You are on page 1of 14

PEMANFAATAN DAN IDENTIFIKASI PADATAN SISA PROSES BIOGAS UNTUK BRIKET DENGAN PIROLISIS THE USAGE AND IDENTIFICATION

OF BIOGAS PROCESS SLURRY FOR BRIQUET BY PYROLYSIS Iman Kurniawan Wicaksono dan Abdu Fadli Assomadi Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya email: wicaksono@enviro.its.ac.id ; assomadi@its.ac.id
Abstrak Salah Satu dampak dari peningkatan jumlah penduduk adalah peningkatan kebutuhan pangan (pertanian dan peternakan), sehingga meningkatkan jumlah limbah yang dihasilkan faeces sapi yang selama ini dijadikan pupuk kandang. Telah dilakukan penelitian menggunakan teknologi biogas, yang menghasilkan energi berupa gas methan. Lalu padatan sisa proses biogas dicampur dengan tempurung kelapa dibakar secara pirolisis, yaitu pembakaran tanpa atau sedikit oksigen. Adapun variasi komposisi sampel antara lain: 100 % sisa biogas, 75 % sisa biogas + 25 % tempurung kelapa, 50 % sisa biogas + 50 % tempurung kelapa dan 25 % sisa biogas + 75 % tempurung kelapa. Sedangkan perlakuan yang diberikan yaitu, sampel dikeringkan, tanpa pengeringan, penambahan HCl dan tanpa penambahan HCl. Dari penelitian diperoleh nilai kalor tertinggi terdapat pada sampel komposisi 75 % sisa biogas + 25 % tempurung kelapa dengan perlakuan tanpa pengeringan dan tanpa penambahan HCL, nilai kalornya sebesar 9728,66 kal/gr. Kata kunci: Faeces sapi, tempurung kelapa, biogas, pirolisis.

Abstract The consequence of rising inhabitant is increasing demands of foods (agricultura and livestock) as well as their waste. The research was aimed to find the solution to recycle the biodigester slurry of cow dung mixed by the coconut shells. The slurry from biogs process was burned by pyrolysis in the varied sample composition of 100 % slurry, 75 % slurry + 25 % coconut shells, 50 % slurry + 50 % coconut shells, 25 % slurry + 75 % coconut shells. Several treatment procedures were caried out. Such as: simple was dried, without drying, simple was added by HCl, and without HCl addition. The greatest value calories of 9728.66 cal/gr was obtained in 75 % slurry + 25 % coconut shells. Key words: Cow dung, coconut shell, biogas, pyrolysis.

1. Pendahuluan Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas masyarakat, menuntut tersedianya persediaan pangan yang mencukupi kebutuhan penduduk. Dari kondisi tersebut secara otomatis terjadi perkembangan produksi pangan, baik sektor peternakan maupun sektor pertanian. Setiap peningkatan hasil produksi mengakibatkan peningkatan jumlah limbah yang dihasilkan dari proses produksi tersebut. Seiring dengan perkembangan sektor peternakan dan pertanian yang terus ditingkatkan, maka kuantitas limbah hasil peternakan dan pertanian yang dihasilkan juga akan meningkat. Dari sektor peternakan, khususnya peternakan sapi menghasilkan limbah faeces sapi yang cukup banyak. Setiap ekor sapi rata-rata dapat menghasilkan faeces sebanyak 30 kg/ekor/hari (Simamora, dkk. 2006). Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa potensi dari peternakan sapi cukup besar. Oleh karena itu, perlu dicari upaya penanganan dan pemanfaatannya. Di samping sebagai pupuk kandang, faeces sapi dapat dimanfaatkan menjadi sumber energi untuk bahan bakar dengan terlebih dahulu dibuat briket. Kelapa adalah salah satu hasil pertanian yang cukup banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Salah satu limbah yang dihasilkan dari kelapa adalah tempurung kelapa. Di samping dijadikan sebagai bahan baku kerajinan, tempurung kelapa dapat dimanfaatkan menjadi sumber energi untuk bahan bakar dengan terlebih dahulu dijadikan arang/briket. Biomassa adalah sampah kota, limbah pertanian, peternakan, dan industri yang terkait dengannya. Itu dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif bagi rumah tangga maupun industri, kata Peneliti Teknologi Pengolahan Limbah Pustekling-BPPT Sri Wahyono kepada Investor Daily di Jakarta, (Bukit, 2006). Biomassa, sebenarnya sangat potensial untuk dikembangkan menjadi energi terbarukan. Pengembangan energi terbarukan tersebut di atas dapat dilakukan melalui Clean Development Mecanism (CDM). CDM ini mengembangkan konversi biomassa manjadi bahan bakar atau sumber energi dan pembersihan lingkungan. (Nurachman, 2005). Adapun Tujuan Penelitian ini adalah mengukur volume gas methan yang dihasilkan oleh faeces sapi dari proses anaerobik dan menentukan nilai kalor pada sisa proses biogas yang dibakar secara pirolisis

1.1 Ruang Lingkup Adapun ruang lingkup dari Penelitian ini adalah : 2

1.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Kotoran sapi perah, yang berasal dari Jemur Sari. Tempurung kelapa, yang berasal dari Pasar Pucang.
2.

Proses biogas dilakukan dengan menggunakan metode anaerobik yaitu hanya pada kotoran sapi/faeces.

3. Pembuatan briket dilakukan dengan menggunakan metode pambakaran secara pirolisis. 4. Parameter penelitian yang dianalisis : Volume gas methan Nilai kalor

2. Tinjauan Pustaka 2.1. Karakteristik Kotoran Sapi Pengelolaan limbah kotoran sapi maupun dari rumah potong hewan perlu diperhatikan apalagi dalam usaha skala besar. Pada masa mendatang bisa saja terjadi, bila suatu peternakan sapi memelihara sapi sampai 50.000 ekor sapi, sehingga menimbulkan masalah dalam penanganan limbahnya. Sebagai contoh seekor sapi muda menghasilkan 30 kg kotoran/faeces setiap hari (Simamora, dkk. 2006). Berikut ini adalah tabel 2.1 mengenai susunan kimia faeces sapi Tabel 2.1 Susunan kimia Faeces Sapi Unsur Bahan % Berat

21,24 kering Protein 6,74 Serat Kasar 36,64 Lemak 2,45 Abu 22,11 Kalsium 0,43 Phospor 2,25 Lain-lain 8,14 Sumber: Widarto dan Suryana, 1995

2.2.

Karakteristik Tempurung kelapa

Kelapa merupakan tumbuhan asli daerah yang beriklim tropis di sepanjang katulistiwa. Indonesia berdasarkan letak geografisnya merupakan daerah yang cocok bagi pertumbuhan kelapa. Dalam dunia tumbuhan, kelapa bisa digolongkan sebagai berikut: Divisio Klas Ordo Genus : Spermatophyte : Monocotyledonae : Palmae : Cocus

Species: Cocos nucifera Hampir seluruh bagian tubuh kelapa dapat dimanfaatkan.Tempurung kelapa merupakan bagian dari buah kelapa. Prosentase tempurung kelapa adalah 12 15 % dari buah kelapa. Tempurung kelapa pada dasarnya mengandung unsur-unsur kimia seperti karbon (C), hidrogen (H), nitrogen (N) dan unsur mineral seperti K, Ca dan Mg. Unsur-unsur kimia (C,H dan N) tergabung dalam bentuk senyawa organik yang merupakan kandungan pokok dari tempurung kelapa. Berikut tabel 2.2 adalah komposisi tempurung kelapa: Tabel 2.2 Komposisi tempurung kelapa Unsur % Berat Air 8,0 Abu 0,6 Lignin 29,4 Selulosa 26,6 Pentosa 27,7 Lain-lain 7,7 Sumber: Warnijati dan Agra, 1980 Pembakaran tempurung kelapa dari kelapa tua dengan cara pirolisis akan menghasilkan karbon (arang) dengan kualitas pembakaran yang cukup tinggi. Rendemen arang yang dihasilkan adalah 30 % dari berat basah tempurung. Arang tempurung termasuk bahan bakar dengan nilai kalor tinggi

2.3. Biogas Pengertian Biogas

1.

Biogas adalah suatu campuran gas-gas yang dihasilkan dari suatu proses fermentasi bahan organik oleh bakteri dalam keadaan tanpa oksigen atau anaerobik (Sahidu, 1983). Komposisi Biogas Menurut Polprasert (1989), kandungan biogas tergantung dari beberapa faktor seperti komposisi limbah yang dipakai sebagai bahan baku, beban organik dari digester, dan waktu serta temperatur dari penguraian secara anaerobik. Walaupun terdapat variasi dalam kandungan biogas, dapat diperkirakan bahwa kandungan berkisar pada nilai-nilai di bawah ini : Metana (CH4) = (55 - 65%)

Karbondioksida (CO2) = (35 - 45%) Nitrogen (N2) Hidrogen Sulfida (H2S) = (0 - 3%) = (0 - 1%)

2.3.3 1.Suhu

Faktor yang mempengaruhi pembentukan biogas Kondisi lingkungan yang mempengaruhi produksi biogas, antara lain (Balsam, 2002) :

Suhu berpengaruh pada kecepatan pembentukan gas. Suhu kerja yang lebih tinggi akan memberikan biogas yang banyak pula. Namun pada suhu yang terlalu tinggi, bakteri-bakteri mudah mati oleh perubahan suhu. Suhu yang harus dipertimbangkan dalam pembentukan gas methan adalah kondisi mesofilik (25- 40) C dan kondisi termofilik (50-65) C. 2. pH Pada awal proses, pH bahan yang terisi dalam tangki anaerobik dapat turun menjadi 6 atau lebih rendah. Ini merupakan akibat dari dihasilkannya asam-asam organik sederhana. Sesudah 2 sampai 3 minggu, pH mulai naik disertai dengan perkembangbiakan bakteri pembentuk metan. Bakteri anaerobik bekerja paling giat pada keadaan pH antara 6,8 - 8, pada kisaran tersebut akan diberikan hasil dekomposisis yang optimum (artinya laju produksi biogas yang optimum). Pada saat penurunan pH menjadi kurang dari 4,5 yang dapat menyebabkan terhentinya proses pembentukan gas metan dari hidrogen dan karbonmonoksida maka perlu penambahan basa/kapur.

3. Kadar air Dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme tergantung kadar air. Perbandingan air dan padatan/ lumpur kurang lebih 1:1. Pada keadaan ini proses pencernaan anaerobik berjalan paling baik. Kelembaban (36-99) % akan menaikkan produksi gas 67%. Kenaikan terbesar dicatat pada range kelembaban (60-78)%. 4. C/N Hubungan antara karbon dan nitrogen pada proses dekomposisi bahan organik ditunjukkan dengan rasio C/N. Rasio C/N untuk pembentukan biogas berada pada rentang 20 30 (Verma, 2002). Rasio C/N yang tinggi, mengindikasikan bahwa konsumsi nitrogen oleh bakteri methanogen berlangsung sangat cepat sehingga nilai N kecil dan menghasilkan produksi biogas yang kecil. Pada sisi lain, rasio C/N yang kecil mengakibatkan terjadi akumulasi ammonia dan nilai pH melebihi 8,5, dimana keadaan ini menjadi beracun bagi bakteri methanogen. 5. Nutrien/inokulum Beberapa organisme yang berada dalam digester juga ditemukan pada kotoran manusia dan hewan. Kecepatan pertumbuhan dari gas akan cepat dengan menambahkan lumpur yang mengandung bakteri tersebut.

2.3.4

Proses Pembentukan Biogas Proses pengolahan limbah secara anaerobik merupakan metoda yang efektif untuk pengolahan

berbagai limbah organik. Pengolahan jenis ini memanfaatkan peran bakteri anaerobik dan fakultatif dalam kondisi tanpa oksigen untuk menguraikan bahan organik menjadi produk yang stabil dan produk berupa gas seperti karbondioksida dan metana. Menurut Polprasert (1996), reaksi yang terjadi pada pembentukan biogas didalam suatu digester secara umum dapat digambarkan pada reaksi 2.1 sebagai berikut:

Bahan organik Mikroorganisme anaerobik CH4 +CO2 +H2S +N2+NH3

Pada umumnya penguraian bahan-bahan organik menjadi biogas dibagi menjadi empat tahap yaitu: 1. Tahap Hidrolisa Grup mikroorganisme hidrolytic mengurai senyawa organik kompleks menjadi molekulmolekul sederhana, dengan rantai pendek termasuk glukosa, asam amino, asam organik, ethanol, karbondioksida dan hidrokarbon yang dimanfaatkan sebagai sumber karbon dan energi bagi bakteri yang melakukan fermentasi. Proses hidrolisis dikatalis oleh enzim yang dikeluarkan oleh bakteri seperti selullase, protase, dan lipase. Rumus kimia untuk bahan organik adalah C6H10O4 (Themelis and Verma, 2004 dalam Ostream 2004). Reaksi yang terjadi selama proses hidrolisis dimana bahan organik dipecah menjadi molekul gula sederhana, dapat dilihat pada reaksi 2.2 berikut (Ostream,2004) : C6H10O4 + 2H2O 2. Tahap Acidogenesis Tahap hidrolisis segera dilanjutkan oleh pembentukan asam pada proses acidogenesis. Dalam proses ini, bakteri acidogenesis mengubah hasil dari tahap hidrolisis menjadi bahan organik sederhana (kebanyakan dari rantai pendek, keton, dan alkohol). 3. Tahap Acetogenis (Tahap Pembentukan Asam) Pada tahap ini terjadi pembentukan senyawa asetat, CO2 dan hidrogen dari molekul-molekul sederhana yang tersedia oleh bakteri aceton penghasil hidrogen. Tetapi pertumbuhan mikroorganisme ini justru akan terhambat jika terjadi akumulasi hidrogen. 4. Tahap Methanogenesis (Tahap Pembentukan Methan) Pada tahap ini terjadi pembentukan gas methan dari senyawa asetat, ataupun hidrogen dan CO2 oleh bakteri methanogen. Bakteri methanogen adalah bakteri anaerob yang pertumbuhannya lebih lambat dari pada bakteri yang ada pada tahap satu dan dua. Bakteri ini sangat tergantung pada bakteri lainnya pada tahap sebelumya untuk menghasilkan nutrient dalam bentuk yang sesuai. Fungsi dari bakteri methanogen antara lain mengurangi akumulasi hidrogen seminimal mungkin di dalam medium dengan jalan menggunakan hidrogen untuk mereduksi CO2 menjadi produk yang inert (gas yang tidak dapat bereaksi secara kimia dengan benda lain) yaitu CH4. Proses ini oleh methanogen pengguna hidrogen. Reaksi yang terjadi pada tahap methagenesis (Polprasert, 1989) adalah pada reaksi 2.3 berikut ini : C6H12O6 + 2H2 (2.2)

CH3COO- + H2O (asetat)

CH4 + HCO3-

(2.3)

2.4 Pirolisis Pirolisis adalah dekomposisi kimia bahan organik melalui proses pemanasan tanpa atau sedikit oksigen atau reagen lainnya, dimana material mentah akan mengalami pemecahan struktur kimia menjadi fase gas. Pirolisis adalah kasus khusus termolisis. Pirolisis ekstrim, yang hanya meninggalkan karbon sebagai residu, disebut karbonisasi (Vesilind, 2002). Pembakaran pirolisis akan menghasilkan sejumlah energi, salah satunya adalah panas/kalor. Adapun penjelasan mengenai kalor dan nilai kalor akan dijelaskan pada bab 2.5. Sebagai contohnya, jika material yang terdiri dari selulusa dibakar secara pirolisis. Persamaan reaksinya Seperti pada reaksi 2.4 berikut, (Vassilind, 2002): C6H10O5 + Panas CH4 + H2 + CO2+C2H4 (ethylene)+C+H2O

Berikut ini adalah klasifikasi hasil yang diperoleh dari proses pirolisis, yakni (Vasilind, 2002): 1. Zat padat Zat padat hasil pirolisis biasanya berupa Karbon/arang 2. Zat Cair Zat cair yang dihasilkan biasanya berupa ethelene 3. Zat Gas Gas yang dihasilkan proses pirolisis biasanya adalah methan, CO2, hydrogen

3. Metodologi Penelitian 3.1.Bahan dan Alat Adapun Alat dan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut: Reaktor Biogas Reaktor Pirolisis Faeces Sapi Tempurung kelapa
11 9 4 5 3 10 8 6

100 90 80 70 60 50 40 30 20

4 1
7

10 0

2 1

Gambar 3.6 Reaktor Biogas dan Rangkaian reaktor Pirolisis

Adapun langkah-langkah pengoperasian reaktor pirolisis adalah sebagai berikut: 1. Persiapan sampel (sisa proses biogas yang telah dikeringkan, sisa proses biogas yang masih berupa lumpur, dan tempurung kelapa). 2. Setelah itu sampel (sisa proses biogas yang telah dikeringkan dan tempurung kelapa) di hancurkan kecil-kecil. 3. Sampel ditimbang sesuai dengan variasi komposisi sampel. 4. Sampel dimasukkan ke dalam wadah pembakaran. 5. Nyalakan kompor minyak tanah, sampai nyala api stabil. 6. Kunci rapat wadah pembakaran dan hubungkan dengan kondensor ( pipa PVC no 5), selang juga sudah terhubung dengan pompa air. 7. Hidupkan pompa, sampai sirkulasi air dari pompa ke kondensor dan dari kondensor ke bak penampung (no 10) berjalan lancar. 8. Taruh wadah pembakaran yang sudah dirangkai dengan kondensor diatas kompor. 9. Siapkan botol destilat dan taruh tepat dibawah pipa outlet 10. Cairan hasil kondensasi akan keluar dan masuk kedalam botol destilat. 11. Setelah asap dan cairan tidak keluar lagi, matikan kompor. 12. Dinginkan sampai 30 menit 9

13. Ambil arang yang terbentuk. 14. Cairan dan arang siap di analisa Setelah sampel dicampur sesuai dengan komposisi diatas, maka diberi 2 perlakuan berbeda, yaitu: Penambahan HCl dan tanpa penambahan HCl. Penambahan HCl diberi 15-20 tetes. 3.1 Kerangka penelitian

Ide Penelitian Studi Literatur : Biogas dan proses pembentukannya Briket dan proses pembentukannya Proses Pirolisis Beberapa topik yang mendukung penelitian

Persiapan Penelitian Persiapan Alat dan Bahan serta pembuatan reaktor Pengoperasian Reaktor Anaerobik secara Batch Pemantauan Parameter Analisa rutin : Volume Gas Methan Padatan sisa proses biogas

Pengeringan

Tanpa Pengeringan

Variasi Pencampuran : Sisa Biogas 100 % Sisa Biogas 75 % Tempurung Sisa Biogas 50 % Tempurung Sisa Biogas 25 % Tempurung

25 % 50 % 75 %

Variasi Penambahan Asam dan tanpa Penambahan Asam

Pembakaran secara Pirolisis Padatan Uji Kalor Briket (Bentuk Silinder ) Gas Destilasi Cair Uji C , N dan P Analisa Data dan Pembahasan Kesimpulan dan Saran Gambar 3.1 Kerangka Penelitian

10

4.Analisa Dan Pembahasan .Analisa Produksi Gas Methan Dalam penelitian ini, pengukuran gas dilakukan dengan pengamatan secara visual terhadap penurunan muka air pada tabung penangkap gas methan. Apabila terjadi penurunan muka air pada tabung penangkap gas, hal ini menunjukkan terbentuknya gas methan dan besarnya ditentukan dengan melihat selisih antara muka air awal dengan muka air akhir. Grafik hasil produksi gas methan dapat dilihat pada gambar dibawah ini

Gambar Produksi Gas Methan Berdasarkan gambar diatas gas methan mulai terbentuk pada hari ke-10. Hal ini menunjukkan bakteri methana dalam proses pertumbuhannya memerlukan waktu yang lama untuk beradaptasi dan memerlukan kondisi lingkungan yang benar-benar anaerobik (Wijjayanti, 1993). Pada hari ke-10 tahap methanogenesis mulai terjadi, bakteri methanogen mulai menghasilkan gas methan. Hasil produksi gas methan per hari dapat dilihat pada lampiran. Adapun reaksi dari proses methanogenesis adalah sebagai berikut, (Polprasert, 1989): CH3COO- + H2O (asetat) Adanya fluktuasi pada gambar 4.1 hal ini dipengaruhi oleh suhu, dimana suhu adalah parameter yang krusial (Ostream, 2004). 11 CH4 + HCO3-

Dalam percobaan kali ini, waktu tinggal yang digunakan adalah 35 hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Chynoweth and Legrand 1993, dimana materi organik didekomposis terutama menjadi methan, karbondioksida dan kompos dengan waktu tinggal sekitar 10 30 hari. Berdasarkan percobaan Polprasert, 1989, produksi gas methan paling banyak diproduksi dengan waktu tinggal 30 hari dibandingkan dengan waktu tinggal setelah 50 dan 70 hari. 4.2 Proses Pembakaran Secara Pirolisis Ke-16 sampel dengan komposisi berbeda dibakar satu per satu dengan metode pirolisis, yaitu dibakar dalam keadaan tanpa atau sedikit oksigen. Rangkaian alat pirolisis juga dilengkapi dengan kondensor, hal ini bertujuan untuk mengubah fasa gas menjadi zat cair. Dimana zat cair nantinya akan diidentifikasi kandungan C, N dan P. Proses pembakaran akan dihentikan bila sudah tidak ada asap dan cairan yang keluar dari pipa reaktor. Setiap sampel memiliki waktu yang berbeda dalam proses pembakaran secara pirolisis, hal ini dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini: Tabel 4.1 Waktu pembakaran No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Komposisi sampel 100 % sisa proses biogas 75 % sisa proses biogas 25 % tempurung kelapa 50 % sisa proses biogas 50 % tempurung kelapa 25 % sisa proses biogas 75 % tempurung kelapa 100 % sisa proses biogas 75 % sisa proses biogas 25 % tempurung kelapa 50 % sisa proses biogas 50 % tempurung kelapa 25 % sisa proses biogas 75 % tempurung kelapa 100 % sisa proses biogas Perlakuan Pengeringan Pengeringan Pengeringan Pengeringan Pengeringan + HCl Pengeringan + HCl Pengeringan + HCl Pengeringan + HCl Tanpa Pengeringan Lama Pembakaran (menit) 40 35 24 19 40 31 30 28 12

12

10 11

75 % sisa proses biogas 25 % tempurung kelapa 50 % sisa proses biogas 50 % tempurung kelapa

Tanpa Pengeringan Tanpa Pengeringan

13 15

Lanjutan Tabel 4.1 No 12 13 14 15 16 Komposisi sampel 25 % sisa proses biogas 75 % tempurung kelapa 100 % sisa proses biogas 75 % sisa biogas 25 % tempurung kelapa 50 % sisa proses biogas 50 % tempurung kelapa 25 % sisa proses biogas 75 % tempurung kelapa Perlakuan Tanpa Pengeringan Tanpa Pengeringan + HCl Tanpa Pengeringan + HCl Tanpa Pengeringan + HCl Tanpa Pengeringan + HCl Lama Pembakaran (menit) 25 17 20 23 26

Berdasarkan tabel 4.1 dapat disimpulkan, sampel yang dikeringkan terlebih dahulu memiliki waktu pembakaran yang lebih lama dalam sedangkan sampel yang tidak dikeringkan memiliki waktu yang lebih cepat dalam proses pembakaran. Sampel yang telah dibakar akan menjadi arang yang kemudian akan dianalisa kandungan nilai kalor. Sedangkan asap yang telah mengalami kondensasi akan menjadi cairan yang kemudian akan dianalisa kandungan C, N dan P. Adapun berat/volume sampel sebelum pembakaran dan sesudah pembakaran, baik hasil akhir berupa arang maupun yang berupa cairan dapat dilihat pada lampiran. 5. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan kesimpulan yaitu : Volume gas methan yang dihasilkan oleh 10 kg faeces sapi yang mengalami proses anaerobik selama 35 hari adalah sebesar 11,589 ml. Nilai kalor pada briket hasil pembakaran secara pirolisis padatan sisa proses biogas terbesar adalah pada komposisi 67,5 % air+7,5 % sisa biogas + 25 % tempurung kelapa dengan perlakuan tanpa pengeringan yaitu sebesar 9728,66 kalori/gr. 13

6. Daftar Pustaka

Alaerts, G, dan Sumestri, Sri. 1987. Metode Penenelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya. APHA, AWWA, WPCF. 2000. Standart Method for the Examination of Water and Wastewater. 15th edition. Washington. Balsam, J. 2002. Anaerobic Digestion of Animal Wastes: Factors to consider. NCAT Agricultural Energy Specialist, California. Corbit, 1990. Standart Handbook of Environmental Engineering, edited by Robert Corbit, McGraw-Hill, New York, 1990.URL://http//www.epa.com Pelczar, M.J.Jr., dan Chan, E.C.S 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta Polprasert, C. 1989. Organic Waste Recycling. John Wiley & Sons, Singapore. Tchobanoclus, Thiessen, Vigil, 1993. Integrated Solid Wastes Management Engineering, Principles and Management Issue. Mc Graw Hill International Edition, Singapore Warnijati dan Agra, 1980. Limbah pertanian Sebagai Sumber energi di Indonesia. Bagian teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Gajad mada. Widarto, L dan Suryana, 1995. Membuat Bioarang dari Kotoran Lembu, Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

14

You might also like