You are on page 1of 4

Jurnal Biogenesis Vol.

2(2):51-54, 2006 Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Riau ISSN : 1829-5460

KEPEKAAN JAMUR TRICHOPHYTON TERHADAP OBAT SALEP KRIM DAN OBAT TINGTUR
Irda Sayuti*), Atria Martina, dan Giant Evi Sukma
Laboratorium Biologi Jurusan Pendidikan MIPA FKIP Universitas Riau Pekanbaru 28293 Diterima 10 November 2006, Disetujui 27 Januari 2006

ABSTRACT The research to know how sensitivity of Trichophyton to cream antifungals consist of daktarin, fungiderm, canesten and tincture antifungals consist of mikorex, kalpanax and cap kaki tiga at Mikrobiology Laboratorium Faculty of Health and Medicine University of Riau has been done by June untill September 2005. Three samples of dermatophytosis patients were collected by purposif random sampling methode and susceptibility testing by disk paper methode was done by three replication. Observed measured datas of halo were analyzed by proportional methode with hold on by standard of Dermaofits susceptible of ketoconazol (15 ug).The results show that three species of trichophyton were found from each samples, they are Trichophyton sp 1 from first sample, Trichophyton sp2 from second sample and trichophyton sp3 from third sample. Thrichophyton sp1 and Thrichophyton sp2 were sensitive to cream antifungals but resisteance to tincture antifungals. Thrichophyton sp3 was resistance to both of antifungals. In generally, cream antifungals were most relevan in treatment topical use than tincture antifungals. Key words : Thrichophyton, antifungals and resistance

PENDAHULUAN Dermatofitosis merupakan jenis penyakit infeksi kulit terbanyak di beberapa daerah di Indonesia setelah dermatitis (Harahap, 2000). Penyakit ini sering dianggap tidak serius, namun jika tidak mendapat penanganan yang baik akan mengganggu fungsi kulit dan menimbulkan kurang percaya diri bagi penderita. Bahkan sering ditemukan di lapangan bahwa masyarakat yang terinfeksi dermatofita tidak bisa sembuh secara total. Dari sekian banyak jenis dermatofitosis yang disebabkan oleh dermatofita, yang banyak menyebabkan infeksi adalah pada tinea kruris, tinea imbrikata, tinea korporis, tinea manus et pedis, dan tinea unguium. Jamur Trichophyton merupakan jamur yang mampu memanfaatkan keratin sebagai sumber makanan. Karena itu area yang diinfeksi oleh jamur Trichophyton hanya dibatasi pada area yang memiliki keratin seperti
*)

Komunikasi Penulis :

Laboratorium Pendidikan Biologi PMIPA FKIP Universitas Riau

pada kulit, yaitu pada stratum korneum serta derivat kulit lainnya seperti kuku dan rambut. Jamur ini dapat mengakibatkan timbulnya skuama, lesi atau peradangan yang dapat berupa eritem dan menghasilkan vesikula. Jika dibiarkan terus menerus dan tidak mendapat penanganan yang tepat akan memperburuk kondisi kulit, yaitu dengan terjadinya abses (kerion). Trichophyton merupakan jamur berfilamen yang bersifat keratinofilik. Kemampuannya untuk mempergunakan keratin dan menghasilkan beberapa enzim seperti asam proteinase, elastase, keratinase, dan proteinase lain merupakan faktor utama yang membuat kemampuan virulensinya cukup besar (Weitzman et al, 1995). Berdasarkan pemikiran di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana kepekaan jamur Trichophyton terhadap jenis obat bebas luar terbatas, yang umumnya beredar di pasar seperti obat salep krim dan obat tingtur. Sampai saat ini, data terhadap jamur golongan dermatofit hanya diketahui secara umum dan belum ditemukan laporan yang memberikan data terperinci tentang kepekaan jamur dermatofita dalam satu genus, misalnya pada Trichophyton.

51

Sayuti, Martina dan Sukma : Kepekaan Jamur Trychophyton

BAHAN DAN METODE Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel kerokan dan eksudat, medium saboraud dekstrosa agar untuk dermatofit (SDA untuk Dermatofit), saboraud dekstros, NaCl 5%, selotip, laktophenol cotton blue (LCB), alkohol, aquades, canesten, fungiderm, daktarin, kalpanax, obat kurap cap kaki tiga dan micorex. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposif random sampling. Kemudian dilakukan uji resistensi terhadap sampel dengan 3 kali ulangan (triple). Metode yang digunakan dalam uji resistensi ini adalah metode disk paper, fungisidal yang digunakan adalah jenis obat luar terbatas yang dijual bebas dalam bentuk salep krim dan cair. Jenis salep krim yang akan digunakan sebagai bahan fungisidal adalah canesten, fungiderm dan daktarin (masing-masing 15 g) sedangkan jenis cair akan digunakan kalpanax, micorex dan obat kurap cap kaki tiga. Sampel diambil secara acak sebanyak 3 sampel. Pengambilan sampel dilakukan dengan dua cara yaitu mengerok skuama dan mengambil eksudat yang dihasilkan jika ada. Pengambilan sampel ini dilakukan setelah diagnosa oleh dokter spesialis dilakukan. Hasil kerokan sampel yang telah disiapkan dengan jalan mengambil langsung dari medium dengan menggunakan skapel blunt, diletakkan di atas objek glass dan diberi selotip dengan tujuan untuk mengamati hifa jamurnya, atau dapat ditanam terlebih dahulu pada media sabouraud dekstrosa agar untuk dermatofit (Harahap, 2000). Biakan yang ditanam pada medium diinkubasikan pada suhu 250C selama 5 hingga 7 hari (Anonim c, 2004). Setelah itu dilakukan pengamatan morfologi pada biakan tersebut. Biakan tersebut lalu diisolasi kembali pada SDA NaCl 5% pada suhu 250C sehingga koloni mencapai masa pertumbuhan optimal. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah jamur tersebut masuk dalam golongan jamur Trichophyton atau tidak. Lalu diamati dibawah mikroskop. Uji resistensi dilakukan setelah isolat murni yang diperoleh dari penanaman pada medium SDA NaCl 5% dibiakkan pada medium SDA, dengan menggunakan disk paper yang telah ditimbang berat keringnya dan telah diberikan canesten,

fungiderm, daktarin, kalpanax, obat kurap cap kaki tiga dan micorex sesuai dosis yang telah ditetapkan. Sampel tersebut diinkubasi kembali pada suhu 250C dengan waktu 2 x 24 jam. Uji kepekaan dilakukan melalui pengukuran zona hambatan dengan jangka sorong dan menggunakan metode pengukuran langsung, yaitu mengukur keseluruhan zona bening yang terbentuk (Wattimena, 1987; Cappucino et al, 1987). Perbandingan zona diameter pada uji resistensi ini dapat dilakukan dengan berpedoman pada Antifungal Susceptibility Testing Notes on the disk diffusion and ETEST methods dengan menggunakan ketokonazol sebagai antifungal standar pada Trichophyton (Ellis, 2005). HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil pengamatan yang dilakukan selama penelitian, didapati jenis jamur sebagaimana yang diperlihatkan Tabel 1.
Tabel 1. Jenis-jenis jamur yang menginfeksi sampel Sampel Jenis Penyakit Jenis jamur Tinea korporis, Tinea Trichophyton sp1, Kulit kruris Epidermophyton floccosum. Tinea kapatis Rambut Trichophyton sp2, Epidermophyton floccosum, Kulit jari, Tinea manus et pedis, Trichophyton sp3, tinea unguium kuku Microsporum

Dari Tabel 1 diketahui bahwa pada satu sampel (penderita) kadang ditemukan lebih dari satu jenis penyakit dan dapat terinfeksi oleh lebih dari satu jenis jamur. Jenis jamur yang paling banyak ditemukan adalah dari genus Trichophyton. Hampir semua jenis jamur tersebut tergolong ke dalam jamur antrofilik kecuali Trichophyton verrucosum yang bersifat zoofilik. Hasil pengukuran zona hambatan pada ketiga jenis Trichophyton tersebut adalah sebagai berikut: Hasil uji resistensi menunjukkan bahwa jamurjamur tersebut mempunyai kepekaan yang bervariasi terhadap masing-masing jenis obat. Dari Tabel 2 diketahui bahwa rata-rata hasil pengukuran zona bening untuk tiga jenis obat salep krim terhadap jamur Trichophyton sp1 masing-masing adalah daktarin 2,77 cm, canesten 2,69 cm dan fungiderm 2,55 cm. Spektrum aktivitas antifungi topikal pada salep krim yang luas diperlihatkan

52

Sayuti, Martina dan Sukma : Kepekaan Jamur Trychophyton

pada daktarin, sedangkan spektrum aktivitas antifungi yang terkecil salep krim diperlihatkan pada fungiderm.
Tabel 2. Hasil Uji Resistensi Jamur Trichophyton Obat Krim dan Obat Tingtur (cm). Nama Krim Tingtur Jenis Jamur Penyakit D F C M KT K Trichophyton 2.78 2.69 2.69 2.55 1.87 2.01 Tinea sp1 korporis, 2.57 2.47 2.48 2.03 1.64 1.37 tinea kruiris 2.97 2.58 2.89 2.27 2.18 2.19 2.77 2.55 2.69 2.28 1.90 1.86 Tinea kapitis Trichophyton 1.98 2.68 2.13 0 0 0 sp1 1.67 2.55 2.11 0 0 0 1.77 2.67 2.31 0 0 0 1.82 2.63 2.18 0 0 0 0 0 0 0 0 Tinea manus Trichophyton 0 0 0 0 0 0 et pedis, tineasp1 0 0 0 0 0 0 0 unguium 0 0 0 0 0 0 Keterangan: D: Daktarin, F: Fungiderm, C: Canesten M: Mikorex, KT: Kaki tiga, K: Kalpanax

fungiderm 88%. Kepekaan Trichophyton sp3 terhadap ketiga jenis obat adalah 0%. Persentase total kepekaan jamur Trichophyton sp1 terhadap jenis obat salep krim 89%, Trichophyton sp1 terhadap jenis obat salep krim 74%, dan Trichophyton sp3 terhadap jenis obat salep krim 0%. Berdasarkan metode proporsional, Trichophyton sp1 dan Trichophyton sp2 dinyatakan peka terhadap obat salep krim sedangkan Trichophyton sp3 resisten terhadap obat salep krim.
Tabel 4. Persentase rata-rata hasil uji resistensi jamur Trichophyton terhadap obat tingtur Ket Jamur XaM XaKt XaK Xa/ApkT %Xas/t Trichophyton sp1 0.76 0.63 0.62 2.01 67 Resisten 0 0 0 0 Resisten Trichophyton sp2 0 0 0 0 0 Resisten Trichophyton sp3 0

Obat topikal jenis tingtur mempunyai spektrum kerja antifungi sebagai berikut, jenis mikorex lebih besar daripada obat kaki tiga dan kalpanax. Spektrum aktivitas antifungi mikorex terhadap Trichophyton sp1 adalah 2,28 cm, sedangkan obat cap kaki tiga adalah 1,9 cm dan kalpanax 1,86 cm. Pada jenis penyakit tinea kruris dan tinea korporis, penggunaan mikonazol sama efektifnya dengan klotrimazol. tetapi pada penyakit tinea kapatis, klotrimazol lebih efektif digunakan dibandingkan mikonazol. Kedua jenis obat salep krim ini tidak sesuai digunakan pada tinea manus et pedis dan tinea unguium (Tabel 2).
Tabel 3. Persentase rata-rata hasil uji resistensi Trichophyton terhadap obat krim. Jamur XaD/Apk Xaf/Apk Xac/Apk Xa/ApkS %Xas/t Trichophyton sp1 0.92 0.85 0.90 2.67 89 Trichophyton sp2 0.61 0.88 0.73 2.22 74 0 0 0 0 Trichophyton sp3 0 jamur Ket Peka Peka Resstn

Dari hasil analisis data pada Tabel 3 diketahui bahwa persentase kepekaan masing-masing jamur terhadap obat dari jenis salep krim adalah Trichophyton sp1 terhadap daktarin 92%, terhadap canesten adalah 90% dan terhadap fungiderm 85%. Kepekaan Trichophyton sp2 terhadap daktarin adalah 61%, terhadap canesten 73% dan terhadap

Setelah dianalisis dengan menggunakan metode proporsional diperoleh hasil persentase kepekaan untuk obat tingtur seperti terlihat pada Tabel 4. Trichophyton sp1 lebih peka terhadap mikorex (76%) dibandingkan terhadap kaki tiga (63%) dan kalpanax (62%). Trichophyton sp2 dan Trichophyton sp3 tidak peka terhadap ketiga jenis obat tersebut (0%). Dengan demikan obat tingtur memiliki persentase pembentukan daerah hambatan yaitu 67% terhadap Trichophyton sp1, 0% terhadap Trichophyton sp2 dan 0% terhadap Trichophyton sp3. Berdasarkan ketentuan metode proporsional ketiga jamur Trichophyton ini dinyatakan resisten terhadap obat tingtur. Hal ini dapat terjadi karena komposisi obat tingtur yang kurang memenuhi standar, seperti pada kalpanax. Diketahui bahwa kalpanax memiliki diameter zona hambatan terkecil terhadap pertumbuhan Trichophyton sp1 dibanding kedua jenis obat tingtur lainnya. Komposisi asam salisilat yang tidak sebanding dengan asam benzoat menyebabkan ketidakseimbangan kerja antifungi pada obat kalpanax. Senyawa asam salisilat yang sangat mudah berikatan dengan membran jamur dapat merangsang jamur menghasilkan enzim esterase non spesifik yang mengkatalisis keberadaan senyawa ini dalam membran jamur. Hal ini menyebabkan lingkungan dalam sistem membran menjadi lebih asam. Keadaan asam pada sistem membran menyebabkan pertumbuhan jamur terhambat. Namun keberadaan iodine 0,5% menyebabkan keadaan asam berkurang dalam 53

Sayuti, Martina dan Sukma : Kepekaan Jamur Trychophyton

sistem membran. Meski asam benzoat juga bekerja lebih aktif pada lingkungan asam, namun jumlahnya tidak cukup untuk menyebabkan lisis pada membran jamur. Dalam waktu singkat membran akan segera memperbaiki kebocoran yang terjadi pada sistem membran. Keberadaan senyawa-senyawa dalam obat tingtur pada sistem membran jamur tidak bertahan lama, berbeda dengan senyawa azol yang dapat bertahan hingga 120 jam (Bahry dan Setiabudy dalam Ganiswarna, 2004). Keadaan resisten terhadap kedua jenis obat ini dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme yang hampir serupa. Mekanisme yang paling mungkin terjadi adalah melibatkan efek dosis gen (Chen et al, 1987). Diduga mekanisme resistensi seperti ini dimungkinkan, karena jamur yang ditemukan pada penyakit ini tidak hanya satu, sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya transduksi (transformasi gen) dari jamur yang resisten terhadap faktor resisten ke jamur yang sensitif terhadap faktor resisten tersebut atau dapat terjadi dengan jalan menginkorporasi faktor resistensi langsung dari lingkungan. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa 3 jenis isolat yang ditemukan pada penelitian adalah Trichophyton sp1, Trichophyton sp2, dan Trichophyton sp3. Jenis Trichophyton sp1 dan Trichophyton sp2 peka terhadap obat salep krim tetapi resisten terhadap obat tingtur. Sedangkan Trichophyton sp3 resisten terhadap kedua jenis obat tersebut. Jenis obat salep krim seperti daktarin (mikonazol) mampu mengahambat pertumbuhan Trichophyton sp1 hingga 92% sama efektifnya dengan fungiderm (85%) dan canesten (90%). Namun fungiderm dan canesten mampu menghambat pertumbuhan Trichophyton sp2 hingga 88% dan 73%, lebih baik daktarin (61%). Secara keseluruhan obat salep krim sangat efektif

digunakan untuk mengahambat pertumbuhan Trichophyton sp1 (89%) dan Trichophyton sp2 (74%), tetapi tidak efektif digunakan untuk Trichophyton sp3. Kemampuan obat tingtur terutama mikorex untuk menghambat pertumbuhan Trichophyton sp1 mencapai 76%, lebih baik daripada kaki tiga (63%) dan kalpanax (62%). Obat-obatan jenis tingtur tidak mampu menghambat pertumbuhan Trichophyton sp2 dan Trichophyton sp3. Secara keseluruhan, ketiga jenis jamur yang ditemukan pada penelitian ini resisten terhadap obat tingtur. Penggunaan obat-obatan yang mengandung derivat imidazol seperti obat salep krim lebih relevan dibandingkan dengan penggunaan obat tingtur. DAFTAR PUSTAKA
Anonim c. 2004. Microbiologics recommended Growth requirements. Technical Information Bulletin Tib. 081 Rev. http://www.microbiologis.com/docs/ TIB081.pdf. 30 Juni 2005. Chen, C., T.G. Turi, D. Songlard, and J.C. Loper. 1987. Isolation Of The Candida Tropicalis gene For P450 Lanosterol demethylase And Its expression In Saccharomyces cerivisiae. Biochem. Biophys. Res. Commun. 146:1311-1317 Ellis, D. 2005. Antifungal Susceptibility Testing Notes on the disk diffusion and ETEST methods. www.mycology.adelaide.edu.au. 30 Mei 2005 Ganiswarna, S.G. 2004. Obat jamur, Dalam Farmakologi dan Terapi, Ed 4. Gaya Baru. Jakarta Ganiswarna. 2004. Obat Jamur, Dalam Farmakologi dan Terapi, Ed 4. Gaya Baru. Jakarta Harahap, M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates. Jakarta Weitzman, et al. 1995. The dermatophytes. Clin Microbiol Rev. 8:240-259 Wattimena, J.R. 1987 . Farmakodinamik dan Terapi Antibiotik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

54

You might also like