You are on page 1of 19

JOURNAL READING

Disusun oleh:
Mentari Nur Farida S (2014730007)

Pembimbing :
dr. khomimah, Sp. PD-KEMD, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
RSIJ PONDOK KOPI
2018
LATAR BELAKANG

 Demam tifoid adalah salah satu penyakit terbanyak ketiga di seluruh


dunia.

 Pada tahun 2004, demam tifoid mengakibatkan 216.000 kematian. Lebih


dari 90% terjadi di Asia.

 Data terbaru diperkirakan 120 juta terinfeksi dan 700.000 kematian per
tahun terjadi di seluruh dunia.

 Pengobatan dengan antibiotik lebih hemat, namun baru-baru ini


munculnya resistensi terhadap agen antimikroba biasa telah menyebabkan
pilihan pengobatan terbatas.
LATAR BELAKANG

 Fluorokuinolon adalah obat pilihan pada demam tifoid, tetapi dengan


resistensi antibiotik, ada banyak laporan dari kegagalan pengobatan
dengan fluorokuinolon.

 Multidrug Resistance (MDR) didefinisikan sebagai perlawanan terhadap


tiga kelas lini pertama agen antimikroba (kloramfenikol, ampisilin, dan
trimetoprim/sulfametoxazol), umumnya terjadi di Asia Selatan, dengan
angka mencapai 13% di India dan 44% di Pakistan.
LATAR BELAKANG

 Penelitian sebelumnya di Pakistan menunjukkan peningkatan resistensi


terhadap Ciprofloxacin.

 Resistensi antibiotik adalah masalah yang paling mengancam dalam hal


pengendalian infeksi dan penelitian ini akan membantu dalam
pemahaman tentang fitur dari mikroba ini.
TUJUAN

Untuk melihat pola resistensi obat antimikroba


diantara serovars Salmonella
METODE

Tempat Penelitian Waktu Penelitian Rancangan Penelitian

Laboratorium Penelitian Mei 2012 - Desember 2014 Longitudinal, studi


Rumah Sakit Khan, observasional
Islamabad, Pakistan

Sampel Kriteria Inklusi

197 peserta (118 laki-laki


dan 79 wanita) berusia ≤ 12 o Semua pasien dengan demam tifoid
tahun - ≥ 40 tahun o Pasien yang memiliki kultur darah
positif untuk S.serovars
METODE

1. Kultur darah pasien dikirim ke departemen patologi rumah sakit pada


hari pertama masuk
2. Pasien yang memiliki kultur darah positif untuk S.serovars
diikutsertakan, sementara yang memiliki kultur darah negatif
dikeluarkan
3. Darah vena disuntik ke dalam kaldu hati-otak
4. Setelah pertumbuhan, spesimen kultur darah di subkultur ke agar
darah dan agar MacConkey
5. Isolat Salmonella diuji untuk kerentanan antimikroba dengan metode
difusi cakram Kirby-Bauer pada agar Mueller-Hinton
METODE
7. Dilakukan uji kerentanan antimikroba untuk 9 agen antimikroba
ampisilin, kloramfenikol, TMP/SMX, cefixime, ceftriaxone, asam
nalidiksat, ciprofloxacin, ofloxacin, dan levofloxacin

8. Data laboratorium yang berkaitan dengan jenis salmonella, usia pasien,


jenis kelamin pasien, tanggal pengumpulan, dan resistensi terhadap
antibiotik dicatat.

9. MDR dianggap jika isolat resisten terhadap tiga kelas antimikroba


(ampisilin, kloramfenikol, dan TMP/SMX), sedangkan isolat dianggap
resisten fluorokuinolon jika mereka tahan terhadap ofloxacin,
ciprofloxacin dan levofloxacin.
METODE

 Analisis dengan menggunakan SPSS 22


 Diterapkan uji chi-square
 P <0,05 dianggap signifikan secara statistik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN
DISKUSI

 Dalam penelitian ini, prevalensi S. typhi 78,7% dan untuk paratyphi A


21,3%. Tidak ada jenis lainnya yang ditemukan.

 Sebanding dengan penelitian lain  57,8% vs 41,6%, 77,3% vs 22,4%, dan


83,8 % vs 16,6%.

 Dalam penelitian terbaru, S.typhi dan S.paratyphi A tertinggi pada kelompok


usia 11-20 tahun, diikuti oleh usia 21-30 tahun.
DISKUSI

Prevalensi MDR pada penelitian ini adalah 44,5% pada S. typhi dan 11,9%
pada S. paratyphi A

– Hasan dkk. melakukan penelitian di mana mereka menunjukkan tingkat MDR


dari 34,2% menjadi 48,5% untuk S.typhi (2001-2006)
– Data terkini tentang MDR menunjukkan bahwa di Pakistan, India, dan
Bangladesh masing-masing adalah 66%, 28,6% dan 64,28%
– Rahman B.A., et al. menunjukkan bahwa di antara Timur Tengah dan negara-
negara Asia Tengah prevalensi MDR tertinggi di Irak (83%) dan Pakistan (52%)
DISKUSI

Pada penelitian ini prevalensi resistensi terhadap kloramfenikol cukup


tinggi yaitu 42,1%

 Chand H.J. et al. pada tahun 2014 menunjukkan kepekaan dari antimikroba
konvensional hingga 100% di Nepal
 Dalam studi lain tahun 2013 dilaporkan mencapai 67,0%
DISKUSI

Dalam penelitian ini resistensi terhadap ciprofloxacin dan ofloxacin di


dapatkan 186 kasus (94,4%)

 Laporan kasus di kota kembar (Rawalpindi / Islamabad) resistensi ciprofloxasin


tahun 2012 dilaporkan 96,47%
 Penelitian lain melaporkan 64,34% sensitif terhadap ciprofloxacin.
DISKUSI

Dalam penelitian ini Ceftriaxone dan cefixime 100% sensitif, yang juga
ditunjukkan oleh penelitian lain.
 Namun, dalam sebuah penelitian terbaru munculnya resistensi terhadap
ceftriaxone ditemukan mulai mengkhawatirkan.

Dalam penelitian ini, kedua serovars sama-sama resisten terhadap


ciprofloxasin dan levofloxacin (p = 0,076), sedangkan S.typhi menunjukkan
lebih resistensi dari S.paratyphi A untuk ampisilin, TMP/SMX dan
kloramfenikol (p <0,01).
KESIMPULAN

 Prevalensi MDR dan resistensi fluorokuinolon sangat tinggi di antara


serovars salmonella.

 Tidak ditemukan adanya resistensi sefalosporin generasi ketiga.

 Peneliti merekomendasikan penggunaan sefalosporin dengan bijaksana dan


cerdas dalam mengobati demam tifoid sehingga mencegah resistensi.
TERIMA KASIH

You might also like