds. Nelson Textbook of pediatrics. 12th ed.
serta osteomalasia pada orang dewasa sedangkan kelebihan Philadelphia, London, Toronto: WB Saunders Co, 1983: 179-83.
vitamin D menyebabkan hipervitaminosis D(1,3,5,6). 2. Davidson SS, Passmore R, Brock JF (eds). Human nutrition and dietetics.
5th ed. Edinburgh: Churchill–Livingstone, 1973: 266-74.
Rachitis dapat terjadi karena intake yang kurang baik yaitu
3. Dwyer IT, Dietz WH, Hass G, Suskind R.'Risk of nutritional rickets among
secara primer makanan kurang mengandung vitamin D, kurang vegetarian children. Am J Dis Child. 1979; 133: 134–40.
4. Harrison HE. Rickets. In: Holt LE, McIntosh R, Bamett HL, (eds). Pediatrics. 7. Rusepno Hassan, Napitupulu PMN, (eds). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
13th ed. New York: Appleton-Century-Croft Inc, 1962: 289-99. Anak, jilid 1 cetakan ke-4. Jakarta: Bagian Emu Kesehatan Anak FKUI, 1985:
5. Herman MJ. Metabolisme tulang, gangguan dan pengobatannya. Medika 353–5.
1982; 11: 264-9. 8. Stroud CE. Nutritional disorders. In: Fosfar JO, Ameil GC, (eds). Textbook
6. Kirk J. Congenital rickets : a case report. Austral PaediatrJ, 1982; 18: 291–3. of Paediatrics. Edinburgh, London: Churchill–Livingstone, 1973: 1227–9.

English Summary
RACHITIS A case of rachitis on a six-
year-old boy was reported. The
Herry D Nawing, Satriono, JS Lisal
Department of Child Health, Faculty of
diagnosis was established based
Medicine, Hasanuddin University, Dadi on clinical, laboratory as well as
General Hospital, Ujungpandang, South radiologic examinations. The
Sulawesi response to treatment with intra-
muscular vitamin D 5000 IU daily
for two weeks was good as
shown by follow up radiologic
examination in the third week.

Cermin Dunia Kedokt. 1993; 86: 43-5


Hdn, Sn, Jsl

45
Atresia Bilier
Dr. Parlin Ringoringo
Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

ABSTRAK

Penyebab kolestasis ekstrahepatik neonatal yang terbanyak adalah atresia bilier.


Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan ke-
rusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan
aliran empedu. Hanya tindakan bedah dilakukan pada usia 5 8 minggu maka angka ke-
berhasilannya adalah 86%, tetapi bila pembedahan dilakukan pada usia > 8 minggu maka
angka keberhasilannya hanya 36%. Oleh karena itu diagnosis atresia bilier harus
ditegakkan sedini mungkin sebelum usia $ minggu.

PENDAHULUAN Indian Amerika (1,5%)(5).


Penyebab kolestasis ekstrahepatik neonatal yang terbanyak
adalah atresia bilier(1). Atresia bilier terjadi karena proses infla- ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
masi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti.
pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan ham- Sebagian ahli menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan,
batan aliran empede. Jadi, atresia bilier adalah tidak adanya yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom trisomi 17,18
atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus dan 21; serta terdapatnya anomali organ pada 10 – 30% kasus
bilier ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran em- atresia bilier(4,6). Namun, sebagian besar penulis berpendapat
pedu(1). Akibatnya di dalam hati dan darah terjadi penumpukan bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang merusak
garam empedu dan peningkatan bilirubin direk. Hanya tindakan duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi(1).
bedah yang dapat mengatasi atresia bilier. Bila tindakan bedah Patofisiologi atresia bilier juga belum diketahui dengan
dilakukan pada usia 8 minggu, angka keberhasilannya adalah pasti. Berdasarkan gambaran histopatologik, diketahui bahwa
86%, tetapi bila pembedahan dilakukan pada usia > 8 minggu atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan
maka angka keberhasilannya hanya 36%(3). Oleh karena itu yang menyebabkan duktus bilier ekstrahepatik mengalami ke-
diagnosis atresia bilier hams ditegakkan sedini mungkin, sebe- msakan secara progresif. Pada keadaan lanjut proses inflamasi
lum usia 8 minggu. menyebar ke duktus bilier intrahepatik, sehingga akan meng-
alami kerusakan yang progresif pula(1).
ANGKA KEJADIAN Kasai mengajukan klasifikasi atresia bilier sebagai berikut(1)
Insidens atresia biller adalah 1/10.000 sampai 1/14.000 (Gambar 1) :
kelahiran hidup(1,4). Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan I. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen
anak laki-laki 1,4 : 1(5). Dari 904 kasus atresia bilier yang terdaftar proksimal paten.
di lebih 100 institusi, atresia bilier didapat pada ras Kaukasia IIa. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komu-
(62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan nis, duktus sistikus, dan kandung empedu semuanya

46
normal). PEMERIKSAAN PENUNJANG
IIb. Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat
duktus sistikus. Kandung empedu normal. sepenuhnya diandalkan untuk membedakan antara kolestasis
III. Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obli- intrahepatik dan ekstrahepatik. Secara garis besar, pemeriksaan
terasi, sampai ke hilus. dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan :
Tipe I dan II merupakan jenis atresia bilier yang dapat dioperasi 1) Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi
(correctable), sedangkan tipe III adalah bentuk yang tidak dapat dan mengetahui fungsi hati (darah, urin, tinja);
dioperasi (non-correctable). Sayangnya dari semua kasus atresia 2) Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan
bilier, hanya 10% yang tergolong tipe I dan II(1,7). menilai parenkim hati;
3) Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat
MANIFESTASI KLINIS menunjang diagnosis atresia bilier.
Tanpa memandang etiologinya, gejala dan tanda klinis utama 1) Pemeriksaan laboratorium
kolestasis neonatal adalah iktcrus, tinja akolik, dan urin yang a) Pemeriksaan rutin
berwarna gelap(8). Namun, tidak ada satu pun gejala atau tanda Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan
klinis yang patognomonik untuk atresia bilier. Keadaan umum kadar komponen bilirubin untuk membedakannya dari hiper-
bayi biasanya baik. Ikterus bisa terlihat sejak lahir atau tampak bilirubinemia fisiologis. Sclain itu dilakukan pemeriksaan darah
jelas pada minggu ke 3 – 5. Kolestasis ekstrahepatik hampir tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin
selalu menyebabkan tinja yang akolik(9,10). Sehubungan dengan direk < 4 mg/dl tidak sesuai dengan obstruksi total. Peningkat-
itu sebagai upaya penjaring kasar tahap pertama, dianjurkan an kadar SGOT/SGPT> 10 kali dengan pcningkatan gamma-GT
melakukan pengumpulan tinja 3 porsi. Bila selama beberapa hari < 5 kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Se-
ketiga porsi tinja tctap akolik, maka kemungkinan besar baliknya, peningkatan SGOT< 5 kali dengan peningkatan gamma-
diagnosisnya adalah kolestasis ekstrahepatik. Sedangkan pada GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik.
kolestasis intrahepatik, warna tinja dempul berfluktuasi pada Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rcndah tidak me-
pcmcriksaan tinja 3 porsi. nyingkirkan kemungkinan atresia bilier(9). Kombinasi peningkat-

47
an gamma-GT, bilirubin serum total atau bilirubin direk, dan 3) Biopsi hati
alkali fosfatase mempunyai spesifisitas 92,9% dalam menen- Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang
tukan atresia bilier(10). paling dapat diandalkan. Di tangan seorang ahli patologi yang
b) Pemeriksaan khusus berpengalaman, akurasi diagnostiknya mencapai 95%(1), sehingga
Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya dapat membantu pengambilan keputusan untuk melakukan la-
diagnostik yang cukup sensitif, tetapi penulis lain menyatakan paratomi eksplorasi, dan bahkan berperan untuk penentuan operasi
bahwa pemeriksaan ini tidak lebih baik dari pemeriksaan visuali- Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca operasi Kasai diten-
sasi tinja(9,12). Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar biliru- tukan oleh diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati.
bin dalam empedu hanya 10%, sedangkan kadar asam empedu di Bila diameter duktus 100 – 200 u atau 150 – 400 u maka aliran
dalam empedu adalah 60%, maka asam empedu di dalam cairan empedu dapat terjadi(1,19). Desmet dan Ohya menganjurkan agar
duodenum dapat menentukan adanya atresia bilier(13). dilakukan frozen section pada saat laparatomi eksplorasi, untuk
menentukan apakah portoenterostomi dapat dikerjakan(1,20).
2) Pencitraan Gambaran histopatologik hati yang mengarah ke atresia
a) Pemeriksaan ultrasonografi bilier mengharuskan intervensi bedah secara dini. Yang menjadi
Theoni mengemukakan bahwaakurasi diagnostikUSG 77% pertanyaan adalah waktu yang paling optimal untuk melakukan
dan dapat ditingkatkan bila pemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, biopsi hati. Harus disadari, terjadinya proliferasi duktuler
yaitu pada keadaan puasa, saat minum dan sesudah minum(14). (gambaran histopatologik yang menyokong diagnosis atresia
Bila pada saat atau sesudah minum kandung empedu berkon- bilier tetapi tidak patognomonik) memerlukan waktu. Oleh ka-
traksi, maka atresia bilier kemungkinan besar (90%) dapat di- rena itu tidak dianjurkan untuk melakukan biopsi pada usia < 6
singkirkan. Dilatasi abnormal duktus bilier, tidak ditemukannya minggu(1).
kandung empedu, dan meningkatnya ekogenitas hati, sangat
mendukung diagnosis atresia bilier(9). Namun demikian, adanya DIAGNOSIS
kandung empedu tidak menyingkirkan kemungkinan atresia Diagnosis atresia bilier ditegakkan berdasarkan anamnesis,
bilier, yaitu atresia bilier tipe I/distal(15). pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis
b) Sintigrafi hati utama atresia bilier adalah tinja akolik, air kemih seperti air teh,
Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop dan ikterus. Ada empat keadaan klinis yang dapat dipakai sebagai
Technetium 99m mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%(16). patokan untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan
Sebelum pemeriksaan dilakukan, kepada pasien diberikan feno- ekstrahepatik, yaitu: berat badan lahir, warna tinja, umur pende-
barbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 5 rita saat tinja mulai akolik, dan keadaan hepar(6).
hari. Kriteria ini (Tabel 1) mempunyai akurasi diagnostik sampai
Pada kolestasis intrahepatik pengambilan isotop oleh hepa- 82%. Moyer dkk. menambahkan satu kriteria lagi, yaitu gam-
tosit berlangsung lambat tetapi ekskresinya ke usus normal, baran his topatologik hati(11).
sedangkan pada atresia bilier proses pengambilan isotop normal Tabel 1. Empat kriteria klinis terpenting untuk membedakan Kolestasis
tetapi ekskresinya ke usus lambat atau tidak terjadi sama sekali. Intrahepatik dan Ekstrahepatik(11)
Di lain pihak, pada kolestasis intrahepatik yang berat juga tidak
akan ditemukan ekskresi isotop ke duodenum. Kolestasis Kolestasis
Data klinis
ekstrahepatik intrahepatik
Untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan
sintigrafi, dilakukan penghitungan indeks hepatik (penyebaran Wama tinja selama dirawat
isotop di hati dan jantung), pada menit ke-10. Indeks hepatik > 5 – Pucat 79% 26%
– Kuning 21% 74%
dapat menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, sedangkan
Berat lahir (gram) 3200 2700
indeks hepatik < 4,3 merupakan petunjuk kuat adanya atresia Usia saat tinja akolik (hari) 16 30
bilier(17). Teknik sintigrafi dapat digabung dengan pemeriksaan Ukuran dan konsistensi hati
DAT, dengan akurasi diagnosis sebesar 98,4%(1,6). Torrisi yang abnormal 87% 53%
mengemukakan bahwa dalam mendetcksi atresia bilier, yang Biopsi hati
– Fibrosis portal 94% 47%
terbaik adalah menggabungkan basil pemeriksaan USG dan
– Proliferasi duktular 86% 30%
sintigrafi(l8).
– Trombus empedu intraportal 63% 1%
c) Pemeriksaan kolangiografi
Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio
Pancreaticography) mcrupakan upaya diagnostik dini yang DIAGNOSIS BANDING
berguna untuk membedakan antara atresia bilier dengan kolesta- Diagnosis banding kolestasis pada bayi adalah :
sis intrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan, 1. KELAINAN EKSTRAHEPATIK
dapat dilakukan pemeriksaan kolangiografi durante operasionam. A. Atresia bilier
Sampai saat ini pemeriksaan kolangiografi dianggap sebagai B. Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier
baku emas untuk membedakan kolestasis intrahepatik dengan C. Perforasi spontan duktus bilier
atresia bilier(7). D. Massa (neoplasma, batu)

48
E. Inspissated bile syndrome diagnosis atresia bilier hasilnya meragukan, maka Fitzgerald
II. KELAINAN INTRAHEPATIK menganjurkan laparatomi eksplorasi pada keadaan sebagai
A. Idiopatik berikut:
1) Hepatitis neonatal idiopatik ∗ Bila feses tetap akolik dengan bilirubin direk> 4 mg/dl atau
2) Kolestasis intrahepatik persisten, antara lain : terus meningkat, meskipun telah diberikan fenobarbital atau
a) Displasia arteriohepatik (sindrom Alagille) telah dilakukan uji prednison selama 5 hari(22).
b) Sindrom Zellweger (sindrom serebrohepatorenal) ∗ Gamma-GT meningkat > 5 kali
c) Intrahepatic bile duct paucity ∗ Tidak ada defisiensi alfa-1 antitripsin
B. Anatomik ∗ Pada sintigrafi hepatobilier tidak ditemukan ekskresi ke
1) Hepatik fibrosis kongenital atau penyakit polikistik infantil usus.
(pada hati dan ginjal) Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan, maka segera
2) Penyakit Caroli (pelebaran kistik pada duktus intrahepatik). dilakukan intervensi bedah portoenterostomi terhadap atresia
C. Kelainan metabolisme bilier yang correctable yaitu tipe I dan II(1). Pada atresia bilier
1) Kelainan metabolisme asam amino: tyrosinemia yang non-correctable terlebih dahulu dilakukan laparatomi
2) Kelainan metabolisme lipid: penyakit Wolman, Niemann- eksplorasi untuk menentukan patensi duktus bilier yang ada di
Pick dan Gaucher daerah hilus hati dengan bantuan frozen section. Bila masih ada
3) Kelainan metabolisme karbohidrat: galaktosemia, frukto- duktus bilier yang paten, maka dilakukan operasi Kasai. Tetapi
semia, glikogenosis IV meskipun tidak ada duktus bilier yang paten, tetap dikerjakan
4) Kelainan metabolisme asam empedu operasi Kasai dengan tujuan untuk menyelamatkan penderita
5) Penyakit metabolik tidak khan, antara lain: defisiensi alfa- 1- (tujuan jangka pendek) dan bila mungkin untuk persiapan trans-
antitripsin, fibrosis kistik, hipopituitarisme idiopatik, hipoti- plantasi hati (tujuan jangka panjang)(23). Ada peneliti yang men-
roidisme yatakan adanya kasus-kasus atresia bilier tipe III dengan keber-
D. Hepatitis hasilan hidup > 10 tahun setelah menjalani operasi Kasai(24,25).
1) Infeksi (hepatitis pada neonatus), antara lain: TORCH, virus Di negara maju dilakukan transplantasi hati terhadap pen-
hepatitis B, Reovirus tipe 3 derita :
2) Toksik: kolestasis akibat nutrisi parenteral, sepsis ∗ atresia bilier tipe III
E. Genetik atau kromosomal: Trisomi E, Sindrom Down, ∗ yang telah mengalami sirosis
Sindrom Donahue * kualitas hidup buruk, dengan proses tumbuh kembang yang
F. Lain-lain: Histiositosis X, renjatan atau hipoperfusi, sangat terhambat
obstruksi intestinal, sindrom polisplenia, lupus neonatal.
∗ pasca operasi portoenterostomi yang tidak berhasil mem-
perbaiki aliran empedu(26).
TATALAKSANA
Selama evaluasi, pasien dapat diberi :
PROGNOSIS
A) Terapi medikamentosa yang bertujuan untuk :
Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak
1) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati
saat dioperasi, gambaran histologik porta hepatis, kejadian
terutama asam empedu (asam litokolat), dengan memberikan :
penyulit kolangitis, dan pengalaman ahli bedahnya sendiri(4).
– Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral. Bila operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka keber-
Fenobarbital akan merangsang enzim glukuronil transferase hāsilannya 71–86%, sedangkan bila operasi dilakukan pada usia
(untuk mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk); > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya 34–43,6%(4).
enzim sitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Bila operasi Kasai dilakukan pada usia 1–60 hari, 61–70 hari,
Na+–K+–ATP–ase (menginduksi aliran empedu). 71–90 hari dan > 90 hari, maka masing-masing akan memberi-
– Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai kan kebcrhasilan hidup > 10 tahun sebesar 73%, 35%, 23%, dan
jadwal pemberian susu. Kolestiramin memotong siklus entero- 11%('^). Scdangkan bila operasi tidak dilakukan, maka angka
hepatik asam empedu sekunder(8). keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10%(5) dan meninggal rata-rata
2) Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan : pada usia 12 bulan(1). Anak termuda yang mengalami operasi
– Asam ursodeoksikolat, 3–10 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, Kasai berusia 76 jam(1).
per oral. Asam ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif Jadi, faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi
terhadap asam litokolat yang hepatotoksik(21). adalah usia saat dilakukan operasi > 60 hari, adanya gambaran
B) Terapi nutrisi, yang bertujuan untuk memungkinkan anak sirosis pada sediaan histologik had, tidak adanya duktus bilier
tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin, yaitu : ekstrahepatik yang paten, dan bila terjadi pcnyulit hipertensi
1) Pemberian makanan yang mengandung medium chain tri- portal(5).
glycerides (MCT) untuk mengatasi malabsorpsi lemak.
2) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larutdalam lemak. KEPUSTAKAAN
C) Terapi bedah
Bila semua pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan 1. Desmet VJ, Callca F. Cholestatic syndromes of infancy and childhood. In:
Zakim, Boyer, Hepatology. A textbook of liver diseases. Philadelphia/ diagnosis of neonatal jaundice. In: Lentze, Reichen. Falk symposium 63.
Tokyo: Saunders 1990; 2: 1355-95. Paediatric Cholestasis, Novel approaches to treatment. Dordrecht/London:
2. Desmet VJ. Pathology of paediatric cholestasis. In: Lentze, Reichen: Falk Kluwer Academic Publ 1991: 237-44.
symposium 63. Paediatric Cholestasis, Novel approaches to treatment. 14. Toeni RF, Goldberg HI. Radiologic evaluation of disorders of the liver and
Dordrecht/London, Kluwer Academic Publ 1991: 55-74. biliary system. In: Zakim, Boyer, Hepatology. A textbook of liver diseases.
3. Lentze MI. Cholestasis in cystic fibrosis. In: Lrntze, Reichen: Falk Philadelphia: Saunders 1990: 667-97.
symposium 63. Paediatric Cholestasis, Novel approaches to treatment. 15. Tanner S. Cholestasis in infancy. In: Green: Pediatric hepatology. Edin-
Dordrecht/London, Kluwer Academic Publ 1991: 159-64. burgh: Churchill Livingstone, 1989: 50-68.
4. Howard ER. Biliary atresia - complications and results of non-transplant 16. Hung WT, Su Cr. Diagnosis of atretic prolonged obstructive jaundice;
surgery. In: Lentze, Reinchen: Falk symposium 63. Paediatric Cholestasis, technetium 99m hepatolite excretion swdy. J Pediat Surg 1990; 25: 797-800.
Novel approaches totreatment. Dordrecht/London, Kluwer Academic Publ 17. El Tumi MA, Clarke MB, Barret JJ, Mowat AP. Ten minute radio pharma
1991: 273-84. ceuticals test in biliary atresia. Arch Dis Child 1987; 62: 180-4.
5. Karrer FM, Hall RJ, Stewart BA, Lily JR. Biliary atresia registry, 1976 to 18. Torrisi JM, Haller JO, Velcek FT. Choledochal cyst and biliary atresia in
1989. J. Pediatr. Surg. 1990; 25: 1076-80. the neonate: imaging findings in five cases. Am J Roentgenol 1990; 155:
6. Alagille D. Management of paucity of interlobular bile duct. J. Hepatol. 1273-6.
1985; 1: 561-5. 19. Deguchi E, Yanagihara J, Iwai N. Bile duct patterns in the hilar region of
7. Tschappeler H. Imaging diagnosis of cholestasis in children. In: Lentze, the liver in two cases of biliary atresia. J Pediatr Surg 1990; 25: 307-10.
Reichen: Falk symposium 63. Paediatric Cholestasis, Novel approaches to 20. Ohya T, Miyano T, Kimura K. Indication for portoenterostomy based on
treatment. Dordrecht/London, Kluwer Academic Publ 1991: 207-14. 103 patients with Suruga II modification. J Pediau Surg 1990; 25: 801-4.
8. Haber BA, Lake AM. Cholestatic jaundice in the newborn. Clin Perinatol 21. Wiharta SA. Kolestasis pada bayi dan anak. Aspek pediatri. Dipresenta
1990; 17: 483-506. sikan pada simposium hepatologi, Kongres Nasional Dmu Kesehatan Anak
9. Fitzgerald IF. Cholestatic disorders of infancy. Pediatr Clin N Am 1988; 35: VIII, Ujung Pandang, 1990.
357-73. 22. Mowat AP. Extrahepatic biliary atresia and other disorders of the extra
10. Maggiore G, Bernard D, Hadchouel M, Lemonnier A, Alagille D. Diagnos- hepatic bile ducts presenting in infancy. In: Mowat. Liver disorders in
tic value of serum gamma-glutamyl transpeptidase activity in liver diseases childhood. London: Butterworths 1987; 72-88.
in children. J Paediatr Gastroenterol Nutr 1991; 12: 21-6. 23. Wood RP, Langnas AN, Stratta RJ, Pillen TJ, Williams L, Lindsay S,
11. Moyer MS, Balister WF. The liver and biliary tree. Prolonged neonatal Meiergerd D, Shaw BW. Optimal therapy for patients with biliary atresia:
obstructive jaundice. In: Walker, Durk, Hamilton, Walker-Smith, Portoenterostomy ("Kasai" procedures) versus primary transplantation. J
Watkins. Pediatric gastro-intestinal disease. Patophysiology, diagnosis, Pediatr Surg 1990; 25: 153-9.
management. Philadelphia/Toronto: Decker 1991: 835-48. 24. Ohi R, Nio M, Chiba T, Endo M, Coto M, Ibrahim M. Longtenn follow-up
12. Halimun EM. Kolestasis pada bayi dan anak. Dalam: Naskah lengkap after surgery for patients with biliary atresia. J Pediatr Surg 1990; 25:
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Dmu Kesehatan Anak. Penanganan 442-5.
mutakhir beberapa penyakit gastrointestinal anak. Jakarta. Bagian Dmu 25. Raffensperger JG. A longterm follow-up of three patients with biliary
Kesehatan Anak, FKUI 1988. atresia. J Pediatr Surg 1991; 26: 176-7.
13. Pawlawska J, Bogoniowska Z, Szczgielska-Kozak M, Wroblewska Z, 26. Lily JR. Biliary atresia. The jaundice infants. In: Welch, et al, Pediatric
Socha J. Value of bile acid determination and hepatic scintigraphy for the surgery. Chicago: Year Book Med Publ 1986: 1047-55.

Know your own faults before blaming others for theirs

50
Hernia Inguinalis Lateralis
pada Anak-anak
Made Kusala Girl, Farid Nur Mantu
Laboratorium Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang

ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian retrospektif dengan analisis deskriptif terhadap 95 kasus
hernia inguinalis lateralis anak pada kurun waktu Januari 1988 sampai dengan Desember
1991.
Didapatkan 78,9% kasus laki-laki, 42,1% kelompok umur 0 -1 tahun; 52,6% hernia
inguinalis lateralis dekstra; 31,6% hernia inguinalis inkarserata, terbanyak pada ke-
lompok umur 0 – 1 tahun (50%); "reduksi konservatif' berhasil pada 72,7% dilanjutkan
dengan bedah elektif setelah 48 jam dan pada 8 kasus hernia inguinalis yang inkarserata
dilakukan bedah emergensi.

PENDAHULUAN kan pengobatan bedah terhadap hernia. Pada autopsi terhadap


Hernia adalah adanya penonjolan peritoneum yang berisi anak yang menderita hernia sebanyak 500 orang pada abad ke
alat visera dari rongga abdomen melalui suatu lokus minoris 18 dan 19 didapatkan 56% adanya patensi dari prosesus
resistensieae baik bawaan maupun didapat. vaginalis peritonei. (dikutip dari 4)
Hernia inguinalis pada anak tetap merupakan problem ke- Camper dengan kawan-kawan pada permulaan abad ke 19
sehatan yang tidak bisa lepas dari problem sosial; banyak orang telah mempelajari struktur anatomis dari kanalis inguinalis,
tua membawa anaknya dengan tonjolan di lipat paha ke dukun sedangkan Later pada abad ke 19 melakukan berbagai metode
sebelum dibawa ke rumah sakit atau dokter; adapula sebahagian pembedahan dalam mengatur kembali lapisan anatomis dari
masyarakat yang merasa malu bila anak mereka diketahui orang kanalis inguinalis dengan memperhatikan hubungan sekitamya
lain sakit demikian, sehingga hal-hal inilah yang kadangkala seperti struktur dari funikulus spermatikus. (dikutip dari 4)
memperlambat penanganan penyakit dan khususnya hernia. Bank pada tahun 1884 menyatakan bahwa pengobatan her-
Problem kedokteran yang penting adalah bagaimana mengu- nia yang definitif adalah dengan melakukan ikatan yang baik,
rangi frekuensi timbulnya hernia inguinalis(2,3). kegagalan daiam tindakan tersebut didapatkan akibat kelemahan
Dalam sejarahnya pada 1552 sebelum Masehi di Mesir telah ikatannya. Selanjutnya dilaporkan pula pengangkatan lengkap
dilaporkan pengobatan untuk hernia inguinalis dengan melaku- kantong hernia melalui cincin hernia eksterna. (dikutip dari 4)
kan suatu tekanan dari luar. Galen pada tahun 176 Masehi Fergusson pada tahun 1899 menekankan ligasi tinggi dari
melaporkan penurunan duktus testikularis melalui lubang kecil kantong hernia tanpa merusak struktur anatomis funikulus dan
pada lower abdomen, kemudian ia meneliti dari awal tentang lapisan anatomis dari kanalis inguinalis dengan melakukan
sebab terjadinya hernia inguinalis indirekta. (dikutip dari 4) insisi aponeurosis otot obliquus externus. (dikutip dari 4)
Susruta pada abad ke 5 sesudah Masehi pertama kali melapor- Mc Lennan pada tahun 1914 menyatakan pengobatan bedah

Dipresentasikan pada Pertemuan Ilmiah Tahwran ke VIII IKABI Malang, Juli


1992.

51
merupakan tindakan definitif untuk suatu hernia inguinalis (di- sampai 48 jam untuk memperbaiki keadaan anak dan me-
kutip dari 4). Botts, Riker dan Lewis pada tahun 1950 men- mungkinkan teknik operasi yang lebih mudaho.'.8).
dukung untuk dilakukan ligasi tinggi dan pengangkatan Secara garis besar cara "reduksi konservatif" yang dianjur-
kantong hernia sebagai hal yang rutin dikerjakan pada kan adalah metode dari Pieter dan Syamsuhidayat sebagai ber-
pembedahan hernia inguinalis pada anak-anak. (dikutip dari 4) ikut(8) :
Secara embriologi penurunan processus vaginalis bersama- 1) Keadaan umum penderita diperhatikan, dehidrasi hams
sama testis terjadi pada bulan ke 3 kehidupan foetus. Testis diatasi selama dilakukan "reduksi konservatif'. Isi lambung
turun dari dinding belakang abdomen melalui canalis inguinalis dikosongkan bila ada tanda-tanda gejala obstruksi usus dan
menuju kantong scrotum; hal ini amat erat hubungannya dilatasi lambung.
dengan kejadian hernia inguinalis lateralis dan hydrocele pada 2) Penderita dirawat dalam posisi Trendelenburg 20° dengan
anakanak. Pada waktu perkembangan lebih lanjut bagian distal fleksi pada articulatio coxae dan articulatio genu. Sedatif diberi-
prosessus vaginalis bersatu dan menutupi testis yang disebut kan sampai penderita tidur. Di atas hernia diletakkan kantong
sebagai procesus vaginalis peritonei sedangkan bagian berisi es untuk mengurangi atau menghilangkan edema jaringan.
proximal berobliterasi. Apabila bagian proximal processus 3) Batas waktu konservatif, bila dalam jangka waktu 4 – 5
vaginalis peritonei tidak menutup sempurna, dapat terjadi jam usaha konservatif tidak berhasil hams segera diambil
hernia dengan atau tanpa hydrocele(2,3). tindakan pembedahan, jangan sekali-kali memaksakan reposisi.
Prosentase kejadian hernia inguinalis lateralis kanan kira-
kira dua kali Iipat daripada yang kiri, hal ini disebabkan karena
adanya keterlambatan descensus testicularis kanan daripada
yang kiri, sesuai dengan oblitersi yang lambat dari processus BAHAN DAN CARA
peritonei yang kanan(2). Dikumpulkan kasus-kasus hernia inguinalis pada anak di
Diagnosis hernia umumnya tidak sulit, keluhan utama be- RSU Dadi Ujung Pandang secara retrospektif selama 4 tahun
rupa benjolan yang timbul pada lokasi hernia pada waktu me- terhitung mulai 1 Januari 1988 sampai dengan 31 Desember
nangis dan berlari-lari kemudian hilang pada saat istirahat ba- 1991, sebanyak 95 kasus melalui data pencatatan penderita di
ring. Unit Gawat Darurat dan rawat nginap di ruangan. Populasi
Pemeriksaan hernia inguinalis sebaiknya dilakukan pada adalah semua penderita hernia inguinalis lateralis yang
waktu anak berdiri, bila tidak tampak diusahakan anak berumur sampai 14 tahun. Analisa hasilnya dilakukan secara
mengedan atau menangis dan bilamana sudah muncul anak deskriptif dengan mendeskripsikan vanabel-variabel yang
ditenangkan kembali serta dibaringkan bila benjolan diteliti dalam naskah dan tabel.
menghilang maka diagnosis hernia inguinalis sudah dapat Diagnosis ditegakkan oleh Asisten Ahli Bedah dan/atau
ditegakkan. Bila tidak timbul benjolan, cara pemeriksaan lain Spesialis Bedah Anak di RSU Dadi berdasarkan gejala klinik
adanya silk sign akan membantu menegakkan diagnosis(2,3). dan atau penemuan pada saat operatif. Variabel yang diteliti
Komplikasi yang paling sering terjadi pada hernia inguinalis adalah; jumlah penderita pertahun berdasarkan jenis kelamin,
adalah inkarserasi, di mana usus/alat-alat viscera terjepit dan distribusi penderita hernia inguinalis lateralis berdnsarkan umur
tidak bisa masuk kembali ke rongga abdomen, mengakibatkan dan jenis kelaminnya, lokalisasinya, reponibilitasnya, lamanya
gangguan pasase usus berupa penyumbatan saluran cerna, atau inkarserasi sebelum masuk rumah sakit, jenis terapinya dan
terjadi nekrosis sampai perforasi. Akibat penyumbatan usus lama perawatan serta isi kantong hernia.
terjadi aliran balik berupa muntah-muntah sampai dehidrasi
dan shock dengan berbagai macam akibat lain. HASIL
Indikasi operasi pada hernia inguinalis lateralis yaitu pada Secara keseluruhan dari 95 kasus hernia inguinalis lateralis
saat hernia terdiagnosis. Pertimbangan lain adalah keadaan yang diteliti di RSU Dadi dari bulan Januari 1988 sampai bulan
umum penderita, gizi, penyakit lain yang menyertai. Operasi Desember 1991 pada penderita yang berumur sampai 14 tahun,
dilakukan anestesi umum dan bila Hb kurang dan 10 g% bisa terdapat 75 laki-laki dan 20 perempuan. Dan jumlah ini di-
dilakukan anestesi lokal(1,2,3,5,6). dapatkan :
Pada hernia inguinalis inkarserata tanpa gejala strangulasi
1) Jumlah penderita pertahun berdasarkan jenis kelamin
atau nekrosis dapat dilakukan reduksi isi kantong hernia secara
Jumlah penderita hernia pada anak pertahun adalah rata-rata
konservatif dengan pertimbangan bahwa :
24 orang yang terdiri atas 19 orang laki-laki dan 5 orang perem-
1) Pembedahan elektif lebih aman karena persiapan lebih
puan. Jadi perbandingan penderita hernia yang dirawat di rumah
baik.
sakit antara laki-laki dan perempuan adalah 4 : 1 (Tabel 1).
2) Pada hernia inguinalis inkarserata daerah yang akan di-
operasi oedem dan rapuh. 2) Distribusi berdasarkan umur dan jenis kelamin
Apabila "reduksi konservatif" pada hernia inguinalis inkar- Didapatkan bahwa hernia pada anak yang datang ke RS
serata dilaksanakan secara adekuat, kira-kira 80% tereduksi paling banyak pada umur 0 – 1 tahun (42,1%), bila ditinjau
(jepitan terlepas) sehingga pembedahan definitif dapat ditunda berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 2.

52
Tabel 1. Jumlah penderita pertahun berdasarkan jenis kelamin yang 5) Distribusi hernia inguinalis lateralis inkarserata ber-
dirawat di RSU Dadi (1988 -1991)
dasarkan umur
Tahun Hernia inguinalis lateralis inkarserata juga terbanyak
Jenis kelamin Jumlah χ % ditemukan pada umur 1 tahun pertama yaitu 15 kasus (50%)
88 89 90 91
dan relatif menurun di atas satu tahun (Tabel 5).
Laki-laki 24 15 16 20 75 19 78,9
Perempuan 5 4 4 7 20 5 21,1 Tabel 5. Distribusi hernia inguinalis lateralis inkarserata di RSU Dadi
berdasarkan umur, 1988 -1991
Jumlah 29 19 20 27 95 24 100
Umur (tahun) Jumlah %
Sumber : Data sekunder yang diolah
0–1 15 50
Keterangan : χ rata-rata Lebih 1 – 3 8 26,7
Lebih 3 – 5 2 6,7
3) Distribusi berdasarkan lokalisasi Lebih 5 – 7 1 3,3
Lokalisasi hernia yang paling sering di daerah inguinal Lebih 7 – 9 – –
dengan perincian; inguinalis lateralis dekstra (52,6%), sinistra Lebih 9 – 11 1 3,3
Lebih 11 – 13 1 3,3
(36,8%) dan bilateral (10,6%) (Tabel 3). 14 tahun 2 6,7

Tabel 2. Distribusi jumlah penderita hernia inguinalis lateralis pada Jumlah 30 100
anak di RSU Dadi berdasarkan umur dan Janis kelamin (1988 -1991)
Sumber : Data sekunder yang diolah
Janis Kelamin
Umur (Tahun) Jumiah % 6) Distribusi berdasarkan lamanya inkarserasi
Laki-laki Perempuan
Umumnya penderita hernia inguinalis lateralis inkarserata
0–1 35 5 40 42,1 mencari pertolongan dokter setelah mengalami inkarserata
Lebih 1 – 3 19 4 23 24,2 selama 1 sampai 2 hari (Tabel 6).
Lebih 3 – 5 11 3 14 14,7
Lebih 5 – 7 3 4 7 7,4 Tabel 6. Distribusi penderita hernia inguinalis lateralis yang mencari
Lebih 7 – 9 3 – 3 3,2 pertolongan dokter berdasarkan Iamanya inkarserasi di RSU
Lebih 9 – 11 1 2 3 3,2 Dadi (1988 – 1991)
Lebih 11 – 13 3 – 3 3,2
14 tahun – 2 2 2,0 Lamanya inkarserasi Jumlah %

Jumlah 75 20 95 100 1 hari*) 13 43,4


2 hari 7 23,3
3 hari 3 10
Sumber : Data sekunder yang diolah
4 hari 1 3,3
Tidak ada keterangan 6 20
Tabel 3. Distribusi jumlah kasus hernia inguinalis pada anak di RSU di
berdasarkan lokalisasi (1988 – 1991) Jumlah 30 100

Hernia Jumiah % Sumber : Data sekunder yang diolah


Keterangan : *) 1 hari, paling cepat 1 jam dan paling lama 24 jam
H. Inguinalis lateralis dekstra 50 52,6
H. Inguinalis lateralis sinistra 35 36,8 7) Distribusi hernia inguinalis lateralis inkarserata ber-
H. Inguinalis lateralis bilateral 10 10,6 dasarkan terapi "reduksi konservatif"
Jumlah 95 100 Di antara 30 kasus hernia inguinalis lateralis inkarserata,
22 dilakukan "reduksi konservatif' dengan hasi116 kasus
Sumber : Data sekunder yang diolah (72,7%) berhasil dan 6 kasus (27,3%) tidak berhasil, sedangkan
8 kasus langsung dilakukan tindakan operatif tanpa "reduksi
4) Distribusi berdasarkan reponibilitas Didapatkan 65 konservatif.
kasus (68,4%) hernia inguinalis reponibilis dan 30 kasus
Tabel7. Distribusi hernia inguinalis lateralis inkarserata di RSU Dadi
(31,6%) hernia inguinalis inkarserata (Tabel 4). berdasarkan keberhasilan terapi "reduksi konservatir" (1988 –
1991)
Tabel 4. Distribusi jumlah kasus hernia inguinalis lateralis pada anak di
RSU Dadi berdasarkan reponibilitasnya (1988 – 1991) Tahun
"Reduksi konservatir'* Jumlah %
No. Hernia Jumlah % 88 89 90 91

1. Reponibilis 65 68,4 Berhasil 4 3 4 5 16 72,7


2. Inkarserata** 30 31,6 Tidak berhasil 2 2 1 1 6 27,3

Jumlah 95 100 Jumlah 6 5 5 6 22 100

Sumber : Data sekunder yang diolah Sumber : Data sekunder yang diolah
** Irreponibilis yang inkarserata * Redukri konservatif dengan cara Pieter dan Syamsuhidayat

53
8) Distribusi hernia inguinalis lateralis inkarserata ber- (Tabel 1).
asarkan lamanya terapi "reduksi konservatif' Hernia terutama terjadi pada tahun pertama kehidupan;
Lamanya "reduksi konservatif' umumnya adalah 4 – 6 jam pada masa tersebut bayi bertambah besar dan kuat menangis
(56,3%). serta lebih sering mengejan. Sampai menjelang lebih satu tahun
angka ini relatif tinggi kemudian akan menurun(8,9,10,11). Pada
Tabel 8. Distribusi lamanya "reduksi konservatir' pada hernia inguinalis penelitian ini kelompok umur 0 – 1 tahun jumlah kasus 40
lateralis inkarserata di RSU Dadi (1988 – 1991)
(42,1%), pada kelompok umur 1 – 3 tahun 23 kasus (24,2%).
Lamanya "reduksl konservatir' Jumlah % Perbandingan antara hernia inguinalis lateralis kanan, kiri
dan bilateral adalah 60% : 25% : 15%(6,10,12). Dan angka per-
2 – 4jam 4 25
4 – 6 jam 9 56,3
bandingan tersebut dapat dilihat bahwa hernia inguinalis kanan
6 – 8 jam 3 18,7 lebih banyak/sering terjadi, hal ini disebabkan karena adanya
kelambatan descensus testis yang kanan. Dalam penelitian ini
Jumlah 16 100
juga didapatkan 52,6% kasus hernia inguinalis dextra, 36,8%
Sumber : Data sekunder yang diolah pada yang kiri dan 10,6% bilateral (Tabel 3).
Kasus hernia inguinalis yang inkarserata terjadi kira-kira
Tabel 9. Hubungan antara lama perawatan dengan Jails tindakan pada 10 -15% dari seluruh kasus hernia pada anak(2,5,7), sedangkan di
hernia ingulnalis lateralis inkarserata di RSU Dadi (1988–1991) RSCM, 39,7% dari 446 kasus hernia pada anak(8). Dari Tabel 4
Hernia inkarserata didapatkan bahwa 31,6% hernia inguinalis pada anak terjadi
Lamanya perawatan inkarserasi, hal ini menunjukkan angka yang bervariasi.
"Reduksi konservatir' berhasil Operasi
Insidens inkarserasi tertinggi pada umur tahun pertama
7– 14 hari 6 7 kehidupan, hal ini sejalan dengan tingginya kasus hernia pada
> 14 hari 10 1 umur tersebut(2,8,9), dalam tabel 5 juga tampak hal yang sama
Jumlah 16 8 50% pada umur 0 – 1 tahun.
Pada penelitian di RSCM tentang hernia inkarserata dida-
Sumber : Data sekunder yang diolah patkan bahwa pada umumnya penderita mencari pertolongan
dokter setelah mengalami inkarserasi selama 1 hari(8). Pada
Pada Tabel 9 terlihat bahwa tidak ada hubungan antara penelitian ini juga didapatkan hal yang sama (tabel 6); dida-
lamanya perawatan dengan tindakan operasi yang dilakukan. patkan 66,7% telah inkarserasi selama 1–2 hari; perbedaan ini
10) Distribusi isi kantong hernia mungkin karena faktor sosial ekonomi, tingkat pengetahuan
Pada waktu operasi, kantong hernia sebagian besar kosong dan pendidikan orang tuanya.
(52,7%); sedangkan yang berisi, sebagian besar adalah usus Keberhasilan reduksi konservatif di RSU Dadi bagi pen-
halus (29,4%) masih vital (Tabe110). derita hernia inguinalis inkarserata adalah 72,7% (tabel 7). Dan
kepustakaan yang ada batasan waktu "reduksi konservatif"
Tabel 10. Distribusi isi kantong hernia pada kasus-kasus hernia inguinalis adalah 4 – 5 jam, pada penelitian ini 80% dapat dicapai antara
yang dioperasi di RSU Dadi (1988 -1991) 2 – 6 jam (tabel 8); bila tidak berhasil segera dilakukan
pembedahan mengingat safe period tidak dapat dijamin(8,9,10).
Isi kantong hernia Jumlah %
Pada bayi dan anak-anak isi kantong hernia yang
Usus halus 35 36,8 terbanyak ditemukan adalah usus halus, sedangkan omentum
Omentum dan ileum 10 10,5
Ileum dan valvula iliocaecal 2 2,1
jarang mengingat omentumnya masih pendek(2,5,8,11). Hal ini
Caecum dan appendiks 3 3,2 tampak pada tabel 10 dimana isi kantong 36,8% adalah usus
Kosong 45 47,4 halus, sedangkan kantong hernia yang kosong terutama pada
Jumlah 95 100 kasus-kasus elektif.
Pengobatan hernia inguinalis lateralis pada anak-anak
Sumber : Data sekunder yang diolah adalah operasi. Pada hernia inguinalis lateralis inkarserata
dapat dilakukan tindakan konservatif sebellim operatif.
DISKUSI Lamanya perawatan penderita pre operatif dan postoperatif
Hernia inguinalis merupakan kelainan bedah anak yang berdasarkan indikasi medis. Kenyataannya masa perawatan
paling sering dijumpai, terbanyak pada anak laki-laki; ada yang dapat pula memanjang karena masalah administratif.
melaporkan perbandingan laki-laki dan wanita 9 : 1(7). Pieter dan Teknik operasi yang dilakukan adalah dengan melakukan
Syamsuhidayat menyimpulkan bahwa 93,4% hernia terdapat insisi kulit sesuai lipatan kulit dan di antara anulus externus dan
pada laki-laki dan 6,6% pada wanitao). Beberapa penulis lain- internus dengan insisi kira-kira 4 – 5 cm. Kemudian membuka
nya menuliskan antara 15–20% pada wanita dan 80–85% pada aponeurosis m. obliquus externus untuk membuka anulus exter-
laki-laki. Gambaran ini tampak dari hasil penelitian kami di- nus sampai tampak canalis inguinalis dengan mengidentifikasi
mana 78,9% didapatkan pada laki-laki dan 21,1% pada wanita n. ileo inguinalis, kemudian dengan memisahkan m. cremaster

54
dan fascia spermaticus intema kemudian mencari kantong hernia KEPUSTAKAAN
pada ventromedial dari funiculus spermaticus. Dilakukan ligasi 1. Nyhus LM, Bomheck CT. Hernia. Sabiston Textbook of Surgery, 13thed,
tinggi kantong hernia dengan 5–0 atau 4–0 vicryl, perdarahan Igaku-Shoin/Saunders; 1986. hal 1231–1251.
dikontrol dengan kauterisasi dan kulit dijahit dengan prolen 2. RaffensplengerJG. Inguinal Hernia. Swenson's Pediatrics Surgery 4th ed,
secara interrupted suture. Appleton Century – Crofts Inc. 1980. hal. 108-119.
3. Read RC. The Development of Inguinal Herniorthrophy, Surg Clin North
Am 1984; 64: 185–95.
4. Wooley MM. Inguinal Hernia. In: Pediatrics Surgery 3rd ed. Chicago,
London: Year Book Medical Publ 1979 vol. 2; 815–825.
5. Rickhan PP. Incarcerated Inguinal Hernia. Neonatal surgery, 2nd ed.
London – Boston: Butterworths 1978.301–307.
RINGKASAN 6. Thorex P. Hernia, Surgical Diagnosis. 2nd ed. Philadelphia: J.B.
Telah dilakukan evaluasi kasus-kasus hernia inguinalis Lippincott Co 1962, 356-373.
lateralis pada anak yang dirawat di RSU Dadi Ujung Pandang 7. Cox JA. Inguinal hernia of children. Surg Clin North Am 1985; 65: 1332–9.
dengan hasil : 8. PieterJ, Syamsuhidayat. Hernia Inkarserata, beberapa segi tentang reduksi
konservatif pada bayi dan anak, Ropanasuri, 1969; 1: 34-40.
1) Terbanyak pada laki-laki. 9. Berliner SD. An approach to groin hernia. Surg Clin North Am 1984; 64:
2) Sering pada kelompok umur 0 – 1 tahun. 197–213.
3) Lokasi yang terserang adalah yang kanan. 10. Madden JL. Hernia, Atlas of technics in surgery. 2nd ed, Appleton Century
4) Reponibilis terbanyak 74,1%. Crofts Inc th 1964, Vol 1. hal 58–84 and 104-112.
11. White JJ, Hailer JA, Dorst JP. Congenital inguinal hernia and inguinal
5) Inkarserata tersering antara umur 0 -1 tahun. hernioraphy, Surg Clin N Am 1970; 50: 823–37.
6) Reduksi konservatif cukup adekuat pada hernia inguinalis 12. Gross RE. Inguinal Herniorhaphy, An atlas of children's surgery. Philadel-
yang inkarserata. phia, London, Toronto: W.B. Saunders Co 1970, hal 66-69.

More haste, less speed – to be in a hurry often delays work

55
Invaginasi pada Anak dan Bayi

Muh. Husain, Farid Nur Mantu


UPF/Lab. lima Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang

ABSTRAK
Dari Januari 1989 sampai dengan Desember 1991 telah dirawat 12 kasus invaginasi
pada anak dan bayi di bagian Bedah Fakultas Kedokteran Unhas/Rumah Sakit Umum
Dadi Ujung Pandang; pada 7 kasus segera dilakukan laparatomi, 4 kasus dilakukan
reposisi dengan tekanan hidrostatik barium enema – 3 kasus gagal dan 1 kasus berhasil.
Satu kasus paksa pulang dan 2 kasus meninggal.

PENDAHULUAN enema. Bilamana reposisi dengan barium enema tidak berhasil


Invaginasi pada anak dan bayi merupakan hal yang masih atau dijumpai gejala invaginasi lebih dari 48 jam, peritonitis,
suing ditemukan dibandingkan dengan invaginasi pada orang distensi abdomen yang berlebihan, invaginasi rekuren, maka
dewasa. Invaginasi pada anak dan bayi sering dijumpai pada usia tindakan yang diambil adalah reposisi operatif(4,5).
di bawah 2 tahun dan terbanyak ditemukan pada usia 5 – 9 bulan. Evaluasi kasus ini bertujuan menyajikan data yang ditemu-
Penyebab invaginasi pada anak dan bayi 70% – 90% tidak kan pada kasus invaginasi anak dan bayi pada bangsal anak
diketahui; beberapa kepustakaan menghubungkan dengan Bagian Bedah Rumah Sakit Umum Dadi Ujung Pandang sejak
hypertrophied peyer's patches akibat infeksi oleh virus, perubah- Januari 1989 sampai dengan Desember 1991 dan membanding-
an cuaca atau perubahan pola makanan. Sedangkan invaginasi kannya dengan beberapa kepustakaan.
pada anak yang besar dan orang dewasa penyebabnya adalah
suatu kelainan patologis (divertikel Meckel, polip, tumor) (1,2,3). BAHAN DAN CARA
Invaginasi pada anak dan bayi sering memberikan gejala- Penulisan ini bersifat retrospektif dan data diperoleh dari
gejala klinik klasik berupa nyeri perut yang bersifat serangan catatan medik penderita yang dirawat Dada bangsal anak
(kolik), keluarnya lendir dan darah peranum (currant jelly Rumah Sakit Umum Dadi Ujung Pandang sejak Januari 1989
stool) tanpa faeces dan pada palpasi perut teraba massa tumor sampai dengan Desember 1991.
seperti pisang (sausage shape mass) (2,3,4). Dipelajari mengenai usia penderita, sex, gejala klinik, tin-
Untuk menegakkan diagnosis invaginasi pada anak dan dakan yang dilakukan dan jenis invaginasi setelah dilakukan
bayi, selain gejala klinik diperlukan pemeriksaan radiologi. Pada reposisi operatif.
pemeriksaan radiologi dengan menggunakan barium enema
selain bertujuan diagnostik juga dapat berperan sebagai terapi. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada invaginasi anak dan bayi, bila belum terlambat (belum Selama tiga tahun ditemukan 12 kasus invaginasi anak dan
ada dehidrasi, peritonitis, distensi abdomen yang berlebihan), bayi, terdiri dari 81aki-laki dan 4 wanita dengan usia antara 4 –
dapat. dilakukan reposisi dengan tekanan hidrostatik barium 15 bulan (tabel 1). Dalam kepustakaan, perbandingan antara

56
laki-laki dan wanita 3 : 1 serta usia yang terbanyak dijumpai untuk melakukan reposisi operatif(1,7,8,9). Dalam seri kasus
antara 5 – 9 bulan(6,7). kami, 7 kasus langsung dilakukan operasi mengingat penderita
Penyebab invaginasi pada anak dan bayi tidak diketahui, datang ke rumah saki' dengan gejala invaginasi lebih dari 48
sedangkan pada anak yang lebih besar dan orang dewasa ada jam disertai distensi abdomen yang berlebihan.
yang melaporkan disebabkan oleh kelainan patologis berupa Setelah dilakukan tindakan reposisi operatif dijumpai 4
divertikel Meckel, polip, tumor. Dalam seri kasus ini tidak kasus jenis ileocolica, 1 kasus jenis ileocolocolica serta 2 kasus
dijumpai adanya kelainan patologis tersebut. jenis ileoileal, tidak dijumpai adanya kelainan patologis yang
menjadi penyebabnya. Dilaporkan bahwa jenis invaginasi yang
Tabel 1. Distribusi Usia dan Jenis Kelamin Penderita Invaginasi Bagian terbanyak adalah ileocolica(7,10).
Bedah RSU Dadi, Ujung PandangJanuari 1989–Desember 1991
Empat kasus direposisi dengan tekanan hidrostatik barium
Usia Wanita Pria enema karena penderita tidak menunjukkan gejala-gejala dis-
tensi abdomen yang berlebihan, serta gejala invaginasi sampai
4 bulan 2 2
5 bulan 1 2 tiba di rumah sakit kurang dari 48 jam, namun setelah dilakukan
8 bulan 1 – reposisi ternyata 3 kasus gagal dan 1 kasus berhasil. Ketiga ka-
9 bulan – 2 sus yang gagal tereposisi tersebut dioperasi dengan jenis invagi-
13 bulan – 1 nasi ileocolica (2 kasus) dan ileocolocolica (1 kasus). Dua kasus
15 bulan – 1
memerlukan reseksi anastomosis karena menunjukkan tanda-
4 8 tanda perforasi dan 1 kasus hanya dilakukan reposisi manual.
Satu kasus menolak tindakan dan minta pulang. Dua kasus
Gambaran klinis invaginasi pada anak dan bayi adalah khas postoperasi setelah dirawat beberapa hari meninggal dunia oleh
berupa nyeri perut yang bersifat serangan (kolik) keluarnya karena sepsis dan dehidrasi.
darah dan lendir per anum tanpa faeces dan pada palpasi teraba Lama perawatan seluruh kasus berkisar 10 sampai 15 hari.
massa seperti pisang pada perut.
Dalam seri kasus kami jumpai 8 kasus dengan nyeri abdo- RINGKASAN
men (66,6%), keluarnya darah dan lendir dijumpai 10 kasus Selama kurun waktu Januari 1989 sampai Desember 1991
(83,3%), pada palpasi perut dijumpai massa seperti pisang 10 didapatkan 12 kasus penderita invaginasi pada anak dan bayi
kasus (83,3%) (tabel 2). yang berōbat ke UPF Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Dadi
Stevenson melaporkan adanya nyeri abdomen pada 85% Ujung Pandang; sebagian besar datang dengan gejala-gejala
kasus, keluarnya darah dan lendir 60% kasus dan massa tumor invaginasi lebih dari 48 jam disertai distensi abdomen yang berat.
85% kasus(61; sedangkan Ein melaporkan nyeri abdomen 64%, Diuraikan secara singkat etiologi, gejala klinis, diagnosis,
keluarnya darah dan lendir 55% dan massa tumor 51%(4). penanganan serta jenis invaginasi yang dijumpai setelah di-
lakukan reposisi operatif. Selanjutnya data yang diperoleh di-
Tabel 2. Distribusi gejala utama invaginasi bandingkan dengan data beberapa kepustakaan.
Gejala klinik Mama Jumlah KEPUSTAKAAN
Nyeri abdomen 8
Keluamya darah dan lendir 10 1. Basu SS. Handbook of Surgery. Bombay: Current Book International,
Teraba massa tumor 10 1986. p. 216.
2. Chapman JA. Intussusception in Rhodesia African. A contrast with the
accepted clinical picture. J. Pediatr. Surg. 1973; 8.
Gejala klinik yang dijumpai oleh beberapa penulis tidak 3. Dunphy JE, Way LW. Intussusception. Current Surgical Diagnosis and
jauh berbeda dari apa yang dijumpai dalam seri kasus kami, hal Treatment, 3th ed. 1977. p. 1044.
ini menunjukkan bahwa gejala klinik invaginasi adalah khas. 4. Ein SH. Leading point in childhood intussusception J. Pediatr. Surg. 1976;
11: 209–11.
Penanganan kasus invaginasi pada anak dan bayi meliputi 5. Raffenspenger JG. Intussusception. Swenson's Pediatric Surgery, 4th ed.
penanganan konservatif dengan tekanan hidrostatik barium 1980; 190`197.
enema serta tindakan reposisi operatif. 6. Stevenson RJ. Non neonatal intestinal obstruction in children. Surg Clin
Semua kasus invaginasi pada anak dan bayi dirawat secara North Am 1985; 65: 1227–31.
7. Way LW. Intussusception. Current Surgical Diagnosis and Treatment, 8th
konservatif dengan tindakan reposisi barium enema, mengingat ed. Prentice/Hall International Inc. 1988. p. 1118-9.
angka keberhasilannya lebih dari 50% dan penderita terhindar 8. Skipper RP, Boeckman CR, Klein RL. Childhood intussusception. Surg.
dari stres operasi. Namun apabila dijumpai keadaan seperti Gynecol. Obstet. 1990; 171: 151–3.
distensi abdomen yang berlebihan, peritonitis, reposisi dengan 9. Setiawan I, Theyeb A, Kartona D. Intussusepsi, Penanganan reduksi
dengan enema barium. Ropanasuri 1986; 15(4): 177-82.
barium enema mengalami kegagalan, gejala invaginasi lebih dari 10. Sabiston DC. Textbook of Surgery; 12th ed. Philadelphia, London,
24 jam, invaginasi yang rekuren beberapa kali, diindikasikan Toronto: WB Saunders Co. 1981. pp. 1380–1.

57
Malaria Serebral
- laporan kasus
Dr. M. Anto Artsanto
Rumah Sakit Umum Alaumere Flores, Nusa Tenggara Timur

PENDAHULUAN 3) Parasit.
Sampai saat ini malaria masih merupakan masalah yang Di beberapa daerah, parasit telah kebal terhadap obat anti-
cukup serius bagi kesehatan masyarakat terutama di negara malaria.
berkembang baik di daerah tropis maupun sub tropis, juga pada 4) Faktor lingkungan yang mempengaruhi siklus biologi
pendatang yang menetap atau sebagai pelancong di daerah endemi. nyamuk(3).
Berdasarkan laporan WHO, setiap tahun terdapat 110 juta Sampai kini patogenesis malaria serebral belum diketahui
penderita malaria, 280 juta orang sebagai carrier dan 2 milyard secara pasti. Pada pemeriksaan postmortem ditemukan sum-
atau 2/5 penduduk dunia selalu kontak dengan malaria(1). batan kapiler otak oleh gumpalan eritrosit yang mengandung
Malaria merupakan penyakit sistemik yang menyebabkan parasit dan petekia.
perubahan-perubahan patofisiologis pada organ target seperti : Hipotesis yang banyak diterima adalah: akibat terlalu cepat
otak, ginjal, hati, limpa dan saluran curia. Malaria serebral berkembang biak, parasit menyebabkan sumbatan kapiler,
merupakan komplikasi yang paling berat dari Malaria falsi- mengakibatkan lesi embolik sehingga timbul anoksi (terutama
parum, suatu keadaan gawat darurat medis yang bila terlambat otak dan ginjal) yang akhirnya memberikan kelainan pokok :
didiagnosis dan diatasi akan membawa kematian sekitar 20 – gangguan mikrosirkulasi (sludging, aglutinasi eritrosit intra-
50%(2). vaskuler, vasodilatasi kapiler), fenomena sitotoksik (hambatan
pernapasan dalam sel otak oleh bahan yang dihasilkan parasit)
dan hemolisis(2).
TINJAUAN PUSTAKA Malaria serebral umumnya didapati pada penderita non
Upaya pemberantasan malaria telah dilakukan dengan imun yang mendapat infeksi falciparum. Penderita perlu
pengendalian vektor dan obat antimalaria, namun sampai kini dirawat bila didapatkan gejala klinis dan atau basil pemeriksaan
malaria masih belum dapat diberantas. Salah satu faktor penye- laboratorium sebagai berikut :
babnya adalah adanya berbagai hambatan di antaranya resistensi 1) Kejang-kejang,diāre,muntah,deliri um,syokdan hipertermi.
parasit terhadap obat malaria terutama klorokuin. 2) Pada pemeriksaan laboratorium mungkin dijumpai
Malaria di suatu daerah berbeda dengan daerah lain ka- a) Parasitemia berat: >– 2% eritrosit terinfeksi parasit atau
rena : jumlah parasit aseksual (tropozoit) ? 100.000/mm dan/atau
1) Faktor manusia (rasial). b) Adanya sizon dalam darah perifer pada infeksi falciparum(4).
2) Faktor vektor (nyamuk Anopheles). Anemi sering terjadi pada penderita malaria, bahkan pada
Di Indonesia terdapat beberapa vektor yang penting (spesies infeksi malaria tropika yang akut; anemi dapat terjadi sangat
Anopheles) yaitu : A. aeonitus, A. maeulatus, A, subpictus, cepat antara lain karena terjadinya perusakan eritrosit. Selain
yang terdapat di Jawa dan Bali; A. sundaicus dan A. aconitus di itu juga dijumpai mekanisme lain seperti diseritropoetik dan
Sumatera; A. sundaicus, A. subpictus di Sulawesi; A. balabacen- memendeknya umur eritrosit(5).
sis di Kalimantan; A. farauti dan A. punctulatus di Irian Jaya. Resistensi parasit malaria terhadap klorokuin muncul per-
Lama kali di Thailand pada tahun 1961 dan di Amerika Selatan

58
tahun 1962. Dari dua fokus ini resistensi menyebar ke seluruh serologi Widal didapatkan negatip, sedangkan test Mantoux
dunia. Di Indonesia resistensi Plasmodium falciparum pertama juga negatip.
kali dilaporkan dari Samarinda tahun 1974, kernudian terus Pada hari ke empat kesadaran penderita mulai membaik
menyebar dan pada tahun 1987 kasus-kasus malaria yang (GCS 3/3/3), tetapi temperaturnya masih cukup tinggi yakni
resisten klorokuin sudah ditemukan di seluruh propinsi di 39°C. Diputuskan untuk menambahkan injeksi Garamycin
Indonesia kecuali Daerah Istimewa Yogyakarta(1). 2x40 mg iv selama 3 hari untuk kemudian diperiksa laboratorik
Pengobatan malaria yang resisten klorokuin dilakukan ulang dengan basil ureum 13,5 mg%, kreatinin 1,4 mg%,
dengan pemberian kombinasi Sulfadoksin-Pirimetamin, kina, SCOT 39 u/l, SGPT 29
antibiotik atau meflokuin. Hari-hari selanjutnya demam mulai turun namun pada hari
Untuk mencegah bertambah luasnya resistensi maka obat ke tujuh, pemeriksaan darah Malaria falciparum masih positip.
harus diberikan atas indikasi dan dosis yang tepat(1). Diputuskan untuk mengganti terapi Klorokuin injeksi menjadi
Kinin antipirin injeksi 2x125 mg im, sedangkan obat-obat
KASUS injeksi yang lain tetap.
Seorang anak (Nama : LJ), umur 4 tahun 4 bulan datang ke Hari berikutnya (hari ke delapan) didapatkan kēsadaran
RSU Maumere, Kabupaten Sikka, Flores, NTT tanggal 17–11– penderita mulai membaik (GCS 4/5/4). Sedikit demi sedikit
1992 dengan keluhan utama : tidak sadar. mulai dilakukan pemberian diit saring dan pemberian obat-
Riwayat penyakit sekarang : 7 hari demam tinggi, batuk, obatan secara oral yakni Amoksisilin 3x250 mg dan Chloram-
pilek; satu hari yang lalu kejang seluruh tubuh sekitar 5 menit; phenicol syrup4x200 mg. Adapun obat-obat injeksi tidakdiberi-
sewaktu kejang penderita menangis. Enam jam yang lalu pen- kan lagi kecuali Kinin antipirin. .
derita tidak sadar, namun bila dicubit masih mengeluarkan Perlu ditambahkan di sini bahwa pada pemeriksaan urine
suara-suara yang tidak jelas. tidak didapatkan kelainan, sedangkan pada pemeriksaan faeces
didapatkan Trichuris trichiura + , maka pada hari ke sembilan
Pemeriksaan fisik
kami berikan Pirantel Pamoat 250 mg dosis tunggal.
Pada pemeriksaan fisik waktu masuk di rumah sakit dida-
Pada hari ke sebelas obat-obat injeksi sudah tidak
patkan GCS (Glasgow Coma Scale) = 2/2/2. Keadaan iumum
diberikan lagi dan pada hari ke duabelas karena keadaan umum
lemah, sklera mata ikterik. Tekanan darah 110/70 mHg, nadi
cukup baik dan penderita bisa makan-minum, orang tua
100x/menit, suhu 36,5°C, berat badan 12 kg. Kaku kuduk tidak
penderita minta berobat jalan dan penderita dipulangkan.
didapatkan. Pada paru didapatkan ronkhi basah halus, wheezing
tidak didapatkan. Pada abdomen didapatkan limpa yang mem-
besar (S II). Ekstremitas pada waktu penderita masuk, dalam
PEMBAHASAN
keadaan spastik.
Program terapi penderita malaria berat menurut DepKes RI
Diagnosis masuk pada waktu itu adalah Observasi Malaria
meliputi pengobatan umum dan spesifik. Pc. gobatan umum
Serebral dengan Hepatitis Malaria ditambah dengan Bronkhitis.
yakni mengatasi syok dan hipovolemi; pada penderita ini
Terapi yang diberikan yaitu IVFD Dekstrosa 5% 20 tetes/
diberikan larutan Dekstrosa 5% 20 tetes/menit pada jam
menit, Klorokuin injeksi 3x100 mg im, Deksametason 3x2,5 mg
pertama diselang-seling dengan larutan garam isotonis yaitu
iv, Ampisilin 4x300 mg iv. Dilakukan pula pemeriksaan labo-
NaC10.9%dan RL masing-masing 8 jam per 500 ml.
ratorium darah cito, urine dan faeces lengkap serta kimia darah.
Untuk mengatasi hipertermi diberikan kompres dan peng-
Perjalanan Penyakit amatan suhu penderita secara rektal. Transfusi darah tidak
Pada hari ke dua penderita di RS, kesadarannya masih diberikan karena Hb ≥ 6 g/dl dan tujuan utama saat ini ialah
tetap (GCS 2/2/2), temperatur meningkat menjadi 38°C. penyelamatan jiwa penderita.
Dilakukan pemasangan sonde lambung untuk jalan masuknya Untuk mengatasi edema serebral diberikan Deksametason
makanan/ diit cair dan obat-obatan. 2,5 mg iv dapat diulang setiap 4 – 6 jam tergantung keadaan
Obat yang diberikan selain injeksi klorokuin, deksametason penderita(4). Untuk mengatasi kejang diberikan Diazepam 0,5
dan ampisilin adalah Sulfadoksin 1 tablet dosis tunggal per mg/kgbb; penggunaan morfin merupakan kontra indikasi(4).
sonde. Sedangkan infus yang diberikan Dekstrosa 5%, NaCl Urine ditampung dengan urine bag lewat pemasangan kon-
0.9% dan RL masing-masing 8 jam per 500 ml. dom kateter, kira-kira 500 ml/hari. Warna urine kuning jernih,
Hasil laboratorium : Malaria falciparum + ; Hb 6,7 g/dl; dengan albumin – , reduksi – , sedimen Ca oxalat + , Triple
leukosit 10.500/mm; eosinofil 0; basofil 0; segmen 57; limfosit phosphat + , Coral 2 – 3, amorf + , BJ urine 1,015, pH 6,8.
42; monosit 0. Intake kalori diberikan scbanyak 1.500 kalori berupa ma-
Pada hari ke tiga, kcadaan penderita masih tetap, bahkan kanan lewat pipa dengan bahan-bahan maizena, telur, jeruk,
temperatumya meningkat menjadi 40°C. Didapatkan basil labo- margarine, tepung susu, gula pasir dan cairan sebanyak kira-
ratorium : Malaria falciparum masih + ; Hb 6,7 g/dl; leukosit kira 7'/2 gelas(5).
13.200/mm'; trombosit 147.000. Sedangkan basil kimia darah : Berdasarkan basil laboratorium yang menyokong malaria
SCOT 78 till; SGPT 43 u/1, bilirubin darah 1,23 mg%, bilirubin dan infeksi sekunder berupa bronkhitis diberikan klorokuin
total 2,34 mg%, ureum 7,8 mg%, kreatinin 1,4 mg%. Pemeriksaan injeksi 3x100 mg im, deksametason 3x100 mg iv dan ampisilin

59
4x300 mg iv. klorokuin telah menyebar luas, namun klorokuin tetap diguna-
Pada hari ke tujuh perawatan, pemeriksaan darah malaria kan sebagai obat pilihan pertama dalam pengobatan malaria. Bila
falciparum masih positip, maka diputuskan untuk mengganti resistensi sudah terbukti maka klorokuin diganti dengan obat
klorokuin menjadi kinin antipirin injeksi 2x125 mg im, sedang- alternatif lain. Untuk mencegah bertambah luasnya resistensi
kan obat-obat lainnya tetap diberikan. maka obat harus diberikan atas indikasi dan dosis yang tepat.
Pada hari ke delapan kesadaran penderita makin membaik Berbagai pengalaman telah menunjukkan bahwa penang-
(GCS 4/5/4) dan pemeriksaan darah malaria negatip pada hari gulangan masalah resistensi sangatlah sulit, maka tindakan
ke sepuluh. pencegahan menjadi penting sekali.
Pada hari ke sebelas penderita sudah dapat makan minum
dan keadaan umumnya cukup baik; maka penderita dipulangkan.
Di sini terjadi resistensi Plasmodium falciparum terhadap KEPUSTAKAAN
klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin. Penelitian in vitro dan 1. Staf Pengajar Ilmu Keschatan Anak FKUI, Bagian Dmu Kesehatan Anak
in vivo telah membuktikan bahwa kepekaan terhadap obat FKUI, Jakarta, 1985, 655-659.
malaria berkurang dengan adanya tekanan obat (drug pressure) 2. Ardana K. et al. Malaria Screbral, Naskah Kopapdi VI, Jakarta 1984,
seperti pemberian kemoprofilaksis yang lama dan luas serta 2174-2187.
3. Harianto PN et al. Presentasi Klinik Komplikasi dan Mortalitas Malaria
pengobatan massal, penggunaan obat dengan dosis subkuratif Serebral di RS Bethesda, Minahasa. Dalam: Naskah Kopapdi V1II,
dan pemberian garam yang mengandung obat (medicated salt). Jakarta, 1990, 603-618.
Kina merupakan obat pilihan pada malaria serebral yang 4. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
disertai koma dan malaria berat lainnya(6). Lingkungan Pemukiman, DepKes RI, Jakarta 1986, 51-61.
5. Bagian Gizi RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Penuntun Diit. Edisi kedua.
Jakarta: Gramedia 1987, 16-18.
KESIMPULAN DAN SARAN 6. Sungkar S, Pribadi W. Resistensi Plasmodium falciparum terhadap Obat-
Walaupun kasus-kasus malaria falciparum yang resisten obat Malaria. Maj Kedokt Indon 1992; 42(3): 155-162.

Kalender Kegiatan Ilmiah

Agustus 23–25, 1993 – SEMINAR PARASITOLOGI NASIONAL VII dan


KONGRES PERKUMPULAN PEMBERANTASAN
PENYAKIT PARASIT INDONESIA VI
Kuta Pertamina Cottages, Bali, INDONESIA
Secr.: Lab. Parasitologi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Jl. P.B. Sudirman
Denpasar 80232
INDONESIA
HUMOR
ILMU KEDOKTERAN

MASIH ADA YANG TERINGAT MINUM OBAT


Seorang tukang Bajaj (pasien) di- Seorang dokter ahli penyakit kulit dibingungkan oleh kedatangan seorang pasien
bawa ke rumahsakit dengan memar anak dengan ruam-ruam di seluruh tubuh dan ditemani oleh ibunya yang ketus. Secara
otak akibat diseruduk bis kota. Setelah klinis dokter berkesimpulan bahwa ruam-ruam tersebut adalah Drug Eruption, sehingga
koma seminggu ia mulai sadar dan dapat dokter berusaha mencari kemungkinan penyebabnya secara langsung kepada pasien.
diajak bicara, namun ternyata ia men- Setelah ditanya berulang kali pasien tetap tidak mau mengakui bahwa sebelum ini ia
derita amnesia retrograd yang parah. minum suatu obat. Akhirnya dokter berusaha menakut-nakutkan dengan mengatakan
Dokter : "Siapa nama saudara" bahwa penyakitnya merupakan penyakit yang berbahaya, sehingga pasien kelihatan
Pasien : "Lupa dok" ketakutan. Setelah melirik ke wajah ibunya yang ketus itu ia langsung menjawab "ya".
Dokter : "Dimana saudara tinggal ?" Dokter : "Kalau ya, obat apa itu?"
Pasien : "Tidak ingat lagi" Pasien : "Obat syrup!"
Dokter : "Masih ingat kejadian kece Dokter : "Berapa banyak kamu minum?" (tegas)
lakaan yang saudara alami ?" Pasien : "Setengah bo . . bo . . tol, dok." (dengan takut-takut)
Pasien : "Semua lupa" Dokter : "Bagaimana caranya?" (dokter terkejut dan keheranan)
Dokter : "Apa yang bisa saudara ingat Pasien : "O .. o .. obat .. lang .. langsung sa .. ya .. tee .. guk, dok" (bicaranya terputus-
sekarang ini ?" putus)
Pasien : "SDSB buka tiap hari Rabu Dokter : "Kenapa begitu!" (tegas)
dok" Pasien : Habis, sa . . ya . . li . . hat . . i.i.i.ibu . . mi . . mi . num . . o . o . oobat . . se
R. Setyabudy . . seper . . ti i. i itu, sih".
Jakarta Dokter geleng-geleng kepala dan ibu pasien menjadi malu
JUSTERU SOPAN
Tiga orang dokter berkenalan per- Irwan
tama kali pada acara 'coffee break' di Banda Acceh
suatu kongres ilmiah. Dokter A adalah
seorang yang gemar bicara tapi sangat
penggagap. Selama berceloteh ia di- OBAT MALARIA
tanggapi oleh dokter B. Pembicaraan Dalam dengar pendapat penggunaan obat tradisional di suatu daerah endemis
segera berkembang menjadi ramai, malaria terjadilah tanya jawab sbb. :
namun dokter C diam saja. Setelah Penanya : "Saya sudah putus asa mengobati penyakit malaria yang hilang timbul.
pembicaraan usai dan dokter A pergi, Oleh sebab itu pada waktu teman saya menganjurkan memakai tahi kam-
dokter B menegur dokter C : bing, saya lakukan, dan temyata sembuh dan sehat sampai sekarang".
"Saya rasa saudara kurang sopan ter- Dokter dan pendengar lain : Bagaimana caranya ? (disertai ger . . . r . . . . r . . . r . . . r)
hadap dokter A tadi. Berkali-kali ia Penanya : "(dengan bangga) 9 butir tahi kambing diosengkan, kemudian ditumbuk
mengajak saudara bicara tapi saudara halus, diseduh dengan air panas 1 gelas, 3 X 3 butir / hari."
tidak menjawab sepatah katapun". Dokter : (dengan tenang mendengarkan dan membisikkan sesuatu kepada teman
Jawab dokter C : "So .. so ... so .. al nya) Mau diterliti dan dibuat instand ?
ny..nya,s...sa...yaju..gaga..ga... gap. Emiliana Tjitra
Kalau saya jawab nan .. ti dikira Jakarta
menghi .. hi .. na di .. dia."
R. Setyabudy
Jakarta

61
62
ABSTRAK
PENGOBATAN FARMAKOLOGIK dianggap bekerja memblokade reseptor dapat diatasi dengan obat antipsikotik
INSOMNIA dopamin D2. Umumnya perbaikan mula- lain.
Insomnia tidak jarang di jumpai mula diamati pada gejala tingkah laku, Drugs 1992; 44(6): 981-92
dalam situasi sehari-hari; diperkirakan diikuti dengan perbaikan afek dan akhir-
Brw
sepertiga populasi pernah meng- nya pada gejala kognitif dan persepsi.
alaminya pada suatu saat, terutama di Keberhasilan pengobatan antara lain VITAMIN K PROFILAKSIS
kalangan usia lanjut. diperkirakan berdasarkan usiapasien Suatu studi klinis yang dilakukan di
Penatalaksanaan insomnia meliputi saat mulai sakit, fungsi sebelum sakit, Inggris menunjukkan bahwa bayi baru
cara non farmakologik dan cara farma- riwayat keluarga, fungsi kognitif, lahir yang tidak diberi vitamin K profi-
kologik; karena insomnia sebenarnya ukuran ventrikel dalam otak dan kadar laksis mempunyai risiko yang lebih be-
hanya merupakan gejala, terlebih dahulu asam homovanilat. sar menderita perdarahan, dibanding-
harus dicari/diketahui penyebabnya. Semua obat antipsikotik – kecuali kan dengan yang mendapatkan vitamin
Farmakoterapi diindikasikan pada klozapin – umumnya sama efektif, ter- K, baik secara oral (relative risk -13,4)
orang sehat yang mengalami transient gantung pada respons sebelumnya dan maupun secara intramuskular (relative
insomnia atau pada orangtua dengan toleransi pasien terhadap efek samping. risk– 81,7).
intermittent insomnia; tetapi tidak di- Bila dimaksudkan untuk mengendalikan Dengan pengembangan preparat oral
anjurkan pada insomnia kronik, kecuali tingkah laku yang berbahaya, dalam yang lebih baik, mungkin efektivitas
bila digunakan secara intermiten atau jangka pendek dapat diberikan secara pemberian oral juga akan meningkat.
sebagai terapi ajuvan. Hipnotik sedatif intramuskuler dan dikombinasi dengan Scrip 1991; 1671: 26
digunakan bila dipastikan tidak ada benzodiazepin; sedangkan untuk peme-
Brw
primary sleep disorder; dan dimulai liharaan dapat digunakan haloperidol 5
dengan dosis serendah mungkin untuk mg/hari, atau obat-obat lain yang setara
VAKSIN KOLERA ORAL
waktu sesingkat mungkin. Pada orangtua (dosis ekuipoten). Pemantauan peng-
Penelitian lapangan di Bangla Desh
harus diperhitungkan kemungkinan obatan selanjutnya akan mempengaruhi
menunjukkan untuk pertama kalinya
perubahan farmakokinetik. kronisitas; relaps lebih mungkin terjadi
bahwa vaksin kolera oral dapat me-
Benzodiazepin sampai saat ini masih bila obat dihentikan terlalu dini atau
nurunkan kasus.
merupakan obat yang dianjurkan karena dosis terlalu rendah; meskipun dosis
Pemberian oral whole cell cholera
relatif aman; meskipun demikian harus rendah mengurangi timbulnya efek
vaccine dengan (BS-WC) atau tanpa
diperhatikan kemungkinan efek sam- samping. Penggunaan obat yang ber-
(WC) cholera toxin B subunit telah
ping berupa rasa kantuk pagi hari, re- sifat long-acting secara intramuskular
menurunkan angka infeksi sebesar lebih
bound insomnia dan amnesia retrograd. dapat mengingatkan kepatuhan pasien.
dari 50 persen dibandingkan dengan
Benzodiazepin kerja-cepat banyak Efek samping berkaitan dengan po-
plasebo; selain itu juga meringankan
dikaitkan dengan rebound insomnia dan tensi obat, umumnya berupa gejala
gejala pada kasus-kasus klinis.
reaksi withdrawal; sedangkan benzo- ekstrapiramidal seperti distonia,
diazepin kerja-lambat dapat menyebab- akathisia, diskinesia tardif dan Parkin- Inpharma 1993; 872:16
kan rasa kantuk pagi hari. Amnesia sonism; obat-obat potensi rendah dapat Brw
anterograd dapat ditemukan pada peng- menyebabkan hipotensi ortostatik, se-
gunaan semua jenis benzodiazepin. dasi dan efek antikolinergik. Neorulep- ANTIKONVULSAN UNTUK PENG-
Alkohol dan obatbebas tidak dianjur- tic malignant syndrome merupakan OBATAN PSIKOSIS
kan untuk mengatasi insomnia. efek samping yang berbahaya, dapat Pasien-pasien psikosis yang tidak
Drugs 1993; 45(1): 44-55 timbul pada penggunaan semua obat dapat diatasi dengan obat antipsikotik
Brw neuroleptik. secara memuaskan, mungkin dapat
Klozapin terbukti efektif pada 30– menggunakan antikonvulsan sebagai
OBAT ANTIPSIKOTIK 40% pasien yang telah resisten terhadap obat tambahan. Bahkan pada kasus-
Tersedianya farmakoterapi untuk antipsikotik lain; meskipun tidak me- kasus psikosis organ ik dan bipolar,
psikosis telah mengubah secara drastis nimbulkan gejala ekstrapiramidal, dapat antikonvulsan dapat digunakan sebagai
cara-cara pengobatan orang-orang menyebabkan agranulositosis. Obat ini obat tunggal.
psikotik; pada umumnya obat tersebut hanyadigunakanpadapasien yang tidak Klonazepam merupakan obat tam-

63
ABSTRAK
bahan yang bermanfaat, tetapi kurang Bila faktor usia ibu, suplemen asam dengan 500 mg. 6 jam kemudian, atau
efektif bila digunakan secara tunggal; folat, riwayat neural tube defect dalam kombinasi keduanya, yaitu artesunat
obat ini cukup aman, mempunyai efek keluarga dan kemungkinan sumber pa- disusul dengan meflokuin.
sedasi dan ditoleransi dengan baik. nas lain diperhitungkan/dikoreksi, Ternyata angka kesembuhan pada ke-
Karbanazepin terutama bermanfaat un- maka risiko relatif untuk mandi air lompok meflokuin adalah sebesar 81%
tuk kasus-kasus bipolar, kadang-kadang panas menjadi 2,8 (95%CI: 1,2-6,5), (30 dari 37 pasien), pada kelompok
dapat digunakan sebagai obat tunggal; sauna 1,8 (95%CI: 0,9-7,9), demam 1,8 artesunat sebesar 88%(35 dari 40 pasien)
asam valproat juga dapat bermanfaat, (95%CI: 0,8-4,1) dan bantal listrik se- sedangkan pada kelompok kombinasi
tetapi perlu diwaspadai efek sampingnya. besar 1,2 (95%CI: 0,5-2,6). semuanya sembuh (39 pasien).
Sampai saat ini penggunaan antikon- Bilahanyaberendam air panas, sauna Efek sāmping yang dijumpai ialah
vulsan pada psikosis adalah berdasar- dan demam yang diperhitungkan, maka mual dan muntah.
kan pengalaman empirik, karena belum risiko relatif meningkat dari 1,9
dapat diterangkan secara memuaskan. (95%CI: 0,9-3,7) bila mengalami salah Lancet 1992; 339: 821-4
Brw
Post mengamati adanya kecenderungan satu dari tiga hal di atas, menjadi 6,2
makin seringnya serangan afektif yang (95%CI: 2,2-17,2) bila mengalami dua
mirip dengan serangan epilepsi (teori dari tiga hal tersebut. DIET DAN RISIKO KANKER
kindling); mungkin fakta ini dapat se- PAYUDARA
JAMA 1992; 268: 882-5 Sebanyak 89.494 wanita berusia 34 -
bagian menerangkan efek antikonvul- Hk
san tersebut. 59 tahun telah diamati selama 8 tahun
untuk mengetahui adanya pengaruh
Drugs 1992; 44(3): 326-35 MANFAAT YOGURT
lemak dan serat dalam makanan ter-
Hk Minum yogurt dapat mengurangi
hadap risiko kanker payudara. Selama
kemungkinan kandidiasis vagina, de-
masa pengamatan, terdapat 1439 kasus
mikian kesimpulan dari penelitian yang
kanker payudara, 774 di antaranya di
MANDI AIR PANAS DAN KE- dilakukan di New York, AS.
kalangan wanita post menopause.
LAINAN JANIN Sebanyak 33 wanita dengan infeksi
Ternyata analisis statistik tidak
Para peneliti di New England, AS kandida rekuren diberi diet 8 ounces
menunjukkan adanya pengaruh lemak
menyatakan bahwa panas yang diper- yogurt yang mengandung Lactobacillus
maupun serat dalam makanan, baik
oleh dari mandi berendam air panas, acidophilus setiap hari selama 6 bulan.
secara positif maupun negatif, terhadap
sauna atau demam selama kehamilan Hasilnya ternyata dapat menurunkan
timbulnya kanker payudara. Analisis
trimester pertama dapat meningkatkan angka infeksi per 6 bulan menjadi 0,38
juga tidak menunjukkan pengaruh jenis
risiko neural tube defect pada bayinya. ± 0,51 kali dibandingkan dengan 2,54
lemak tertentu (jenuh maupun tak je-
Penelitian ini melibatkan 23.491 wanita ± 1,66 kali pada kelompok kontrol (p =
nuh) terhadap kanker payudara.
yang menjalani pemeriksaan alfa feto 0,001). Sedangkan koloni Candida me-
Penelitian ini tidak mendukung pen-
protein atau amniosentesis. nurun dari 3,23 ± 2,17 per 6 bulan pada
dapat bahwa lemak dapat meningkatkan
Wanita yang mengalami exposure kelompok kontrol menjadi 0,84 ± 0,90
risiko kanker payudara dan bahwa
terhadap panas baik melalui sauna, be- per 6 bulan pada kelompok kelola (p =
serat dapat menurunkan risiko tersebut.
rendam air panas, demam ataupun ban- 0,001).
tal listrik mempunyai risiko sebesar 1,9 Ann. Intern. Medd. 1992; 116: 353-7 JAMA 1992; 268: 2037114
(95%CI: 0,9-2,9); sedangkan yang ber- Hk Hk
sauna, berendam air panas atau demam
mempunyai risiko sebesar 2,2 (95%CI: ANTIMALARIA
1,2-4,1). Malaria masih merupakan masalah
Analisis statistik selanjutnya me- kesehatan di Asia, dan obat baru yang
nunjukkan bahwa risiko relatif mandi efektif masih terus dicari.
air panas adalah sebesar 2,9 (95%CI: Obat baru - artesunat - telah dicoba
0,7-10,1), untuk sauna sebesar 2,6 pada sekelompok pasien malaria di
(95%CI: 0,7-10,1), untuk demam se- Thailand; 127 pasien secara acak men-
besar 1,9 (95%CI: 0,8-4,1) dan untuk dapatkan 600 mg. artesunat selania 5
bantal listrik 1,2 (95%CI: 0,5-2,6). hari, atau meflokuin 750 mg. disusul

64
65
Ruang
Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1. Cryptosporidium tergolong : a) Trombosit
a) Basil b) Megakariosit
b) Kokus c) Fe
c) Protozoa d) Globulin
d) Jamur e) Semua benar
e) Cacing 7. Kelainan kulit yang khas pada SLE (systemic lupus erythe-
2. Cryptosporidium menyebabkan gejala : matosus) :
a) Diare a) Hiperpigmentasi
b) Demam b) Vitiligo
c) Kejang c) Butterfly rash
d) Batuk d) Ulkus
e) Semua benar e) Eritema
3. Geraham pertama diharapkan tumbuh pada usia : 8. Tindakan bedah pada atresia bilier seyogyanya dilakukan
a) 0 – 6 bulan pada usia :
b) 6 – 12 bulan a) Kurang dari 8 minggu
c) 12 –18 bulan b) Antara 8 – 10 minggu
d) 18 – 24 bulan c) Setelah 12 minggu
e) lebih dari 24 bulan d) Setelah 6 bulan
4. Talasemia merupakan kelainan darah akibat kelainan : e) Setelah 1 tahun
a) Metabolisme Fe 9. Tinja akolik ditemukan pada :
b) Rantai globin a) Kelainan kandung empedu
c) Absorbsi asam folat b) Kelainan hepar
d) Metabolisme protein c) Kolestasis ekstrahepatik
e) Defisiensi d) Kolestasis intrahepatik
5. Diagnosis prenatal talasemia dapat dilakukan mclalui : e) Gagal hepar
a) Chorionic villi sampling 10. Obat yang bersifat merangsang aktivitas enzim glukuronil
b) Teknik cross-matching transferase :
c) Ultrasonografi a) Asam ursodeoksikolat
d) Kadar Fe b) Asam litokolat
e) Semua bcnar c) Kolestiramin
6. Pada purpura trombositiopenik idiopatik ditemukan pe- d) Fenobarbital
ingkatan kadar : e) Semua benar

66

You might also like