You are on page 1of 25

Azoospermia

Oleh: Nickanor Wonatorey


•Infertilitas
Secara garis besar
primer
Definisi dan infertilitas dapat
dibagi dua
•Infertilitas
etiologi (Jungwirth et. al,
2012):
sekunder
Infetilitas menyerang 15% pasangan di duniapria
manyumbang kontribusi hampir 50% dari seluruh
pasangan tersebut

Dari para pria yang diajukan dalam studi fertilitas, sekitar


Definisi dan 20% didiagnosis dengan azoospermia, para pria ini dapat
dikatagorikan sebagai berikut(Jungwirth et. al, 2012):
Etiologi
• Faktor pre testikular
• Kegagalan tingkat testicular atau azoospermia non-obstruktif ( 49%-
93% dari keseluruhan pria dengan azoospermia)(Wosnitzer et al, 2014)
• Azoospermia post testicular (7%-51% dari keseluruhan ria dengan
azoospemia) Merupakan kelainan pada jalur reproduksi termasuk
epididimis, vas deferens, dan duktus ejakulatorius. (Raheem, 2012)
Di negara-negara timur tengah, prevalensi kelainan
genetis pada pria dengan azoospermia non-obstruktif
idiopatik adalah sebesar 28.41%

Kelainan kromosom paling banyak ditemukan adalah


sindrom Klinefelter, yang menyerang 161 subyek atau
Definisi dan (18.3%).(Alhalabi et al, 2013)
Etiologi
Kelainan genetis juga dapat menyebabkan infertilitas
pada pria, beberapa diantaranya disebabkan oleh
kelaina pada kromosm X sebagai berikut:
• Sindom Kallmann(Jungwirth et. al, 2016)
• Sindrom insensitifitas androgen ringan (Jungwirth et. al, 2016)
• Kelainan kromosom X lain
Selain kromosom X
didapatkan juga infertilitas
pada pria yang disebabkan
oleh kromosom Y.
Gen USP9Y tersebut
dikatakan bekerja sebagai Kelainan dari kromosom Y
pengatur atau tersebut biasa disebut
penyempurna dari proses dengan AZFa, AZFb, dan
produksi AZFc.
sperma.(Jungwirth et. al,

Definisi dan 2016)

Etiologi Hingga saat ini kehilangan Kehilangan sebagian atau


gen tersebut secara keseluruhan gen tersebut
sebagian baru ditemukan dapet mengakibatkan
pada gen AZFa pada terjadinya oligospermia
abgian USP9Y atau bahkan Azoospermia

Spermatogenesis sehingga
fungsi dari gen AZF secara
satuan pada
spermatogenesis masih
belum diketahui
Tabel 1. informasi yang dihimpun pada saat anamnesis

Diagnosis Jenis informasi


Riwayat infertilitas
Informasi yang di gali


Onset Infertilitas
Apakah termasuk infertilitas primer
atau sekunder
 Apakah sudah pernah diobati
 Libido
 Fungsi seksual
 Aktifitas seksual
Keadaan umum dari pasien  Riwayat diabetes
 Setelah paling tidak terdapat 

Riwayat Penyakit sistem pernafasan
Riwayat penyakit sebelumnya
dua kali analisa sperma Apakah ada infeksi sistem genito-urinari,
inflamasi atau infeksi testis yang dicurigai


Infeksi penyakit menular seksual
Epididimo-orkhitis
dengan hasil azoospermia, atau sudah terdiagnosa  Orkhitis
Riwayat operasi di traktus reproduksi  Kangker testis
sang pria harus di anamnesis  Testis gagal turun

secara menyeluruh 
Hidrokelektomi
Spermatokelektomi
 Varikokelektomi

 Informasi yang harus di gali Paparan obat atau zat yang dapat


Vasektomi
Terapi hormon/ steroid
adalah pada tabel berikut mempengaruhi spermatogenesis 

Antibiotik (sulfasazine)
Penyekat alpha
 Penyekat 5-alpha-reduktase
 Agen kemoterapi
 Radiasi
 Finasterid
 Narkotika
Paparan lingkungan  Pestisida
 Panas berlebih pada testis
Zat rekreasional  Ganja
 Alkohol
Riwayat penyakit genetik pada pasien atau keluarga pasien
Diagnosis Tabel 2. Jenis informasi yang dikumpulkan pada pemeriksaan fisik

Jenis pemeriksaan Informasi yang diinginkan


Tingkatan virilisasi
Pemeriksaan skrotum  Ukuran dan konsistensi testis
 Keadaan dan tingkatan varikokel (bila
ada)
 Sedangkan utuk
 Apakah vas deferens teraba atau tidak
pemeriksaan fisik tabel
berikut dapat digunakan
sebagai acuan
Pemeriksaan abdominal  Apakah ada jejas di daerah inguinal yang
melambangkan riwayat tindakan operasi
atau terapi untuk testis gagal turun
Diagnosis Kelas
Anti-androgen
Obat
Spironolakton, cyproterone acetate, cimetidine,
flutamide, ketokonazol, leuprolide
Esterogen dan hormon lain Agonis esterogen, hormon pertumbuhan, steroid
anabolik
Obat-obatan kardiovaskular Propanolol, methildopa, digoksin, penyekat kanal
 Apabila pasien tersebut kalsium, reserpin, amiodaron, fenitoin
terpapar zat gonadotoxic Obat-obatan pencernaan Penyekat asetilkolinesterase, sulfasalazine
maka paparan tersebut Obat-obatan anti kangker Siklofosfamid, melphelan, chlorambucil, nitrosourea,
busulphan, methotreksat
harus segera dihentikan, dan
Obat-obatan anti infeksi Nitrofurantoin, nirizadole
dilakukan analisa semen Obat-obatan psikoaktif Antidepresan golongan trisiklik, amfetamin, narkotika,
ulang setelah 3-6 bulan obat bius kat dan lemah
Obat-obatan lainya kolkisin
Obat-obatan terlarang Steroid anabolik, alkohol, ganja, kokain, nikotin
Diagnosis
Analisis Semen Pemeriksaan makroskopik Pemeriksaan Mikroskopik

Analisa karakteristik
semen dapat  Aglutinasi sperma
diklasifikasikan  Jumlah dan konsentrasi
 pH
menjadi 2 kelompok  Motilitas
 Koagulasi/pengenceran
(Jungwirth et. al, 2016):
 Warna  Morfologi
 Viskositas  Viabilitas
 Volume semen
 Sel non sperma
Parameter Ambang batas
Diagnosis Volume semen (mL)
Total jumlah sperma (106/ejakulat)
1.5(1.4-1.7)
39(33-46)

Analisis Semen Konsentrasi sperma (106/mL)


Motilitas total (PR+NP)
15(12-16)
40(38-42)
Motilitas progresif (PR,%) 32(31-34)
Vitalitas (persentase sperma hidup, %) 58(55-63)
Analisa karakteristik Morfologi sperma (sperma normal, %) 4(3.0-4.0)

semen dapat Batasan lainya


pH >7.2
diklasifikasikan Leukosit positif peroksidase <1.0
Data tambahan
menjadi 2 kelompok Tes MAR (sperma motil dengan partikel menempel, %) <50

(Jungwirth et. al, Tes immunobead ( sperma motil dengan manik-manik menempel, %) <50

2016): Kadar Zink pada cairan seminal (umol/ejakulat) ≥2.4


Kadar fruktosa cairan seminal (umol/ejakulat) ≥13
Kadar glukosidase netral pada cairan seminal (mU/ejakulat) ≤20
Diagnosis Jika volume semen berkurang (<1.5ml) maka harus dilakukan
anamnesa secara hati-hati mengenai apakah hal ini
dikarenakan terjadi gangguan atau memang terdapat
volume semen yang rendah. (Jungwirth et. al, 2016)

Dikarenakan hampir seluruh semen berasal dari glandula


seminalis dan prostat (>90%) maka rendahnya volume
semen dapat mengindikasikan.

• Terdapat abnormalitas glandula seminalis, atau terjadi obstruksi


• Terdapat obstruksi di saluran ejakulatorial
• Terjadi disfungsi ejakulasi (terjadi kegagalan pengeluaran atau ejakulasi
retrograd)
Diagnosis
Apabila tidak ditemukan
Pemeriksaan spesimen
bukti adanya ejakulasi
urin post ejakulasi dan
Pria dengan diabetes retrograd, perlu dilakukan
melihat apakah terdapat
biasanya memiliki resiko pemeriksaan dengan
sperma pada urin post
terjadinya ejakulasi menggunakan
ejakulasi pada pria dengan
retrograd atau kegagalan ultrasonografi trans-rectal
azoospermia, dapat
pengeluaran sperma.(Jarvi untuk melihat glandula
digunakan sebagai alat
et al, 2015) seminalis dan vas deferens
diagnosis untuk ejakulasi
di sekitar prostat (Jarvi et
retrograd
al, 2015)
Azoospermia
dengan
penurunan
volume semen

Diagnosis Pemeriksaan fisik


+/- TRUS
Ejakulasi
antegrad dengan
induksi

Azoospermia dengan Tidak ditemukan


penurunan volume vas deferens +/-
vesika seminalis
Kista duktus
ejakulator
Ejakulasi
antegrad
Ejakulasi tidak
antegrad

semen

Skrining kistik Skrining kistik Sperma pada urin


fibrosis fibrosis pasca ejakulasi

Ejakulasi
retrograd
Azoospermia
dengan volume
semen normal

Diagnosis
Kadar FSH/LH Kadar FSH/LH Kadar FSH/LH
rendah (2%) normal (60%) tinggi (40%)
Azoospermia dengan
volume semen normal
Kegagalan
Pre-testikuler Biopsi testis
testis

Kegagalan Azoospermia
testis obstruktif
Kegagalan ejakulasi
• Pada pria dengan masalah neurologis yang jelas tidak perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan
sebelum dilakukan pengobatan. Namun demikian pada pria dengan kegagalan ejakulasi
yang idiopatik harus disarankan untuk berkonsultasi dengan sex therapist.

Semua pria pengidap hypogonadotropic hypogonadism harus di


konsulkan kepada ahli dibidangnya (genetic counseling),

Diagnosis Tabel 3. Kelainan genetis yang biasa ditemukan pada beberapa kasus Azoosermia

Kistik fibrosis Karyotipe Mikrodelesi


kromosom -Y

Obstruksi atau tidak ditemukanya vas deferens

Obtruksi atau tidak ditemukanya epididimis 25-80%

Obstruksi atau tidak ditemukanya traktus


ejakulator

Kegagalan testis 14% 1-30%


Sejak tahun 1970-an, penemuan-penemuan dalam hal ART telah memberikan manajemen
Manajemen kepada hingga 98% pasangan dengan faktor pria terdiagnosis azoopermia.(Jarvi et al, 2015)

Teknik tersebut tidak menaikan kualitas sperma, akan tetapi ART untuk “mengobati”
infertilitas pada pria. Program tersebut menggunakan teknik untuk menaikan jumlah
telur yang masak dengan memanipulasi kadar hormon pada wanita (Jarvi et al, 2015)

Selanjutnya Inseminasi buatan yang terkontrol

Fertilisasi in-vitro, oosit diambil dari ovarium lalu di inkubasi bersama sperma di
cawan petry, atau

Injeksi sperma intra sitoplasmik, dengan menyuntikan sel sperma langsung ke dalam
sitoplasma dari oosit atau sel telur
Di amerika serikat pada 2012, lebih dari 165000 fertilisasi in vitro atau injeksi
Manajemen sperma intra sitoplasmik dilakukan

Pada 2013 International Committe for Monitoring Assisted Reproductive


technologies melaporkan tahun 2004 diseluruh dunia dilakukan 954743
fertilisasi in vitro.atau ijeksi sel intra sitoplasmik, dengan angka kelahiran bayi
sebanyak 237809 bayi . (Jarvi et al, 2015)

Pada pria dengan diagnosis Azoospermia dengan hypogonadotropic


hypogonadism dapat diterapi dengan menggunakan hormon FSH/LH atau
analog gonadotropin-releasing hormone (GnRH) untuk mens stimulasi
spermatogenesis

Pada Ejakulasi Retrograd dapat diberikan pseudoephedrine sebanyak 60 mg


sebelum berhubungan atau menggunakan agonis alpha yang lain untuk
mengubah ejakulasi retrograd menjadi anterograd
Sperma diambil dari traktus reproduksi lalu
Manajemen digunakan untuk program injeksi sperma
intra sitoplasma
Azoospermia
obstruktif
dapat diterapi Dilakukan bypass/repair obstruksi pada area
dengan salah satu traktus reproduksi yang terkena.
pilihan
berikut.(Sharlip,
2001) Transurthral resection (TUR) pada duktus
ejakulatorius.
Operasi vasovasotomy dan vasoepididymotomy lebih efisien
Manajemen dan lebih murah dibandingkan teknik injeksi sperma intra
sitoplasmik, disimpulkan bahwa prosedur bedah mikro untuk
mengembalikan patensi traktus reproduksi adalah terapi yang
terbaik untuk pasien dengan azoospermia obstruktif. (Liguori,
2012)

Faktor waktu juga harus diperhatikan, apabila onset terjadinya


obstruksi sudah lama maka prosedur aspirasi sperma lalu
dilanjutkan dengan injeksi sperma intra sitoplasmik atau
fertilisasi in vitro lebih dipilih sebagai terapi. dikarenakan
angka keberhasilan kehamilan pada prosedur ini lebih tinggi
yaitu sekitar 30% sampai 40% pada pasien dengan obstruksi
yang berlangsung lebih dari 15 tahun lamanya. (Liguori, 2012)
Manajemen Anastomosis 1 lapis Anastomosis 2 lapis

 Enam sampai delapan jahitan  Enam sampai delapan jahitan


yang diletakan melingkari terpisah dengan menggunakan
Vasovasotomy setiap ujung dari vas deferens benang nylon 10-0 menembus
sendiri adalah dengan menggunakan nylon 9- mukosa pada tiap ujung vas
0 deferens
tindakan perbaikan  Dilanjutkan menambahkan
jahitan pada lapisan otot yang  Dilanjutkan dengan penjahitan
patensi traktus lebih superficial delapan jahitan terpisah
reproduksi yang  Jahitan ditempatkan diantara
menembus lapisan otot luar
dari vas deferens
paling mudah jahitan-jahitan sebelumnya
dan menggunakan benang menggunakan benang nylon 9-
0
dilakukan(Castigli yang sama
 Dilakukan pada pasien yang
 Dilakukan pada pasien apabila
oni, 2012) ditemukan sedikit perbedaan
ukuran ujung vas deferens
memiliki perbedaan ukuran vas
deerns proksimal dan distal
proksimal dan distal yang cukup besar
Manajemen Dilakukan ekstraksi sperma dari testis yang
kemudian dilakukan analisa dan lalu juga digunakan
Azoospermia non- untuk prosedur injeksi sperma intra sitoplasmik
obstruktif • Lakukan diseksi ekstensif pada tubulus seminiferus (ekstraksi
sperma pada testis)(level of evidence 2, grade of
Recommendation B).
• Sebagian besar tubulus seminiferus di periksa menggunakan
mikroskop
• tubulus yang memiliki ukuran lebih besar memiliki
kemungkinan lebih besar terdapat spermatogenesis
dibandingkan tubulus dengan ukuran yang lebih kecil. (chiba et
al, 2016)
Terapi hormon dipercaya tidak terlalu efisien pada pasien dengan
Manajemen azoospermia non obstruktif diakarenakan tingginya kadar hormon
gonadotropin

Azoospermia non-
obstruktif bagaimanapun juga beberapa penelitian menjelaskan bahwa stimulasi
spermatogenensis dengan menggunakan inhibitor aromatase anti-
esterogens dan hormon gonadotropin sebelum pengambilan sperma
secara langsung di testis dapat membantu memperbaiki kualitas
sperma yang di ambil

Salah satu anti-esterogen yang dapat digunakan adalah Clomiphene


citrate dan tamoxifen
Pada pria dengan kegagalan ejakulasi yang disebabkan oleh
gangguan neurologis, dapat diberikan terapi vibro-
stimulation atau electro-ejaculation

setelahnya semen tersebut dapat digunakan untuk prosedur


Manajemen ARTs

Kegagalan Ejakulasi Untuk mengoptimalkan kualitas sperma biasanya perlu


dilakukan prosedur lebih dari sekali (2 sampai 3 kali) dengan
jeda beberapa minggu

Biasanya pasien tersebut juga mengalami obstruksi pada


epididmis, sehingga kadang diperlukan aspirasi sperma.
 Jarvi, K., Lo, K.,Grober, E.,Mak,V., Fischer, A.,Grantmyre, J., Zini, A., Chan, P., Patry, G., Chow, V., Domes, T. CUA Guideline: The
workup and management of azoospermic males. cua guideline. 230-236 (2015)

 Jungwirth, A., Diemer, T., Dohle, G,R., Giwercman, A., Kopa, Z., Krausz, C., Tournaye, H. Guidelines on Male Infertility. European
Association of Urology. (2015)

 Alhalabi, M., Kenj, M., Monem, F., Mahayri, Z., Alchamat, G, A., Madania, A. High prevalence of genetic abnormalities in Middle
Eastern patients with idiopathic

 non-obstructive azoospermia. Springer Science Business Media. New York. 799-805 (2013)

 Shirashi, K., Hormonal therapy for non-obstructive azoospermia: basic and clinical perspectives. Japan Society for Reproductive
Medicine. Japan. 65-72 (2014)

 Jungwirth, A., Giwercman, A., Tournaye, H., Diemer, T., Kopa, Z., Dohle, G., Krausz, C. European Association of Urology Guidelines
on Male Infertility: The 2012 Update. European Association of Urology. 324-332 (2012)

 Raheem, A, A., Ralph, D., Minhas, S. Male infertility. British Journal of Medical and Surgical Urology. 5. Elsevier 254-268 (2012)

Daftar Pustaka 


Koji Chiba, K., Enatsu, N., Fujisawa, M. Management of non-obstructive Azoospermia. Japan Society for Reproductive Medicine.
Japan. 165-173 (2016)

Pastore, A, L., Palleschi, G.,Silvestri, L.,Leto, A., Carbone A. Obstructive and Non-Obstructive Azoospermia. Sapienza University of
Rome, Faculty of Pharmacy and Medicine, Department of Medico-Surgical Sciences and Biotechnologies, Urology Unit, S. Maria Goretti
Hospital Latina 2Uroresearch Association. Italy

 Wosnitzer, M, S.,Goldstein, M. Review of Azoospermia, Spermatogenesis. (2014)

 Kolettis, P, N. The Evaluation and Management Review of the Azoospermic Patient. Journal of Andrology, Vol. 23 (2002)

 Sharlip et.al. Report on Management of Obstructive Azoospermia. American Urological Association. Cleveland. (2001)

 Liguori, G., Trombetta, C., Zordani, A., Napoli, R., Ollandini, G., Mazzon, G., de Concilio, B., Belgrano, E.The Infertile Male-4:
Management of Obstructive Azoospermia. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. 241-248 (2012)

 Castiglioni, M., Colpi, E, M., Scroppo, F, I., Colpi, G, M. The Infertile Male-5: Management of Non-Obstructive Azoospermia. Springer-
Verlag Berlin Heidelberg. 249-259 (2012)

 Jungwirth, A., Diemer, T., Dohle, G, R., Kopa, Z., Krausz, C., Tournaye, H. EAU Guidelines on Male Infertility. European Association
of Urology. (2016)
Terima Kasih

You might also like