Keadaan tidak sadar yang reversibel karena obat-obat
anestesi yang disertai dgn hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh. Komponen dasar anestesi (Trias Anestesi) : 1. Narkosis 2. Analgesia 3. Relaksasi Tahapan anestesi : 1. Induksi : masuknya obat anestesi sampai hilangnya kesadaran. Diberikan secara paranteral atau inhalasi. 2. Maintenance : tahapan anestesi dimana pembedahan dapat berlangsung dgn baik. 3. Pengakhiran anestesi : diusahakan penderita sadar bila pembedahan selesai. Obat anestesi dimasukkan ke dalam tubuh secara inhalasi atau paranteral adapula secara rektal tapi sangat jarang dilakukan. Inhalasi : N2O, halotan, enflurane, ether, isoflurane, sevoflurane, metoxiflurane, trilene Paranteral : IV : penthotal, ketamin, propofol, etomidate & gol. Benzodiazepine IM : Ketamin Rektal : etomidate (untuk induksi anak-anak) Obat inhalasi dihirup bersama udara inspirasi masuk ke saluran pernapasan, di alveoli paru akan berdifusike dalam sirkulasi darah. Pemberian secara IM juga akan diabsorpsi ke dalam sirkulasi darah. Di dalam sirkulasi darah obat akan menyebar ke jaringan. Jaringan yang kaya pembuluh darah (otak & organ vital) akan menerima obat lebih banyak. Di jaringan sebagian mengalami metabolisme (hepar, ginjal atau jaringan lain). Ekskresi bisa melalui ginjal, hepar, kulit, atau paru-paru. Bisa dalam bentuk asli atau hasil metabolisme. N2O diekskresi dalam bentuk asli di paru-paru. Faktor yang mempengaruhi anestesi : faktor respirasi (untuk obat inhalasi), faktor sirkulasi, faktor jaringan, & faktor obat anestesi. Sesudah obat anestesi sampai di alveoli, maka akan mencapai tekanan parsial tertentu. Makin tinggi konsentrasi zat yang dihirup tekanan parsialnya makin tinggi. Perbedaan tekanan parsial zat anestesi di dalam alveoli dan di dalam darah menyebabkan terjadinya difusi. Bila tekanan dalam alveoli tinggi, difusi terjadi dari alveoli ke sirkulasi dan sebaliknya dari sirkulasi ke alveoli (terjadi bila pemberian dihentikan). Makin tinggi perbedaan tekanan parsial makin cepat terjadi difusi. Prose difusi terganggu bila terdapat penghalang antara alveoli dgn sirkulasi mis. Edema paru & fibrosis paru. Bila ventilasi alveolar meningkat (napas dalam) maka obat berdifusi lebih banyak dan sebaliknya (pada keadaan ventilasi menurun : depresi napas atau obstruksi respirasi) Dalamnya anestesi umum berbanding langsung dgn tekanan partikel obat anestesi dalam otak: 1. Tekanan partial gas anestesi yang diinpirasi 2. Ventilasi paru 3. Pemindahan gas anestesi dari dari alveoli ke dalam aliran darah 4. Pemindahan gas anestesi dari aliran darah ke seluruh jaringan Aliran darah paru menentukan pengangkutan gas anestesi dari paru ke jaringan dan sebaliknya. Pada gangguan pembuluh darah paru makin sedikit obat yag diangkut. Hal yg sama juga terjadi pada cardiac output yg menurun. Blood gas partition coefisien : rasio konsentrasi zat anestesi dalam darah dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan seimbang. Bila lelarutan zat anestesi dalam darah tinggi / BG koefisien tinggi maka obat yg berdifusi cepat larut di dalam darah, sebaliknya bila BG keofien rendah maka cepat terjadi keseimbangan antara alveoli dan sirkulasi darah, akibatnya penderita mudah tertidur waktu induksi dan mudah bangun waktu anestesi terjadi. Yang menentukan a.l. : 1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesi di dalam sirkulasi darah dan di dalam jaringan. 2. Kecepatan metabolisme obat. 3. Aliran darah dalam jaringan. 4. Tissue/blood partition coefisien Tiap-tiap zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda. Untuk mengukur potensi obat anestesi inhalasi dikenal MAC (minimal alveolar concentration). MAC : konsentrasi obat anestesi inhalasi minimal pada tekanan udara 1 atm yg dapat mencegah gerakan otot skelet sebagai respon rangsang sakit supra maksimal pada 50% pasien atau dapat diartikan sebagai konsentrasi obat inhalasi dalam alveoli yang dapat mencegah respon terhadap incisi pembedahan pada 50% individu. Makin rendah MAC makin tinggi potensi obat anestesi tersebut. Kedalaman anestesi harus dimonitor terus- menerus oleh pemberi anestesi agar tidak terlalu dalm sehingga membahayakan jiwa pasien, tetapi cukup adekuat untuk melakukan operasi. Kedalam anestesi dinilai dari tanda klinik yang didapat. Guedel membagi kedalaman anestesi menjadi 4 stadium dgn melihat pernapasan, gerakan bola mata, tanda pada pupil, tonus otot dan refleks pada penderita yg mendapat anestesi ether. Stadium I disebut juga stadium analgesia atau stadium disorientasi. Diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini operasi kecil bisa dilakukan. Stadium II disebut juga stadium delirium atau stadium eksitasi. Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai napas teratur. Dalam stadium ini peasien bisa meronta-ronta, pernapasn ireguler, pupil melebar, refleks cahaya positif gerakan bola mata tidak teratur lakrimasi (+), tonus otot meninggi, refleks fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah, kadang-kadang kencing atau defekasi. Stadium ini diakhiri dgn hilangnya refleks menelan dan kelopak mata dan selanjutnya napas menjadi teratur. Stadium ini membahayakan pasien karena itu harus diakhiri. Keadaan ini bisa dikurangi dgn memberikan premedikasiyang adekuat, persiapan psikologi penderits, dsn induksi yang halus dan tepat. Stadium III disebut juga stadium operasi Dimulai dari napas teratur sampai paralisis otot napas Dibagi menjadi 4 plane : Plana I : dari napas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata. Ditandai dgn napas teratur, napas torakal sama dgn abdominal. Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+), lakrimasi meningkat, refleks faring & muntah menghilang, tonus otot menurun. Plana II : Dari berhentinya gerakan bola mata sampai paralisis otot interkostal. Ditandai dgn pernapasan teratur, volume tidal menurun & frekuensi napas meningkat, mulai terjadi depresi napas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar & refleks cahaya menurun, refleks kornea menghilang dan tonus otot makin menurun. Plana III : dari permulaan paralise otot interkostal sampai seluruh otot interkostal. Ditandai dgn pernapasan abdominal lebih dominan dari dari torakal karena paralise otot interkostal, pupil makin melebar dan refleks cahaya menjadi hilang, lakrimasi negatif, refleks laring & peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun. Plana IV : dari paralisis semua otot interkostal sampai paralisa diafragma. Ditandai dgn paralise otot interkostal, pernapasan lambat, ireguler dan tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralise diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, refleks cahaya negatif, refleks spingter ani negatif. Stadium IV dari paralisis diafragma sampai apnue dan kematian. Juga disebut stadium over dosis atau stadium paralisis. Ditandai hilangnya semua refleks, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan diikuti dengan circulatory failure. Induksi Inhalasi Diberikan dgn meminta penderita menghirup campuran gas anestesi dgn udara atau oksigen, dgn memakai face mask. Tergantung yang dipakai, gas anestesi bisa diambil dari tabung gas (N2O) atau dari obat anestesi cairbyg diuapkan menggunakan alat yg disebut vaporizer. Zaman dahulu obat anestesi cair diteteskan pelan-pelan langsung ke sungkup muka yg dibuat dari rangka kawat yg dibalut kain kasa atau alat schimmel busch. Cara ini disebut open drop. Bila obatnya ether maka disebut open drop ether. Induksi inhalasi dgn ether pada saat ini tdk populer karena menimbulkan stadium II yg menimbulkan resiko morbiditas & mortilitas bagi penderita. Induksi inhalasi lebih baik dgn menggunakan halotan, enflurane, isoflurane, atau sevoflurane. Dimana pasien cepat masuk stadium III. Umumnya induksi inhalasi dikerjakan pada bayi & anak. Induksi Intravena Pada induksi intravena tdk terjadi stadium II. Induksi Intramuskuler Menyuntikkan obat anestesi ke dalam otot dikerjakan pada anak-anak. Induksi Rektal Dikerjakan dgn memasukkan obat ke rektum. Tergantun ada tidaknya indikasi. Setelah induksi dilakukan selanjutnya dapat dipasang pipa EET atau LMA atau cukup dgn face mask. Untuk menjaga agar penderita tidak jatuh dalam hipoksia sebelum induksi diberikan oksigenasi selama 5 menit yang disebut pre oksigenasi. Dgn pre oksigenasi , kapasitas residual fungsional paru akan terisi oleh oksigen. Selain itu, oksigen yg larut dalam darah akan meningkat sehingga bila terjadi gangguan respirasi waktu induksi maka sudah ada cadangan oksigen yg diharapkan cukup memenuhi kebutuhan sampai gangguan respirasi dapat diatasi. Pd periode ini diberi obat anestesi tertentu, tergantung jenis operasinya. Anestesi tdk boleh terlalu dalam karena dpt membahayakan jiwa pasien, tapi tdk boleh terlalu dangkal sehingga pasien merasakan sakit yg menyebabkan trauma psikis. Anestesi terlalu ringan dpt juga menyebabkan spasme saluran napas, batuk, muntah, atau gangguan kardiovaskuler. Pada fase maintenance dpt dipakai obat inhalasi atau intravena. Atau gabungan agar dosis masing-masing obat dpt dikurangi. Operasi tertentu diperlukan anestesi umum sampai tingkat kedalamannya mencapai trias anestesi (pasien tidur, analgesi cukup, & terjadi relaksasi otot). Bila analgesi tdk cukup & tdk mendapat pelemas otot dapat timbul : o Gerakan lengan atau kaki o pasien bersuara o Adanya lakrimasi o Pernapasan tdk teratur, menahan napas, stridor laringeal, bronkhospasme o Tanda-tanda adrenaline release : denyut nadi bertambah cepat, tekanan darah naik, berkeringat Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan dgn mendalamkan anestesi. Operasi yg memerlukan relaksasi ahli bedah akan mengeluh bila relaksasi kurang krn tdk bisa bekerja dgn baik. Pada operasi abdomen usus akan bergerak & menyembul keluar. Operasi yg memerlukan penarikan otot juga sukar dilakukan. Relaksasi dpt dicapai bila anestesi dalam dgn menambah dosis obat. Bila hanya 1 macam obat diperlukan dosis tinggi yg dpt menimbulkan gangguan pd organ vital. Utk mengatasinya ada teknik tertentu agar tercapai trias anestesi pd kedalaman ringan : penderita dibuat tidur dgn obat hipnotik, analgesik dgn analgetik kuat, & relaksasi dgn pelumpuh otot. Teknik ini disebut balance anestesia. Balance anastesia menggunakan pelumpuh otot, menyebabkan otot relaksasi (kelumpuhan) termasuk otot respirasi. Jadi pasien tidak bisa bernapas sehingga harus dibantu dgn melakukan napas buatan. Tanpa napas buatan pasien akan mengalami kematian akibat hipoksia. Pernapasan pasien sepenuhnya tergantung dari pengendalian kita, sehingga balance anestesia disebut juga teknik respirasi kontrol (control respiration). Utk mempermudah respirasi penderita hrs diintubasi. Keuntungan balance anestesia : Dosis obat minimal, gangguan organ vital dpt dikurangi. Polusi kamar operasi karena obat anestesi inhalasi dpt dikurangi. Setelah operasi pasien cepat bangun. Pengontrolan napas memudahkan kita melakukan hiperventilasi untuk menurunkan kadar CO2 dlm darah sampai titik tertentu misalnya pd operasi otak. Hiperventilasi dpt menurunkan tekanan darah utk operasi yg memerlukan hipotensi kendali. Karena napas lumpuh total mempermudah tindakan operasi di rongga dada (thoracotomy). Paru-paru dpt dikembangkan & dikempiskan dgn mudah. Berdasarkan respirasinya, anestesi umum dibagi 3 : 1. Respirasi spontan : pasien napas sendiri secara spontan. 2. Respirasi kendali/respirasi kontrol/balance anestesia : pernapasn pasien sepenuhnya tergantung kita. 3. Assisted respiration : pasien napas sendiri tetapi masih diberikan sedikit bantuan. Berdasarkan aliran udara pernapasan dibedakan 4 sistem : 1. Open system (non-rebreathing system) 2. Semi open system 3. Semi closed system 4. Closed system Paling sederhana (misalnya sistem open drops atau sistem insuflasi). Tdk ada hubungan langsung antara jalan napas pasien dgn alat anestesi. Karena itu tidak menimbulkan peningkatan tahanan respirasi. Udara ekspirasi bebas keluar menuju udara bebas. Pada open drops : zat anastetik diberikan secara tetes di atas sungkup kawat yg dilapisi kasa. Dulu merupakan teknik yg populer saat awal penemuan ether. Tidak dipakai lagi saat ini. Kekurangan : Boros obat anestesi Polusi kamar operasi Bila menggunakan obat yg mudah terbakar maka resiko terjadi kebakaran di kamar operasi. Hilangnya kelembaban respirasi. Kedalaman anestesi tdk stabil Respirasi kendali tdk dapat dilakukan Dilengkapi dgn reservoir bag ditambah dgn klep satu arah yg mengarahkan udara ekspirasi keluar. Klep ini disebut non-rebreathing valve. Pada sistem ini terdapat rebreathing dalam jumlah kecil tetapi blm dilengkapi absorber. Sirkuitnya searah dimana oksigen dicampur gas anestesi kemudian diinsuflasikan melalui hidung atau mulut ke dalam paru-paru pasien. Contohnya EMO Tingkat keborosan & polusi kamar operasi lebih rendah. Udara ekspirasi yg mengandung gas anestesi & oksigen lebih sedikit dibandi udara inspirasi tetapi mengandung CO2 lebih tinggi. Dialirkan menuju tabung yg berisi sodalime, dimana CO2 akan diikat. Selanjutnya udara ini digabungkan dgn campuran gas anestesi & oksigen dari sumber gas (fresh gas flow / FGF) untuk diinspirasi kembali. Kelebihan aliran gas dikeluarkan melalui klep over flow. Karena udara ekspirasi diinspirasi kembali, maka oksigen & obat anestesi dpt dihemat dan kurang menimbulkan polusi kamar operasi. Merupakan teknik yg populer saat ini. Sama dgn semi closed tetapi di sini tdk ada udara yg keluar dari sistem anestesi menuju udara bebas. Penambahan oksigen & gas anestesi harus diperhitungkan agar tidak kurang yg dpt menyebabkan hipoksia & anestesia kuran adekuat. Tetapi tdk boleh berlebihan karena akan meningkatkan tekanan sehingga alveoli dpt pecah. Merupakan sistem yg peling hemat obat anestesi & tidak menimbulkan polusi. Teknik ini sudah ditinggalkan. Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, anestesi diakhiri dgn menghentikan pemberian obat anestesi. Pd anestesi inhalasi bersamaan dgn penghentian obat anestesi aliran oksigen dinaikkan yg disebut oksigenasi. Oksigenasi akan menyebabkan oksigen mengisi tempat yg sebelumnya ditempati obat anestesi inhalasi di alveoli yg berangsur keluar mengikuti udara ekspirasi. Tekanan parsial obat anestesi akan berangsur turun sehingga lebih rendah dibanding tekanan parsial obat anestesi dlm darah . Maka terjadilah difusi dari dalam darah menuju alveoli. Sementara itu oksigen dalam alveoli akan berdifusi ke dalam darah. Semakin tinggi tekanan parsial oksigen di alveoli (akibat oksigenasi) difusi ke dalam darah makin cepat, akhirnya kadar oksigen dalam darah meningkat menggantikan posisi obat anestesi. Turunnya kadar obat anestesi inhalasi dalam darah, selain akibat difusi di alveoli juga akibat metabolisme & ekskresi lewat hati, ginjal, & keringat. Kesadaran pasien juga berangsur pulih dgn turunnnya kadar obat anestesi dalam darah. Pasien yg mendapat anestesi intravena maka kesadarn berangsur pulih dgn turunnya kadar obat anestesi akibat metabolisme & ekskresi setelah pemberian dihentikan. Pasien yg dianestesi dgn respirasi spontan tanpa ETT maka tingga menunggu kesadarn pulih. Pasien yg menggunakan pipa endotrakheal (ETT) perlu dilakukan ekstubasi. Ekstubasi dpt dilakukan saat pasien masih teranestesi dalam atau setelah penderita sadar. Ekstubasi pada keadaan setengah sadar membahayakan pasien karena dpt terjadi spasme jalan napas, batuk muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya TIO & TIK. Ekstubasi dalam keadaan teranestasi dalam mempunyai resiko tidak terjaganya jalan napas. Tetapi ada operasi tertentu yg memburhkan ekstubasi dalam keadaan anestesi dalam.. Pasien yg mendapat pelumpuh otot ekstubasi dilakukan setelah napas adekuat. Untuk mempercepat pasien pulih dari pengaruh pelumpuh otot maka dilakukan reverse yaitu pemberian obat anti kolinesterase. Adapula yg tetap memberikan reverse walaupun napas sudah adekuat pada pasien yg sebelumnya mendapat pelumpuh ototda yg melakukan ekstubasi setelah penderita sadar, bisa diperintah menarik napas dalam, batuk, menggelengkan kepala & menggerakkan ekstremitas. Penilaian yg lebih obyektif ttg seberapa besar pengaruh pelumpuh otot adalah dgn menggunakan nerve stimulator. Untuk menentukan kapan pasien yg mendapat anestesi umum dipindahkan dari kamar operasi digunakan Aldrette score. Aldrette score : penilaian pada respirasi, kesadaran, sirkulasi, aktifitas, dan warna kulit. Masing-masing mempunyai nilai terendah 0 dan tertinggi 2. Hasil penjumlah ke-5 faktor tersebut mempunyai nilai maksimal 10. Aldrette score 8 dpt dipindahkan ke perawatan. Untuk pasien rawat jalan setelah mencapai Aldrette score 10 tidak boleh langsung dipulangkan tetapi harus menunggu minimal 2 jam. Dlm waktu ini pasien dapat dilatih duduk, turun, jalan dan minum secara bertahap. Dalam perjalan pulang, pasien tidak boleh mengemudikan kendaraan sendiri dan tidak boleh pulang sendirian tetapi harus ditemani org dewasa. Dalam sistem rebreathing udara ekspirasi yg mengandung CO2 diinspirasi kembali oleh pasien. Hiperkarbia terjadi bila udara ekspirasi yg mengandung CO2 diinspirasi kembali sehingga diperlukan pengikat CO2. Proses pengikatan dilakukan dgn reaksi kimia, agar fungsinya maksimal diperlukan sebanyak mungkin udara ekspirasi yg bersinggungan dgn pengikat CO2 sehingga diperlukan permukaaan pengikat CO2 yg luas. Oleh karena itu, pengikat CO2 dibuat dalam bentuk butir-butiran, makin kecil ukuran butiran, dalam total volume yg sama didapatkan permukaan butiran yg makin luas sehingga reaksi dgn CO2 makin banyak terjadi. Tetapi makin kecil ukuran tahanan aliran udara juga makin besar. Butiran pengikat CO2 dilengkapi dgn indikator yg berubah warna apabila sudah tidak berfungsi. Pada waktu digunakan butiran pengikat CO2 ditempatkan dalamtabung plastik bening agar terlihat perubahan warna. Udara ekspirasi dialirkan dalam tabung tersebut, dan dari tabung dialirkan keluar untuk untuk disatukan dgn aliran dari sumber gas. Butiran pengikat CO2 perlu diganti bila 50-70% sudah mengalami perubahan warna. Jumlah maksimal CO2 (dlm liter) yg dapat diikat oleh 100 gr pengikat CO2 disebut absorptive capacity. Saat ini ada 3 macam pengikat : sodalime, baralyme, & amsorb plus (calcium hydroxide lime)