You are on page 1of 18

BAB I PENDAHULUAN Bronkopneumonia merupakan satu bentuk pneumonia, yaitu pneumonia lobularis.

Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru. Pneumonia biasanya disebabkan oleh virus atau bakteria. Sebagian besar episode yang serius disebabkan oleh bakteria. Biasanya sulit untuk menentukan penyebab spesifik melalui gambaran klinis atau gambaran foto dada. Dalam program penanggulangan penyakit ISPA, pneumonia diklasifikasikan sebagai pneumonia sangat berat, pneumonia berat, pneumonia dan bukan pneumonia, berdasarkan ada tidaknya tanda bahaya, tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam dan frekuensi napas, dan dengan pengobatan yang spesifik untuk masing-masing derajat penyakit. Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah lima tahun. Pola bakteri penyebab pneumonia biasanya berubah sesuai dengan distribusi umur pasien.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi Bronkopneumonia merupakan satu bentuk pneumonia, yaitu pneumonia lobularis. Bronkopneumonia didefinisikan sebagai peradangan akut dari parenkim paru pada bagian distal bronkiolus terminalis dan meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, sakus alveolaris dan alveoli. Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada sejumlah penyebab noninfeksi seperti aspirasi makanan atau asam lambung, benda asing, hidrokarbon, bahan lipoid dan pnemonitis akibat obat. Pneumonia digolongkan atas dasar anatomi seperti proses lobus atau lobularis, alveoler atau interstisial II. Epidemiologi Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah lima tahun. Diperkirakan hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di afrika dan asia tenggara. Menurt survei kesehatan nasional tahun 2001, 27% kematian bayi dan 22,8 % kematian balita di indonesia disebabkan oleh penyakit sistem respiratorius, terutama pneumonia. Insidensi pneumonia pada anak < 5 tahun di negara maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan dinegara berkembang berkembang. Pola bakteri penyebab pneumonia biasanya berubah sesuai dengan distribusi umur pasien. Di negara berkembang, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh 2 10-20 kasus/100 anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian per tahun pada balita di negara

bakteri. Namun secara umum bakteri yang berperan penting dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae, Staphylococcus aureus, streptokokus grup B, serta kuman atipik Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae. III. Klasifikasi Berdasarkan lokasi lesi di paru pneumonia lobaris pneumonia interstisial bronkopneumonia

Berdasarkan asal infeksi di dapat dari masyarakat di dapat dari rumah sakit

Berdasarkan etiologi penyebab pneumonia bakteri pneumonia virus pneumonia mikoplasma pneumonia jamur

Berdasarkan karakteristik penyakit pneumonia tipikal pneumonia atipikal

Berdasarkan lama penyakit pneumonia akut pneumonia persisten

IV. Etiologi

Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis dan strategi pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi streptococcus group B dan bakteri gram negatif seperti E. Colli, pseudomonas atau klebsiella. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh infeksi streptococcus pneumonia, haemophillus influenzae tipe B dan staphylococcus aureus. Sedangkan pada anak yang lenih bedar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi mycoplasma pneumoniae. Di negara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus, disamping bakteri. Virus yang terbanyak ditemukan adalah respiratory syncytial virus, rino virus dan virus para influenza. Patogen penyebab pneumonia pada anak bervariasi bergantung pada : usia status imunologis kondisi lingkungan status imunisasi faktor penjamu (penyakit penyerta, malnutrisi) Beberapa bakteri tertentu sering menimbulkan gambaran patologis tertentu bila dibandingkan dengan bakteri lain. Infeksi Streptococcus pneumoniae biasanya bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh lapangan paru (bronkopneumonia) Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di Negara maju : Usia Lahir - 20 hari Etiologi yang sering Bakteri E.colli Streptococcus grup B Listeria monocytogenes Etiologi yang jarang Bakteri Bakteri anaerob Streptococcus grup D Haemophillus influenza Streptococcus pneumonie Virus citomegalovirus Herper simpleks virus Bakteri Bordetella pertusis Haemophillus influenza tipe B Moraxella catharalis 4

3 miggu 3 bulan

Bakteri Clamydia trachomatis Streptococcus pneumoniae Virus

4 bulan 5 tahun

5 tahun remaja

Adenovirus Influenza virus Parainfluenza 1,2,3 respiratory syncytial virus Bakteri Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumoniae Streptococcus pneumoniae Virus Adenovirus Rinovirus Influenza virus Parainfluenza virus respiratory syncytial virus Bakteri Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumoniae Streptococcus pneumoniae

Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum Virus Cytomegalovirus Bakteri Haemophillus influenza tipe B Moraxella catharalis Staphylococcus aureus Neisseria meningitides Virus Varisela Zoster

Bakteri Haemophillus influenza Legionella sp Staphylococcus aureus Virus Adenovirus Epstein-Barr virus Influenza virus Parainfluenza Rinovirus Varisela zoster Rino virus respiratory syncytial virus

V. Patogenesis Pneumonia dapat timbul akibat masuknya kuman penyebab ke dalam saluran penafasan bagian bawah melalui 2 cara, yaitu : inhalasi dan hematogen. Dalam keadaan normal saluran nafas mulai dari trakea ke bawah berada dalam keadaan steril dengan adanya mekanisme pertahanan paru-paru seperti refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi, refleks batuk, pergerakan sel silia, sekret mukus, sel fagositik dan sistem limfatik. Infeksi paru terjadi apabila mekanisme ini terganggu atau mikroorganisme yang masuk sangat banyak dan virulensi. Saluran napas bawah dijaga tetap steril oleh mekanisme pertahanan bersihan mukosiliar, sekresi imunoglobulin A, dan batuk. Mekanisme pertahanan imunologik

yang membatasi invasi mikroorganisme patogen adalah makrofag yang terdapat di alveolus dan bronkiolus, IgA sekretori, dan imunoglobulin lain. Biasanya bakteri penyebab terhirup ke paru-paru melalui saluran nafas, mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :

1. Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti) Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah

paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin. 2. Stadium II (48 jam berikutnya) Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam. 3. Stadium III (3 8 hari) Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

4. Stadium IV (7 11 hari) Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

VI. Manifestasi klinis

Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga sedang. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam jiwa dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit. Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah inmaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang tidak khas terutama pada bayi. Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya infeksi, tetapi secra umum adalah sebagai berikut: Gambaran infeksi umum : Demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah, atau diare. Gambaran gangguan respiratorius: Batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipneu, nafas cuping hidung, merintih, sianosis. VII. Pemeriksaan Fisik Dalam pemeriksaan fisik penderita bronkhopneumoni ditemukan hal-hal sebagai berikut : a. b. Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris. suprasternal, dan pernapasan cuping hidung. Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang. c. Pada perkusi tidak terdapat kelainan d. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring. Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka. VIII. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan radiologi Kelainan foto rontgen toraks tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Biasanya dilakukan pemeriksaan rontgen toraks posisi AP. Foto rontgen toraks AP dan lateral hanya dilakukan pada pasien dengan tanda dan gejala klinik distres pernapasan seperti takipnea, batuk dan ronki, dengan atau tanpa suara napas yang melemah. Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari : Infiltrat interstitial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular, peribronchial cuffing, dan hiperaerasi. Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris, atau terlibat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas, dan menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia. Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru, berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

2. Pemeriksaan laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm3dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseranke kiri serta peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan.

IX. Diagnosis

10

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut : 1. Sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada Kriteria takipneu menurut WHO : Anak umur < 2bulan Anak umur 1-5 tahun Anak umur 5 tahun : 60 x/menit : 40 x/menit : 30 x/menit Anak umur 2-11 bulan : 50 x/menit

2. Panas badan 3. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles) 4. Foto thorax Menunjukkan gambaran infiltrat difus 5. Leukositosis : Pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan. Kadar leukosit berdasarkan umur: Anak umur 1 bulan : 5000 - 19500 Anak umur 1-3 tahun Anak umur 4-7 tahun : 6000 - 17500 : 5500 - 15500

Anak umur 8-13 tahun : 4500 13500 Pedoman diagnosis dan tatalaksana sederhana berdasarkan WHO : Bayi berusia di bawah 2 bulan Pneumonia Bila ada napas cepat (> 60 x/menit) atau sesak napas Harus dirawat dan diberikan antibiotik Bukan pneumonia Tidak ada napas cepat atau sesak napas Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis

Bayi dan anak usia 2 bulan 5 tahun Pneumonia sangat berat 11

Bila ada sesak napas, sianosis sentral dan tidak sanggup minum Harus dirawat dan diberikan antibiotik Pneumonia berat Bila ada sesak napas, tanpa sianosis, dan masih sanggup minum Harus dirawat dan diberikan antibiotik Pneumonia ringan Bila tidak ada sesak napas Ada napas cepat dengan laju napas Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral. Bukan pneumonia Bila tidak ada napas cepat dan sesak napas Tidak perlu dirawat dan antibiotik, hanya diberikan pengobatan simptomatis.

Tanda bahaya pada anak usia 2 bulan 5 tahun adalah tidak mau minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk. Tanda bahaya untuk bayi usia < 2 bulan adalah malas minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi, dan demam/badan terasa dingin. X. Diagnosis banding Bronkiolitis Episode pertama wheezing pada anak umur < 2 tahun Hiperinflasi dinding dada Ekspirasi memanjang Gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai Tidak ada respon dengan bronkodilator Aspirasi pneumonia Riwayat tiba-tiba tersedak Stridor atau distres pernafasan tiba-tiba Wheeze atau suara pernafasan menurun yang bersifat fokal Tb paru primer 12

Riwayat kontak dengan pasien TB dewasa positif Uji tuberkulin positif (>10mm, pada keadaan imunosupresi > 5mm) Penurunan berat badan Demam (>2minggu) tanpa sebab yang jelas Batuk kronis > 3 minggu Pembesaran KGB XI. Penatalaksanaan a. Penatalaksaan umum Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang atau PaO2 pada analisis gas darah 60 torr Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit. mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibiotik awal. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi. Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi klinis Antibiotik : Bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam pertama) menurut kelompok usia. 1. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) : ampicillin + aminoglikosid amoksisillin-asam klavulanat amoksisillin + aminoglikosid sefalosporin generasi ke-3 b. Penatalaksanaan khusus

2. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn) beta laktam amoksisillin 13

amoksisillin-amoksisillin klavulanat golongan sefalosporin kotrimoksazol makrolid (eritromisin) amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin) tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

3. Anak usia sekolah (> 5 thn)

Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat menerima obat peroral atau termasuk dalam derajat pneumonia berat. Antibiotik intravena yang dianjurkan adalah : ampisilin dan kloramfenikol, ceftriaxone, dan cefotaxim. Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat perbaikan setelah mendapat antibiotik intra vena. Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi : 1. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis 2. Berat ringan penyakit 3. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis 4. Ada tidaknya penyakit yang mendasari Nutrisi Pada anak dengan distres pernafasan berat, pemberian makanan peroral harus dihindari. Makanan dapat dberikan lewat NGT atau intravena. Jika memang dibutuhkan sebaiknya menggunakan ukuran yang terkecil. Perlu dilakukan pemantauan cairan agar anak tidak mengalami overhidrasi karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormon antidiuretik. # Kriteria rawat inap: bayi
1. saturasi oksigen 92%, sianosis 2. frekuensi nafas > 60 x/ menit

3. distres pernafasan, apneu intermiten 4. tidak mau minum atau menetek 5. keluarga tidak bisa merawat dirumah 14

anak 1. saturasi oksigen 92%, sianosis 2. frekuensi nafas > 50 x/ menit 3. distres pernafasan
4. terdapat tanda dehidrasi

5. keluarga tidak bisa merawat dirumah # Kriteria pulang: gejala dan tanda pneumonia menghilang asupan peroral adekuat pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah.

XII. Komplikasi Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi. XIII. Prognosis Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan. Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri. 15

XIV. Pencegahan Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti : cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur ,menjaga kebersihan antara lain: Vaksinasi Pneumokokus Vaksinasi H. Influenza Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah Vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit. ,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dll. Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi

16

BAB III PENUTUP

Bronkopneumonia merupakan satu bentuk pneumonia, yaitu pneumonia lobularis. Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme. Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut : sesak nafas, panas badan, ronkhi basah sedang nyaring (crackles), foto thoraxMenunjukkan gambaran infiltrat difus, leukositosis. Terapi yang diberikan oksigen dan antibiotik. Prognosisnya Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan.

17

Daftar Pustaka
1. Behrman Richard E, Kliegman Robert, Nelson Waldo E, Vaughan Victor C. nelson textbook of pediatrics. 17th edition. EGC. Jakarta : 2000 2. Ikatan dokter anak indonesia. 2010. Pedoman pelayanan medis jilid 1. jakarta : pengurus pusat IDAI 3. Mirzanie, Hanifah. 2006. Pediatricia. Jogjakarta 4. Pedoman Terapi Ilmu Kesehatan Anak, 2005.Unpad: Bandung 5. Pedoman pelayanan kesehatan anak dirumah sakit. 2009. Jakarta : WHO indonesia 6. Rahajoe. NN, dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi 1 cetakan Pertama IDAI Jakarta h.350-365

18

You might also like