You are on page 1of 28

Obat dan Kehamilan

• Penggunaan obat pd kehamilan selalu


mempertimbangkan efeknya terhadap janin.
• Kebanyakan obat dapat melintasi plasenta, memaparkan
janin kepada efek farmakodinamik dan teratogenik obat.
• Faktor penentu transfer obat meliwati plasenta dan efek
obat thd janin: 1)sifat fisiko-kimia obat; 2) kecepatan dan
jumlah obat melintas; 3) lama paparan obat; 4) sebaran
obat pada berbagai jaringan janin; 5) umur kehamilan; 6)
efek kombinasi obat.
• Obat lipofilik, thiopental misalnya, mudah liwat plasenta,
masuk ke tubuh janin. Obat yg terionisasi, misalnya
succinylcholine, atau tubocurarine, sukar liwat plasenta,
kadarnya rendah pada janin.
• Molekul kecil dgn BM <500 cepat liwat plasenta ,
tergantung pada lipofilisitas dan derajat ionisasi; BM 500-
1000 lambat; BM >1000 sukar . Antikoagulant heparin sukar
liwat plasenta karana BM besar; warfarin dgn BM rendah
mudah, timbulkan efek teratogenik, tak boleh diberikan
pada trimester I kehamilan. Molekul besar dapat liwat
plasenta dgn perantaraan drug transporter, misalnya AB
faktor rhesus yang timbulkan inkompatibilitas Rh.
• Pd plasenta ditemukan P-glycoprotein transporter yang
melemparkan obat kembali keluar, misalnya obat kanker
vinblastine dan doxorubicin, obat anti HIV protease
inhibitor, dan glibenclamide.
• Faktor protein binding perlu pula diperhitungkan dalam
transfer obat liwat plasenta.
• Ada 2 mekanisme utk lindungi janin dari
paparan obat: 1) plasenta sebagai sawar
semipermeabel dan organ pemetabolisme
obat; 2) hati janin sbg organ pemetabolisme,
yang menerima 40-60% darah dari plasenta,
melalui v umbilicus.
• Perlu diingat metabolit dapat timbulkan efek
toksik/teratogenik.
Farmakodinamik Kehamilan
• Kehamilan dapat cetuskan beberapa penyakit karena
perubahan fisiologi yang menyertai kehamilan,
misalnya payah jantung, hipertensi, hiperglikemia, dan
gangguan kontraktilitas myometrium.
• Pemberian obat pada kehamilan dapat pula ditujukan
untuk pengobatan janin (fetal therapeutics). Misalnya
fenobarbital diberikan pd hamil aterm, guna induksi
aktifitas glukoronidase, agar kejadian ikterus pd bayi
neonatus dapat ditekan. Obat anti HIV diberikan pd
kehamilan untuk tekan kejadian infeksi HIV pada
neonatus.
Efek Teratogenik Obat
• Obat dapat timbulkan cacat bawaan pada neonatus. Cacat yg timbul
ditentukan oleh tahap organogenesis dan waktu pemberian obat.
Misalnya thalidomid timbulkan phocomelia bila diminum pada
minggu ke 4-7 kehamilan, saat mana terjadi organogenesis lengan
dan tungkai.
• Ada beberapa mekanisme teratogenik:
1) efek primer terjadi pada ibu, efek sekunder pada anak. Misalnya
obat timbulkan kerusakan pada plasenta, sebabkan gangguan
hantaran oksigen dan nutrien ke jaringan/organ janin yang sedang
tumbuh.
2) Obat langsung pengaruhi proses differensiasi jaringan/organ yang
sedang berkembang. Misalnya analog vit.A (isotretinoin dan
etretinate) adalah teratogen kuat yg ganggu proses diferensiasi.
3) Defisiensi zat esensial, seperti asam folat timbulkan spina bifida.
• Paparan berlanjut dgn suatu teratogen dapat
timbulkan efek kumulatif pada beberapa organ
sesuai dengan waktu paparan dan perkembangan
organ.
• Suatu obat/zat dikategorikan sbg teratogen bila
memenuhi kriteria sbb: 1) timbulkan malformasi
yang selektif pada organ tertentu, ; 2) pada waktu
tertentu pemberian obat, sesuai dgn tahap
organogenesis; 3) perlihatkan insiden yang ‘dose-
dependent ‘
• WHO bagi obat atas 5 kategori risiko teratogenik:
• Kategori A: jauh dari efek teratogenik krn dari penelitian terkontrol
tak ditemukan efek teratogenik.
• Kategori B: penelitian hewan tak ditemukan efek teratogenik, tapi
belum ada penelitian terkontrol pada wanita hamil.
• Kategori C: penelitian hewan perlihatkan efek teratogenik, tapi
belum ada bukti dari penelitian terkontrol pd wanita hamil.
• Kategori D: ada bukti efek teratogenik pada janin manusia, tetapi
boleh digunakan karena tak tersedia obat lain sebagai pengganti.
• Kategori X: ada bukti efek teratogenik pd hewan/manusia, obat tsb
dikontraindikasikan utk wanita hamil.

Risiko efek teratogenik setiap obat diinformasikan dalam buku


informatorium/formularium
Daftar Obat Berpotensi Efek
Teratogenik
• ACE inhibitor, antidepresan trisiklik,
sitotoksik, fenobarbital, karbamazepine,
kokain, diazepine, diethylstilbesterol, etanol,
analog vit.A, narkotik-analgesik, iodida,
lithium, methylthiouracil/propylthiiouracil,
metronidazole, misoprostol, mycophenolate
mofetil, penicillamine, phenytoin, asap rokok,
streptomycin, tamoxifen, tetrasiklin,
thalidomide, trimethadione, valproic acid,
warfarin.
Farmakoterapi Hipertensi Kehamilan.
Dapat berupa:
1) Hipertensi kronik: TD >140/90, didiagnosis sebelum
atau <20 mg kehamilan.
2) Hipertensi gestational: ditemukan >20 mg kehamilan,
menetap/surut setelah melahirkan.
3) Pre-eklamsia: ditemukan >20 mg kehamilan, disertai
proteinuria >300 mg/24 jam urin.
4) Eklamsia: pre-eklamsia dgn kejang bukan krn epilepsi.
5) Hipertensi kronik yang berlanjut menjadi pre-eklamsia
Patofisiologi Pre-eklamsia
• Dimulai dengan gangguan perfusi plasenta; diikuti
dengan reaksi sistemik maternal; diperantari oleh
oxidative stress.
• Hipoksia pada plasenta hasilkan radikal bebas
yang tingkatkan penglepasan zat apoptotik dan
nekrotik dari trofoblas, masuk ke sirkulasi
maternal, timbulkan kerusakan endotel,
tingkatkan systemic inflammatory response,
timbulkan gejala pre-eklamsia maternal.
• Terbentuk pula autoantibodi yang bersifat agonis
terhadap reseptor AT1.
Farmakoterapi Pre-eklamsia
• Belum ada terapi kausal, karena etiologi masih bersifat
hipotesis.
• Untuk keselamatan ibu, lakukan terapi antihipertensi.
• Bila taksiran persalinan masih lebih dari 48 jam, obati
hipertensi kehamilan dengan alfa-metil dopa oral yg aman
utk janin. Alternatif: labetalol, beta-blockter, antagonis
kalsium.
• Bila ada gawat janin (fetal distress) atau persalinan akan
dilakukan <48 jam, berikan antihipertensi IV (labetalol,
hidralazine, nifedipine, atau Na nitroprusside).
• Mg sulfat atau antagonis kalsium bermanfaat atasi kejang
pada eklamsia; hipertensi berat eklamsia diobati dengan
hydralazine IV. Kejang , indikasi akhiri kehamilan.
Obat Yang Pengaruhi Motilitas Uterus
• Terbagi 2: 1) oksitosik, perangsang kontraksi otot
polos uterus; 2) tokolitik, penghambat kontraksi.
• Oxytocin endogen tak berperan pada persalinan
normal; oxytocin eksogen tingkatkan frekuensi
dan daya kontraksi uterus, namun efeknya baru
nyata pada 9 minggu terakhir kehamilan.
Progesteron hambat efek oxytocin; kadarnya
turun pada hamil tua, tingkatkan sensitifitas
uterus thd oxytocin.
• Atosiban, antagonis oxytocin, tokolitik yang
efektif cegah persalinan preterm.
• Oxytocin ikat reseptor G-protein, sebabkan
terbukanya kanal kalsium di myometrium.
• Oxytocin, obat terpilih untuk induksi persalinan
pada kehamilan telat persalinan, partus lama
karena kontraksi hipotonik, kehamilan yang
harus segera diakhiri, dan hentikan perdarahan
pasca persalinan. Berikan tetesan IV untuk
induksi persalinan, IM pasca persalinan.
• (Methyl) ergonovine maleate dan misoprostol,
oksitosika lain untuk cegah/hentikan perdarahan
pasca persalinan.
• Ritodrine/salbutamol/fenoterol, agonis reseptor beta-
2, tokolitik/pelemas uterus, digunakan untuk tunda
persalinan prematur. Diperlukan dosis besar, hingga
sering timbulkan efek samping: takikardi maternal dan
fetal, tremor, sakit kepala, nausea, muntah, dan
hipotensi, hipokalemia, hiperglikemia, nyeri dada,
sesak nafas.
• Kedudukannya digantikan oleh atosiban/nifedipine,
yang ternyata lebih efektif menunda persalinan
prematur dan lebih aman untuk neonatus.
Tatalaksana Diabetes: Dari Sebelum
Hamil ke Sesudah Persalinan
• Diabetes semasa hamil disertai risiko pada ibu ( keguguran, pre-
eklamsia, persalinan prematur ) dan pada janis/neonatus ( cacat
kongenital, makrosmia, cedera lahir, kematian perinatal ).
• Cegah kehamilan yg tak terencana, kendalikan gula darah sebelum
dan selama kehamilan guna minimalkan risiko pada ibu dan janin.
• Pra hamil: turunkan BB bila BMI>27 dengan diet dan olahraga.
• Perhatikan risiko hipoglikemia dan respiratory distress syndrome
pada bayi di sekitar persalinan.
• Suplementasi asam folat dan waspadai hipoglikemia selama
trimester pertama kehamilan.
• Waspadai retinopati dan nefropati diabetik sebelum, selama, dan
sesudah kehamilan.
Keamanan Penggunaan Obat Sewaktu
Hamil Diabetes
• Hentikan semua obat hipoglikemik, kecuali
insulin dan metformin.
• Hentikan ACE inhibitor/ARB, ganti dgn obat
antihipertensi yg aman selama kehamilan (
metil dopa/antagonis kalsium).
• Hentikan penggunaan statin.
• Targetkan HbA1c <6.1% untuk kurangi risiko
cacat kongenital.
• Jangan berikan beta-2 mimetik untuk tokolitik.
Tatalaksana Gestational Diabetes
• Diberlakukan bila diketahui ada faktor risiko: BMI
naik, riwayat makrosomi, diabetes dalam
keluarga.
• Lakukan uji toleransi dengan 75 gr glukosa oral pd
minggu ke 16-18 dan 24-28. Bila hasil tes positif,
berlakukan tatalaksana diabetes, normalkan
kadar gula darah dengan insulin/metformin/
glibenclamide.
• Hentikan pengobatan segera setelah persalinan,
kecuali bila ada hiperglikemia persisten pasca
persalinan.
Nausea dan Muntah pada Kehamilan
• Dialami 90% wanita hamil, mulai dari 4-9 minggu
kehamilan, puncaknya 7-12 minggu, surut sendiri setelah
16 minggu.
• Singkirkan penyebab lain yg berasal dari saluran cerna,
saluran kemih, metabolik, neurologik, pre-eklampsia,
penyakit hepar.
• Cukupi cairan dan elektrolit, makanan ringan lembek/cair
tiap 2 jam, jauhi makanan yg berbau, hentikan besi oral,
suplementasi vitamin B6 dan asam folat.
• Lakukan farmakoterapi bertahap, mulai dengan ginger 
doxylamine  antihistamin  antagonis dopamine/5 HT3
antagonis.
• Bila hyperacidity , obati dengan antasid/antagonis H2/PPI.
Farmakoterapi pada Bayi dan Anak
• Dari neonatus ke umur 1 tahun terjadi perubahan fisiologik
parameter farmakokinetik obat.
• Absorpsi obat setelah suntikan subkutan atau
intramuskuler ditentukan oleh kecepatan aliran darah ke
otot dan subkutis. Aliran darah berkurang bila ada syok
kardiovaskuler, vasokonstriksi karena pemberian obat
simpatomimetik, dan gagal jantung.
• Bayi prematur yang memerlukan suntikan intramuskuler
memiliki sedikit massa otot, hingga penyerapan tak teratur
, lambat, dan menyisakan obat di jaringan yang disuntik.
Bila kemudian perfusi membaik, jumlah obat yang diserap
meningkat, kadarnya tinggi, dapat timbulkan efek toksik.
Contoh dari obat dapat berubah penyerapannya adalah
digitalis, aminoglikosida, dan antikonvulsan.
Farmakoterapi pada Bayi dan Anak
• Sekresi asam lambung dimulai setelah bayi lahir dan
meningkat dalam waktu beberapa jam. Pada prematur
peningkatan sekresi asam lambung lambat dan
mencapai puncaknya pada hari ke-empat.
• Waktu pengosongan lambung lebih panjang; gerakan
peristaltik belum teratur atau masih lambat; bila
diarrhea, peristaltik meningkat. Enzim pencernaan
masih sedikit, sekresi asam empedu dan lipase masih
rendah. Fungsi saluran cerna yang belum mantap ini
akan berpengaruh terhadap kecepatan dan jumlah
obat yang diserap pada pemberian peroral.
• Karena komposisi tubuh berubah sewaktu
pertumbuhan, maka volume distribusi obat juga
berubah. Pada bayi air adalah 70-75% BB, dan 50-
60% pada dewasa. Air ekstraseluler 40% BB pada
anak, 20% pada dewasa. Obat hidrofilik,
aminoglikosida misalnya, relatif lebih rendah
kadarnya dalam darah.
• Pada prematur lemak tubuh hanya 1% BB, pada
bayi cukup bulan 15%. Kadar obat lipofilik
cenderung lebih tinggi pada prematur.
• Kadar protein plasma ikut tentukan distribusi obat.
Pada neonatus kadar albumin plasma rendah, kadar
obat bebas relatif tinggi, berdifusi ke jaringan, dan
menimbulkan efek berlebihan pada organ target. Efek
yang berlebihan ini terjadi pada obat yang ikatan
protein-nya tinggi (diazepam, fenitoin, fenobarbital).
Beberapa obat berkompetisi dengan bilirubin serum
dalam mengikat albumin. Sulfonamid yang affinitas-nya
tinggi mendepak bilirubin dari albumin plasma,
bilirubin mudah liwati BBB yang belum sempurna ,pada
neonatus timbulkan kernicterus. Sebaliknya bilirubin
dapat mendepak fenitoin dari albumin, dapat
timbulkan efek toksik fenitoin.
• Aktifitas enzim metabolik rendah pada
neonatus (50-70% dewasa), eliminasi/kliren
hepatik lambat, waktu paroh relatif panjang.
Sintesis glukoronat menyamai dewasa pada
usia 4 tahun. Dosis dan interval pemberian
obat perlu disesuaikan pada neonatus.
Aktifitas enzim metabolik neonatus dapat
terinduksi bila ibu yang menyusui minum
fenobarbital, sebabkan efek terapi obat
berkurang.
• Laju filtrasi glomeruler sangat rendah pada
neonatus (30-40% dewasa), setelah 3 minggu
naik jadi 50-60%, dan sama dengan dewasa pada
umur 6-12 bulan. Pada neonatus dosis dan
interval pemberian obat, yang terutama
dieliminasi melalui ginjal (misalnya beta-laktam,
aminoglikosida), perlu disesuaikan dengan laju
filtrasi glomeruler. Misalnya, pada neonatus <7
hari, dosis ampisilin adalah 50-100 mg/kg/hari,
setiap 12 jam; bila >7 hari dosisnya adalah 100-
200 mg/kg/hari tiap 8 jam.
Bentuk Sediaan dan Kepatuhan
• Dua jenis sediaan utama untuk anak: elixir dan suspensi.
Elixir adalah larutan alkohol, dimana obat larut dan
tersebar merata. Suspensi adalah bentuk cairan dimana
obat tak melarut, perlu dikocok dulu agar sebaran merata
ketika dituangkan diatas sendok. Bila tidak dikocok dengan
baik, ada kemungkinan dosis yang belakangan lebih tinggi
kadarnya dari dosis awal, timbulkan efek samping/toksik.
• Kepatuhan minum obat merupakan tanggung jawab orang
tua anak, yang mencakup dosis, aturan penggunaan, dan
penyimpanan.
• Kesalahan dosis terjadi karena ukuran sendok obat yang
berbeda, atau karena salah perhitungan dosis.
Obat Sewaktu Menyusui
• Hampir semua obat diekskresikan ke dalam air susu ibu,
untungnya dalam jumlah kecil. Dianjurkan agar ibu yang
menyusui minum obat 1 jam sesudah menyusui, atau
menyusukan anaknya setelah 3-4 jam minum obat.
• Obat yang tinggi kadarnya dalam air susu ibu dan dapat
menimbulkan efek samping pada anak antara lain adalah
tetrasiklin, kloramfenikol, hipnotik-sedatif, narkotik-
analgesik, lithium, jodium radioaktif.
• Ibu dilarang menyusukan anaknya bila dalam kemoterapi,
atau terapi dengan obat immunomodulator pada penyakit
kolagen atau transplantasi organ.
Dosis Obat pada Anak
• Umumnya dosis obat pada anak dinyatakan
dalam mg/kgBB oleh produsen. Bila produsen
tidak menyatakan secara explicit, perhitungan
dosis dapat dilakukan dengan mengacu pada
umur dan BB, atau luas permukaan tubuh, sbb:
• 1). Rumus Young: dosis dewasa x (umur/umur+12
thn).
• 2). Rumus Clark: dosis dewasa x (BB/70).
• 3. Perhitungan dosis dianggap lebih tepat
berdasarkan luas permukaan tubuh.

You might also like