You are on page 1of 26

Pembimbing

dr. Henny Komalia Sp. A

Yohana Elviani Jemumu


112016369
Pendahuluan

 Difteri adalah penyakit menular yang memiliki angka mortalitas cukup


tinggi pada anak
 Menyerang anak-anak yang tidak diimunisasi.
 Menular melalui droplet. Muntahan atau debu bisa menjadi media
penularan (vehicle of transmission).
Etiologi
Corynebacterium diphtheria

kuman batang gram positif, tidak bergerak, pleomorfik,


tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada
pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering.

Ciri khas C. diphtheria adalah kemampuannya memproduksi


eksotoksin in vivo maupun in vitro.

Kemampuan suatu strain untuk membentuk/memproduksi


toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya
bisa diproduksi oleh C. diphtheria yang terinfeksi oleh
bakteriofag yang mengandung toxigene.
Pewarnaan Kuman
Epidemiologi
 ↑↑ di tahun 2010 hingga tahun 2012, dan mengalami ↓↓ pada
tahun 2013 dan 2014. Pada tahun 2013 jumlah kasus turun
menjadi 475 dan hingga November 2014 turun menjadi 421
kasus
 Tahun 2014 → jumlah kasus difteri di Indonesia
menempati urutan ketiga terbanyak di dunia setelah India dan
Nepal
 Tahun 2016 → provinsi Jawa Barat yaitu di 6
kabupaten/kota. Jumlah kasus 14 kasus dengan kematian 2
orang.
 seluruh penderita difteri tidak diimunisasi karena adanya penolakan
dari orangtua.
 terjadi pada anak usia 3-14 tahun.
Patofisiologi
 C. Diphtheria masuk melalui mukosa atau kulit
 Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan
pembentukan protein dalam sel
 Toksin difteri menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dalam sel
 inaktivasi enzim translokase , akibatnya sel akan mati (nekrosis)
 inflamasi lokal => membentuk bercak eksudat
 Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin melebar
dan terbentuklah eksudat fibrin.Terbentuklah suatu membran yang
melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung
dari jumlah darah yang terkandung.
 Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi
sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes).
 Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan
kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan
ginjal.
 Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas
atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi
apabila toksin telah melakukan penetrasi ke dalam sel.
 Miokarditis biasanya terjadi dalam 10 - 14 hari, Pada jantung
tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat
otot dan sistem konduksi
 manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3 - 7 minggu.
Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak
pada selaput myelin.
 Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksik dan
degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan.
 Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan
fibrosis interstitial.
 Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemik, kadang-kadang
tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada
ginjal.
Manifestasi Klinis
 Masa inkubasi antara 1-5 hari bersifat insidious (perlahan-
lahan) dimulai dengan gejala yang tidak spesifik.
 Difteri mempunyai masa tunas 2 - 6 hari. Pasien pada
umumnya datang berobat setelah beberapa hari menderita
keluhan sistemik.
 Demam jarang melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala lain
tergantung pada lokalisasi penyakit difteri.
Difteri hidung
 menyerupai common cold
 PF: tampak membran putih
pada daerah septum nasi.
 Absorsi toksin sangat
lambat dan gejala sistemik
yang timbul tidak nyata
sehingga diagnosis lambat
dibuat.
Difteri tonsil faring
 anoreksia, malaise, demam  Pada kasus berat, dapat terjadi
ringan dan nyeri menelan. kegagalan pernapasan atau
 1-2 hari kemudian timbul sirkulasi. Dapat terjadi
membran yang melekat, paralisis palatum molle baik
berwarna putih kelabu unilateral maupun bilateral
 Limfadenitis terjadi  Pada kasus sedang,
bersamaan dengan edema penyembuhan terjadi
jaringan lunak leher yang berangsur-angsur dan bisa
luas, timbul bullneck. disertai penyulit miokarditis
atau neuritis.
 Pada kasus ringan membran
akan terlepas dalam 7-10 hari
dan biasanya terjadi
penyembuhan sempurna.
Difteria laring
 stridor yang progresif,
suara parau dan batuk
kering.
 Pada obstruksi laring yang
berat terdapat retraksi
suprasternal, interkostal
dan supraklavikular. Bila
terjadi pelepasan membran
yang menutup jalan nafas
bisa terjadi kematian
mendadak.
Jarang ditemukan.
 kulit : tukak di kulit, tepi
jelas dan terdapat membran
pada dasarnya. Kelainan
cenderung menahun.
 mata : lesi pada konjungtiva
berupa kemerahan, oedem
dan membran pada
konjungtiva palpebra.
 telinga : berupa otitis
eksterna dengan sekret
purulen dan berbau.
Kriteria dignostik
Anamnesis Pemeriksaan fisik Laboratorium

• Kontak dengan • Tonsilitis, • Hitung leukosit


penderita faringitis, rhinitis darah tepi dapat ↑
• Suara serak • Bullneck • Kadang timbul
• Stridor dan tanda • pseudomembran anemia
lain obstruksi • Urea N darah
jalan napas dapat ↑
• Demam tak • sediaan langsung
begitu tinggi / biakan (+)
(kultur)
Penatalaksanaan
Tatalaksana kontak
 Siapapun yang kontak dengan kasus, dalam 7 hari terakhir
dianggap beresiko tertular
 Semua kontak harus diperiksa adanya gejala difteri serta
diawasi setiap hari selama 7 hari dari tanggal terakhir kontak
dengan kasus.
 Profilaksis dilakukan dengan antibiotic erytromisin dengan
doisis 50 mg/ kgBB/ hari dibagi dalam 4 kali pemberian
selama 7 hari.
Tatalaksana penderita
 Dokter memutuskan diagnosis difteria berdasarkan gejala dan
kinis
 Pada kasus difteri tatalaksana dimulai dengan pemberian ADS
dan antibiotic tanpa perlu konfirmasi laboraturium
 Penderita diisolasi sampai tidak menualar yaitu 48 jam setelah
pemberian antioniotik . namun tetap dilakukan kultur setelah
pemberian antibiotic
 Untuk pemberian ADS terhadap penderita maka perlu
dikonsulkan ke dokter spesialis
Tatalaksana pada penderita difteri dewasa sama dengan tatalaksana penderita difteri anak, yaitu
sebagai berikut:

Pemberian Anti Difteri Serum (ADS)


 Secepat mungkin diberikan setelah melakukan tes hipersensitivitas terhadap ADS; pemberian
antitoksin secara dini sangat penting dalam hal kesembuhan.
 Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian
ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam
semprit.
 Uji kulit dilakukan dengan penyuntikkan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000
secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.
 Bila uji kulit positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). - Bila uji
hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena.
 Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak
tergantung pada berat badan penderita, berkisar antara 20.000100.000 KI. - Pemberian ADS
intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam.
 Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin
dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas
lambat (serum sickness).
 Kemungkinan terjadi reaksi anafilaksis sekitar 0,6% yang terjadi beberapa menit setelah
pemberian ADS. Reaksi demam (4%) setelah 20 menit-1 jam, serum sickness (8,8%) 7-10 hari
kemudian.
 Menegakkan diagnosis melalui kultur bakteri yang tepat
 Pemberian antibiotika. - Antibiotika Penicillin procaine IM
25.000-50.000 U/kg BB maks 1,5 juta selama 14 hari, atau
Eritromisin oral atau injeksi diberikan 40 mg/KgBB/hari
maks 2 g/hari interval 6 jam selama 14 hari.
 Trakeostomi bila perlu
 Observasi jantung ada/tidaknya miokarditis, gangguan
neurologis, maupun ginjal
 Kortikosteroid
 Pada fase konvalesens diberikan vaksin difteri toksoid
disesuaikan status imunisasi penderita.
Pemulangan Penderita
Beberapa hal harus diperhatikan untuk pemulangan Penderita difteri klinik,
yaitu:
 Setelah pengobatan tetap dilakukan pengambilan kultur pada Penderita
(sebaiknya pada hari ke 8 dan ke 9 pengobatan).
 Apabila klinis Penderita setelah terapi baik (selesai masa pengobatan 10
hari), maka dapat pulang tanpa menunggu hasil kultur laboratorium.
 Sebelum pulang penderita diberi penyuluhan komunikasi risiko dan
pencegahan penularan oleh petugas.
 Setelah pulang, Penderita tetap dipantau oleh Dinas Kesehatan setempat
sampai mengetahui hasil kultur terakhir negatif.
 Semua Penderita setelah pulang harus melengkapi imunisasi nya sesuai
usia.
 Penderita yg mendapat ADS harus diimunisasi lengkap 3x setelah 4-6
minggu dari saat ADS diberikan.
Komplikasi
 Miokarditis dan paralisis otot dapat terjadi 2-7 minggu
setelah onset penyakit.
 Kelumpuhan otot palatum molle, otot mata sebagai
akomodasi, otot faring dan laring sehinggga menimbulkan
kesulitan menelan, suara parau, dan kelumpuhan otot-otot
pernafasan.
Pencegahan
Strategi pencegahan dan pengendalian difteri:
 Penguatan iminisasi rutin difteri sesuai dengan program imunisasi
nasional
 Penemuan dan penatalaksanaan dini kasus difteri
 Semua kasus difteri harus dilakukan penyelidikan epidemiologi
 Semua kasus difteri dirujuk ke RS dan dirawat di ruang isolasi
 Pengambilan specimen dari kasus dan kasus kontak erat kemudian
dikirim ke laboratorium rujukan untuk dilakukan pemeriksaan
 Menghentikan transmisi difteri dengan pemberian profilaksis terhadap
kontak dan carier.
 Melakukan ORI di daerah KLB difteri. Sasaran ORI adalah anak usia1
tahun sampai dengan <19 tahun dengan pemberian 3 kali dengan
interval 1 bulan dari dosis pertama ke dosis kedua, interval 6 bulan dari
dosis kedua ke dosis ketiga tanpa memandang status imunisasi .
Prognosis

Usia

Pemberian
Tipe klinis
anti toksin

Status gizi
Kesimpulan
 Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh adanya invasi
kuman Corynebacterium diphtheriae, ditandai oleh
terbentuknya eksudat yang membentuk membran
pada tempat infeksi.Karena dapat melibatkan saluran
pernapasan, gejala klinisnya pun berhubungan dengan
pernapasan. Sampai sekarang prevalensi penyakit ini sudah
banyak berkurang karena adanya penggalakkan program
imunisasi.
NH

You might also like