Professional Documents
Culture Documents
INKONTINENSIA URIN
ANGGOTA KELOMPOK 1:
Sedangkan menurut PERKINA (2012), inkontinensia urin adalah keluhan keluarnya urin di luar
Secara klinis, inkontinensia urin dapat dibedakan menjadi akut dan persisten.
Inkontinensia urin akut adalah inkontinensia urin yang onsetnya tiba-tiba, biasanya berkaitan
dengan penyakit akut atau masalah iatrogenis dan bersifat sementara, sehingga dapat
sembuh bila masalah penyakit atau obat-obatan telah diatasi. Inkontinensia urin persisten
adalah inkontinensia urin yang tidak terkait penyakit akut dan bersifat menetap.
ETIOLOGI
Menurut PERKINA (2012) yang menjadi faktor resiko terjadinya inkontinensia urin adalah:
• Pada laki-laki antara lain : bertambahnya usia, adanya lower urinary tract symptoms
(LUTS), ISK, gangguan kognitif dan fungsional, gangguan neurologik, dan prostatektomi.
PATOFISIOLOGI
Pengendalian kandung kemih dan sfingter diperlukan agar terjadi pengeluaran urin secara kontinen.
Pengendalian memerlukan kegiatan otot normal di luar kesadaran dam yang di dalam kesadaran yang dikoordinasi oleh refleks
urethrovsien urinaris. Bila terjadi pengisian kandung kencing tekanan di dalam kandung kemih meningkat.
Otot detrusor memberikan respon dengan relaksasi agar memperbesar volume daya tampung. Bila sampai 200
ml urin daya rentang reseptor yang terletak pada dinding kandung kemih mendapat rangsangan. Stimulus ditransmisikan lewat
serabut reflek eferen ke lengkungan pusat refleks untuk miktrurisasi. Impuls kemudian disalurkan melalui serabut eferen dari
Sfingter interna yang dalam keadaan normal menutup, serentak bersana membuka urin masuk ke uretra
posterior. Relaksasi sfingter eksterna dan otot pariental mengikuti dan isi kandungkemih keluar. Pelaksanaan kegiatan refleks
bisa mengalami interupsi dan berkemih ditangguhkan melalui dikeluarkannya impuls inhibitor dari pusat kortek yang
berdampak kontraksi di luar kesadaran dan sfingetr eksterna. Bila di salah satu bagian mengalami kerusakan maka akan dapat
mengakibatkan inkontinensia.
WOC
MANIFESTASI KLINIS
2. IVU
3. Sistoskopi
Sebagai suatu pengujian faktor normal dan abnormal pada proses pengisian, transport dan pengosongan urin
Tes ini dilakukan dengan menginsersikan sebuah cotton swab (Q-tip) yang steril kedalam uretra wanita
lalu ke kandung kemih.
Jika pemeriksa mendeteksi keluarnya urin bersamaan dengan adanya kontraksi otot abdomen, maka uji
ini dapat dilakukan untuk mengetahui apakah kebocoran dapat dicegah dengan cara menstabilisasi dasar
kandung kemih sehingga mencegah herniasime lalu diafragma urogenital atau tidak.
8. Pad test
Merupakan penilaian semi objektif untuk mengetahui apakah cairan yang keluar adalah urin, seberapa
banyak keluarnya urin dan dapat digunakan untuk memantau keberhasilan terapi inkontinensia.
Pemeriksaan ini dilakukan jika pemeriksaan pelvis gagal untuk menampakkan keluarnya urin atau jika
diduga terdapat prolaps organ.
PENATALAKSANAAN MEDIS
Grace. A Pierce, 2006 (Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: Erlangga)
1. Inkontinensia Urgensi
a. Terapi medikamentosa
Modifikasi asupan cairan, hindari kafein, obati setiap penyebab (infeksi, tumor, batu),
latihan berkemih, antikolinergik/relaksan otot polos (oksibutin, tolterdin).
b. Terapi pembedahan
a. Terapi medikamentosa
b. Terapi Pembedahan
3. Inkontinensia overflow
Drainase jangka pendek dengan kateter untuk memungkinkan otot detrusor pulih dari peregangan
berlebihan, kemudian penggunaan stimulan otot detrusor jangka pendek (bethanekol; distigmin). Jika
semuanya gagal, katerisasi interminten dilakukan (inkontensia overflow neurogenik).
PENATALAKSANAAN INKONTINENSIA URIN:
TERAPI FISIK
1. Latihan otot-otot dasar panggul/Senam kegel
Hernida, 2009).
2. Behavioral Oriented / Pengaturan Diet
- Intervensi ini digunakan untuk mengatasi gejala ringan dari inkontinensia stress. Mengurangi
pemasukan cairan (tidak lebih dari 8 gelas dalam 24 jam), dan menghindari makanan/minuman
yang mempengaruhi pola berkemih (seperti cafein, dan alkohol). Kafein dan alkohol bersifat
mengiritasi kandung kemih. Selain dapat mengiritasi otot kandung kemih kafein juga bersifat
diuretik dan akan meningkatkan frekuensi berkemih. Selain itu alkohol akan menghambat
hormon antidiuretik sehingga produksi urin meningkat.
3. Alat Mekanis
a. Tampon : Tampon dapat membantu pada inkontinensia stres terutama bila kebocoran hanya terjadi
intermitten misal pada waktu latihan. Penggunaan terus menerus dapat menyebabkan vagina kering/luka.
b. Edward Spring : Dipasang intravagina. Terdapat 70 % perbaikan pada penderita dengan inkontinensia stres
dengan pengobatan 5 bulan. Kerugian terjadi ulserasi vagina.
c. Bonnas’s Device: Terbuat dari bahan lateks yang dapat ditiup. Bila ditiup dapat mengangkat sambungan
urethrovesikal dan urethra proksimal (Unsri, 2012).
4. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis digunakan jika behavioral oriented atau terapi lain tidak memperbaiki kondisi inkontinensia
urin.
b. Imipramine, tricyclic antidepressant, bekerja hampir sama dengan obat alpha-adrenergic. (Lina Hernida,
2009).
c. Terapi estrogen
Dapat digunakan untuk mengatasi inkontinensia pada wanita menopause. Estrogen berfungsi untuk
meningkatkan tonus, dan aliran darah ke otot spingter uretra. (Lina Hernida, 2009). Estrogen membantu
menjaga kesehatan jaringan yang penting untuk transmisi tekanan normal di dalam uretra.
d. Antimuscarinic
Berfungsi untuk mencegah kontraksi dan pengosongan kandung kemih sebelum mencapai volume yang dapat
merangsang mikturisi (Lina Hernida, 2009). Penggunaan obat untuk overactivitas bladder/overactivitas
destrusor.
Farmakologi pengobatan stress inkontinensia bertujuan untuk meningkatkan kekuatan penutupan intrauteral
dengan meningkatkan kontraksi otot halus dan lurik uretra. Beberapa obat dapat menyebabkan peningkatan
semacam itu. Namun penggunaan klinis obat-obatan ini dibatasi oleh keberhasilan yang rendah dan / atau efek
samping yang tinggi (A. Schröder.,et al, 2010).
ASUHAN KEPERAWATAN