You are on page 1of 33

ANTIPHOSPOLIPI

D SYNDROM pada
KEHAMILAN

Pembimbing :
dr. Tendi Novara Sp.An

Disusun oleh :
Dhea Danni Agisty G4A015002
Desvia Ira Restiana G4A015003
Anisa Kapti Hanawi G4A015004

SMF ANESTESI DANTERAPI


INTENSIF
RSUD PROF. DR. MARGONO
SOEKARJO
UNUVERSITAS JENDERAL
SOEDIRMAN
PURWOKERTO
PENDAHULU
AN
Prevalensi aPL 1-5% hanya
sedikit yang berkembang jd APS
Insidensi APS sekitar 5 kasus baru
Abortus per 100.000 orang per tahun dan
berulang prevalensinya sekitar 40-50 kasus
per 100.000 orang

Prevalensi aPL positif :


Stroke 13%
ANTIPHOSPOLIPI MI 11%
D SYNDROME DVT 9,5 %
(APS) adalah Kehamilan morbid 6%
penyakit
multisistemik
Trombosis Antobodi Lupus
vena dan antifosfolipi anticoagulant
arteri d (aPL) (LA), antibodi
anticardiolipin
(ACL) atau anti
2-glikoprotein-I
(2 GPI)
APS primer dan
APS sekunder
TINJAUAN
PUSTAKA

ANTIPHOSPOLIPID SYNDROME (APS)

APS kondisi autoimun yang di tandai dengan


trombosis vascular (arteri dan/atau vena) dan/atau
Definisi kehamilan morbid yang menuunjukan adanya
antibodi antifosfolipid (aPL) (Puerta, 2014).

1. APS Primer tanpa penyakit lain, atau tanpa


adanya agent yang dapat menstimlasi produksi
Klasifikasi aPL
2. APS Sekunder dengan penyakit lain yang
dapat menstimulasi produksi aL
Agent infeksi
stimulasi aPL virus
hepatitis C, virus
varisela, parvovirus SLE (40%) APS Sekunder
B19 yang Peny. Lain : reumatoid athritis, sjogrens
menyebabkan anemia Autoimun syndrome, scleroderma, vasculitis,
dan demam, HIV yang diabetes melitus, crohns disase
menyebabkan AIDS,
cytomegalovirus,
beberapa bakteri dan
leptospira.

Infeksi
Etiolog Keganasan
i

Klinis APS Trombosis + kanker


Kondisi keganasan
kecenderungan pro-trombotik
Keganasan berhubungan dengan
Obat
APS sekunder limfoma, leukemia,
timoma, dan karsinoma paru,
Obat yang menyababkan gambaran ovarium, ginjal, cerviks dan prostat
aPL kontrasepsi oral,
prokainamid, phenotiazid,
etosuximide, penitoin, quinin,
clorotiazid, hidralazin dan interferon
alfa stimulasi autoantibodi dan
lupus like disease
Maninfestasi Klinis
Diagnosis

Kriteria Klinis
1. Trombosis vascular Kriteria Laboratorium
konfirmasi dengan dengan
angiografi, venografi, USG Doppler, Pemeriksaan 2x ataulebih, selang
atau histopatologi (tanpa 12 minggu
gambaranperadangan) 1. Kadar IgG dan/atau IgM antibodi
2. Kehamilan morbiditas antikardiolipin dalam serum atau
plasma(> 40 GLP atau MPL)
kematian janin normal tidak di
ketahui penyebabnya pada UK 10 2. Antikoagulan lupus dalam
minggu (USG/ px. Janin) plasma
Kelahiran prematur pada UK < 34 3. Antibodi IgG dan/IgM anti 2-
minggu e.c eklamsi/ PEB / insufisiensi glikoprotein-I dalam serum atau
plasenta plasma
tiga/lebih abortus spontan tanpa
diketahui penyebabnya pad UK 10
minggu
3. Trombositopenia Penegakan diagnosis :
Platelet count <100x109/L 1 Kriteria Klinis + 1 kriteria
Laboratorium
Gambar 2GPI
Patogenesis
1. aPL mengaktivasi sel endhotel
2. aPL mengaktivasi monosit
3. aPL mengaktivasi platelet

PROCOAGULANT STATE
Tatalaksana

1. APS tanpa thrombosis sebelumnya dan


keguguran berulang (preembrio atau embrio)
aspirin dosis rendah saja atau bersama UFH
(5000-7500 IU subkutan setiap 12 jam) atau
LMWH (biasanya dosis profilaksis : Enoxaparin
40 mg setiap 24 jam). Saat persalinan, diberikan
trombofilaksis postpartum dengan warfarin atau
LMWH.
2. APS tanpa thrombosis sebelumnya dan kematian
janin (usia kehamilah lebih dari 10 minggu) atau
persalinan premature sebelumnya (<34 minggu)
karena preeklampsia berat atau insufisiensi plasenta
aspirin dosis rendah ditambah UFH (7500-10.000
IU subkutan setiap 12 jam pada trimester pertama;
10.000 IU subkutan setiap 12 jam pada trimester
kedua dan ketiga, setiap 8-12 jam disesuaikan
dengan nilai tengah hasil aPTT* rerata kontrol
sebanyak 5 kali) atau LMWH (biasanya dosis
profilaksis : Enoxaparin 40 mg setiap 24 jam). Saat
persalinan, diberikan trombofilaksis postpartum
dengan warfarin atau LMWH.
3. APS dengan thrombosis aspirin dosis rendah
ditambah UFH (subkutan setiap 8-12 jam
disesuaikan untuk mengatur nilai tengah aPTT*
atau konsentrasi heparin (aktivitas anti Xa)
dalam dosis terapeutik) atau LMWH (dosis
terapeutik umum, enoxiparin 1mg/kgBB
subkutan, atau dalteparin 100 IU/kgBB
subkutan setiap 12 jam, atau enoxiparin 1-5
mg/kgBB/hari, atau dalteparin 200
IU/kgBB/hari).
Wanita yang mengonsumsi heparin harus menghentikan
konsumsi warfarin sebelum usia kehamilan 6 minggu.
Beberapa klinisi menyarankan penghentian warfarin ketika
pasien diketahui hamil kemudian menggantinya dengan
UFH atau LMWH. Jika pasien mencapai usia kehamilan 6
bulan dengan pemberian antikoagulan, dibutuhkan
pengurangan pemberian tersebut menggunakan profilaksis
UFH atau LMWH sebagai persiapan anestesi epidural. Ketika
persalinan, UFH atau LMWH harus dihentikan dan diberikan
warfarin. Manajemen peripartum heparin, dilakukan
persalinan cesarean jika terdapat risiko VTE. Rekomendasi
trombofilaksis dengan profilaksis LMWH dan UFH atau
dengan profilaksis mekanik yakni dengan alat kompresi
ekstremitas bawah. Pasien dengan risiko rendah hingga
sedang pada LMWH dapat diganti diberikan UFH (karena
masa paruh yang lebih pendek) pada usia kehamilan 36
sampai 37 minggu dengan tujuan untuk mendukung
anestesi epidural jika persalinan prematur terjadi.
Pasien yang masih dapat persalinan pervaginam spontan,
dilakukan penghentian pemberian heparin. Untuk
jadwal induksi persalinan cesarean dosis heparin yang
disesuaikan dan dosis sedang LMWH harus dihentikan
24 jam sebelum jadwal. Profilaksis heparin harus
dihentikan minimal 12 jam sebelumnya. Pasien risiko
tinggi, penggantian dosis heparin menjadi 5000 IU SC
dua kali sehari atau menggunakan alat syringe pump
untuk menyuntikan heparin secara kontinus selama
persalinan, dengan estimasi dihentikan 1 sampai 2 jam
sebelum persalinan. Pada sebagian besar kasus,
pemberian heparin kembali diberikan 6-8 jam setelah
persalinan atau pada pelahiran caesarean. Pada pasien
risiko tinggi, pemberian heparin dengan syringe pump
diberikan segera setelah persalinan ketika perdarahan
telah berkurang (biasanya 2-4 jam setelah persalinan).
ASRA memberikan rekomendasi terkait antikoagulan dan
anestesi regional. Regional anestesi
dikontraindikasikan pada pasien yang kurang dari 24
jam dari dosis pemberian dua kali sehari dari LMWH.
Untuk LMWH profilaksis, anestesi regional dapat
diberikan 10-12 jam setelah pemberian LMWH terakhir.
Kateter neuraxial harus dilepaskan 2 jam sebelum
dosis LMWH kembali diberikan. Heparin intravena
dapat mulai diberikan 1 jam setelah anestesi
neuraxial, dengan pelepasan kateter 2-4 jam setelah
pemberian dosis heparin terakhir. Heparin subkutan
dengan dosis dua kali sehari dengan total dosis UFH
kurang dari 10.000 iu tidak dikontraindikasikan untuk
anestesi neuraxial. Namun, anestesi neuraxial dalam
dosis UFH lebih dari 10.000 iu per hari atau dengan
dosis lebih dari dua kali sehari tidak aman (Fosca et
al., 2011).
Anestesi
pada Obstetri
Perubahan Fisiologi Selama Kehamilan

Kebutuhan 02 meningkat 60%.


CO & ventilasi /menit meningkat
Pernapasan meningkatnya laju napas dan volume
tidal hingga 45% alkalosis
pernapasan ringan.

Peningkatan SV sampai 30%,


peningkatan (f) denyut jantung
sampai 15%.
Kardiovaskula Volume plasma meningkat 45%,
r jumlah eritrosit meningkat 25%
dilutional anemia of pregnancy.
Kompresi v. cava inf dan aorta o/
massa uterus gravid supine
hypotension syndromeasfiksia
janin.
Progesteron mengurangi tonus
sfingter esofagus bawah,
Gastrointesti meningkatkan refluks esofagus.
Uterus gravid peningkatan
nal tekanan intragastrik
regurgitasi dan aspirasi
pulmonal isi lambung.
Transfer obat dari ibu ke janin melalui
sirkulasi plasenta
Sifat kelarutannya dalam lemakbyk lipoproteinmudah
lewati membran plasenta

Derajat ionisasi, obat yang mudah terurai mudah melewati


barier plasenta

pH darah maternal akan mempengaruhi penguraian obat.

Ikatan dengan protein, obat yang terikat dengan protein


sulit melewati plasenta.

Berat Molekul, obat yang BM 600 sulit melewati barier


plasenta.
Jenis Anestesi

Anestesi Lokal
Infiltrasi langsung di sekitar luka
Blok nervus pudendus
Anestesi Regional
Analgesi/blokepidural (lumbal) : sering
digunakan untuk persalinan per vaginam.
Anestesi epidural atau spinal : sering
digunakan untuk persalinan per
abdominam/SC.
Anestesi epidural
posisi pasien lateral
dekubitus atau duduk
membungkuk, dilakukan
punksi antara vertebra
L2-L5 (umumnya L3-L4)
dengan jarum/trokard.
Ruang epidural dicapai
dengan perasaan
hilangnya tahanan/
Loss of resistance pada
saat jarum menembus
ligamentum flavum
Anestesi Spinal
Posisi lateral dekubitus atau
duduk,
dilakukan punksi antara L3-L4
(di daerah cauda equina
medulla spinalis), dengan
jarum / trokard.
Setelah menembus
ligamentum flavum (hilang
tahanan), tusukan diteruskan
sampai menembus selaput
duramater, mencapai
ruangan subaraknoid.
Identifikasi dengan keluarnya
cairan cerebrospinal, jika
stylet ditarik perlahan-lahan.
Anestesi Umum
Indikasi :
Gawat janin.
Ada kontraindikasi atau keberatan terhadap
anestesia regional.
Diperlukan keadaan relaksasi uterus.
ANESTESI UMUM
Teknik : preoksigenasi, 3x nafas dalam dg O2
100%, injeksi thiopental 4mg/kg atau ketamin
1mg/kg iv dan suksinilkolin 1,5mg/kg iv disertai
penekanan krikoid. Setelah 40-60 detik, dilakukan
intubasi trakea dengan cuff.
Diberikan ventilasi dengan O2 , N2 O dan agen
inhalasi 0.4-4.8% MAC. Pelumpuh otot dapat
diberikan bila perlu. Setelah bayi lahir, anestesi
dapat diperdalam N2O atau narkotik. Agen
inhalasi dapat dihentikan. Akhir operasi dilakukan
ekstubasi sadar.
Obat-obat anestesi dalam kehamilan
(Hale, 2004) :
Obat Anestesi
AAP Kategori Risiko
Nama Obat Risiko Menyusui**
approved?* Kehamilan**
Anestesi Lokal
Articaine (Septocaine) NR - NR
Bupivacaine (Marcaine) NR C L2
Lidocaine (Xylocaine) Approved C L2
Mepivacaine (Carbocaine,
NR C L3
Polocaine)
Procaine HCL (Novocaine) NR C L3
Anestesi Umum

Halothane (Fluothane) Approved C L2

Isoflurane (Forane) NR - NR
Ketamine NR - NR
Methohexital (Brevital) Approved B L3
Nitrous oxide NR - L3
Sevoflurane (Ultane) NR B L3
Thiopental (Pentothal) Approved C L3
Obat lain yang sering digunakan selama anestesi
Sedatives
Diazepam (Valium) Concern D L3; L4 for chronic
use
Midazolam (Versed) Concern D L3
Propofol (Diprivan) NR B L2
Triazolam (Halcion) NR X L3

Narcotic Analgesics

Alfentanil (Alfenta) NR C L2
Fentanyl (Sublimaze) Approved B L2
Hydromorphone
NR C L3
(Dilaudid)
Morphine Approved B L3
Reversal Medication
Flumazenil
NR C NR
(Romazicon)
Naloxone (Narcan) NR C NR
Steroids
Decadron
NR C NR
(Dexamethasone)
Stimulants
Epinephrine
NR C L1
(Adrenaline)
Anti-nausea
Promethazine
NR C L2
(Phenergan)
Manajemen anestetik APS:
Pasien trombositopeniteknik anestesi regional tidak
dianjurkan.
Pasien dapat antikoagulan, penggunaan teknik anestesi
regional diperbolehkan apabila fx koagulasi N.
Jika fx koagulasi di bawah normal, dilakukan anestesi umum
dengan kombinasi fentanyl dan ketamine pada Patient-
Controlled Analgesic (PCA).
Diberikan tromboprofi laksis standar dengan unfractioned
heparin kurang lebih 4 jam setelah dosis heparin sebelum
melakukan anestesi spinal/epidural.
Bila ada waktu, lakukan anestesi epidural. Bila mendadak,
lakukan anestesi spinal.
KESIMPULA
N
1. Antiphospholipid syndrome (APS) merupakan penyakit
autoimun multisistemik yang secara klinis ditandai dengan
thrombosis dan morbiditas kehamilan dan secara serologis
ditemukan antibodi antifosfolipid (aPL).
2. aPL terdiri dari antikardiolipin (aCL), antibodi anti 2
glycoprotein I (Anti 2 GPI), dan lupus antikoagulan (LA).
3. Diagnosis APS ditegakan bila setidaknya 1 kriteria klinis dan
1 kriteria laboratorium.
4. Patogenesis APS didasarkan pada aksi autoantibodi pada
pasien APS terhadap berbagai target antigen. Antigen yang
paling berperan adalah 2 GPI.
5. Tatalaksana pasien hamil dengan APS adalah aspirin dan
heparin dengan dosis disesuaikan dengan tingkat
penyakitnya
6. Anestesi pada persalinan caesar wanita hamil dengan APS
dapat dilakukan dengan spinal atau epidural serta
diperlukan penghentian pemberian heparin selama proses
anestesi kemudia pemberiannya dilanjutkan kembali setelah
persalinan.
DAFTAR
PUSTAKA
Leksana, Ery. Managemen Anestetik Sindrom Antifosfolipid dengan Komplikasi
Sindrom HELLP. CKD-206/Vol.40 no.7, th 2013
Puerta, Jose A Gomez; Ricard Cervera. Diagnosis and Classification of the
Antiphospolipid Syndrome. Journal of Autoimmunity 48-49 (2014) 20-25
Sherer, Yanif; Yehuda Shoenfeld. 2004. The Antiphospolipid Syndrome. USA : Bio-
Red Laboratories
Terimakasih

You might also like