You are on page 1of 85

THE WHITE MEMBRANE (DIFTERI)

Blok 11 Sistem Respirasi


Tutorial Kelompok 10A
Skenario 5
Kelompok 10A
1. Dhaneswara Pradipta S. 1361050058
2. Mawar Suci 1361050067
3. Anastasia Basaria 1361050073
4. Jack Benjamin Nalle 1361050120
5. Iglesia Rawati 1361050160
6. Risky Wulandari 1361050181
7. Benedick Johanes Alvian 1361050223
8. Daniels 1361050243
9. Yeni Rosa Sitohang 1361050247
10. Cindy Fransisca Ticoalu 1361050284
Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu mengetahui, memahami,
dan menjelaskan:

1. Definisi & Epidemiologi Difteri (1)


2. Klasifikasi Difteri (1)
3. Etiologi Difteri (1)
4. Patofisiologi Difteri + Demam (2)
5. Manifestasi Klinik Difteri (1)
6. Diagnosis Difteri (2)
7. Penatalakanaan Difteri + Imunisasi (1)
8. Komplikasi dan Prognosis Difteri (1)
Mind Map

Definisi &
Epidemiologi
Klasifikasi

Etiologi dan
Faktor resiko

Pemeriksaan Pem. Fisik


penungjang
Difteri

Pemeriksaan Patofisiologi
dan diagnosis

Anamnesis

Penatalaksanaan
Manifestasi
Klinis
1

1. Definisi dan Epidemiologi Difteri


Definisi Difteria
Difteria adalah suatu penyakit bakteri
akut terutama menyerang tonsil,
faring,laring,hidung, adakalanya meny-
erang selaput lendir atau kulit serta
kadang-kadang konjungtiva atau
vagina.

http://www.academia.edu/5541931/13758759-DIFTERI
Definisi Difteri
• Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang
disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae
(FKUI, 1999).
• Difteri adalah toksiko infeksi yang disebabkan oleh
Corynebacteryum diphtheriae ( Sarah S Long ,2003 ).
• Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular
dan yang diserang terutama saluran pernafasaan bagian
atas dengan tanda khas timbulnya pseudo membran
(Ngastiyah, 2005)

http://kamusaskep.blogspot.com/2012/12/difteri.html
Epidemiologi Penyakit Difteri
Epidemiologi Penyakit Difteri
Epidemiologi Penyakit Difteri
Epidemiologi Penyakit Difteri
Epidemiologi Penyakit Difteri
2

2. Klasifikasi Difteri
Klasifikasi berdasarkan berat
ringannya penyakit
 Infeksi ringan
 pseudomembran terbatas pada mukosa hidung
dengan gejala
hanya nyeri menelan
 Infeksi sedang
 pseudomembran menyebar lebih luas sampai
dinding post faring dg
edema laring. Dapat diatasi dg pengobatan
konservatif
 Infeksi berat
 ada sumbatan jalan nafas, dapat disertai gejala
komplikasi miokarditis
/ paralisis. Hanya dapat diatasi dg trakeostomi
Klasifikasi berdasarkan
letaknya [1]

 Difteri hidung
 gejala awal: pilek. Bisa epistaksis. Terdapat
membrane putih pd septum nasi
 Difteri tonsil faring
 timbul pseudomembran di daerah tonsil dan
dinding faring, meluas ke
uvula dan pallatum molle. Bisa timbul
bullneck
Klasifikasi berdasarkan
letaknya [2]

 Difteri laring
 perluasan difteri faring. Difteri paling berat:
obstruksi jalan nafas 
gagal nafas  kematian
 Difteri vulvovaginal, kulit, konjungtiva, telinga
 Difteri vulvovaginal: vulvovginitis purulenta dan ulseratif
 Difteri kulit: tukak di kulit
 Difteri pd mata: lesi pd konjungtiva berupa kemerahan,
edema membrane konjungtiva palpebral.
 Difteri pd telinga: otitis eksterna, secret purulent dan
berbau
3

3. Etiologi dan Faktor Resiko Difteri


Penyakit Difteri disebabkan oleh
bakteri Corynebacterium Diptheria.
Corynebacterium Diptheriae
• Kuman batang gram
positif
• ukuran 1-8 μm & lebar
0,3-0,8 μm
• Tidak bergerak,
pleomorfik, tidak
berkapsul
• Membuat koloni menjadi
abu abu hitam
• mempunyai 2 fragmen
yaitu fragmen A (amino-
terminal) & fragmen B
(karboksiterminal)
Klasifikasi Corynebacterium Diptheriae

1. Tipe gravis.
koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak
menimbulkan hemolisis eritrosit.
2. Tipe intermedius.
koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan
dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
3. Tipe mitis.
koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat
menimbulkan hemolisis eritrosit.
Faktor Resiko
1. Cakupan imunisasi kurang
2. Kualitas vaksin tidak bagus
3. Faktor lingkungan tidak sehat
4. Tingkat pengetahuan ibu rendah
5. Akses pelayanan kesehatan kurang
4,5

4. Patofisiologi Difteri dan


Mekanisme Demam
Patogenesis Bakteri Difteri
Patofisiologi Penyakit Difteri
Kontak dengan Masuk lewat
Corynebacterium orang atau barang saluran pencernaan
diphteriae yang atau saluran
terkontaminasi. pernafasan.

Membentuk
pseudomembran Masa inkubasi 2 – 5
Aliran sistemik
dan mengeluarkan hari.
toksin (eksotoksin)

Peradangan
Nasal, Tonsil, Mukosa,
Laring Tenggorokan sakit,
Demam
33
Patofisiologi
Kuman berkembang biak pada saluran nafas atas(vulva,
kulit, mata jarang terjadi).
Kuman membentuk psudo membrane melepaskan
eksotoksin.
Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan
mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul
paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan
saraf.
Sumbatan jalan nafas terjadi akibat dari fungsi pseudo
membrane pada laring dan trachea dapat menyebabkan
kondisi fatal.
Mekanisme Demam

Demam adalah kenaikan suhu


tubuh di atas normal.

Bila diukur pada rektal >38°C


(100,4°F), diukur pada oral
>37,8°C, dan bila diukur melalui
aksila >37,2°C (99°F). (Schmitt,
1984)
Mekanisme Demam
Demam adalah suatu keadaan bila bayi berumur
kurang dari 3 bulan suhu rektal melebihi 38° C.
Pada anak umur lebih dari 3 bulan suhu aksila
dan oral lebih dari 38,3° C.
NAPN (National Association of Pediatrics Nurse)
Mekanisme Demam
• Demam adalah istilah umum, dan beberapa
istilah lain yang sering digunakan adalah
pireksia atau febris.
• Apabila suhu tubuh sangat tinggi (mencapai
sekitar 40°C), demam disebut hipertermi.
• Interleukin-1 (penyebab demam), →
menginduksi pembentukan salah satu
prostaglandin E2 → bekerja di hipotalamus
untuk membangkitkan reaksi demam.
Mekanisme Demam
• Ketika pembentukan prostaglandin di hambat
oleh obat (aspirin), demam sama sekali tidak
terjadi atau paling tidak berkurang.
• Aspirin dapat menurunkan demam, karena
aspirin mengganggu pembentukan
prostaglandin dari asam arakidonat.
• Obat seperti aspirin yang menurunkan demam
disebut antipiretik
6

5. Manifestasi Klinis DIfteri


Manifestasi klinis Penyakit Difteri

Sakit
Demam Batuk
tenggorokan

Dispnea, stridor
Disfagia pernafasan,
mengi
Mekanisme Demam
Mekanisme Batuk
Manisfestasi klinis
Difteri

Difteri hidung Difteri tonsil faring Difteri Laring

Pilek ringan Nyeri tenggorokan Suara parau

Tampak membran
demam sampai
putih pada daerah Batuk kering
38,5
septum nasi

Nadi cepat Demam tinggi

Pembengkakan
Anoreksia pada kelenjar
leher

Nafas berbau
7,8

6. Diagnosis Difteri
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
DD
Anamnesis Pada Penyakit Difteri

Biodata
• umur, suku bangsa, tempat tinggal

Keluhan Utama
• demam, lesu, pucat, anoreksia, sakit kepala )

Riwayat Kesehatan Sekarang


• Demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala,
anoreksia
Riwayat Kesehatan Dahulu
• Peradangan kronis pada tonsil, faring, sinus, laring, dan sal nafas
atas

Riwayat Penyakit Keluarga


• Adanya keluarga yang mengalami difteri

Pola Fungsi Kesehatan


• Pola nutrisi dan metabolisme
• Pola aktivitas
• Pola istirahat dan tidur
• Pola eliminasi
Pemeriksaan Fisik [1]
Vital sign :
- Nadi : meningkat
- TD : menurun
- RR : meningkat
- Suhu : kurang dari 38°C
Inspeksi : lidah kotor, anoreksia, ditemukan
pseudomembran
Auskultasi : nafas cepat dan dangkal
Pemeriksaan Fisik [2]
Pada diptheria tonsil – faring terdapat :
a. Malaise
b. Suhu tubuh < 38,9 º c
c. Pseudomembran ( putih kelabu ) melekat dan menutup
tonsil
d. dinding faring
e. Bulneck
Pemeriksaan Penunjang Difteri [1]

• Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok


terdapat kuman Corynebakterium difteri (Buku
kuliah ilmu kesehatan anak, 1999).
Pemeriksaan Penunjang Difteri [2]
• Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar
hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus,
penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada
urin terdapat albuminuria ringan (Ngastiyah, 1997).
• Lekosit dapat meningkat atau normal, kadang terkadi
anemia karena hemolisis sel darah merah
(Rampengan, 1993 )
Pemeriksaan Penunjang Difteri [2]

• Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis


menunjukkan sedikit peningkatan protein (Rampengan,
1993 ).
• Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas
penderita, suatu pemeriksaan swab untuk mengetahui
apakah seseorang telah mengandung antitoksin.
PEMERIKSA
AN MUKOSA

PEMERIKSAA
NEUROLOGIS N DAERAH
LEHER

PEMERIKSAAN
FISIK

EK SISTEM
KARDIOVA

G SKULAR

KEADAAN
UMUM
KEADAAN UMUM
• Terlihat agak toksik
• Suhu : 38
• Kesulitan bernafas
• Takikardi
• pucat
PEMERIKSAAN MUKOSA
PEMERIKSAAN DAERAH LEHER
• Edema pada daerah submandibularis dan leher bagian
depan “bull neck”
PEMERIKSAAN SISTEM KARDIOVASKULER
• Takikardi
• Suara jantung lemah
• Irama mendua (presistolik gallops)
• Aritmia (fibrilasi atrium)
PEMERIKSAAN
ELEKTROKARDIOGRAM
• Tanda-tanda miokarditis:
• Low voltage
• Depresi segmen ST
• Gelombang T terbalik
• Tanda-tanda blok :
• Pemanjangan PR interval
• Blok AV total
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
• Gerakan palatum berkurang
• Paralisis otot-otot mata yang menimbbulkan pengelihatan
kembar
• Kesukaran akomodasi
• Strabismus internal
Definitif
& identifikasi

presumptif

Anamnesis
DIAGNOSIS PRESUMPTIF (DIAGNOSIS AWAL
CEPAT)
• Pemeriksaan langsung spesimen dengan pewarnaan :
• Methylene blue
• Pewarnaan gram
• imunoflouresens
DEFINITIF & IDENTIFIKASI BASIL

• Pemeriksaan kultur
• Pemeriksaan produksi toksin : elek plate test &
polimerase pig inoculation test
• Pemeriksaan serum : shick test
Diagnosa Banding Difteria

• Korpus • tonsilofaringitis • laringotrakeobro


NASAL ANTERIOR

FAUSIAL

larinks
alineum pada • mononukleusin nkitis
hidung feksiosa • Croup
spasmodik/nons
• Common cold pasmodik
• sinnusitis • Aspirasi benda
asing
• Papiloma larinks
9

7. Penatalaksanaan Difteri
Penatalaksanaan Difteri
Tujuan Penatalaksanaan:

menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,


mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal,
mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan
serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
Penatalaksanaan
Difteri

Pengobatan Pengobatan
Umum Khusus
Pengobatan Umum
• Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan
hapusan tenggorok negative 2 kali berturut-turut
• Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu,
pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak
yang mudah dicerna, cukup mengandung protein dan
kalori
• Khusus pada difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas
serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
nebulizer
Pengobatan Khusus
1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
• Diberikan segera setelah diagnosis difteri
• Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji
mata terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS
dapat terjadi reaksi anafilaktik
Pengobatan Khusus
• Uji Kulit
Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan
garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan.
Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.

• Uji Mata
Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10
dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam
fisiologis.
Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada
konjungtiva bulbi dan lakrimasi
Pengobatan Khusus
• Tabel Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian
Difteria Hidung 20.000 Intramuscular
Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular
/Intravena
Difteria Faring 40.000 Intramuscular
/Intravena
Difteria Laring 40.000 Intramuscular
/Intravena
Kombinasi lokasi 80.000 Intravena
diatas
Difteria + penyulit, 80.000-100.000 Intravena
bullneck
Terlambat berobat 80.000-100.000 Intravena
(>72 jam)
Pengobatan Khusus
2. Antibiotik
• Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin
melainkan untuk membunuh bakteri, menghentikan
produksi toksin dan mencegah penularan organisme pada
kontak
• Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin
• Eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk
terapi difteri nasofaring
Pengobatan Khusus
Dosis :
• Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. tiap 2
jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-
turut (-).
• Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap
6 jam selama 14 hari.
• Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari,
i.m. atau i.v. , dibagi dalam 4 dosis
IMUNISASI LENGKAP
Program Imunisasi Nasional

Program imunisasi nasional dikenal sebagai


Pengembangan Program Imunisasi (PPI) yang
mencakup imunisasi BCG, Hepatitis B, DPT, Polio
dan campak.
Vaksin yang direkomendasikan
• Vaksin yang direkomendasi PP IDAI:
• BCG
• Hepatitis B
• Hepatitis A
• Polio
• DTP
• Campak
• HIB
• IPD
• Influenza
• Varisela
• MMR
• Tifoid
• HPV
• Rota virus
10

8. Komplikasi dan Prognosis Difteri


Komplikasi Difteria
• Komplikasi yang timbul pada pasien difteri
menurut Rampengan (1993) yaitu :

Obstruksi
Jalan Infeksi
Nafas tumpangan
(Lokal)

Sistemik
1. Laringitis
difteri

7. Paresis 2. Kelainan
atau paralysis kardiovaskule
anggota gerak r (miokarditis)

Komplikasi
Sistemik
3. Kelainan
6. Nefritis
neurologis

5. Paralisis 4. Ocular
diafragma palsy
Prognosis
• Menurut Ngastiyah (2005) prognosis tergantung pada :

1 Umur pasien

2 Perjalanan penyakit

3 Letak lesi difteria

4 Keadaan umum pasien

5 komplikasi miokarditis

6 Pengobatan terlambat pemberian ADS


Pembuktian Hipotesis

“Berdasarkan faktor pencetus, gejala, dan


pemeriksaan pasien mengalami infeksi
bakteri difteri dan menderita difteri”

Hipotesis kami terbukti kebenarannya atas apa yang


telah kami diskusikan dan pelajari bersama. Bahwa
gejala demam sejak 4 hari yang lalu dengan batuk, serta
sulit menelan makanan merupakan gejala tepat pasien
terkena difteri. Ditambah lagi dengan pemeriksaan fisik
terdapat pseudomembran kuman corynebakterium
difteria dan hasil ini positif terkena penyakit difteri.
Kesimpulan

Difteria adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang


disebabkan oleh kuman corynebakterium diphtheria.
Mudah menular dan yang diserang terutama adalah
traktus respiratorius bagian atas dengan tanda khas
terbentuknya pseudomembran dan dilepaskan eksotoksin
yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. Tanda
dan gejalanya adalah demam yang tidak terlalu tinggi,
lesu, pucat, sakit kepala, penurunan berat badan, lemah,
nyeri saat menelan, serak hingga adanya stridor.
Referensi

 Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell RN (2007).


Robbins Basic Pathology (ed. 8th). Saunders Elsevier.
 Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit (ed. 6). EGC
 Warrel, D. A., Cox, Timothy M., Firth, John D. 2005.
Oxford Textbook of Medicine. Oxford: Oxford University
Press
 Anonim, 1998, Buku Saku Kedokteran Dorland edisi 25,
Penerbit ECG, Jakarta
 Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia,Jakarta
• Harrison’s principles of internal medicine vol 1
• IPD Jilid 3
Referensi
• Kemala, Rita Wahidi. 1996. Nursing Care in Emergency. Jakarta:
Fakultas Ilmu Keperawatan UI
• Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta:
Media Aesculapius.
• Nelson. 1992. Ilmu Kesehatan Anak Bagian 2. Jakarta: EGC
• Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC
• Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
• Rampengan, H.T, dkk. 1993. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta :
EGC
• Staf Pengajar ll Buku Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1958. Buku Kuliah Ilmu
Kesehalan Anak. Jakarta : Info Medika.
• Sulianti Suroso. 2004. Pengaruh Imunisasi pada anak.www.infeksi.com.7
juni 2008
• Suradi, dkk. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi I. Jakarta : CV.
Agung Seto. Keperawatan
• http://textbookofbacteriology.net/diphtheria.html
• http://www.vaccinedecision.info/cgi-
bin/viewcontent.cgi?article_id=24
• http://www.who.int/gho/immunization/en/
TERIMAKASIH 

You might also like