You are on page 1of 24

Laporan Praktikum Ekologi Air Tawar Waduk Penjalin & Telaga Renjeng Sylva Sagita/P2BA10014/2012

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Perairan air tawar, salah satunya waduk dan telaga menempati ruang yang lebih kecil bila dibandingkan dengan lautan maupun daratan, namun demikian ekosistem air tawar memiliki peranan yang sangat penting karena merupakan sumber air rumah tangga dan industri yang murah. Perairan air tawar merupakan tempat disposal/pembuangan yang mudah dan murah (Heddy dan Kurniati, 1994). Telaga merupakan suatu ekosistem perairan yang terbentuk secara alami. Telaga Ranjeng merupakan objek wisata air potensial di kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Waduk merupakan salah satu contoh perairan tawar buatan yang dibuat dengan cara membendung sungai tertentu dengan berbagai tujuan yaitu sebagai pencegah banjir, pembangkit tenaga listrik, pensuplai air bagi kebutuhan irigasi pertanian, untuk kegiatan perikanan baik perikanan tangkap maupun budidaya karamba, dan bahkan untuk kegiatan pariwisata. Dengan demikian keberadaan waduk dan telaga telah memberikan manfaat sendiri bagi masyarakat di sekitarnya. Suatu ekosistem dapat terbentuk oleh adanya interaksi antara makhluk dan lingkungannya, baik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup lainnya dan antara makhluk hidup dengan lingkungan abiotik (habitat). Interaksi dalam ekosistem didasari adanya hubungan saling membutuhkan antara sesama makhluk hidup dan adanya eksploitasi lingkungan abiotik untuk kebutuhan dasar hidup bagi makhluk hidup. Dilihat dari aspek kebutuhannya, sesungguhnya interaksi bagi makhluk hidup umumnya merupakan upaya mendapatkan energi bagi kelangsungan hidupnya yang meliputi pertumbuhan, pemeliharaan, reproduksi dan pergerakan.

Keberlangsungan tersebut membuat setiap individu berjuang untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Sehingga mereka memproduksi segala hal yang mereka butuhkan dalam melangsungkan hidupnya.

Laporan Praktikum Ekologi Air Tawar Waduk Penjalin & Telaga Renjeng Sylva Sagita/P2BA10014/2012

Adanya kehidupan di bumi berpangkal pada kemampuan tumbuhan hijau dalam menggunakan energi cahaya matahari untuk mensintesis molekul-molekul organik yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik (fotosintesis)(Anonim, 2010(a)). Pangkal semua bentuk kehidupan dalam perairan ialah aktivitas fotosintesis tumbuhan akuatik. Perbedaan kondisi kimia dan fisik tertentu di setiap perairan mengakibatkan terdapatnya perbedaan-perbedaan besar dalam bentuk tumbuhan dan lokasi serta tingkat fotosintesis maksimum (Nyabakken, 1992). Produktivitas primer sendiri berarti hasil proses fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan berklorofil (Michael, 1989) dalam perairan yang melakukan aktivitas fotosintesis adalah fitoplankton. hasil dari fotosintesisnya merupakan sumber nutrisi utama bagi organisme air lainnya yang berperan sebagai konsumen dimulai dengan zooplankton dan diikuti oleh kelompok organisme lainnya (Barus,2004) menurut Liley et al, (2000) posisi fitoplankton didasar piramida makanan adalah mempertahankan kesehatan lingkungan air bila ada gangguan terhadap fitoplankton, maka seketika komunitas yang lain akan terpengaruh. komposisi fitoplankton bergantung pada kualitas bergantung pada kualitas air. Di waduk Penjalin dan telaga Ranjeng dilakukan pengujian produktivitas primer yang bertujuan untuk mempelajari cara pengukuran produktivitas primer perairan dengan menggunakan metoda botol terang dan gelap. percobaan ini pun bermanfaat untuk mengetahui keterkaitan antara produktivitas primer dengan kondisi fisik perairan. 1.2. Tujuan Kegiatan praktikum di Waduk Penjalin dan Telaga Ranjeng bertujuan untuk: 1. Menguji produktivitas perairan tawar menggunakan metode botol gelap terang. 2. Mengetahui keterkaitan antara produktivitas primer dengan kondisi fsik perairan.

Laporan Praktikum Ekologi Air Tawar Waduk Penjalin & Telaga Renjeng Sylva Sagita/P2BA10014/2012

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Perairan Tawar Air menutupi sekitar 70% permukaan bumi, dengan jumlah sekitar 1.368 juta km3. Air terdapat dalam berbagai bentuk, misalnya uap air, es, cairan dan salju. Air tawar terutama terdapat di sungai, danau, air tanah, dan gunung es. Semua badan air di daratan dihubungkan dengan laut dan atmosfer melalui siklus hidrologi yang berlangsung secara kontinyu (Effendi, 2003). Air tawar berasal dari dua sumber, yaitu air permukaan (surface water) dan air tanah (ground water). Air permukaan adalah air yang berada di sungai, waduk, danau, rawa dan badan air lainnya yang tidak mengalami infiltrasi ke bawah tanah. Areal tanah yang mengalirkan air ke suatu badan air disebut watersheds atau drainage basin. Air yang mengalir dari daratan menuju suatu badan air disebut limpasan permukaan (surface run off), dan air yang mengalir di sungai menuju laut disebut aliran air sungai. Sekitar 69% air yang masuk ke sungai berasal dari hujan, pencairan es atau salju, dan sisanya berasal dari air tanah. Ekosistem perairan tawar sendiri dapat dibedakan menjadi dua yaitu ekosistem perairan tawar tertutup dan ekosistem perairan tawar terbuka. Ekosistem perairan tawar tertutup adalah ekosistem yang dapat dilindungi terhadap pengaruh dari luar, sedangkan ekosistem perairan tawar terbuka adalah ekosistem perairan yang tidak atau sulit dilindungi terhadap pengaruh dari luar. Ekosistem perairan tawar terbuka dibedakan menjadi dua yaitu ekosistem perairan tawar yang mengalir dan ekosistem perairan tawar yang menggenang. Contoh dari perairan menggenang atau tidak mengalir (lentic waters) yaitu danau, waduk dan rawa. Perairan ini memiliki aliran tetapi aliran aliran tersebut tidak memiliki peranan penting karena alirannya tidak besar dan tidak mempengaruhi kehidupan jasadjasad di dalamnya. Faktor yang memegang peranan penting dan berpengaruh besar terhadap jasadjasad hidup di dalamsuatu perairan adalah terbaginya perairan tersebut
3

Laporan Praktikum Ekologi Air Tawar Waduk Penjalin & Telaga Renjeng Sylva Sagita/P2BA10014/2012

menjadi beberapa lapisan dari atas ke bawah (stratifikasi) yang berbedabeda sifatnya karena airnya berhenti. Perairan mengalir (lotic waters) adalah mata air dan sungai. Aliran air pada perairan ini biasanya terjadi karena perbedaan ketinggian tempat dari daerah yang lebih tinggi ke daerah yang lebih rendah (Odum, 1993). Waduk merupakan salah satu perairan umum yang merupakan perairan buatan (artificial water-bodies), dibuat dengan cara membendung badan sungai tertentu (Wiadnya, et al., 1993). Pembuatan waduk pada umumnya bertujuan untuk sumber air minum, PLTA, pengendali banjir, pengembangan perikanan darat, irigasi dan pariwisata. Waduk demikian disebut dengan waduk serbaguna (Ewusie, 1990). Ekosistem perairan waduk terdiri dari komponen biotik, seperti ikan, plankton, macrophyta, benthos dan sebagainya yang berhubungan timbal balik dengan komponen abiotik seperti tanah, air dan sebagainya. 2.2 Ekosistem Lentik Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen komponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan biotik (produsen, konsumen dan pengurai) yang membentuk suatu hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi. Perairan danau merupakan salah satu bentuk ekosistem air tawar yang ada di permukaan bumi. Secara fisik, danau merupakan suatu tempat yang luas yang mempunyai air yang tetap, jernih atau beragam dengan aliran tertentu (Jorgensen and Vollenweiden, 1989). Sementara itu, menurut Ruttner (1977) dan Satari (2001) danau adalah suatu badan air alami yang selalu tergenang sepanjang tahun dan mempunyai mutu air tertentu yang beragam dari satu danau ke danau yang lain serta mempunyai produktivitas biologi yang tinggi. Ekosistem danau termasuk habitat air tawar yang memiliki perairan tenang yang dicirikan oleh adanya arus yang sangat lambat sekitar 0,11 cm/detik atau tidak ada arus sama sekali. Oleh karena itu residence time (waktu tinggal) air bisa berlangsung lebih lama. Menurut Wetzel (2001), perairan danau biasanya

Laporan Praktikum Ekologi Air Tawar Waduk Penjalin & Telaga Renjeng Sylva Sagita/P2BA10014/2012

memiliki stratifikasi vertikal kualitas air yang bergantung pada kedalaman dan musim. Menurut Odum (1993), pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: danau alami dan danau buatan. Danau alami merupakan danau yang terbentuk sebagai akibat dari kegiatan alamiah, misalnya bencana alam, kegiatan vulkanik dan kegiatan tektonik. Sedangkan danau buatan adalah danau yang dibentuk dengan sengaja oleh kegiatan manusia dengan tujuan tujuan tertentu dengan jalan membuat bendungan pada daerah dataran rendah. Umumnya perairan danau selalu menerima masukan air dari daerah tangkapan air di sekitar danau, sehingga perairan danau cenderung menerima bahan-bahan terlarut yang terangkut bersamaan dengan air yang masuk. Oleh karena itu konsentrasi zat-zat yang terdapat di danau merupakan resultante dari zat-zat yang berasal dari aliran air yang masuk (Payne, 1986). Kualitas perairan danau sangat tergantung pada pengelolaan atau pengendalian daerah aliran sungai (DAS) yang berada di atasnya. Cole (1988) menyatakan bahwa berdasarkan kemampuan penetrasi cahaya matahari menembus ke dalam danau, wilayah danau dapat dibagi menjadi tiga mintakat (zone) yaitu: zone litoral, zone limnetik, dan zone profundal. Zone litoral merupakan daerah pinggiran danau yang dangkal dengan penetrasi cahaya sampai ke dasar, sedangkan zone limnetik adalah daerah air terbuka dimana penetrasi cahaya bisa mencapai daerah yang cukup dalam, sehingga efektif untuk proses fotosintesis. Bagian air di zone ini terdiri dari produsen plantonik, khususnya diatome dan spesies alga hijau-biru. Daerah ini juga merupakan daerah produktif dan kaya akan plankton. Selain itu, daerah ini juga merupakan daerah untuk memijah bagi banyak organisme air seperti insekta. Zone profundal merupakan bagian dasar yang dalam yang tidak tercapai oleh penetrasi cahaya efektif. Menurut Goldmen dan Horne (1989), berdasarkan kandungan hara (tingkat kesuburan) danau diklasifikasikan dalam 3 jenis, yaitu: danau eutrofik, danau oligotrofik dan danau mesotrofik. Danau eutropik (kadar hara tinggi) merupakan danau yang memiliki perairan yang dangkal, tumbuhan litoral melimpah,

Laporan Praktikum Ekologi Air Tawar Waduk Penjalin & Telaga Renjeng Sylva Sagita/P2BA10014/2012

kepadatan plankton lebih tinggi, sering terjadi blooming alga dengan tingkat penetrasi cahaya matahari umumnya rendah. Danau oligotropik adalah danau dengan kadar hara rendah, biasanya memiliki perairan yang dalam, dengan bagian hipolimnion lebih besar dibandingkan dengan bagian epilimnion. Semakin dalam danau tersebut semakin tidak subur, tumbuhan litoral jarang dan kepadatan plankton rendah, tetapi jumlah spesiesnya tinggi. Danau mesotropik merupakan danau dengan kadar nutrien sedang, juga merupakan peralihan antara kedua sifat danau eutrofik dan danau oligotrofik. Waduk mempunyai karakteristik yang berbeda dengan badan air lainnya. Waduk menerima masukan air secara terus menerus dari sungai yang mengalirinya. Air sungai ini mengandung bahan organik dan anorganik yang dapat menyuburkan perairan waduk. Pada awal terjadinya inundasi (pengisian air), terjadi dekomposisi bahan organik berlebihan yang berasal dari perlakuan sebelum terjadi inundasi. Dengan demikian, jelas sekali bahwa semua perairan waduk akan mengalami eutrofikasi setelah 12 tahun inundasi karena sebagai hasil dekomposisi bahan organik. Eutrofikasi akan menyebabkan meningkatnya produksi ikan sebagai kelanjutan dari tropik level organik dalam suatu ekosistem (Wiadnya, et al., 1993). 2.3. Parameter Fisik Perairan 2.3.1 Suhu Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman dari badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi di badan air. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu, peningkatan suhu air juga mengakibatkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti O2, CO2, N2, dan CH4 (Haslam, 1995). Beberapa sifat termal air seperti panas jenis, nilai kalor penguapan dan nilai peleburan air mengakibatkan minimnya perubahan suhu air, sehingga variasi suhu

Laporan Praktikum Ekologi Air Tawar Waduk Penjalin & Telaga Renjeng Sylva Sagita/P2BA10014/2012

air lebih kecil bila dibandingkan dengan variasi suhu udara. Danau di daerah tropik mempunyai kisaran suhu yang tinggi yaitu antara 20-30
0

C, dan

menunjukkan sedikit penurunan suhu dengan bertambahnya kedalaman. Oleh karena itu perubahan suhu dapat menghasilkan stratifikasi yang mantap sepanjang tahun, sehingga pada danau yang amat dalam cenderung hanya sebagian yang tercampur (Effendi, 2003; Hadi, 2005). Adanya penyerapan cahaya oleh air danau akan menyebabkan terjadinya lapisan air yang mempunyai suhu yang berbeda. Bagian lapisan yang lebih hangat biasanya berada pada daerah eufotik, sedangkan lapisan yang lebih dingin biasanya berada di bagian afotik (bagian bawah). Menurut Goldman & Horne (1989), bila pada danau tersebut tidak mengalami pengadukan oleh angin, maka kolam air danau terbagi menjadi beberapa lapisan, yaitu: (1) epilimnion, lapisan yang hangat dengan kerapatan jenis air kurang, (2) hipolimnion, merupakan lapisan yang lebih dingin dengan kerapatan air kurang, dan (3) metalimnion adalah lapisan yang berada antara lapisan epilimnion dan hipolimnion. Pada daerah metalimnion terdapat lapisan termoklin yaitu lapisan dimana suhu akan turun sekurang-kurangnya 1
0

C dalam setiap 1 meter (Jorgensen &

Volleweider, 1989). Suhu merupakan controling factor (faktor pengendali) bagi proses respirasi dan metabolisme biota akuatik yang berlanjut terhadap pertumbuhan dan proses fisiologi serta siklus reproduksinya (Hutabarat dan Evans, 1984). Suhu juga dapat mempengaruhi proses dan keseimbangan reaksi kimia yang terjadi dalam sistem air (Stumm and Morgan, 1981). 2.3.2 Kekeruhan dan Kecerahan Mahida (1993) mendefinisikan kekeruhan sebagai intensitas kegelapan di dalam air yang disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang. Kekeruhan perairan umumnya disebabkan oleh adanya partikel-partikel suspensi seperti tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik terlarut, bakteri, plankton dan organisme lainnya. Kekeruhan perairan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air (Davis dan Cornwell, 1991).

Laporan Praktikum Ekologi Air Tawar Waduk Penjalin & Telaga Renjeng Sylva Sagita/P2BA10014/2012

Kekeruhan yang terjadi pada perairan tergenang seperti danau lebih banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi berupa koloid dan parikel-partikel halus. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunnya sistem osmeregulasi seperti pernafasan dan daya lihat organisme akuatik serta dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air. Menurut Koesoebiono (1979), pengaruh kekeruhan yang utama adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok, sehingga aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga menurun, akibatnya produktivitas perairan menjadi turun. Effendi (2003) dalam penelitiannya menyatakan bahwa tingginya nilai kekeruhan juga dapat menyulitkan usaha penyaringan dan mengurangi efektivitas desinfeksi pada proses penjernihan air. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk (Effendi, 2003). Kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh keberadaan padatan tersuspensi, zat-zat terlarut, partikel partikel dan warna air. Pengaruh kandungan lumpur yang dibawa oleh aliran sungai dapat mengakibatkan tingkat kecerahan air danau menjadi rendah, sehingga dapat menurunkan nilai produktivitas perairan (Nybakken, 1992). 2.4. Parameter Kimia 2.4.1 Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah netral, pH < 7 dikatakan kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH > 7 dikatakan kondisi perairan bersifat basa (Effendi, 2003). Adanya karbonat, bikarbonat dan hidroksida akan menaikkan kebasaan air, sementara adanya asam asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan keasaman suatu perairan. Nilai pH dapat mempengaruhi spesiasi senyawa kimia dan toksisitas dari unsur-unsur renik yang terdapat di perairan, sebagai contoh H2S yang bersifat toksik banyak ditemui di perairan tercemar dan perairan dengan nilai pH rendah.

Laporan Praktikum Ekologi Air Tawar Waduk Penjalin & Telaga Renjeng Sylva Sagita/P2BA10014/2012

Selain itu, pH juga mempengaruhi nilai BOD5, fosfat, nitrogen dan nutrien lainnya (Dojildo and Best, 1992). 2.4.2 Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen, DO) Oksigen terlarut adalah gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen terlarut dalam perairan merupakan faktor penting sebagai pengatur metabolisme tubuh organisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Sumber oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer, arus atau aliran air melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton (Novonty and Olem, 1994). Difusi oksigen atmosfer ke air bisa terjadi secara langsung pada kondisi air stagnant (diam) atau terjadi karena agitasi atau pergolakan massa air akibat adanya gelombang atau angin. Difusi oksigen dari atmosfer ke perairan pada hakekatnya berlangsung relatif lambat, meskipun terjadi pergolakan massa air atau gelombang. Sebagian besar oksigen pada perairan danau dan waduk merupakan hasil sampingan aktivitas fotosintesis. Pada proses fotosintesis, karbondioksida direduksi menjadi karbohidrat dan air mengalami dehidrogenasi menjadi oksigen. 6 CO2 + 6 H2O C6H12O6 + 6 O2

Di perairan danau, oksigen lebih banyak dihasilkan oleh fotosintesis alga yang banyak terdapat pada zone epilimnion, sedangkan pada perairan tergenang yang dangkal dan banyak ditumbuhi tanaman air pada zone litoral, keberadaaan oksigen lebih banyak dihasilkan oleh aktivitas fotosintesis tumbuhan air. Keberadaan oksigen terlarut di perairan sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, ketinggian, dan berkurangnya tekanan atmosfer (Jeffries and Mills, 1996). Penyebab utama berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam air disebabkan karena adanya zat pencemar yang dapat mengkonsumsi oksigen.

Laporan Praktikum Ekologi Air Tawar Waduk Penjalin & Telaga Renjeng Sylva Sagita/P2BA10014/2012

2.5 Produktivitas Primer Produktivitas Primer ialah laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik. Jumlah seluruh bahan organik (biomassa) yang terbentuk dalam proses produktivitas dinamakan produktivitas primer kotor, atau produksi total. Jumlah seluruh bahan organik yang terbentuk dalam proses produksivitas dinamakan produksi primer kotor, atau produksi total. Karena sebagian dari produksi total ini digunakan tumbuhan untuk kelangsungan proses-proses hidup, respirasi. Produksi primer bersih adalah istilah yang digunakan bagi jumlah sisa produksi primer kotor setelah sebagian digunakan untuk respirasi. Produksi primer inilah yang tersedia bagi tingkatan-tingkatan trofik lain. Produksi primer kotor maupun bersih pada umumnya dinyatakan dalam jumlah gram karbon (C) yang terikat per satuan luas atau volume air laut per interval waktu. Jadi, produksi dapat dilaporkan sebagai jumlah gram karbon per m2 per hari (gC/m2/hari), atau satuan-satuan lain yang lebih tepat. Hasil tetap (Standing crop) yang diterapkan pada tumbuhan ialah jumlah biomassa tumbuhan yang terdapat dalam suatu volume air tertentu pada suatu saat tertentu.Di laut khususnya laut terbuka, fitoplankton merupakan organisme autotrof utama yang menentukan produklivitas primer perairan. Produktivitas jumlah karbon yang terdapat di dalam matenal hidup dan secara umum dinyatakan sebagai jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kuadrat kolom air per hari (g C/m2/hari) atau jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kubik per hari (g C/m3/hari) (Levinton. 1982). Sumber energi primer bagi ekosistem adalah cahaya matahari. Energi cahaya matahari hanya dapat diserap oleh organisme tumbuhan hijau dan organisme fotosintetik. Energi cahaya digunakan untuk mensintesis molekul anorganik menjadi molekul organik yang kaya energi. Molekul tersebut selanjutnya disimpan dalam bentuk makanan dalam tubuhnya dan menjadi sumber bahan organic bagi organisme lain yang heterotrof. Organisme yang memiliki kemampuan untuk mengikat energi dari lingkungan disebut produsen.

10

Laporan Praktikum Ekologi Air Tawar Waduk Penjalin & Telaga Renjeng Sylva Sagita/P2BA10014/2012

Di lingkungan perairan Indonesia Produksi bagi ekosistem merupakan proses pemasukan dan penyimpanan energi dalam ekosistem. Pemasukan energy dalam ekosistem yang dimaksud adalah pemindahan energi cahaya menjadi energi kimia oleh produsen. Sedangkan penyimpanan energi yang dimaksudkan adalah penggunaan energi oleh konsumen dan mikroorganisme. Laju produksi makhluk hidup dalam ekosistem disebut sebagai produktivitas. Produktivitas primer merupakan laju penambatan energi yang dilakukan oleh produsen. Menurut Campbell (2002), Produktivitas primer menunjukkan Jumlah energi cahaya yang diubah menjadi energi kimia oleh autotrof suatu ekosistem selama suatu periode waktu tertentu. Total produktivitas primer dikenal sebagai produktivitas primer kotor (gross primary productivity, GPP). Tidak semua hasil produktivitas ini disimpan sebagai bahan organik pada tubuh organisme produsen atau pada tumbuhan yang sedang tumbuh, karena organisme tersebut menggunakan sebagian molekul tersebut sebagai bahan bakar organic dalam respirasinya. Dengan demikian, Produktivitas primer bersih (net primary productivity, NPP) sama dengan produktivitas primer kotor dikurangi energy yang digunakan oleh produsen untuk respirasi (Rs): NPP = GPP Rs Dalam sebuah ekosistem, produktivitas primer menunjukkan simpanan energi kimia yang tersedia bagi konsumen. Pada sebagian besar produsen primer, produktivitas primer bersih dapat mencapai 50% 90% dari produktivitas primer kotor. Menurut Campbell et al (2002), Rasio NPP terhadap GPP umumnya lebih kecil bagi produsen besar dengan struktur nonfotosintetik yang rumit, seperti pohon yang mendukung sistem batang dan akar yang besar dan secara metabolik aktif. Produktivitas primer dapat dinyatakan dalam energy persatuan luas persatuan waktu (J/m2/tahun), atau sebagai biomassa (berat kering organik) vegetasi yang ditambahkan ke ekosistem persatuan luasan per satuan waktu (g/m2/tahun). Namun demikian, produktivitas primer suatu ekosistem hendaknya tidak dikelirukan dengan total biomassa dari autotrof fotosintetik yang terdapat pada

11

Laporan Praktikum Ekologi Air Tawar Waduk Penjalin & Telaga Renjeng Sylva Sagita/P2BA10014/2012

suatu waktu tertentu, yang disebut biomassa tanaman tegakan (standing crop biomass). Produktivitas primer menunjukkan laju di mana organisme-organisme mensintesis biomassa baru. Meskipun sebuah hutan memiliki biomassa tanaman tegakan yang sangat besar, produktivitas primernya mungkin sesungguhnya kurang dari produktivitas primer beberapa padang rumput yang tidak mengakumulasi vegetasi (Campbell et al., 2002).

12

Laporan Praktikum Ekologi Air Tawar Waduk Penjalin & Telaga Renjeng Sylva Sagita/P2BA10014/2012

BAB III METODE 3.1 Lokasi Praktikum Praktikum Biologi pencemaran Perairan dilaksanakan pada hari Sabtu, 4 Pebruari 2012 di Waduk Penjalin Desa Winduaji, Kecamatan Paguyangan dan Telaga Renjeng, di Desa Pandansari Kecamatan Paguyangan Kabupaten Brebes. Telaga Ranjeng dibangun tahun 1924, berada di bawah kaki Gunung Slamet dan merupakan bagian dari kawasan cagar alam milik Perhutani Pekalongan Timur. Cagar alam tersebut memiliki luas empat puluh delapan setengah hektar terdiri dari hutan damar dan pinus yang mengelilingi telaga. Daya tarik dari Telaga Ranjeng adalah udara pegunungan yang sejuk, hutan lindung, cagar alam, serta terdapat beribu-ribu ikan lele yang jinak dan dianggap keramat, yang dianggap sebagai penghuni telaga. Waduk Penjalin memiliki luas 1,25 km2 dan isi 9,5 juta m3, terletak di tengah-tengah Desa Winduaji , 2,4 km arah selatan ibu kota Kecamatan Paguyangan . Dari ibu kota kecamatan ke arah selatan jurusan Purwokerto , kemudian sampai Desa Winduaji belok kanan ke lokasi waduk. Dari kota Paguyangan jaraknya 6 km, dari kota Bumiayu 12 km. Sedangkan dari Purwokerto 30 km. Waduk Penjalin terletak perbatasan Kab Banyumas dan Kab. Brebes. Waduk ini dibangun tahun 1930 oleh pemerintah kolonial Belanda bersamaan dengan Waduk Malahayu. Air waduk ini dipersiapkan untuk menyuplai irigasi Sungai Pemali bawah dan areal persawahan. Penjalin dalam Bahasa Jawa berati rotan. Di bagian muka waduk ini terdapat tanggul dengan ketinggian 16 m, lebar 4 m, dan panjang 850 m. Keliling waduk dikitari pedukuhan Mungguhan, Keser Kulon, Kali Garung, Kedung Agung, Soka, Karangsempu, Pecikalan, dan Karangnangka. Sedangkan di sebelah timur yang merupakan tanggul dan pintu gerbang waduk adalah dukuh Keser Tengah. Warga sekitar memanfaatkan kekayaan alam sekitar waduk sebagai tempat mencari nafkah, antara lain mencari ikan, memelihara keramba apung, dan pada

13

Laporan Praktikum Ekologi Air Tawar Waduk Penjalin & Telaga Renjeng Sylva Sagita/P2BA10014/2012

saat Lebaran warga menyewakan perahu untuk rekreasi air keliling waduk. Sekarang, waduk itu banyak dimanfaatkan warga kota untuk berlibur dan bersantai seperti pengunjung dari Purwokerto, Cilacap, dan Purbalingga. 3.2 Materi Praktikum 3.2.1 Alat Alat yang digunakan dalam praktikum Ekologi Perairan Tawar ini adalah termometer celcius, labu erlenmeyer, gelas ukur 100 ml, botol winkler 250 ml (gelap dan terang), suntikan (6 ml), keping Sechi disk, deep sounder dan kertas pH universal. 3.2.2 Bahan Bahan yang digunakan dalam praktikum Ekologi Perairan Tawar adalah sampel air dari Waduk Penjalin dan Telaga Renjeng, larutan MnSO4, larutan KOH-KI, larutan H2SO4 pekat, dan larutan Na2S2O3 0,0025 N. 3.3 Metode Praktikum 3.3.1 Suhu Air Termometer Celcius dicelupkan ke dalam badan perairan dengan bantuan tali, kurang lebih 10 menit, kemudian dilakukan pencatatan setelah skala meunjukan angka yang konstan. 3.3.2 Suhu Udara Suhu udara diukur dengan Termometer. 3.3.3 Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) Oksigen terlarut diukur dengan menggunakan metode Winkler (APHA,2005) Air diambil dengan menggunakan botol Winkler ukuran 250 ml secara hati-hati sehingga tidak ada gelembung udara. Kemudian ditambahkan berturut-turut larutan MnSO4 dan KOH-KI masing-masing sebanyak 1 ml, lalu dikocok hingga larutan homogen kemudian dibiarkan beberapa saat hingga terjadi endapan,

14

Laporan Praktikum Ekologi Air Tawar Waduk Penjalin & Telaga Renjeng Sylva Sagita/P2BA10014/2012

kemudian ditambahkan 1 ml larutan H2SO4 pekat dan dikocok sampai endapan larut. Sampel air diambil 100 ml dan dipindahkan ke labu Erlenmeyer kemudian ditrasi dengan larutan Na2S2O3 0,025 N sampai berwarna kuning muda. Indikator amilum sebanyak 10 tetes ditambahkan hingga berwarna biru dan titrasi kembali dengan larutan Na2S2O3 0,025 N sampai warna biru tepat hilang. Titrasi dilakukan duplo dan hasilnya dirata-rata. Rumus perhitungannya :

Keterangan : P Q 8 1000 100 = Volume larutan Na2S2O3 = Normalitas larutan (0,01N) = Bobot setara Oksigen = volume air dalam 1 liter = volume sampel air

3.3.4 Produktivitas Primer Perairan Dalam penelitian ini menggunakan produktivitas primer fitoplankton, yaitu produktivitas primer hasil pengukuran dengan metode botol oksigen gelapterang. Disediakan beberapa botol winkler gelap dan terang yang selanjutnya dimasukan sampel air ke dalamnya Sampel air kemudian dimasukkan ke dalam botol oksigen gelap dan terang sampai penuh dan dihindari adanya gelembung udara. Botol-botol tesebut ditenggelamkan pada kedalaman tertentu yang masih memperoleh sinar matahari. Didiamkan selama kurang lebih 10 jam (Pada saat simulasi hanya dilakukan 1 jam). Setelah selang waktu tersebut, botol diangkat dan kemudian kandungan oksigen terlarut baik pada botol gelap maupun botol terang diukur. Rumus perhitungannya :

IB DBRp 10000,375
Respirasi =

15

PPbruto

LB DB10000,375 Pq xt

Laporan Praktikum Ekologi Air Tawar Waduk Penjalin & Telaga Renjeng Sylva Sagita/P2BA10014/2012

PPneto = PPbruto - Respirasi Keterangan : IB LB DB Pq = O2 awal penempatan = O2 akhir dalam botol terang = O2 akhir dalam botol gelap = Hasil bagi fotosintesis (molekul O2 yang dihasilkan dibagi dengan molekul CO2 yang digunakan) = 1.2 Rp = Hasil bagi respirasi (molekul CO2 yang dihasilkan dibagi dengan molekul O2 yang digunakan) = 1.0 0,375 = Faktor konversi dari BM 12 atom O terhadap 6 atom C dari persamaan fotosintesis t = Waktu inkubasi

16

Laporan Praktikum Ekologi Air Tawar Waduk Penjalin & Telaga Renjeng Sylva Sagita/P2BA10014/2012

BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN

4.1 Nilai Produktivitas Primer dan Faktor Fisik Kimia Perairan Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan di Waduk Penjalin dan Telaga Renjeng Kabupaten Brebes. Didapatkan nilai sebagai berikut : Tabel 1. Nilai Produktivitas Primer NO Lokasi Kedalaman (meter) Produktivitas primer kotor (GPP) mgC/m3/hari 125 -125 Respirasi Produktivitas mgC/m3/hari primer bersih (NPP) mgC/m3/hari -675 800 -75 -50

1. 2.

Waduk Penjalin Telaga Renjeng

1 0.5

Tabel. Faktor Fisik Kimia Perairan No. 1 2 3 4 5 pH air Kedalaman Suhu air Penetrasi cahaya O2 terlarut Parameter Waduk Penjalin 6 1-4 m 30 oC 67,5 cm 8,4 ppm Telaga Renjeng 6 3m 17 oC 27 cm 4,2 ppm

4.2 Pembahasan Data Hasil Pengamatan Produktivitas primer suatu ekosistem perairan pada dasarnya merupakan hasil perubahan energi cahaya matahari menjadi energi kimia dalam tubuh organisme autotrof perairan tersebut melalui fotosintesis. Sebagian organisme autotrof dapat melakukan sintesis tanpa bantuan cahaya matahari, namun persentasenya sangat kecil (Barnes dan Mann, 1994), sehingga besarnya produktivitas primer perairan sangat tergantung aktivitas dan efektivitas fotosintesis organisme fotoautotrof. Laju perubahan energi pada suatu sistem sulit dihitung secara langsung, sehingga produktivitas primer dihitung secara tidak langsung dengan mengikuti

17

Laporan Praktikum Ekologi Air Tawar Waduk Penjalin & Telaga Renjeng Sylva Sagita/P2BA10014/2012

alur fotosintesis. Salah satu alternatif yang digunakan untuk menghitung produktivitas primer perairan adalah dengan menghitung besarnya perubahan oksigen dalam suatu medium, karena oksigen merupakan zat yang akan dilepaskan dalam suatu siklus fotosintesis, dan digunakan untuk penguraian hasil fotosintesis dalam respirasi. Berdasarkan data Tabel 1 dapat diketahui bahwa fotosintesis masih dapat berlangsung pada waduk penjalin sampai kedalaman 1 m. Hal ini ditunjukkan dengan data produktivitas primer kotor fitoplankton pada waduk penjalin adalah positif. Sedangkan pada telaga renjeng pada kedalaman 0.5 m fotosintesis sudah tidak bisa berlangsung. Pengukuran produktivitas primer bersih fitoplankton pada kedua tempat didapatkan angka positif, hal ini menunjukkan bahwa proses respirasi komunitas perairan tersebut lebih besar daripada fotosintesis. Faktor yang mempengaruhi fotosintesis adalah tingkat kecerahan. Tingkat kecerahan Waduk Penjalin lebih tinggi dibandingkan dengan kecerahan di Telaga Renjeng. Kecerahan di Waduk Penjalin yaitu 67,5 cm dan di Telaga Renjeng yaitu 27 cm. Hal tersebut disebabkan karena pengaruh air hujan yang membawa padatan tersuspensi yang ada disekitar telaga Renjeng, sehingga penetrasi cahaya di telaga Renjeng lebih kecil dibandingkan di Waduk Penjalin. Padatan tersuspensi akan menyebabkan kekeruhan yang yang akan menghalangi sinar matahari masuk ke dalam perairan. Penetrasi cahaya optimal untuk kehidupan ikan berkisar 20-30 cm (BBAP, 1984). Berdasarkan kriteria tersebut, maka kondisi nilai penetrasi cahaya dari kedua lokasi tersebut masih baik sebagai lingkungan hidup bagi organisme akuatik. Nilai pH yang diperoleh pada kedua lokasi praktikum bernilai 6. Hal ini menunjukan bahwa nilai pH pada kedua lokasi masih normal dan masih baik untuk kehidupan organisme akuatik. Menurut PP No.82 Tahun 2001 nilai pH yang diperbolehkan untuk kegiatan budidaya yaitu 6-9. Oksigen terlarut merupakan suatu senyawa kimia yang sangat dibutuhkan oleh organisme air dalam melakukan proses respirasi dan dapat mendukung eksistensi organisme. Hal ini didukung oleh pernyataan Muson (1981, dalam Putri, 1997)

18

Laporan Praktikum Ekologi Air Tawar Waduk Penjalin & Telaga Renjeng Sylva Sagita/P2BA10014/2012

bahwa oksigen terlarut dalam ekosistem perairan sangat penting untuk mendukung eksistensi organisme dan proses-proses terjadi di dalamnya. Hal ini terlihat dari peranan oksigen selain digunakan unutuk respirasi organisme air, juga dipakai untuk organisme dekomposer (bakteri dan fungi) dalam proses dekomposisi bahan organik dalam perairan. Pada praktek lapang ini, dilakukan pengukuran oksigen terlarut (DO) di waduk Penjalin dan Telaga Renjeng. Nilai Oksigen terlarut yang diperoleh di Waduk Penjalin yaitu 8,4 ppm dan di Telaga Renjeng yaitu 4,2 ppm. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa nilai oksigen terlarut di Waduk Penjalin lebih tinggi daripada Di Telaga Renjeng. Akan tetapi nilai oksigen di Telaga Renjeng masih mampu mendukung kehidupan organisme di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Schmitz, 1971 dalam Alfan, 1995), bahwa kandungan Oksigen terlarut (DO) didalam air yang dapat mendukung kehidupan organisme air berkisar antara 4-8 mg/L. Tingginya nilai oksigen di waduk Penjalin disebabkan karena di Waduk Penjalin terjadi pengadukan oleh angin, sehingga menimbulkan arus dan gelombang yang memungkinkan suplai oksigen. Selain itu masukan daerah tersebut secara langsung mendapat masukan air dari sungai-sungai yang ada. Nilai oksigen terlarut sangat berpengaruh terhadap kehidupan oragnisme akuatik. Menurut Welch (1952 dalam Andriani, 1999) menyatakan bahwa kadar oksigen terlarut minimum dalam perairan disarankan tidak kurang dari 4 mg/L dan dalam kondisi tidak terdapat senyawa beracun, konsentrasi 2 mg/L sudah cukup mendukung kehidupan perairan. Menurut PP No.82 Tahun 2001 nilai oksigen terlarut yang diperbolehkan untuk kegiatan budidaya (Kelas III) adalah minimum 3 ppm. Suhu merupakan faktor kualitas air yang sangat mempengaruhi kehidupan organisme perairan baik secara langsung maupun tidak langsung. Seperti pernyataan Huet (1971), bahwa suhu secara langsung mempengaruhi proses kehidupan organisme seperti terganggunya pertumbuhan dan reproduksi, Sedangkan secara tidak langsung mempengaruhi daya larut oksigen.

19

Laporan Praktikum Ekologi Air Tawar Waduk Penjalin & Telaga Renjeng Sylva Sagita/P2BA10014/2012

Berdasarkan hasil pengamatan suhu di waduk penjalin, didapatkan bahwa suhunya 30o C, suhu ini tergolong normal untuk pertumbuhan organisme. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nontji (1993), bahwa suhu optimum yang dapat ditoleransi oleh organisme perairan adalah berkisar 27-31
o

C. Suhu ini

memungkinkan badan air untuk mengikat oksigen bebas dari udara secara optimal. Menurut Afrianto dan Liviawaty (1994), bahwa suhu lingkungan yang normal menyebabkan kemampuan air untuk mengikat oksigen terlarut (DO) menjadi maksimal. Selain itu, suhu yang sesuai dapat mengakibatkan proses metabolisme berjalan normal sehingga konsumsi oleh organisme dalam air juga akan berjalan dengan normal. Hasil pengukuran suhu di Telaga Ranjeng diperoleh 170C. Berdasarkan suhu optimum yang ditoleransi maka suhu tersebut sangat rendah. Hal tersebut juga dapat menjadi suatu penyebab rendahnya produktivitas primer di Telaga Ranjeng.

20

Laporan Praktikum Ekologi Air Tawar Waduk Penjalin & Telaga Renjeng Sylva Sagita/P2BA10014/2012

BAB V KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kegiatan dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa : 1. Produktifitas Primer Perairan Waduk Penjalin lebih tinggi dibandingkan dengan Produktifitas Primer di Telaga Renjeng. 2. Kualitas air di Waduk Penjalin dan Telaga masih baik dan dapat digunakan untuk budidaya ikan.

21

Laporan Praktikum Ekologi Air Tawar Waduk Penjalin & Telaga Renjeng Sylva Sagita/P2BA10014/2012

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2010.//respiratory.us.ac.id/birstreum/12345678911611915/chapter/201.p df.diakses tanggal 10 Februari 2012 Afrianto, L. dan Liviawati, 1994. Teknik Pembuatan Tambak Udang. Kanisius. Yogyakarta. Barnes, R.S.K. dan K.H. Mann. 1994. Fundamentals of Aquatic Ecology. Oxford: Blackwell Scientific Publication. Barus, T.A 2004.pengantar limunologi studi tentang ekosistem sungai dan danau. program studi biologi fakultas mipa usu medan. Lilley.et al.2000. Ekologi nusa tenggara.maluku.penerbit prehalindo.Jakarta Michael, p.1984. metode ekologi unutk penyelidikan lapangan dan laboratorium.penerjemah: Yanti R,Koestoer. Jakarta:UI press Jakarta Nyabakken, JW.1992. Biologi: laut suatu pendekatan ekologis.penerjemah:H Muhammad Ridwan,Jakarta:PT Gramedia.

22

Laporan Praktikum Ekologi Air Tawar Waduk Penjalin & Telaga Renjeng Sylva Sagita/P2BA10014/2012

LAMPIRAN Perhitungan Produktivitas Primer Perairan

1. Waduk Penjalin

Respirasi =

IB DBRp 10000,375
t

= (8.4-10.2) x 1 x 1000 x 0,375 1 = -675

PPbruto

LB DB10000,375 Pq xt

= (10.4-10.2) x 1 x 1000 x 0,375 1.2 x 1 = 125

PPneto = PPbruto - Respirasi = 125- (-675) = 800

23

Laporan Praktikum Ekologi Air Tawar Waduk Penjalin & Telaga Renjeng Sylva Sagita/P2BA10014/2012

2. Telaga Renjeng Respirasi =

IB DBRp 10000,375
t

= (4.2-4.4) x 1 x 1000 x 0,375 1 = -75

PPbruto

LB DB10000,375 Pq xt

= (4-4.4) x 1 x 1000 x 0,375 1.2 x 1 = -125

PPneto = PPbruto - Respirasi = -125- (-75) = -50

24

You might also like