You are on page 1of 68

Hendarsyah Suryadinata

Divisi Respirologi Dan Kritis Respirasi


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK Unpad/RSUP Dr Hasan Sadikin
Bandung
TBC Sebagai Global Emergency
MENGAPA TBC SULIT DI BERANTAS
The 5 elements of
komitmen politis

do+s
1 dx sputum
mikroskopis
bermutu

ketersediaan 2
OAT bermutu WHO 1991

4 Pengobatan
jangka pendek
diawasi PMO

5 3
directly observed
RR baku utk menilai
treatment short course
hasil & kinerja
Strategi Pengendalian TB di Indonesia

Strategi yang digunakan dalam


penanggulangan TB di Indonesia adalah
strategi Directly Observed Treatment
Shortcourse (DOTS) dengan penerapan
standar pelayanan berdasarkan ISTC
International Standards for Tuberculosis Care
(ISTC)

 ISTC 1st edition 2006

 ISTC 2nd edition 2009

 ISTC 3rd edition 2014


International Standards for Tuberculosis Care (ISTC)

Tujuan Awal : Pedoman bagi diagnosis, penatalaksanaan dan


prevensi untuk TB pada tahun 2006  Lancet Infectious Disease
no 6 tahun 2006.

Penerbitan : WHO + American Thoracic Society (ATS) +


International Coalition Organizations : Biaya  United States
Agency for International Developement (USAID).

ISTC edisi kedua diterbitkan tahun 2009 dan ISTC edisi ke 3


diterbitkan bertepatan perayaan hari Tuberkulosis sedunia
tanggal 24 Maret 2014.
International Standards for Tuberculosis Care (ISTC)

Pada awalnya ISTC ini lebih ditujukan agar ada keterlibatan


seluruh pelaksana pelayanan TB di seluruh sektor pelayanan
pribadi di negara-negara dengan pendapatan menengah ke
bawah.

Revisi ISTC ditujukan sebagai pengembangan dari ketiga aspek


utama akan tetapi prinsip-prinsip dasarnya tetap dan tidak
mengalami perubahan.
International Standards for Tuberculosis Care (ISTC)

ISTC merupakan alat yang sangat kuat untuk meningkatkan


pelayanan TB karena ISTC berkembang dan didukung secara
internasional dan sudah mengalami revisi dua kali.

Kredibilitas ISTC ini telah melewati berbagai kelompok praktisi


kesehatan. Kredibilitas inilah yang menjadi kekuatan utama dari
ISTC.

Sejak diterbitkan pertama kali tahun 2006, ISTC telah diterima


dan didukung oleh lebih dari 50 organisasi nasional dan
internasional termasuk berbagai perhimpunan profesi
kedokteran, telah diterjemahkan dalam 15 bahasa dan telah
menjadi dasar kebijakan nasional banyak negara dalam hal
pelayanan dan pengendalian TB, termasuk di Indonesia.
ISTC STANDARDS

21 standards

 6 standards for diagnosis


 7 standards for treatment
 4 standards for addressing HIV infection and other
Co-Morbid conditions
 4 standards for public health and prevention
STANDARD UNTUK DIAGNOSIS

Standard 1
Untuk Memastikan diagnosis dini TB 
Pemberi Layanan kesehatan harus mengetahui
faktor risiko Tuberkulosis untuk individu dan
kelompok serta melakukan evaluasi klinis
cepat dan uji diagnostik yang tepat untuk
orang dengan gejala dan temuan yang
mendukung TB.
Faktor Risiko Penyakit TB

 Infeksi human immunodeficiency virus


 Diabetes melitus
 End stage renal disease (gagal ginjal terminal)
 Silicosis
 Gastrectomy dan jejunoileostomy
 Penyakit keganasan
 Pascatransplantasi organ
 Kehamilan
 Sarcoidosis
STANDARD UNTUK DIAGNOSIS

Standard 2
Semua pasien,termasuk anak anak, dengan
batuk selama dua minggu atau lebih yang
tidak jelas penyebabnya, atau temuan foto
toraks diduga tuberkulosis harus dievaluasi
untuk tuberkulosis.
Gejala Penyakit TB

Batuk berdahak >2-3 Batuk darah Sesak napas dan nyeri


minggu dada

Nafsu makan Berat badan menurun atau


berkurang menjadi kurus

Demam > 1 bulan Keringat di malam hari meskipun


tidak beraktivitas
Radiographic Findings
Radiographic Findings
Typical Pattern :
 Reactivation/Post-
primary TB

Distribution :
 Apical / posterior
segments of upper lobes
 Superior segments of
lower lobes
 Isolated anterior segment
involvement is unusual
Reactivation/Post-Primary TB
 Patterns of disease
 Air-space consolidation
 Cavitation, cavitary nodule
 Miliary
 Fibro-nodular densities
 Nodule (Tuberculoma)
 Pleural effusions
Radiographic Findings
Atypical pattern:
Primary TB

 Distribution: Any lobe involved


(slight lower lobe
predominance)
 Air-space consolidation
 Cavitation is uncommon
(< 10%)
 Adenopathy is common (esp. in
children and HIV)
 Miliary pattern
Miliary TB
Can this be TB?
Findings suggestive of
prior TB

 Ca+ granuloma – Ghon lesion


 Ca+ granuloma and hilar node
calcification – Ranke complex
 Apical pleural
thickening
 Fibrosis and
volume loss
STANDARD UNTUK DIAGNOSIS

Standard 3
 Semua pasien termasuk anak-anak yang diduga menderita
TB paru dan dapat mengeluarkan dahak, harus menjalani
minimal 2X pemeriksaan dahak mikroskopis atau 1 dahak
untuk tes Xpert/MTB RIF di laboratorium yang kualitasnya
terjamin
 Pada pasien dengan risiko resistensi obat TB, pasien dengan
risiko HIV atu pasien yang mngalami sakit berat, seharusnya
pemeriksaan Xpert/MTB RIF dilakukan sebagai pemeriksaan
awal diagnostic
 Pemeriksaan serologis dari darah dan Interferon Gamma
Realese Assay /IGRA tidak digunakan untuk diagnosis TB
Aktif
Performance of Sputum Microscopy

Incremental Yield of Incremental Sensitivity


Specimen smear specimens of smear specimens
Number
(of all smear positive) (compared with culture)

1 85.8% 53.8%
2 11.9% 11.1%
3 2.4% 3.1%

Total 100% 68.0%

Average yield of single early morning specimen: 86.4%


Average yield of single spot specimen: 73.9%

Mase SR, Int J tuberc Lung Dis 2007;11(5): 485-95


GeneXpert
STANDARD UNTUK DIAGNOSIS

Standard 4
 Pada semua pasien, termasuk anak-anak
yang diduga menderita tuberkulosis ekstra
paru, spesimen dari bagian tubuh yang
sakit seharusnya diambil untuk
pemeriksaan mikrobiologi dan
histopatologi.
 Pemeriksaan Xpert
MTB/RIFdirekomendasikan sebagai tes
awal mikrobiologi untuk diagnosis cepat
suspek meningitis tuberkulosa.
Rationale and Evidence Summary

 Sensitivity of Xpert MTB/RIF for detection TB in


cerebrospinal fluid (compared with culture) was
79,5% and for lymph node was 84,9% and pleural
fluid 43,7%

 Recommended Xpert MTB/RIF as replacement test


for conventional microscopy, culture and/or
histopathology for testing gastric lavage fluid and
specific respiratory specimens
Rationale and Evidence Summary

 Suspected EP TB cases with Xpert MTB/RIF


negative should undergo further diagnostic testing

 High clinical suspicion of TB should be treated


even Xpert MTB/RIF is negative or the test is not
available

 In comptible case with TB (pulmonary or EP) that


is severe/ progressive therapy initiation should
not be delayed
STANDARD UNTUK DIAGNOSIS

Standard 5
 Pada pasien yang diduga menderita tuberkulosis
paru dengan sediaan hapus dahak negatif, harus
dilakukan pemeriksaan Xpert MTB/RIF dan atau
kultur dahak.
 Apabila pasien dengan sediaan hapusan dahak
negatif dan Xpert MTB/RIF negatif, sedangkan
gambaran klinis sangat mendukung
tuberkulosis, maka terapi antituberkulosis harus
di mulai setelah koleksi spesimen dahak untuk
pemeriksaan kultur dilakukan.
Rationale and Evidence Summary

 Commonly cultures result are not available until


after a decision to begin treatment has to made

 Treatment can be stopped if


 Culture from reliable laboratory are negatives
 The patient has not responded clinically
 The clinician has sought other evidence in
pursuing the differential diagnosis
STANDARD UNTUK DIAGNOSIS

Standard 6

Pada semua anak yang diduga menderita


tuberkulosis intratoraks (yakni paru, pleura, dan
kelenjar getah bening mediastinum atau hilus),
konfirmasi bakteriologis harus dilakukan dengan
pemeriksaan dahak (dengan cara batuk, bilasan
lambung, atau induksi dahak) untuk pemeriksaan
mikroskopik, Xpert MTB/RIF dan biakan.
Diagnostic flow of TB patient in Indonesia (MOH decree no. 67 tahun 2016)

TB Suspect

New case, No History of TB treatment, No Close contact to Patient with history TB treatment, Close contact with DR TB
DR TB Petient, Negative HIV status, or Unknown patient, HIV status positive

Clinical examination, Microscopic or Xpert Rif

No access to Xpert Rif Access to Xpert Rif

Microscopic AFB examination Xpert Rif examination

(+ +) MTB positive, Rif MTB positive, Rif MTB positive, Rif


(- -) MTB negative
(+ -) sensitive intermediate resistance

Can not be refered

Antibiotic with no Repeat Xpert Rif


Chest Xray
anti TB property
Bacteriological confirm TB examination
TB RR
Chest Xray
(Follow the flow in
patient with
microscopic AFB
negative)
No clinical improvement, TB Start DR TB treatment, Do culture and DST of FLD
Not suggestive TB, Search Clinical DS TB treatment and SLD
Suggestive TB risk factor positive, and on
for other causative disease improvement
clinician judgment

TB RR;
TB Pre XDR TB XDR
TB MDR
Clinical confirm TB Not TB, Search for other
causative disease

Continue DR TB
Change DR TB treatment
treatment
DS TB treatment

Additional examination for every TB patient whether bacteriological or clinical confirm are HIV test and blood sugar. Other test with
indication (e.g. liver and kidney function test)
Standards for Treatment
STANDARD UNTUK PENGOBATAN
Standard 7

 Untuk memenuhi tanggung jawab kesehatan


masyarakat, juga tanggung jawab kepada pasien secara
individu, penyedia layanan kesehatan masyarakat harus
memberikan panduan obat yang memadai, memantau
keteraturan pengobatan pasien dan mengatasi faktor-
faktor yang menyebabkan pengobatan TB terputus dan
tidak berlanjut.
 Tanggung jawab ini dikoordinasikan dengan dinas
kesehatan setempat dan atau lembaga lain yang
terkait.
STANDARD UNTUK PENGOBATAN
Standard 8
Semua pasien yang belum pernah mendapatkan terapi TB
sebelumnya dan tidak mempunyai risiko resistensi obat,
seharusnya menerima OAT lini I yang berkualitas sesuai
panduan WHO.
Fase inisial selama 2 bulan seharusnya terdiri dari :
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol.
Fase lanjutan seharusnya terdiri dari :
isoniazid dan rifampisin yang diberikan selama 4 bulan.
Dosis obat anti tuberkulosis yang digunakan harus sesuai
dengan rekomendasi WHO. Obat kombinasi dosis terpadu
(KDT/FDC)lebih dianjurkan dari pada obat lepasan.
* Ethambuthol tidak diberikan pada pasien TB anak dengan HIV negatif dan TB paru non cavitas.
STANDARD UNTUK PENGOBATAN
Standard 9
 Untuk membina dan menilai kepatuhan (adherence) terhadap
pengobatan, suatu pendekatan pemberian obat yang
berpihak kepada pasien seharusnya dikembangkan untuk
semua pasien, berdasarkan kebutuhan pasien dan rasa saling
menghormati antara pasien dan penyelenggara kesehatan.
 Elemen utama dalam strategi yang berpihak kepada pasien
adalah penggunaan berbagai upaya untuk menilai dan
mengutamakan kepatuhan terhadap paduan obat dan
menangani ketidakpatuhan, bila terjadi.
 Upaya ini seharusnya dibuat sesuai keadaan pasien dan dapat
diterima oleh kedua belah pihak, yaitu pasien dan
penyelenggara pelayanan.
ISTC & TB MDR
 ISTC 2014 tidak hanya mencakup
penatalaksanaan kasus TB sensitif, namun
juga mencakup panduan tata laksana TB MDR
 Standar 10-11-12 menjelaskan deteksi dini,
diagnosis dan pengobatan TB MDR
 Standar 1 secara tersirat tentang
kewaspadaan terhadap faktor risiko infeksi
TB/TB MDR
STANDARD UNTUK PENGOBATAN
Standard 10
 Respons terhadap terapi pada pasien tuberkulosis paru
(termasuk mereka dengan gejala TB yang didiagnosa
menggunakan uji molekular cepat) harus dimonitor dengan
pemeriksaan dahak mikroskopik berkala (dua spesimen) saat
fase inisial selesai(dua bulan).
 Jika apus dahak positif pada akhir fase inisial, apus dahak
harus diperiksa kembali pada bulan ketiga dan jika positif,
maka rapid molecular drug sensitivity testing (line probe
assays or Xpert MTB/RIF), biakan dan uji resistensi terhadap
isoniazid dan rifampisin harus dilakukan.
 Pada pasien tuberkulosis ekstra paru dan pada anak,
penilaian respons pengobatan terbaik adalah secara klinis.
Monitoring : Timing of Sputum Specimens

Initial Phase Continuation Phase

Isoniazid

Rifampicin
Pyrazinamide
Ethambutol
Months 0 1 2 3 4 5 6
Assessment
Diagnostic
End of intensive phase for failure
Completion
[*Obtain if smear-positive at month 2] ISTC TB Training
Modules 2009
STANDARD UNTUK PENGOBATAN
Standard 11
 Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat
pengobatan terdahulu, pajanan dengan sumber yang
mungkin resisten obat, dan prevalensi resistensi obat dalam
masyarakat seharusnya dilakukan pada semua pasien.
 Uji sensitivitas obat seharusnya dilakukan pada awal
pengobatan untuk semua pasien yang sebelumnya pernah
diobati.
 Pasien yang apus dahak tetap positif setelah pengobatan
tiga bulan selesai dan pasien gagal pengobatan, putus obat,
atau kasus kambuh setelah pengobatan harus selalu dinilai
terhadap resistensi obat.
STANDARD UNTUK PENGOBATAN
Lanjutan Standard 11
 Untuk pasien yang mengalami resistensi obat
dikonfirmasi dengan pemeriksaan Xpert MTB/RIF
sebagai uji diagnostik awal.
 Jika resistensi rifampisin ditemukan  Segera di
lakukan kultur dan test sensitivitas terhadap INH,
fluoroquinolon dan obat injeksi lini kedua.
 Pasien diberikan KIE dan juga sebaiknya terapi
empirik dengan paduan lini kedua segera
dimulai, untuk mengurangi potensi penularan.
 Program pengendalian dan pencegahan infeksi
yang standar harus di terapkan.
Kriteria Suspek TB-MDR

1. Kasus kronik / gagal kat-2


2. Tidak konversi kat-2
3. Tx non DOTS atau pernah tx OAT lini-2
4. Gagal kat-1
5. Tetap positif setelah sisipan kat-1
6. Kasus kambuh ( kat-1 maupun kat-2 )
7. Setelah default ( kat-1 maupun kat-2 )
8. Kontak erat pasien konfirm TB MDR
9. Kasus TB-HIV

Sejak awal, apabila menemukan suspek TB-MDR-- > Rujuk


STANDARD UNTUK PENGOBATAN
Standard 12
 Pasien yang menderita atau kemungkinan besar menderita
tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat
(khususnya MDR/XDR) seharusnya diobati dengan paduan
obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini
kedua.
 Paduan obat yang dipilih dapat distandarisasi atau sesuai
pola sensitivitas obat berdasarkan dugaan atau yang telah
terbukti. Sekurang kurangnya lima obat ,pirazinamid dan
empat obat yang diketahui atau diduga masih sensitif
termasuk obat injeksi, yang harus diberikan selam 6-8 bulan
pada fase intensif dan sekurang kuranganya 3 macam obat
yang diketahui atau diduga masih sensitif harus diberikan
dalam fase lanjutan.
Standardized PMDT Treatment Regimens

Z-Eto-Lfx-K-Cs/ Z-Eto-Lfx-Cs
Kanamycin Resistance:
Change to Capreomycin
Fluoroquinolone Resistance:
Add PAS
High dose Levofloxacine
Resistance to both Kanamycin and Fluoroquinolone:
Change to Capreomycin
add PAS
High dose Levofloxacine

Source : Indonesia MoH


Paduan Pengobatan Standar Jangka Pendek

4-6 Km-Mfx-Eto(Pto)-HDT-Cfz-E-Z / 5 Mfx-Cfz-E-Z

Tahap Awal Tahap Lanjutan


Tahap Awal Tahap Lanjutan
(diberikan setiap hari selama 4–6 bulan) (diberikan setiap hari selama 5 bulan)

1. Kanamisin (Km) 1. Moxifloxacin (Mfx)


2. Moxifloxacin (Mfx) 2. Clofazimin (Cfz)
3. Etionamid (Eto) / Protionamid (Pto)* 3. Etambutol (E)
4. Isoniazid (H) dosis tinggi (DT) 4. Pirazinamid (Z)
5. Clofazimin (Cfz)
6. Etambutol (E)
7. Pirazinamid (Z)
*) Pemilihan Etionamid atau Protionamid tergantung pada ketersediaan obat program.
Bedaquiline Regimen
1. For XDR TB patient: Second line injection and
fluoroquinolone history has been use.

2.For Pre-XDR : Resistance fluoroquinolone but still


sensitive on second line injection.

3. For Pre-XDR patient : Resistance second line


injection but still sensitive with floroquinolone.

4. Patient with intolerance or have serious side affect


to two or more bacteriostatic (group 4), and still
sensitive on SLI and fluoroquinolone
STANDARD UNTUK PENGOBATAN
Lanjutan Standard 12

 Terapi akan diberikan paling sedikit 18-24 bulan


setelah konversi dari kultur. Tindakan terhadap
pasien,termasuk perawatan selama pengobatan
diperlukan untuk menjamin kepatuhan dalam
menyelesaikan terapi TB MDR.

 Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang


berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan
MDR/XDR TB harus dilakukan.
STANDARD UNTUK PENGOBATAN
Standard 13

Rekaman tertulis tentang pengobatan yang


diberikan, respons bakteriologis, dan efek
samping seharusnya dibuat untuk semua
pasien.
Standards for Addressing HIV Infection
and
other Co-morbid Conditions
STANDARD UNTUK PENANGANAN TB DENGAN INFEKSI HIV
DAN KONDISI KOMORBID LAIN

Standard 14 (Diagnosis TB HIV)

 Uji HIV dan konseling harus direkomendasikan pada


semua pasien yang menderita atau yang diduga
menderita tuberkulosis.
 Pemeriksaan ini merupakan bagian penting dari
manajemen rutin bagi semua pasien di daerah dengan
prevalensi infeksi HIV yang tinggi dalam populasi
umum, pasien dengan gejala dan/atau tanda kondisi
yang berhubungan HIV, dan pasien dengan riwayat
risiko tinggi terpajan HIV.
STANDARD UNTUK PENANGANAN TB DENGAN INFEKSI HIV
DAN KONDISI KOMORBID LAIN

Standard 15 (Terapi TB HIV)


 Pada pasien dengan infeksi HIV dan TB yang mengalami
penurunan imunitas berat (CD4 kurang 50 sel/mm3),
ART seharusnya diberikan segera dalam waktu dua
minggu setelah terapi TB dimulai apalagi menunjukkan
adanya tanda tanda meningitis TB.
 Untuk pasien TB-HIV yang lain dimana data CD4 tidak
ada, terapi ART diberikan setelah 8 minggu setelah
terapi TB dimulai.
 Pasien TB-HIV seharusnya juga menerima
Cotrimoxazole sebagai profilaksis infeksi yang lain.
STANDARD UNTUK PENANGANAN TB DENGAN INFEKSI HIV
DAN KONDISI KOMORBID LAIN

Standard 16 (IPT)

Pasien dengan infeksi HIV yang setelah di


evaluasi secara seksama tidak didapatkan tanda
tanda TB aktif, seharusnya diterapi sebagai
kecurigaan adanya TB laten, dengan INH selama
6 bulan
STANDARD UNTUK PENANGANAN TB DENGAN INFEKSI HIV
DAN KONDISI KOMORBID LAIN

Standard 17
 Semua penyelenggara kesehatan harus melakukan
penilaian yang menyeluruh terhadap kondisi
komorbid yang dapat mempengaruhi respons atau
hasil pengobatan tuberkulosis.
 Saat rencana pengobatan mulai diterapkan,
penyelenggara kesehatan harus mengidentifikasi
layanan-layanan tambahan yang dapat mendukung
hasil yang optimal bagi semua pasien dan
menambahkan layanan-layanan ini pada rencana
penatalaksanaan
STANDARD UNTUK PENANGANAN TB DENGAN INFEKSI HIV
DAN KONDISI KOMORBID LAIN

Lanjutan Standard 17

Rencana ini harus mencakup penilaian dan rujukan


pengobatan untuk penatalaksanaan penyakit lain
dengan perhatian khusus pada penyakit-penyakit yang
mempengaruhi hasil pengobatan, seperti diabetes
mellitus, program berhenti merokok, dan layanan
pendukung psikososial lain, atau layanan-layanan
seperti perawatan selama masa kehamilan atau setelah
melahirkan.
STANDARD UNTUK KESEHATAN MASYARAKAT

Standard 18

Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien


tuberkulosis seharusnya memastikan bahwa
semua orang yang mempunyai kontak erat
dengan pasien tuberkulosis menular seharusnya
dievaluasi dan ditatalaksana sesuai dengan
rekomendasi internasional
Standards for Public Health
and Prevention
STANDARD UNTUK KESEHATAN MASYARAKAT

Lanjutan Standard 18
Prioritas tertinggi evaluasi kontak adalah :

 Orang dengan gejala yang mendukung kearah


tuberkulosis.
 Anak berusia <5 tahun.
 Kontak yang menderita atau diduga menderita
imunokompromais, khususnya infeksi HIV.
 Kontak dengan pasien MDR/XDR TB.
STANDARD UNTUK KESEHATAN MASYARAKAT

Standard 19

Anak berusia < 5 tahun dan individu semua usia


dengan infeksi HIV yang memiliki kontak erat
dengan pasien tuberkulosis dan setelah dievaluasi
dengan seksama, tidak menderita tuberkulosis
aktif, harus diobati sebagai infeksi laten
tuberkulosis dengan isoniazid untuk sekurang
kurangnya 6 bulan.
STANDARD UNTUK KESEHATAN MASYARAKAT

Standard 20
 Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang
menangani pasien yang menderita atau diduga
menderita tuberkulosis harus mengembangkan dan
menjalankan rencana pengendalian infeksi
tuberkulosis yang memadai.

 Program pengendalian infeksi di tujukan untuk


menurunkan kemungkinan penularan TB ke sesama
pasien dan ke petugas layan kesehatan
STANDARD UNTUK KESEHATAN MASYARAKAT

Standard 21

Semua penyelenggara pelayanan kesehatan harus


melaporkan kasus tuberkulosis baru maupun kasus
pengobatan ulang serta hasil pengobatannya ke kantor
Dinas Kesehatan setempat sesuai dengan peraturan
hukum dan kebijaksanaan yang berlaku.
Aspek aspek dari ISTC 2014
 Assesment Individu/kelompok dengan faktor risiko
infeksi TB
 Penemuan & Diagnosis dini TB
 Rapid test (Gen Xpert) utk diagnosa TB sensitif dan TB
MDR
 Kepatuhan pengobatan dengan cara “DOTS”/PMO
 Resistensi obat
 IPT untuk pasien HIV
 TB dengan komorbid dan kondisi khusus
 PPI TB
 Pencatatan dan pelaporan setiap kasus TB
TB MDR pada dasarnya adalah suatu fenomena
buatan manusia (man-made phenomenon)
sebagai akibat pengobatan TB tidak adekuat.

Jika penanganan TB dilakukan dengan benar


sesuai dengan standar ISTC dan memakai strategi
DOTS maka kemungkinan untuk menjadi
MDR/XDR akan sangat kecil
Principles of DOTS
Directly Observed
Treatment Short-course

MENEMUKAN DAN
MENYEMBUHKAN PENDERITA TB
BUKAN SEKEDAR MENGOBATI SAJA
HASAN SADIKIN GENERAL HOSPITAL

You might also like