You are on page 1of 33

ANALGETIK - ANTIPIRETIK

PENDAHULUAN

Nyeri  tanda adanya penyakit / kelainan dalam


tubuh
Bagian dari proses penyembuhan
Dihilangkan bila mengganggu aktifitas tubuh
ANALGETIK  digunakan untuk menghilangkan
nyeri tanpa menghilangkan kesadaran
PENDAHULUAN
Jenis Analgetik  Analgetik narkotik dan
analgetik non narkotik
Berbeda berdasarkan struktur kimia
Analgetik Narkotik  menghilangakn nyeri
derajat sedang sampai berat, Ex : infark
jantung, operasi, viseral, nyeri kanker
Analgetik non narkotik  menghilangkan nyeri
ringan sampai sedang (berasal dari golongan
AINS)
ANALGETIK OPIOID /
NARKOTIK
Peptida endogen
• Peptida endogen yang berikatan pada reseptor opioid
akan menimbulkan efek analgesia
• Senyawa tsb a.l : endorfin, dinorfin, enkefalin
• Reseptor opioid terdiri dari : reseptor m, d dan k
• Ikatan pada reseptor m akan menimbulkan analgesia,
euforia
• Ikatan pada reseptor k akan menimbulkan analgesia,
disforia
• Reseptor d dan k lebih spesifik berikatan dengan dinorfin
dan enkefalin
Endorfin
• Endorfin memiliki efek analgesia kuat, pada
hewan, senyawa ini bekerja mendepresi
pernafasan, membuat adiksi
• Beberapa hal seperti stress saat cedera hebat,
terapi akupunktur dengan elektrostimulasi akan
meningkatkan kadar endorfin sehingga terjadi efek
analgesia
Mekanisme kerja
• Endorfin menduduki reseptor nyeri di SSP
sehingga stimulus nyeri dapat diblokir
• Analgetik opioid menduduki sisa-sisa reseptor
nyeri yang belum ditempati endorfin
• Pada penggunaan berkepanjangan akan terjadi
stimulasi pembentukan reseptor baru dan
hambatan pembentukan endorfin di ujung saraf
otak
• Penurunan jumlah endorfin berakibat pada
terjadinya pertambahan jumlah reseptor yang
kosong (disamping terbentuknya reseptor baru)
yang memerlukan tambahan dosis analgetik
opioid untuk mendapatkan tingkat efek yang sama
dengan pemberian sebelumnya
• Efek semacam ini disebut toleransi
Analgetik opioid
• Analgetik opioid meniru efek dari opioid endogen
terutama berikatan dengan reseptor m untuk
menimbulkan analgesia, depresi pernafasan,
euforia, dan sedasi.
• Stimulasi langsung pada zona CTZ membuat
mual, muntah
• Efek pada gastrointestinal (pada saraf pleksus di
usus) : menurunkan motilitas usus sehingga
terjadi konstipasi & perlu laksan
Efek opioid
• Supresi pada SSP : sedasi, depresi pernafasan,
batuk, miosis, hipotermia, perubahan mood
• Pada dosis lebih tinggi terjadi penurunan aktivitas
mental dan motorik
• Pada saluran urogenital : retensi urin karena naiknya
tonus sfinkter kandung kemih, penurunan motilitas
uterus (gangguan pada proses persalinan)
• Pada sistem sirkulasi : vasodilatasi, hipotensi,
bradikardia
Efek opioid
• Pada saluran nafas : bronkhokronstriksi membuat
nafas dangkal dan frekuensinya menurun
• Pembebasan histamin membuat gatal dan
urtikaria serta vasodilatasi
• Efek-efek ini merupakan efek yang tak diharapkan
termasuk timbulnya toleransi dan adiksi pada
penggunaan jangka panjang
Toleransi dan adiksi
• Toleransi : penurunan respon setelah pemberian
berulang sehingga memerlukan pemberian dosis lebih
tinggi agar respon yang sama kembali diperoleh
(tanpa intoksikasi)
• Adiksi : ketergantungan fisik dan psikis pada opioid
• Ketergantungan psikis terjadi karena kebutuhan akan
efek psikotrop (euforia, rasa nyaman, segar) yang
sangat kuat sehingga pasien terpaksa melanjutkan
penggunaan obat
Toleransi dan adiksi
• Toleransi diduga terkait dengan peningkatan
kecepatan metabolisme/eliminasi opioid, penurunan
kepekaan jaringan terhadap opioid dan berkurangnya
resorpsi opioid
• Saat penghentian obat secara mendadak terjadi
gejala abstinensia yang diawali dengan menguap,
berkeringat hebat, keluar air mata, tidur gelisah,
merasa kedinginan. Gejala terus berlanjut dengan
muntah, diare, takhikardia, midriasis, tremor, kejang
otot, peningkatan tensi, disertai reaksi psikis : gelisah,
mudah marah, ketakutan akan kematian
Opioid kuat
Morfin
morfin adalah suatu alkaloid yang diisolasi dari buah
Papaver somniferum
penggunaan : nyeri hebat akut dan kronis pada pasca
bedah dan infark jantung, juga pada fase terminal dari
kanker
dosis : dewasa oral 3-6 x sehari 10-12 mg morfin HCl
dewasa s.c/i.m : 3-6 x sehari 5-20 mg , anak : oral 2 x
sehari 0,1-0,2 mg/kg bb
Morfin (bentuk sediaan)
• Pulvis opii : mengandung morfin 10%
• Pulvis Doveri : mengandung morfin 1%,
ipecacuanhae, K2SO4
Diamorfin
diamorfin merupakan turunan morfin, diasetil
morfin, dikenal dengan nama heroin, dengan
potensi 2 x morfin
senyawa ini tidak digunakan dalam terapi tetapi
banyak disalahgunakan para pecandu narkotika
karena efek euforia yang lebih kuat dengan efek
mual, konstipasi dan hipotensi yang lebih rendah
dibanding morfin
Petidin
aktivitasnya setara morfin tetapi kerjanya lebih pendek
efek analgesik, depresi pernafasan sama seperti morfin
tetapi antitusif dan konstipasinya lebih rendah
kelarutannya dalam lemak yang tinggi membuat
aktivitasnya lebih cepat dicapai (onset lebih cepat)
dosis : analgesia dewasa 50-150 mg tiap 3-4 jam, anak :
1-1,8 mg/kg bb tiap 3-4 jam
Metadon
absorpsi oral baik, durasi kerja panjang t1/2 25 jam efek
bertahan 48 jam, efek analgesik 2 x morfin, tidak
membuat euforia, efek samping lain lebih lemah dari
morfin
kelebihan ini membuat metadon dimanfaatkan untuk
terapi rehabilitasi para pecandu morfin atau heroin
dosis : dewasa oral 4-6 x sehari 2,5-10 mg metadon HCl
terapi untuk pecandu : dosis awal 20-30 mg, setelah 3-4
jam diturunkan menjadi 20 mg, selanjutnya 1 x sehari 50-
100 mg selama 6 bulan
• Terapi dengan metadon jangka panjang beresiko
adiksi tetapi mudah disembuhkan
Buprenorfin
merupakan agonis parsial pada reseptor m, sangat
larut lemak, sangat efektif digunakan secara
sublingual, durasi lebih panjang daripada morfin
tetapi menyebabkan muntah berkepanjangan
bila terjadi depresi pernafasan sukar diantagonis
dengan nalokson karena disosiasinya dengan
reseptor sangat lambat
Nalbufin
• Merupakan agonis reseptor k, antagonis m,
dengan potensi analgesik, depresi pernafasan
setara morfin, efek samping mual muntah lebih
rendah
Analgesik Opioid lemah
• Digunakan untuk nyeri ringan sampai sedang,
kadang disalahgunakan
Pentazosin
merupakan agonis k, antagonis m, analgetiknya
lemah tetapi pada pemberian injeksi efeknya
terletak antara morfin-kodein
kerja pada reseptor s membuat mimpi buruk,
halusinasi
dosis : dewasa oral 3-4 x sehari 50-100 mg
Kodein
absorpsi oral baik, tetapi afinitas ke reseptor opioid lemah
kodein (metilmorfin) didemetilasi di hati membentuk morfin
(10%) dan metabolit ini yang berefek analgetik
penggunaan lebih banyak sebagai antitusif
dosis analgesik oral 3 x sehari 15-60 mg Kodein HCl, anak :
3-6 x sehari 0,5 mg/kg bb
dosis antitusif oral 4-6 x sehari 10-20 mg, anak : a4-6 x
sehari 1 mg/kg bb
Dekstropropoksifen
• Potensinya ½ dari kodein, sering dikombinasi
dengan aspirin atau parasetamol untuk
mendapatkan efek analgesik yang lebih kuat
• Bentuk kombinasi harus hati-hati penggunaannya
jangan sampai terjadi overdosis, dimana toksisitas
depresi pernafasan kuat dan hepatotoksik
Antagonis morfin
• Digunakan sebagai antidot pada kasus keracunan morfin
dan turunannya
• Nalokson, nalorfin, naltrekson ketiganya dapat digunakan
untuk kasus overdosis opioid
• Dosis :
Nalokson : iv awal 0,4 mg, bila perlu diulang setiap 2-3
menit, nalorfin : iv /s.c/i.m 5-10 mg, bila perlu diulang
setelah 10-15 menit, naltrekson : awal 25 mg, diulang
setelah 1 jam, dosis selanjutnya 50 mg/hari selama 3
bulan atau lebih
ANALGETIK NON
NARKOTIK
• Sebagian besar merupakan golongan
AINS
• Sebagian memiliki efek analgetik dan
antipiretik
• Ada yang berefek analgetik, antipiretik,
dan antiinflamasi
Analgetik - Antipiretik
• Pusat nyeri berada pada hiotalamus
• AINS secara selektif dapat mempengaruhi
hipotalamus  penurunan suhu tubuh ketika
demam
• Menghambat sintesis PG yang menstimulasi
SSP
• PG meningkatkan aliran darah ke perifer
(vasodilatasi) dan berkeringat  panas
banyak keluar dari tubuh
• Cedera (inflamasi)  pelepasan zat aktif
(bradikinin, PG, dan histamin.
• PG dan bradikinin manstimulasi ujung syaraf
perifer dengan membawa impuls nyeri ke
SSP.
• AINS menghambat sintesis PG dan bradikinin
sehingga menghambat terjadinya
perangsangan reseptor nyeri
• Analgetik-Antipiretik (golongan salisilat dan
asetaminofen)
• Aspirin  penghambat sintesis PG paling
efektif dari golongan salisilat
Salisilat
• Merupakan prototipe AINS
• Ex : Na-Salisilat, Aspirin (Asam Asetil
Salisilat), Salisilamid, dan Metil salisilat.
• Metil salisilat bersifat toksik jika tertelan 
hanya dipakai topikal  menghangatkan kulit
dan antipuritus
Salisilat
• Dapat mengiritasi lapisan mukosa lambung
• Bagi pasien yang peka  mangalami mual
setelah minum aspirin
• PG  mekanisme perlindungan mukosa dari
asam lambung
• PG  meninggkatkan sekresi mukus dan
bikarbonat yang berfungsi meningkatkan daya
tahan membran mukosa lambung
Salisilat
• Aspirin dalam dosis kecil berfungsi sebagai anti
trombosis (antiplatelet)
• Aspirin dalam dosis kecil  menghambat
agregasi trombosit (antikoagulan)
• Mencegah terbentuknya trombus pada
penderita infark miokard  mengurangi
kemungkinan timbulnya stroke
• Pada orang yang peka berpotensi
menimbulkan pendarahan
Asetaminofen (parasetamol)
• Bermanfaat untuk analgetik dan antipiretik
• Efek antipiretik terjadi karena langsung
mempengaruhi pusat pengatturan panas
dihipotalamus
• Efektif untuk nyeri kepala karena menghambat
sintesis PG di SSP, tetapi tidak dapat
menghambat sintesis PG di perifer
• Tidak efektif untuk radang, nyeri otot dan
artritis
Asetaminofen (parasetamol)
• Tidak menyebabkan iritasi lambung
• Berbahaya jika dosis berlebih  gejala tidak
jelas dan dapat menimbulkan kerusakan hati
• Dapat meningkatkan nillai SGOT dan SGPT
• Efek Hepatotoksik dapat diminimalisir dengan
pemberian asetil sistein

You might also like