You are on page 1of 22

Gejala yang muncul bersaman pada

saat terjadi cedera kepala


Bingung
Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
Penglihatan kabur
Susah bicara
Nyeri kepala yang hebat
Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.
Mual
Pusing
Berkeringat
Pucat
Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

Hematom Subdural
Perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arakhnoid.
SDH lebih sering terjadi dibandingkan
EDH, ditemukan sekitar 30%
penderita dengan cedera kepala
berat.
Terjadi paling sering akibat robeknya
vena bridging antara korteks serebral
dan sinus draining.
Mortalitas umumnya 60%, namun
mungkin diperkecil oleh tindakan
operasi yang sangat segera dan
pengelolaan medis agresif.

SDH Akut

CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan


sabit ) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan
epidural hematom.
Batas medial hematom seperti bergerigi.Adanya hematom di
daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan
adanya hematom subdural
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam
24 sampai 48 jam setelah cedera, berkaitan erat dengan trauma
otak berat.
Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada
jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum,
yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak.
Dapat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya
kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.

SDH subakut
Menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari
48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera.
Trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran,
diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan
tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma,
penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan
tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara
maupun nyeri.
Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial
yang disebabkan oleh akumulasi darah akan
menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan
melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang
otak.

SDH Kronis
CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi
yang disebabkan perubahan, akan tampak area hipodens, isodens,
atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat
pada tabula.
Gejala muncul beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun
setelah cedera pertama.
Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan
subdural.Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural.
7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh
membrane fibrosa.
Adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke
dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam
hematoma.Penambahan ukuran hematoma menyebabkan
perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh
darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling
sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada
alkoholik.

Kontusi dan hematoma intraserebral


Kontusi dapat secara lambat laun menjadi
hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang
terjadi dalam jaringan (parenkim) otak.
Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau
kontusio jaringan otak yang menyebabkan
pecahnya pula pembuluh darah yang ada di
dalam jaringan otak tersebut.
Lokasi paling sering lobus frontalis dan
temporalis.
Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan
(coup) / pada sisi lainnya (countrecoup).Defisit
neurologi yang didapatkan sangat bervariasi
dan tergantung pada lokasi dan luas
perdarahan.

Cedera difus
Kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan deselerasi,
dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala.
Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran
tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang
bersifat sementara dalam berbagai derajat.
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan
menurunnya atau hilanggnya kesadaran.Keadaan ini selalu disertai
dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini
merupakan ukuran beratnya. Defisit neurologis yg ditemukan
kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta
gejala lain.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan
dimana pendeerita mengalami koma pasca cedera yang
berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau
serangan iskemik.

CEDERA MAXILLOFACIAL
Faktur maxilaris
Fraktur maxilla merupakan cedera
wajah yang paling berat, dan dicirikan
oleh:
Mobilitas palatum
Mobilitas hidung yang menyertai
palatum
Epistaksis
Mobilitas 1/3 wajah bag tengah.

Kalsifikasi menurut le fort


Lefort 1
Fraktur nelintang rendah
pada maxila yang hanya
melibatkan palatum,
dicirikan oleh pergeseran
arcus dentalis maxila dan
palatum, maloklusi gigi
biasanya bisa terjadi
(Boies, 2002).

Lefort II
Fraktur ini dicirikan
mabilitas palatum dan
hidung end-block, juga
epistaksis yang jelas.
Biasanya maloklusi gigi dan
pergeseran pllatum
kebelakang. Fraktur endblock pada palatum dan
sepertiga tngah wajah
tremasuk hidung(Boies,
2002)

Lefort III
Cedera paling berat, dimana
perlekatan seluruh rangka wajah
terputus.seluruh komplek
zigomatikus menjadi mobile dan
tergeser (Boies, 2002)

Fraktur mandibula
Pada palpasi teraba garis fraktur dan mungkin
terdapat mati rasa bibir bawah akibat kerusakan
pada nervus mandibularis.
Fraktur pada umumnya akan disertai dislokasi
fragmen tulang sesuai dengan tonus otot yang
berinsersi di tempat tersebut.
Pada fraktur daerah dagu, otot akan menarik
fragmen tulang kearah dorsokaudal, sedangkan
pada fraktur bagian lateral tulang akan tertarik
kearah cranial

Fraktur gigi
Fraktur tersendiri atau bersama- sama
dengan fraktur maksila maupun
mandibula, dimana gigi yang hancur
perlu dicabut, sementara yang patah
dibiarkan

Fraktur os nasal
Disebabkan oleh trauma langsung,
dimana pada pemeriksaan didapatkan
pembengkakan, epistaksis nyeri tekan
dan teraba garis fraktur.
Foto radiologi diperlukan dalam
membantu diagnosis yakni, proyeksi foto
PA dan lateral, sedangkan tindakan yang
perlu dilakukan adalah reposisi atau
septoplasty

Fraktur orbita
Gejala klinis berupa hematom monokel yang
dapat disertai diplopia, hemomaksila dan mati
rasa pipi karena cedera nervus infraorbitalis
atau mati rasa dahi karena kerusakan nervus
supraorbitalis.
Menyebabkan enoftalmus dan sering,
terjepitnya muskulus rectus inferior di dalam
patahan sehingga gerakan bola mata sangat
terganggu dan penderita mengalami diplopia

Fraktur os zygoma
Fraktur ini sering terbatas pada arcus
dan pinggir orbita sehingga tidak
disertai hematom orbita, tetapi
terlihat sebagai pembengkakan pipi di
daerah arcus zygomaticus.
Diagnosis ditegakan secara klinis atau
dengan foto rontgen proyeksi waters,
yaitu temporooksipital

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto polos kepala
indikasi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus
(tembak/tajam), Adanya corpus alineum,
Deformitas kepala (dari inspeksi dan
palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala
fokal neurologis, Gangguan kesadaran.
Pada kecurigaan adanya fraktur depresi
maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral
dan oblique.

2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)


Indikasi CT Scan adalah :
Nyeri kepala menetap / muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obatobatan analgesia/anti muntah.
kejang kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
intrakranial dicebandingkan dengan kejang general.
Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor ekstracranial telah
disingkirkan
Adanya lateralisasi.
fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur
depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari
GCS.
Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
3. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif

PENATALAKSANAAN
1. survei primer antara lain airway, breathing, circulation, disability,
dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.
2. Indikasi rawat antara lain:
Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
Penurunan tingkat kesadaran
Nyeri kepala sedang hingga berat
Intoksikasi alkohol atau obat
Fraktura tengkorak
Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
Cedera penyerta yang jelas
Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan
CT scan abnormal

3. terapi berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi,


pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan.
4. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis
pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi, yaitu :
volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah
supratentorial atau lebih
dari 20 cc di daerah infratentorial
kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
tanda fokal neurologis semakin berat
terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT
scan
terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

PROGNOSIS
Apabila penanganan pasien yang mengalami
cedera kepala sudah mendapat terapi yang
agresif, terutama pada anak-anak biasanya
memiliki daya pemulihan yang baik.
Penderita yang berusia lanjut biasanya
mempunyai kemungkinan yang lebih rendah
untuk pemulihan dari cedera kepala
Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian
kepala pada saat trauma juga sangat
mempengaruhi kondisi kedepannya bagi
penderita.

Kesimpulan
cedera primer yang merupakan akibat yang langsung dari
suatu ruda paksa.
cedera sekunder yang terjadi akibat berbagai prosese
patologis yang timbul sebagai tahapmlanjutan dari
kerusakan otak primer.
trauma maxillofacial termasuk dalam cedera kepala,
penyebab kecacatan yang akan menetap seumur hidup yang
perlu dipertimbangkan.
Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam
gerakan, sensasi, berbicara, penglihatan dan pendengaran.
Kelainan fungsi otak yang difus bisa mempengaruhi ingatan
dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan
kebingungan dan koma.
Semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk
menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.

You might also like