1. Kekecewaan SM Kartosuwiryo terhadap kebijakan Soekarno mengenai faham
komunis. 2. Kekecewaan Kartosuwiryo terhadap isi perjanjian Renville yang menyatakan bahwa kekuatan militer Republik Indonesia harus meninggalkan wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda. 3. Keinginan Darul Islam untuk mendirikan Negara Islam Indonesia(NII). setelah makin kuat, Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 7 Agustus 1949 dan tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII). Gerakan ini dibentuk pada saat Jawa Barat di tinggal oleh Pasukan Siliwangi yang berhijrah ke Yogyakarta dan Jawa Tengah dalam Rangka melaksanakan ketentuan dalam Perundingan Renville. Dalam perkembangannya, DI/TII menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Aceh dan Kalimantan Selatan. Darul Islam atau DI yang artinya adalah "Rumah Islam" adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (ditulis sebagai 12 Syawal 1368 dalam kalender Hijriyah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Diproklamirkan saat Negara Pasundan buatan belanda mengangkat Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema sebagai presiden.
Sejarah DI/TII Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada pada masa perang dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa "Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam undang- undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits".
Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syari'at Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan "hukum kafir, , sesuai dalam Qur'an Surah Al-Maidah : 5 ayat 50.
Tujuan awal DI/TII adalah untuk menentang penjajah Belanda di Indonesia, namun pada kenyataannya gerakan ini melakukan pemberontakan-pemberontakan di berbagi daerah, sehingga gerakan ini dianggap gerakan separatis oleh bangsa Indonesia. Hal itu terbukti dengan dikumandangkannya proklamasi Negara Islam Indonesia di dalam negara Indonesia yang sudah merdeka.
Ketika pasukan Siliwangi berhijrah, gerombolan DI/TII ini dapat leluasa melakukan gerakannya dengan membakar rumah rumah rakyat, membongkar rel kereta api, menyiksa dan merampok harta benda penduduk. Akan tetapi setelah pasukan Siliwangi mengadakan Long March kembali ke Jawa Barat, gerombolan DI/TII ini harus berhadapan dengan pasukan Siliwangi. Upaya penumpasan pemberontakan DI/TII memakan waktu yang lama karena :
1. Medannya berupa daerah pegunungan pegunungan sehingga sangat mendukung pasukan DI/TII untuk bergerilya, 2. Pasukan Kartosuwirjo dapat bergerak dengan leluasa di Kalangan Rakyat, 3. Pasukan DI/TII mendapat bantuan dari beberapa orang Belanda, antara lain pemilik pemilik perkebunan dan para pendukung negara Pasundan, 4. Suasana Politik yang tidak stabil dan sikap beberapa kalangan partai politik telah mempersulit usaha usaha pemulihan keamanan. Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai dengan "Proklamasi" Daud Beureueh bahwa Aceh merupakan bagian "Negara Islam Indonesia" di bawah pimpinan Imam Kartosuwirjo pada tanggal 20 September 1953.
Gerakan DI/TII Di Aceh Adapun penyebab timbulnya pemberontakan DI/TII di Aceh adalah kekecewaan Daud Beureuh karena status Aceh pada tahun 1950 diturunkan dari daerah istimewa menjadi karesidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara. Pada tanggal 21 September 1953 Daud Beureuh yang waktu itu menjabat sebagai Gubernur Militer menyatakan bahwa Aceh merupakan bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah Pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosuwiyo.
Untuk memadamkan pemborantakan DI/TII tersebut pemerintah Aceh mendatangkan bantuan dari Sumatera Utara dan Sumatera Tengah, dan langsung melakukan operasi pemulihan keamanan ABRI ( TNI-POLRI ). Setelah didesak dari kota-kota besar, Daud Beureuh meneruskan perlawanannya di hutan-hutan. Penyelesaian terakhir Pemberontakan Daud Beureuh ini dilakukan dengan suatu " Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" pada bulan Desember 1962 atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel Jendral Makarawong. Gerakan DI/TII Di Jawa Tengah Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah di bawah pimpinan Amir Fatah yang bergerak di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan. Dan Moh. Mahfudh Abdul Rachman ( Kiai Sumolangu ). Untuk menumpas pemberontakan ini pada bulan Januari 1950 pemerintah melakukan operasi kilat yang disebut Gerakan Banteng Negara ( GBN ) di bawah Letnan Kolonel Sarbini (Selanjut nya di ganti Letnan Kolonel M. Bachrun dan Kemudian oleh Letnan Kolonel A. Yani). Gerakan operasi ini dengan pasukan Banteng Raiders . Sementara itu di daerah Kebumen muncul pemberontakan yang merupakan bagian dari DI/TII , yakni dilakukan oleh Angkatan Umat Islam ( AUI ) yang dipimpin oleh Kyai Moh. Mahudz Abdurachman yang dikenal sebagai Romo Pusat atau Kyai Somalangu. Untuk menumpas pemberontakan ini memerlukan waktu kurang lebih Tiga Bulan. Pemberontakan DI/TII juga terjadi di daerah Kudus dan Magelang yang dilakukan oleh Batalyon 426 yang bergabung dengan DI/TII pada bulan Desember 1951. Untuk menumpas pemberontakan ini Pemerintah melakukan Operasi Merdeka Timur yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade Pragolo. Pada awal tahun 1952 kekuatan Batalyon pemberontak tersebut dapat dihancurkan dan sisa sisanya melarikan diri ke Jawa Barat. Gerakan DI/TII di Jateng ini berhasil dihancurkan pada tahun 1957 dengan operasi militer yang disebut Operasi Gerakan Banteng Nasional dari Divisi Diponegoro.
Pada bulan oktober 1950 DI/TII juga melakukan pemberontakan di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hajar. Para pemberontak melakukan pengacauan dengan menyerang pos pos kesatuan TNI yang berada di Kalimantan Selatan.
Gerakan DI/TII Di Kalimantan Selatan
Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut pemerintah pada mulanya melakukan pendekatan kepada Ibnu Hajar dengan diberi kesempatan untuk menyerah diri secara baik-baik dan akan diterima menjadi anggota TNI.
Ibnu Hajar pun menyerah, akan tetapi setelah menyerah, ia melarikan diri . Kemudian, melakukan pemberontakan lagi. Selanjutnya pemerintah mengerahkan pasukan TNI sehingga pada akhir tahun 1959 Ibnu Hajar beserta seluruh anggota gerombolannya pun tertangkap.
Pada 22 Maret 1965, Ibnu Hajar dijatuhi hukuman mati
Di Sulawesi Selatan juga timbul pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Kahar Muzakar. Pada tanggal 30 April 1950 Kahar Muzakar menuntut kepada pemerintah agar pasukannya yang tergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan dimasukkan ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat ( APRIS ). Tuntutan ini ditolak karena harus melalui penyaringan. Gerakan DI/TII Di Sulawesi Selatan
Pemerintah melakukan pendekatan kepada Kahar Muzakar dengan memberi pangkat Letnan Kolonel. Akan tetapi pada tanggal 17 Agustus 1951 Kahar Muzakar beserta anak buahnya melarikan diri ke hutan dan melakukan aksi dengan melakukan teror terhadap rakyat.
Untuk menghadapi pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan ini pemerintah melakukan Operasi Militer. Operasi penumpasan pemberontakan Kahar Muzakkar memakan waktu lebih dari 14 tahun.
Faktor penyebab lamanya penumpasan gerakan ini antara lain : Rasa kesukuan yg ditanamkan oleh gerombolan ini berakar di hati rakyat. Kahar Muzakkar mengenal sifat-sifat rakyat setempat. Kahar Muzakkar & gerombolannya dapat memanfaatkan lingkungan alam yang sudah sangat dikenalnya. Baru pada 3 Februari 1965 Kahar Muzakar berhasil ditangkap dan ditembak mati sehingga pemberontakan DI/TII di Sulawesi dapat ditumpas.
Akhir Pergerakan DI/TII Selanjutnya dalam menghadapi aksi DI/TII pemerintah mengerahkan pasukan TNI untuk menumpas gerombolan ini. Pada tahun 1960 pasukan Siliwangi bersama rakyat melakukan operasi Pagar Betis dan operasi Bratayudha
Pada tanggal 4 Juni 1962 Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo beserta para pengawalnya dapat ditangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi Bratayudha di Gunung Geber, daerah Majalaya, Jawa Barat. Kemudian pada 16 Agustus 1962 Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo oleh Mahkamah Angkatan Darat dijatuhi hukuman mati sehingga pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapat di padamkan.
Pada 12 September 1962 Kartosoewirjo dieksekusi di Pulau Ubi di Kepulauan Seribu dan dikuburkan disana.
Berikut beberapa foto sebelum, pada saat dan sesudah proses eksekusi mati Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo Dengan penangkapan dan pelaksanaan hukuman mati terhadap SM. Kartosuwirjo, maka berakhirlah pemberontakan yang terorganisir di Jawa Barat selama lebih dari 10 tahun. Namun hal itu tidak cukup membuat peristiwa tersebut mudah dilupakan, karena walau bagaimanapun gerakan ini tidak saja menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat Indonesia, melainkan juga sebuah tragedi dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia menegakkan kehidupan berbangsa dan bernegara