You are on page 1of 41

CLINICAL SCIENCE SESSION

TRAUMA MAKSILOFASIAL

Disusun oleh:
Ilman Mabruri
Sinta Nur Apriliyani

SMF ILMU BEDAH


RSUD AL-IHSAN BANDUNG
Pendahuluan
Cedera maksilofasial, juga disebut sebagai
trauma wajah, meliputi cedera pada wajah,
mulut dan rahang.
Trauma maksilofasial merupakan trauma
fisik yang dapat mengenai jaringan keras
dan lunak wajah.
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi,
mencakup kecelakaan lalu lintas,
kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan
trauma akibat senjata api.
Anatomi
Kepala
Kepala merupakan bagian superior tubuh
yang menempel dengan batang tubuh melalui
leher.

Tulang Tengkorak (Cranium / Skull)


Cranium (skull) adalah bagian superior
tengkorak yang bulat dan besar,
yangmenutupi otak dan terbuat dari tulang-
tulang cranial.
Otot Wajah

Occipitofrontalis muscle Auricular muscles (anterior,


superior and posterior)
Temporoparietalis muscle Orbicularis oris muscle
Procerus muscle Depressor anguli oris muscle
Nasalis muscle Risorius
Zygomaticus major muscle
Depressor septi nasi Zygomaticus minor muscle
muscle Levator labii superioris
Orbicularis oculi muscle Levator labii superioris alaeque
nasi muscle
Corrugator supercilii
Depressor labii inferioris muscle
muscle Levator anguli oris
Depressor supercilii Buccinator muscle
muscle Mentalis
Trauma Maxillofacial
Trauma maksilofasial adalah suatu
ruda paksa yang mengenai wajah
dan jaringan sekitarnya.

Trauma pada jaringan maksilofasial


dapat mencakup jaringan lunak dan
jaringan keras.
Epidemiologi
Penderita fraktur maksilofasial ini
terbanyak pada laki-laki usia produktif,
yaitu usia 21-30 tahun, sekitar 64,38%
disertai cedera di tempat lain dan trauma
penyerta terbanyak adalah cedera otak
ringan sampai berat sekitar 56%.

Penyebab terbanyak adalah kecelakaan


lalu lintas dan sebagian besar adalah
pengendara sepeda motor.
Etiologi
Trauma wajah di perkotaan paling sering
disebabkan oleh perkelahian, diikuti oleh
kendaraan bermotor dan kecelakaan industri.

Trauma wajah di masyarakat yang paling


sering adalah akibat kecelakaan kendaraan
bermotor yang menghasilkan patah tulang
yang sering melibatkan midface, terutama
pada pasien yang tidak memakai sabuk
pengaman mereka.
Klasifikasi
Trauma maksilofasial dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian,
yaitu trauma jaringan keras wajah
dan trauma jaringan lunak wajah.
Trauma Jaringan Lunak
Wajah
Luka adalah kerusakan anatomi,
diskontinuitas suatu jaringan oleh
karena trauma dari luar.
Trauma Jaringan Keras
Wajah
Secara umum dilihat dari
terminologinya, trauma pada
jaringan keras wajah dapat
diklasifikasikan berdasarkan :
1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan
estetik.

Berdiri Simple : fraktur frontal, orbita,


nasal, zigomatikum, maxilla,
mandibulla, gigi dan alveolus.
Bersifat Multiple : Fraktur kompleks
zigoma, fronto nasal dan fraktur
kompleks mandibular
2. Berdasarkan Tipe Fraktur
a. Fraktur simpel
Merupakan fraktur sederhana, liniear
yang tertutup misalnya pada kondilus,
koronoideus, korpus dan mandibula yang
tidak bergigi.

b. Fraktur kompoun
Fraktur lebih luas dan terbuka atau
berhubungan dengan jaringan lunak.
c. Fraktur komunisi
Benturan langsung terhadap mandibula dengan
objek yang tajam seperti peluru yang mengakibatkan
tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk.

d. Fraktur patologis
keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya
penyakit penyakit tulang, seperti Osteomyelitis,
tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang
sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur
spontan.
3. Perluasan Tulang Yang
Terlibat
1. Komplit, fraktur mencakup seluruh
tulang.

2. Tidak komplit, seperti pada


greenstik, hair line, dan kropresi
( lekuk )
4. Konfigurasi (garis fraktur)
1. Tranversal, bisa horizontal atau
vertikal.
2. Oblique ( miring )
3. Spiral (berputar)
4. Komunisi (remuk)
Khusus pada maksila fraktur dapat dibedakan :

a. Fraktur blow-out (fraktur tulang


dasar orbita)
b. Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le
Fort III
c. Fraktur segmental mandibula
Fraktur Le Fort I
adalah fraktur rahang horizontal di
aspek inferior rahang atas dan
memisahkan proses alveolar dan
langit-langit keras dari seluruh
rahang atas.
Fraktur meluas melalui sepertiga
bagian bawah septum dan termasuk
sinus maksilaris dinding lateralis
memperluas ke tulang palatina dan
piring pterygoideus.
Fraktur Le Fort II
adalah fraktur piramida mulai dari
tulang hidung dan memperluas
melalui tulang lacrimalis; ke bawah
melalui jahitan zygomaticomaxillary;
terus posterior dan lateral melalui
rahang atas, bawah zygoma itu, dan
ke dalam piring pterygoideus.
Fraktur Le Fort III
Fraktur Le Fort III atau dysjunction
kraniofasial adalah pemisahan dari
semua tulang wajah dari dasar
tengkorak dengan fraktur simultan
dari zygoma, rahang, dan tulang
hidung.
Garis fraktur meluas melalui tulang
ethmoid posterolaterally, orbit, dan
jahitan pterygomaxillary ke fosa
sphenopalatina
Manifestasi Klinis
Dislokasi, berupa perubahan posisi yg
menyebabkan maloklusi terutama pada
fraktur mandibula.
Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur.
Rasa nyeri pada sisi fraktur.
Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat
menyumbat saluran napas.
Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur
sehingga dapat menentukan lokasi daerah
fraktur.
Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan
akibat pergeseran.
Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut
dan daerah sekitarfraktur.
Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur
akibat pembengkakan.
Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya
bila fraktur terjadi dibawah nervus alveolaris.
Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan
kabur atau ganda, penurunan pergerakan bola
mata dan penurunan visus.
Diagnosis
1) Anamnesa
Mendapatkan informasi tentang alergi, obat, status
tetanus, riwayat medis dan bedah masa lalu, Aspek
yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
bagaimana mekanisme cedera?
Apakah pasien kehilangan kesadaran atau
mengalami perubahan status mental? Jika
demikian, untuk berapa lama?
Apakah gangguan penglihatan, kilatan cahaya,
fotofobia, diplopia, pandangan kabur, nyeri, atau
perubahan dengan gerakan mata?
Apakah pasien mengalami tinnitus
atau vertigo?
Apakah pasien memiliki kesulitan
bernapas melalui hidung?
Apakah pasien memiliki manifestasi
berdarah atau yang jelas-cairan dari
hidung atau telinga?
Apakah pasien mengalami kesulitan
membuka atau menutup mulut?
Apakah ada rasa sakit atau kejang
otot?
Apakah pasien dapat menggigit
tanpa rasa sakit, dan pasien merasa
seperti kedudukan gigi tidak normal?
Apakah daerah mati rasa atau
kesemutan pada wajah?
2. Pemeriksaan Fisik
A. Inspeksi
Secara sistematis bergerak dari atas ke
bawah :

Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema.


Luka tembus.
Asimetris atau tidak.
Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan
gigi yang abnormal.
Cedera kelopak mata.
Ecchymosis, epistaksis.
Defisit pendengaran.
Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa
nyeri, serta rasa cemas.
b. Palpasi
Periksa kepala dan wajah untuk
melihat adanya lecet, bengkak,
ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan
perdarahan, Periksa luka
terbukauntuk memastikan adanya
benda asing seperti pasir, batu kerikil.
Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur,
atau maloklusi. Jika gigi avulsi,
mengesampingkan adanya aspirasi.
Periksa mata untuk memastikan
adanya exophthalmos atau
enophthalmos, menonjol lemak dari
kelopak mata, ketajaman visual,
kelainan gerakan okular, jarak
interpupillary, dan ukuran pupil,
bentuk,dan reaksi terhadap cahaya,
baik langsung dan konsensual.
Perhatikan sindrom fisura orbital
superior, ophthalmoplegia, ptosis
dan proptosis.
. Periksa septum hidung untuk
hematoma, massa menonjol
kebiruan, laserasi pelebaran mukosa,
fraktur, atau dislokasi, dan rhinorrhea
cairan cerebrospinal.
Gerakan hanya gigi menunjukkan
fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung
menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.
Meraba seluruh bahagian mandibula
dan sendi temporomandibularuntuk
memeriksa nyeri, kelainan bentuk, atau
ecchymosis.
Periksa paresthesia atau anestesi saraf.
Pemeriksaan Penunjang
Wajah Bagian Atas :
CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone
Beam CT-scan 3D).
CT-scan aksial koronal.
Imaging Alternatif diantaranya
termasuk CT Scan kepaladan X-ray
kepala
Wajah Bagian Tengah :
CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone
Beam CT-scan 3D).
CT scan aksial koronal.
Imaging Alternatif diantaranya
termasuk radiografi posisi waters dan
posteroanterior (Caldwells),
Submentovertek(Jughandles).
Wajah Bagian Bawah :
CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D.
Panoramic X-ray.
Imaging Alternatif diagnostik
mencakup posisi:
- Posteroanterior (Caldwells).
- Posisi lateral (Schedell).
- Posisi towne.
Penatalaksanaan
Apakah Pasien dapat bernapas ?
Jika sulit : Ada obstruksi. Lidahnya jatuh
kearah belakang atau tidak
Jika pasien merasakan lebih enak dengan
posisi duduk
Biarkan posisi demikian mungkin jalan napas
akan membaik dengan cepat ketika ia
melakukannya. Hisap mulutnya dari
sumbatan bekuan darah. Jalan napas buatan
(OPA, ETT) mungkin tidak membantu
Jika hidungnya cedera parah dan
berdarah
Hisap bersih (suction)
Jika terjadi perdarahan: jika terjadi
perdarahan yang sulit gunakan tampon
yang direndam adrenalin yang dipakai
untukngedep perdarahan yang hebat.
Tampon post nasal selalu dapat
menghentikan perdarahan.
Yakinkan dan jaga potensi jalan napas
dengan immobilisasi tulang leher.
a)Setengah duduk jika tidak ada kecurigaan
perlukaan spinal
b) Jaw trush dan chin lift.
c) Traksi lidah : Dengan jari, O-slik suture atau
dengan handuk
Berikan oksigenasi yang adekuat .
Monitor tanda vital setiap 5 10 menit, EKG,
cek pulse oximetry.
Pasang 1 atau 2 infus perifer dengan
jarum besar untuk pengantian
cairan.
Laboratorium : Crossmatch golongan
darah, darah lengkap, ureum
/elektrolit / kreatinin.
Penghentian perdarahan yang
berlangsung.

You might also like