You are on page 1of 7

TOKSIKOLOGI

Oleh : Andhika Ratu & Daud Paa A. Pengantar Loomis (1978) mendifinisikan toksikologi sebagai ilmu yang mempelajari aksi berbahaya zat kimia pada sistim biologi. Timbrel (1989), mendefinisikan toksikologi sebagai ilmu yang

mempelajari interaksi antara zat kimia dengan system biologi. Sedangkan difinisi ketoksikan atau toksisitas adalah kapasitas suatu zat kimia (beracun) untuk menimbulkan efek toksik tertentu pada mahluk hidup. Paraselcus berpendapat, yang membedakan antara obat (zat bukan racun) dengan racun adalah dosisnya. Jadi sebenarnya penentu ketoksikan suatu zat adalah dosis atau lebih spesifik lagi jumlah zat yang sampai pada sel sasaran ( tempat kerjanya). Efek yang tidak diinginkan dari pemberian obat berkaitan denga dosis adalah efek samping (side effect), efek merugikan (adverse effect), dan efek toksik (toxic effect). Efek toksik atau keracunan merupakan efek yang sangat berbahaya dan dapat mengancam kehidupan. Dalam kondisi seperti ini pemberian obat harus dihentikan dan diberi terapi supportif atau diberi antidotumnya.

B. Penggolongan Toksikologi Jika dilihat dari zatnya, zat toksik dapat digolongkan berdasarkan : 1. Tempat kerjanya a. Zat toksik yang bekerja local atau hanya bekerja ditempat zat tersevut mengenai jaringan biologi. Contohnya adalah, Zat kotosif, seperti asam dan basa kuat, zat organic dengan konsentrasi tinggi, Zat iritan, seperti sublimat, detergen kationik, cat, dan cairan pembersih. b. Zat toksik yang bekerja sistemik. Untuk dapat berefek sistemik zat toksik harus dapat diabsorpsi masuk sirkulasi sistemik (darah) dan mencapai tempat kerjanya yang sisebut reseptor. Yang dapat berpengaruh pada SSP, misalnya alcohol, psikotropika, dan halusinogen. Yang berpengaruh pada jantung, misalnya digoksin, diuretic kuat, dan obat antiaritmia.

Yang bekerja pada darah, misalnya karbon monoksida (CO), asam sianida, dan nitrogen oksida. Yang bekerja di hepar, misalnya karbon tetraklorida (CCl4), insektisida, dan parasetamol dosis besar. Yang bekerja di ginjal, misalnya AINS, aminoglikosida, amfoterisin B, dan sublimat. Yang bekrja pada enzim, misalnya senyawa radikal bebas dan logam berat. c. Zat toksik yang bekerja local maupun sistemik, misalnya pelarut organic, alkohol, garam Pb, dan fenol. 2. Berdasarkan sumber atau tempat zat toksik berada a. Rumah tangga, seperti disinfektan, cat, cairan pembersih, dan insektisida. b. Pertanian, misalnya insektisida, rodentisida, fungisida, herbisida, dan pupuk. c. Industry kimia, misalnya asam, basa, logam berat, dan cairan pewarna. d. Rumah sakit, misalnya sampah B3, baktreri, virus, obat, dan bekas perban. e. Alam bebas, misalnya ganja, opium, kecubung (datura), sianida (singkong), dan jamur tertentu, CO, dan belerang. f. Hewan, misalnya bias ular, dan ulat. 3. Berdasarkan susunan (sifat) kimianya a. Zat toksik organic, misalnya morfin, strihnin, digoksin, bisa ular, toksin botulismus, dan antibiotic. b. Zat toksik anorganik, asam klorida, asam sulfat, logam berat, dan natrium oksida. 4. Berdasarkan selektifitas a. Non selektif Non selektif artinya dalam menimbulkan efek toksik tidak mempunyai tempat kerja tertentu atau tidak mempunyai reseptor. Toksisitasnya sangat tergantung pada

konsentrasinya. Toksisitasnya terjadi kerena merusak membrane sel, ptotein atau lemak pada dinding sel. Comtoh zat toksik non selektif adalah asam atau basa kuat, pelarut organic (eter, CCl4, kloroform, dan cairan pembersih), dan detergen. b. Selektif Zat toksik selektif dapat menimbulkan efek toksik pada takaran yang sangat kecil. Zat toksik selektif sebelum menimbulkan egek akan berinteraksi dengan reseprornya. Contoh CO yang mampu mengikat Memoglobin.

C. Terapi Antidotum Secara umum terapi antidotum didifinisikan sebagai tata cara yang ditunjukkan untuk membatasi intensitas efek toksik atau menyembuhkannya sehingga bermanfaat dalam mencegah timbulnya bahaya selanjutnya. Efek toksik suatu zat kimia (spesifik) dapat terjadi jika kadar zat pada sel sasatan melampui kadat toksik minimal (kmT)nya. Untuk mengurangi jumlah zat dalam sel sasarannya dapat dilakukan dengan cara menghambat absorpsi dan distribusi serta mempercepat eleminasi. Meningkatkan nilai ambang toksik (KTM) juga merupakan cara intuk mencegah tibulnya egek toksik, antidotum. 1. Terapi non spesifik Terapi non spesifik adalah suuatu terapi keracunan yang bermanfaat hampir pada semua kasus keracunan, melalui cara-cara seperti mamacu muntah, bilas lambung dan memberikan zat absorben. Cara lain adalah memepercepat eleminasi dengan pengasaman dan hal-hal tersebut sering dijadikan sebagai stategi terapi

pembasahan urin, dan diureis paksa atau hemodialisi. a. Menghambat absorpsi zat racun Menghambat absorpsi zat racun dapat dilaksanankan dengan beberapa cara antara lain dengan membersihkan atau mencuci kulit yang terkontaminasi zat toksik, mengeluarkan racun dalam lambung, mencegah absorpsi, dan memberikan pencahar. Zat toksik yang sudah masuk ke dalam lambung dapat dilakukan dengan pemberian norit (arang akrif), memuntahkan ata\u memberi pencaha atau bilas lambung. 1) Pemberian arang aktif (norit) Arang aktif diberikan pada kasus keracunan karena dapat mengabsorpsi zat racun atau toksin dalam saluran pencernaan. Lebih dini norit diberikan akan lebih efektif hasilnya. Karbon aktif relative aman dan dosisnya sangat tergantung dari jumlah zat toksik yang tertelan. 2) Mengeluarkan racun dari lambung Pengeluaran zat racun dari lambung harus mempertimbangkan zat yang tertelan, tingkat keracunan dan sudah berapa lama zat racun tertelan. Bahaya dari bilas

lambung adalah teraspirasinya isi lambung, kerena itu tidak boleh dilakukan pada pasien yang mengantuk atau koma kecuali jika reflek batuk sangat baik atau saluran napas dapat dilindungi dengan pupa endotrakea.

3) Pemberian Katartik/Pencahar Pencahar digunakan untuk memepercepat pengeluaran zat racun dari saluran gastrointestinal (GI) terutama untuk racun yang sudah mencapai usus halus. Pemberian sorbitol direkomendasikan pada penderita yang tidak ada gangguan jantung, magnesium sulgat dapat digunakan pada penderita yang tidak ada gangguan ginjal. b. Percepat Eiminasi Kecepatan eleminasi akan mempengaruhi jumlah obat yang bearada di sel sasaran dalam melampaui nilai KTM nya. Percepatan eleminasi dapat dilakukan dengan cara meningkatkan ekskresi melalui pengasaman atau pembasaan urin dan diuresis paksa. Hemodialisis adalah salah satu cara untuk mempercepat eleminasi suatu zat dan mengembalikan keseimbangan elektrolit. Cara ini efekrif jika zatnya sudah terabsorpsi dan berada pada cairan sistemik dan tidak mempunyai volume distribusi terlalu besar atau obat tidak terdistribusi secara ekstensif pada jaringan. 2. Terapi spesifik Terapi antidotum spesifik adalah suatu terapi antidotum yang hanya efektif untuk zat-zat tertentu. menjadi : a. Antidotum yang bekerja secara kimiawi Penggunaan antidotum jenis ini akan menyebabkan terjadinya reaksi antara antidotum dnegan zat toksik membentuk suatu produk yang kurang toksik dan mudah diekskresikan. 1) Zat-zat pemberntuk chelat Zat pembentuk chelat biasanya mengandung dua atau lebih gugus Untuk memudahkan mempelajarinya, antidotum spesifik dikelompokkan

elektronegatifan yang membentuk ikatan kovalen komplek stabil dengan logamlogam atau kation. Semakin banyak ikatan ligan terbenruk, semakin stabil ikatan komplek yang terjadi dan semakin efisien prosen chelatornya. Contoh zat-zat chelator : a) Dimercaprol (British Anti-Lewisite, atau BAL) Zat mirip minyak, tidak berwarna, bau tidak enak (busuk). Pemberian umumnya melalui injeksi 1M 10% dalam minyak kacang.

Bereaksi dengan logam berat sehingga mencegah inaktivasi enzim-enzim yang mengandung gugus SH. Dimercaprol paling efektif jika diberikan segera setelah terpapar logam berat. Berguna untuk keracunan arsen, merkuri dan timbal. Sekarang tersedia 2 macam obat yang mirip dengan dimercaprol yaitu dimercaprosuccinic acid (DMSA) dan dimercaptopropane sylphonic acid (DMPS). Tidak seperti dimercaprol, DMSA dan DMPS dapat diberikan secara oral dan mempunyai endek terapu yang levih besar. b) EDTA (etilen diamin tetra asetat) Efektif untuk logam-logam transisi, oleh karena itu EDTA juga membentuk chelat dengan Ca tubuh. c) Penisilamin (cuprine)gai Digunakan pada keracunan Cu dan Hg serta sebagai tambahan untuk terapi keracunan Pb atau arsen. d) Deferoksamin Spesifik membentuk chelat dengan logam besi, dengan ion feri (Fe+
+ +

membentuk feroxamine. Deferoxamine dapat mengikat zat besi dari feritin dan hjomosiderin, tetapi tidak dapat menarik zat besi dari hemoglobin, citoktrom dan miolobin. 2) Fab Fragment Fab fragment suatu antibody monoclonal dapat mengikat digoksin dan mempercepat ekskresinya melalui filtrasi glomelurus. 3) Dikobalt Edetat dan Hodrokobalamin Hidrokobalamin telah terbukti egektif untuk antidotum keracunan sianida pada tikus. Karena sangat toksik dikobalt edetat, digunakan hanya menjelang pasien kehilangan kesadaran atau sudah kehilangan kesadaran bukan untuk tindakan pencegahan. 4) Detoksifikasi Enzimatik Detoksifikasi enzimatik dapat dilakukan dengan dua jalur, dengan memberikan kosubtrat pada reaksi yang terjadi dan memberikan enzim dari luar untuk mempercepat metabolisme zat racun.

a) Etanol Etanol dapat digunakan untuk keracunan methanol atau etilen glikol. Pemberian etanol akan menyebabkan kompetisi dengan methanol atau etilen glikol dalm memperebutkan enzim alcohol dehidrogenase. b) Atropine dan pralidoksim Atropine diberikan dalam bentuk garamnya dengan dosis 2 mg melalui injeksi, pemberian dapat diulang tergantung pada tingkat keparahan. Pralidoksim adalah suatu reaktivator kolinesterase yag biasanya ditambahkan pada atropine sulfat pada keracunan pestisida sedang hingga berat. c) N-asetil sistein dan Metionin Metionin dalam tubuh akan mengalami metabolisme menjadi homosistein berfungsi sebagai donor sutlfur untuk diikat oleh NABQI sehingga dapat sebagai alternative asetil sistein. b. Antidotum yang bekerja secara farmakologi Antidotum farmakologi adalah suatu antidotum yang bekerja mirip dengan zat toksik, bekerja pada reseprtor yang sama atau brbeda. 1) Nalokson hidroklorida Nalokson adalah antagonis opioid yang bekerja pada reseptor yang sama sehingga berkompetisi dalam memperebutkan reseptor opioid. Karena kerja dari nalokson sangat singkat, maka diperlukan pemberian berulang sesuai dengan frequensi nafas dan kedalam koma. 2) Flumazamil Flumazamil adalah suatu benzodiazepine antagonis. Benzodiazepine sebagai obat tunggal dapat menyebabkan mengantuk, ataksua, dan kadang-kadang depresi. Obat-obat golongan bensodiazepin bersifat sinergis dengan obat depresan lain jika diminum bersamaan. 3) Oksigen Karbon monoksida (CO) dapat menyebabkan keracunan kerena kemampuannya dalam mengikat hemoglobin (Hb) dan membentuk zat komplek yang tidak dapat berfungsi mengikat oksgen lagi.

Daftar zat toksik dan Antidotum Spesifik No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Parasetamol Arsen, Hg, Pb, Au Beta-bloker Benzodiasepin CO Coumarin Sianida Digoksin Methanol dan etilen glikol Heparin Zat besi INH Narkotika (opioid) Nitrit Organofosfat dan karbamat Zat Toksik Antidotum N- asetil sistein BAL (dimercaprol) Glukakon Flumazemil Oksigen, hiperbarik oksigen Vit K Nitrit dan nitrat Digoksin-fab fragment Etanol Protamin Deferoksamin Piridoksin Nalokson Metilen blue Atropine, pralidoksim

c. Antidotum yang bekerja sebagai antagonis fungsional Antidotum antagonis fungsional dapat juga digolongkan sebagai antidotum non spesifik karena berguna sebagai terapi simtomatik dan mengantagonis beberapa jenis zat toksik, sebagai contoh penggunaan diazepam untuk menghambat konvulasi dan fasciculasi yang disebabkan zat seperti organofosfat, karbamat dan stimulan.

You might also like