You are on page 1of 19

INTERNALISASI ASWAJA DALAM

KEHIDUPAN BERBANGSA DAN NEGARA


HUBUNGAN AGAMA DAN
NEGARA
Paradigma sekularistik

Paradigma ini memberikan garis disparitas antara


agama dan negara karena, menurut penganut
paradigma ini, agama tidak mewajibkan mendirikan
institusi negara. Agama hanya memberikan nilai
moral-etik dalam membangun tatanan masyarakat.
Penganut paradigma ini menyatakan, tidak ada dalil
eksplisit dalam Alquran maupun hadits yang
menunjukkan kewajiban mendirikan sebuah negara.
Paradigma ini antara lain dianut oleh sebagian
Khawarij dan Abi Bakar Alasham serta Hisyam Alfuthi
dari sekte Mutazilah.
Paradigma integralistik

Dalam perspektif ini, relasi agama-negara adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Cakupan ajaran agama tidak hanya urusan ritual-speritual, tetapi sekaligus meliputi
aturan-aturan sosial-politik. Doktrin esensial paradigma ini adalah, inna alislm dn wa
daulah (Islam adalah agama dan kekuasaan). Penganut paham ini adalah sekte Syiah.
Syiah mengkategorisasi immah sebagai salah satu dari rukun iman.

Paradigma simbiotik

Menurut pandangan ini, relasi antara agama dan negara bersifat timbal-balik. Artinya,
agama tidak harus diformalkan dalam institusi negara, namun agama juga tidak boleh
diceraikan sama sekali dari wilayah politik. Agama membutuhkan negara sebagai
instrumen dakwah, dan negara membutuhkan agama sebagai sumber dasar. Penganut
paradigma ini adalah mayoritas Ahlussunnah dan Mutazilah.
BENTUK NEGARA
Dalam pandangan ASWAJA, esensi dan hakikat dari sebuah
pemerintahan atau negara (khilafah), adalah sebagai salah satu
diantara instrumen (was'il) untuk usaha terwujudnya aplikasi
syariat secara totalitas (kffah) dalam kehidupan umat melalui
kewajiban menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, yang menjadi
cita-cita dan tujuan akhirnya (maqshid). Karena kedudukannya
yang dipandang sebagai waslah untuk maqshid berupa tugas
amar ma'ruf nahi munkar, maka pemerintahan atau negara tidak
harus terikat dengan bentuk, sistem ataupun dasar idiologi negara
tertentu. Apapun sistem, bentuk ataupun dasar idiologi yang
diberlakukan, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam,
dan tidak menjadi rintangan dalam tugas dakwah islamiyah, serta
tidak menghalangi umat Islam dalam menjalankan praktek
keagamaannya, maka tidak ada kewajiban untuk melakukan
kudeta atau merubahnya. Merubah bentuk, sistem atau dasar
idiologi negara, hanya wajib dilakukan sesuai batas kemampuan
jika nyata-nyata bertentangan dengan syariat.
SISTEM KHILAFAH
Dalam literatur fiqh siyasi konvensional, secara definitif, terminologi
khilafah kerap dideskripsikan sebagai bentuk mobilitas umum berdasarkan
asas-asas syari dalam meraih kemaslahatan duniawi dan ukhrawi. Secara
esensial, jabatan seorang khalifah dipandang sebagai pemegang otoritas
religius dan otoritas politik.[1]
Secara hukum, mengangkat pemimpin (imm) atau pemerintahan
(immah) sebagai figur atau institusi pemegang otoritas ini merupakan
kewajiban agama.[2] Satu-satunya pijakan yang tegas melandasi hukum
wajib ini adalah konsensus umat (ijma). Sementara dalil-dalil berupa nash
(Alquran dan Hadits), dilibatkan lebih sebagai justifikasi terhadap
konsensus ini dari pada sebagai landasan hukum itu sendiri.
Ayat-ayat yang menginstruksikan untuk menjalankan hukum-hukum Allah
(QS. Alma'idah: 48, 49, dan 50), taat pada pemimpin (QS. Annisa: 59),
dan ayat-ayat yang berbicara tentang harta ghanimah (QS. Alanfal: 41),
tentang kewajiban menjalankan amanah dan keadilan (QS. Annisa: 58),
tentang hukum qishas dan pembunuhan (QS. Albaqarah: 178, 179,
Annisa: 92, 93), tentang vonis kafir, dhalim, dan fasiq bagi yang tidak
menjalankan hukum Allah (QS. Almaidah: 44, 45, dan 47), dll., tidak ada
satu dari sekian ayat-ayat tersebut ataupun yang senada, yang secara
eksplisit mewajibkan pengangkatan khalifah atau pendirian negara.
Sedangkan hadits yang familier dilibatkan dalam pembenaran (mendukung) ijma
kewajiban mengangkat imam adalah hadits-hadits tentang baiat, seperti:

Barang siapa mati dan pada lehernya tidak ada baiat, maka ia mati dalam kondisi
jahiliah. (HR. Muslim)

Barang siapa mati dan ia tidak memiliki imam, maka ia mati dalam kondisi jahiliah.
(HR. Ibn Hibban)[3]

Secara eksplisit, ayat-ayat tersebut tidak ada muatan instruksi penegakan sistem
khilafah. Alquran dan Hadits tidak menentukan jenis sistem politik tertentu. Menjadikan
hadits-hadits tentang baiat sebagai dalil mendirikan Negara Khilafah akan terkesan
mempolitisir dan memaksakan. Secara spesifik, hadits-hadits itu sejatinya berkaitan
dengan baiat agar para pemeluk Islam menjalankan rukun Islam, bukan pendirian
sebuah negara. Dasar ijma sendiri pun sebenarnya dinilai problematik jika dipahami
sebagai dasar membangun Negara Khilafah. Sebab ijma di sini berkaitan dengan
nashbul immah, bukan konsensus mengenai membentuk negara tertentu. Hal ini
ditandai dengan realitas sejarah yang membuktikan tak pernah ada kesepakatan sistem
politik yang baku di kalangan sahabat.
[3] Terkait dengan hadits ini, Abu Hatim mengatakan, "dhahir dari hadits ini, bahwa
seseorang yang mati dan ia tidak memiliki imam, maksudnya imam adalah Nabi saw.,
karena imam penduduk bumi di dunia adalah Rasulullah saw. Barang siapa tidak
mengetahui imamnya (nabinya), atau meyakini imam lain yang perkataannya
mengalahkan perkataan Nabi saw., lalu ia mati, maka ia mati dalam kondisi jahiliah".
Lihat Shahih Ibn Hibban, vol. X hlm. 434

[4] Terkadang, aktivis pro Khilafah juga menyodorkan ayat

(QS. Al Baqarah: 30) sebagai dalih kewajiban mendirikan khalifah, dengan mengacu
secara redaksional kata khalifah dalam ayat tersebut. Perlu diketahui, para Mufassirin
memahami kata khalifah itu terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan yang
dimaksud khalifah adalah nabi Adam as., dan ada yang mengatakan anak turun nabi
Adam as. Penyebutan khalifah kepada nabi Adam pun ulama berbeda pendapat. Satu
versi mengatakan karena Adam dijadikan Allah sebagai pengganti (khalifah) bangsa jin
(Banul Jan) menjadi penduduk bumi. Versi lain mengatakan, karena Adam menjadi
utusan Allah dalam menghukumi makhluk di bumi. Lihat Fakhruddin Arrazi, Mafatihul
Ghaib, vol. I hlm. 441
Dalil-dalil yangdikemukakan pihak pro khilafah, tidak bisa diklaimsebagai dalil
spesifik (khash) dan eksplisit (sharih) dijadikan pijakan dan landasan syar'i kewajiban
mendirikan khilafah dalampengertian mereka (Negara Islam), melainkan sebatas
dalil-dalil yangbersifat umum(am) dan mafhum.

Dalil-dalil yangmewajibkan nashbul imamah (pengangkatan pemimpin), tidak bisa


diinterpretasikan terbataspada arti figur "khalifah" dan sistem"khilafah", melainkan
memiliki konotasi longgar yangbisa ditafsirkan dengan figur kepala negara, presiden,
perdana menteri, khalifah, bahkan raja, dan sebuah sistemteokrasi maupun
demokrasi.

Urusan kepemimpinan (imamah) bukanlah urusan akidah, melainkan urusan


fiqhiyah siyasiyah yangterbuka ruangijtihad untuk mencari bentuk dan formulasi
ideal sesuai dengan prinsip kemaslahatan. Oleh karena itu, seseorangtidak bisa
divonis kafir hanya lantaran menolak atau tidak mendukungide khilafah.
NKRI FINAL
KH. MA Sahal Mahfudh menyatakan, sikap NU pada
saat Khutbah Iftitah Munas Alim Ulama dan Konbes NU
di Sukolilo Surabaya, 28 Juli 2006: NU juga sejak awal
mengusung ajaran Islam tanpa melalui jalan
formalistik, lebih-lebih dengan cara
membenturkannya dengan realitas secara formal,
tetapi dengan cara lentur. NU berkeyakinan bahwa
syariat Islam dapat diimplementasikan tanpa harus
menunggu atau melalui institusi formal. NU lebih
mengidealkan substansi nilai-nilai syariah
terimplementasi di dalam kehidupan masyarakat
ketimbang mengidealisasikan institusi. Kehadiran
institusi formal bukan suatu jaminan untuk
terwujudnya nilai-nilai syariah di dalam masyarakat.
PERINSIP DASAR NEGARA
a. Prinsip Syura (Musyawarah)
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39:






.
.

.



Terjemah :Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah

kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan
lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan
mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi
dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka
marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan
mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan
(bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim
mereka membela diri.
Menurut ayat di atas, syura merupakan ajaran yang setara dengan iman

kepada Allah (iman billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar


(ijtinabul kabair), memberi maaf setelah marah, memenuhi titah ilahi,
mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan-
b. Al-Adl (Keadilan)
Menegakkan keadilan merupakan
suatu keharusan dalam Islam
terutama bagi penguasa (wulat) dan
para pemimpin pemerintahan
(hukkam) terhadap rakyat dan umat
yang dipimpin. Hal ini didasarkan
kepada QS An-Nisa 4:58





Terjemah :Sesungguhnya Allah
meyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak
menerimanyaa dan menyuruh kamu
apabila menetapkan hukum diantara
manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah maha mendengar lagi maha
c. Al-Hurriyyah (Kebebasan)

Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-
hak mereka. Hak-hak tersebut dalam syariat dikemas dalam al-Ushul alKhams (lima prinsip
pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut
adalah:

a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dimiliki warga negara (rakyat).

b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan
keyakinannya.

c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dimiliki oleh warga
negara.

d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga
negara.

e) Hifzhul lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun
kedudukan setiap warga negara.

Kelima prinsip di atas beserta uraian dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi
Manusia (HAM).
WALLAHU ALAM BISSHAWAB
Surabaya. 14 Pebruari 2014 M

You might also like